Akal
dan Kemampuannya Historikal Pengalaman dan Hasil Berfikir
“Saya berfikir, saya tahu maka saya Berbahagia”. bedakan dengan
ucapan Descartes yang mengatakan; “Saya berfikir maka saya ada” (upaya uji-coba)
Akal dan Kemampuan Berkebenaran
Manusia adalah mahluk berpengertian. Pengertian
merupakan syarat mutlak untuk bahagia, karena manusia hanya senang kalau ia
mengerti kesenangannya, seseorang hanya dapat memiliki sesuatu jika ia
mengerti. Tanpa pengertian, tidak ada kepunyaan (milik) yang formal bagi manusia.
Selanjutnya tanpa pengertian, tidak lagi mungkin ada kesusilaan, kemerdekaan,
transendensi, otonomi atau kemandirian rohani.[1] Oleh karena itu lepas dari
ketidaktahuan dan kebodohan adalah suatu yang membahagiakan bagi manusia. Sebab
ketidaktahuan dan kebodohan adalah kegelapan, sumber dari banyak penderitaan.
Pengertian akan kebenaran akan membebaskannya. Akhirnya kebenaran yang sempurna
akan membebaskan manusia dari segala deritanya, dan membuatnya bahagia
selamanya. Inilah akhir tertinggi dari manusia.[2]
Untuk mencari pengertian sehingga diperoleh kebenaran
perlu berfikir yang baik, yakni berfikir logis dialektis. Yaitu tidak hanya
memperhatikan kebenaran bentuk atau hukum-hukum, tetapi juga harus mengindahkan
kebenaran materi pemikiran serta kriterianya. Hukum-hukum berfikir dirumuskan
dalam logika, sedangkan kebenaran materi dan kriterianya dicari dimasing-masing
bidang. Aristoteles-lah yang mengeksplisitkan hukum-hukum logika formal.[3]
Manusia punya dua macam kemampuan kognitif (kemampuan
mengerti) yaitu; Indra dan Intelek. Indra merupakan kemampuan organis, artinya
indra secara intrinsic bergantung pada organ badani tertentu yang didalamnya
dan dengannya indra bekerja. Indra bisa eksternal dan internal. Intelek adalah
kemampuan inorganic, yakni kemampuan yang tidak bergantung pada sesuatu organ
badani. Intelek hanya satu, tetapi kemampuannya dapat; menangkap, membuat
konsep, membuat keputusan, melakukan refleksi, mengabstraksi, menyimpulkan dan
lain-lain.
Manusia hanya mempunyai pengetahuan yang “sempurna”
dengan melalui keputusan, yaitu aksi intelek. Kegiatan indra hanyalah menangkap
(dalam arti mengalami) tanpa membuat keputusan. Indra (sebagaimana juga
intelek, yang bukan tabula rasa merupakan kesadaran aktif, maka juga bekerja
sesuai dengan lingkaran interpretasi yang kita kenal) mengumpulkan bahan mentah
untuk intelek guna dikerjakan oleh intelek menjadi keputusan.[4]
Manusia adalah mahluk rohani-jasmani. Rohani dan
jasmani bukanlah dua ada yang keberadaannya sekadar berdampingan, tetapi keduanya
bersatu dalam kesatuan substansial. Maka menurut kodrat harus terdapat
kontinuasi atau penghubung keduanya.[5] Apa yang menghubungkan dari jasmani
kerohani atau sebaliknya? [6]
Pada manusia ada kemampuan mengolah “kesan” (apa yang
ditangkap oleh indra dari materi). Kemampuan tersebut adalah intelectus agens (
nous poitikos) kata Aristoteles. Kemampuan ini adalah kemampuan mengabstraksi.
Sedangkan kemampuan tahu manusia, yakni yang kita kenal sebagai akal budi
(intelek), dinamakan intelectus-possibilis (nous pathetikos).
Kemampuan mengabstraksi menggarap, menerangi “kesan”
tadi dan melepaskan dari semua seginya yang material, tetapi tetap
mempertahankan hal-hal yang hakiki, dan niscaya yang kini “diangkat” dari
unsure ruang dan waktu. Jadi abstraksi adalah proses imaterialisasi. Tetapi;
Pengetahuan abstarksi ini, menurut asal dan isinya, tetap bergantung kepada
indra, dan berhubungan dengnan realitas.
Sekarang “kesan” tersebut sesudahnya diangkat dari
materi, menjadi cakap, dan secara actual ( in actu) dapat (sanggup) diketahui,
atau memasuki level of intelligibility. Berkat aktivitas ini, yang dalam
istilah teknis disebut aprehensi sederhana psikologis muncul species
intelligibilis impressa. Species intelligibilis impressa tersebut, berkat
aktivitas intellectus agent, kini bertindak sebagai pembantu (penggerak,
ken-feterminant) kemampuan tahu intelektual manusia, yakni intellectus
possibilis. Sedangkan proses menyadari species intelligibilis impressa ini
disebut apherensi sederhana logis. Maka muncullah konsep atau idea. Yang
membuat kita tahu atau menangkap suatu disebut konsep mental, sedangkan apa
yang kita tangkap tentang objek yang disodorkan konsep mental kepada akal budi,
disebut konsep objektif.[7]
Bentuk-bentuk immaterialisasi
Intelek hanya mau terhadap sesuatu yang immaterial,
tetapi abstraksi (proses imaterialisasi) itu bertingkat-tingkat. Ada yang
sangat bersih dari materi ada yang dekat dengan materi.
1) Tingkat abstraksi fisis. Ini dilakukan setelah kita melihat
benda-benda, kita abstraksikan hal-hal itu. Misalnya konsep Kuda, mangga, Suara
dan lain-lain. Konsep-konsep ini kebendaannya masih sangat kentara. Pembayangan
(konsep mentalnya) ke-realitas konkret masih sangat mudah.
2) Tingkat Abstraksi Matematis. Ini dilakukan dengan, dihilangkan tidak
hanya cirri-ciri konkret individualnya, tetapi juga cirri-ciri kualitasnya.
Yang dilihat hanya kuantitas sejauh bisa diukur. Seperti; ½ , 8, Lingkatan,
diagonal, segitiga dan lain-lain. Walau masih dapat dibayangkan tingkat
kongkretnya, tetapi hampir hilang ke-kongkret-an itu.
3) Tingkat abstraksi metafisis. Dalam imaterialisasi tingkat ini, tidak
hanya ciri-ciri individu dan kekongkretan serta kualitas-kualitas indrawi yang
dihilangkan, tetapi juga kuantitas. Tangkapan sama sekali bersih dari
kejasmanian, meskipun asal dan isinya tetap tergantung pada indra. Misalnya;
Sebab-akibat, eksistensi, Kebenaran, Keadilan dan lain-lain.[8]
Kebersihan indrawi ini juga menentukan tingkat
kepastian “kebenaran” suatu ilmu. Misalnya; Sians kebenaran lebih “tinggi (baca
= pasti) dibandingkan ilmu social. Sains kebenarannya dibawah Matematika,
sedangkan matematika, Geometri kebenarannya paling tinggi, dan Metafisika
kebenarannya tertinggi ( paling pasti). Mengapa?[9]
Abstraksi dan Substansi Realitas
Abstraksi memang peng-imaterialan sesuatu yang
kongkret, sehingga ia lebih “konsisten dan pasti serta punya sifat umum”. Misalnya konsep “Manusia”, ini abstraksi dari
individu ali, hasan, husein, zaid dst. Ada perbedaan mendasar Plato dan
aristoteles dalam masalah ini. Plato mengatakan yang real itu idea, sehingga
yang real itu bukan si-ali, si ahmad, tetapi , manusia. Sedangkan Aristoteles
mengatakan sebaliknya; kita hanya melihat si-ali, si-ahmad dan lain-lain.
tetapi dengan kemampuan intelektual kita, kita mampu menghilangkan unsusr-unsur
yang rincian dan mengambil konsep umumnya yaitu manusia. Pengabstraksian itu
tidak lepas dari substansi realitas. Artinya apabila pemahaman tentang realitas
itu setengah-setengah maka Abstraksi kita juga tak akan penuh dan “salah” (
atau dalam bahasa lain : abstraksi itu tidak mengacu ke realitas yang
ditunjuk).[10]
Agar substansi realitas benar-benar terungkap kedalam
konsep secara jitu, manusia harus mengamati dan meneropong benda-benda itu dari
berbagai segi agar dapat memperoleh pengertian yang lengkap tentang inti
isinya. Salah satu yang terpenting dalam penelanjangan realitas pada masa
sekarang adalah “metode fenomenologi”[11]. “Kesan” (apapun yang masuk lewat
indra, baik dalam maupun luar) yang ditangkap manusia, yang merupakan bahan mentah
bagi intelek, secara struktural adalah tidak lengkap atau dalam bahasa lain
struktur pengalaman itu histories (menyejarah), kata metode yang terakhir ini
(metode Fenomenologi).
Struktur Historikal Pengalaman
Kendati abstraksi lekat pada eksistensi manusia, perlu
senantiasa disadari struktur historical dari pengalaman manusia. Manusia tidak
berada di dalam waktu, tetapi secara ontologis manusia adalah mewaktu,
historikal. Manusia de fakto tidak dapat ada tanpa menjadi bagian dari sejarah.
Maka pengalaman manusia juga tidak terpatah-patah dalam momen-momen ‘masa kini’
melainkan berstruktur historical. Masalah historical ini terkacaukan (dan
terlupakan) karena opini umum tentang ‘waktu’ yang dikonsepsikan secara
matematis, dilambangkan dengan huruf t (time, scientific time), diukur dengan
jam dan kronometer. Berhubung alat ukur itu berupa benda-benda dan berada dalam
ruang, maka waktu digambarkan sebagai medium homogen yang merentang dan terdiri
dari satuan-satuan pembakuan seperti; tahun, hari, jam, menit, detik. Sedangkan
sejarah seringkali diartikan orang sebagai ‘hal yang sudah lewat’ sudah
selesai, ‘masa lalu’.
Dengan konsepsi ini, maka waktu dan sejarah
diperlakukan sebagai vorhandenes (sebagai benda), karenanya statis. Maka
diabaikanlah historikalitas sebagai kategori fundamental pemikiran manusia yang
justru membuka kemungkinan perjumpaan, dialog dengan yang otentik, dengan
pengalaman integral sebagaimana de facto terjadi.
Pengalaman kita memang terjadi kini, tetapi ‘kini’
tersebut mencakup masa lalu yang tidak terbatas dan masa datang yang terbuka
lebar. Setiap ‘kini’ mengenggam yang sudah lewat dan sekaligus menunjuk masa
depan yang masih akan datang. Dalam bahasa Husserl[12], setiap saat ber-retensi
(atau ber-reaktivitas) dan berpotensi, yakni menggenggam masa lalu dan
menjangkau masa datang. Retensi tidaklah mengingat-ingat yang sudah silam dan
kini tiada, tetapi keterarahan yang dulu itu ke yang kini, was gewesen ist
(Heiddegger)[13]. Masa lalu hadir dimasa kini. Secara prinsip, masa lalu berkaitan
erat dengan masa kini. Demikianlah pula halnya dengan masa datang. Keterarahan
yang kini dan yang akan datang tidaklah sesuatu yang berada diluar kini. Masa
kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Pengalaman menunjukkan bahwa masa
datang, sebagaimana masa lalu, secara actual hadir dimasa kini. Masa lalu dan
masa datang tersebut secara nyata ikut menentukan yang kini kita kerjakan.[14]
Jadi maksud historikalitas Manusia adalah; 1) Hakikat
manusia yang menunjuk kenyataan bahwa manusia tidak dapat direduksi menjadi
atau disamakan dengan benda alami. 2) Pengalaman juga tidak statis, melainkan
merupakan perjumpaan, suatu dialog yang tak habis-habisnya dengan suatu dunia
yang nampak pada kita sebagai suatu cakrawala yang membuka
perspektif-perspektif yang tak terbatas jumlahnya, dan hal ini pula yang
memungkinkan terjadinya intersubjektivitas dari berbagai kesadaran yang
berbeda. 3) Menunjukkan kenyataan bahwa persepsi tidak pernah dapat
disederhanakan menjadi kehadiran yang memberi kesan indrawi yang saling tidak
berhubungan, karena yang riel senantiasa mengartikan yang lain, saling
menjelaskan. 4) Secara fundamental menunjukkan kenyataan bahwa kebenaran secara
ontologism, bagaimanapun, adalah suatu peristiwa, maka kebenaran hakikatnya
terbatas, tidak lengkap, dan sementara, maka juga tidak pernah definitive,
tidak pernah merupakan kata akhir. Kebenaran yang lebih benar selalu mungkin
terungkap terus. [15]
Bahasa dan Berkebenaran[16]
Pikiran dan bahasa, sesungguhnya, merupakan tempat
terjadinya peristiwa realitas. Dengan berpikir manusia menyelesaIkan peristiwa
tersebut. Berpikir berarti membiarkan realitas terjadi sebagai peristiwa
bahasa. Realitaslah yang lebih dulu pada mula pertamanya merupakan sumber dan
asal mula pikiran. Oleh sebab itu berpikir adalah menerima, dan berterima kasih.
Tugas pemikir adalah menjaga terjadinya peristiwa
realitas dengan penuh kesayangan. Dalam berpikir manusia bukan penguasa, tetapi
pengawal realitas. Tiada kata final bagi realitas. Realitas tetap senantiasa
merupakan suatu proses kedatangan serta suatu proses pemberian, sedangkan
berpikir senantiasa merupakan suatu proses berterima kasih. Proses perjalanan
kebahasa adalah juga proses perjalanan ke berpikir. Kenapa begitu?
Karena realitas adalah dan tetap senantiasa berupa ‘hal
yang tak kunjung habis dipikirkan’ dan ‘hal yang tak kunjung selesai
dikatakan’. Demikianlah berpikir bukan pilihan semaunya pihak pemikir. Pikiran
bahkan bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu, yang menerpa,
menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita..
Jadi pada dasarnya berpikir adalah suatu tanggapan.
Realitas butuh manusia. Tetapi manusia bukan penguasa realitas, melainkan
gembala dan pengawal realitas. Pikiran kita diundang realitas untuk menjawabnya..
Jadi realitas sebagai pembangkit kegiatan berpikir
merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan berpikir sebagai jawaban terhadap kata
suara realitas mencari ungkapannya yang tepat sehinga realitas dapat menjadi
bahasa, dan selanjutnya dapat dikomunikasikan. Bahasa adalah jawahan manusia
terhadap panggilan realitas kepadanya.
Dalam berkata yang benar-benar, realitas di-kata-kan.
Dengan berpikir dan berkata, manusia meng-kata-kan realitas, dan baru di dalam
peng-kata-an inilah realitas dapat tampil dan tampak. Begitulah pikiran-bahasa
dan realitas senantiasa tidak berjauhan, senantiasa berkumpul. Tiada pikiran
dan bahasa tanpa realitas, tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa. Demikianlah
konsep tentang berpikir yang tidak dibatasi oleh dinding-dinding konvensi.
Berpikir yang pada hakikatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak berhenti
pada pola-pola, pada teori-teori, pada tembok-tembok system. System-sistem
justru sering harus diterobos untuk dapat mendengar suara realitas secara lebih
cermat.
Sistem (juga sistem yang terbuka) mempunyai ciri
totalisasi transformasi, dan autoregulasi (cf. Jean Piaget)[17] yang memiliki
logika validasi dan pola justifikasi yang tertentu pula. Perlu disadari kiranya
bahwa setiap sistem tidak menyukai keterbukaan, ia hakikatnya tertutup. Maka
untuk benar-benar berpikir, ketentuan ketentuan tersebut perlu terus
dipertanyakan dan diterobos.
Meskipun memperhatikan, pikiran yang benar-benar
berpikir tidak terikat pada jawaban-jawaban tertentu. Pikiran, bilamampun,
harus dipertahankan kemerdekaannya untuk ‘membedah’ sistem, untuk menganalisa
serta menguji keteguhan prinsip yang dipakai dengan orientasi; urusan pokok
dalam bérpikir adalah tampak dan tampilnya realitas. Sistem bukan ha! yang
membuat sesuatu benar. Suatu benar (baik) bukan karena ditetapkan, tetapi
karena benar (balk) maka ditetapkan.
Maka sesuatu itu benar (baik) bukan karena dibeni
sistem Bahkan hanya sesudahnya dilakukan pandangan yang mendasa terhadap
realitas, suatu sistem yang sesuai ditumpangkan. Hal in pun senantiasa harus
ditinjau kembali, sebab pandangan (mendasar) tentang realitas tidak pernah
final. Dimensi-dimensi baru, hal-ha baru yang lebih tepat, senantiasa dapat
tampak dan tampil. Maka sistem yang ada juga harus dibongkar. Begitu
seterusnya, demi terungkapnya realitas secara semakin lebih tuntas, yang
hakikat nya juga berarti semakin terungkapnya kadar realitas eksistensi manusia
sendiri.
Manusia hendaknya tunduk kepada pikiran yang lebih balk
karena pikiran yang lebih baik lebih meng-kata-kan realitas, lebih
mengungkapkan kadar kebenaran realitas.
Adanya kebenaran formal tidak boleh diingkari.
Pengingkaran terhadap setiap kebenaran formal adalah suatu anarki. Tetapi
hendaknya selalu diinsafi bahwa realitas tidak pernah habis dipikirkan dan
tidak pernah habis dikatakan. Senantiasa terdapat suatu dunia yang lebih balk
yang menanti untuk dibangun.
Apakah hakikat berpikir?
Bilamana pembicaraan di atas telah diikuti dengan
saksama, maka berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir
dengan menghitung yang hakikatnya pemikiran hanya berhenti pada aspek
kuantitatif dan realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas.
Dalam terminology sehari-hari dipakal istilah ratio, yang berasal dari kata
Latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dan
realitas tidak mungkin tenjangkau lewat berpikir dengan menghitung. Berpikir
yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan,
membayangkan. Dalam berpikir dengan menvisualisasikan terkandung asumsi bahwa
segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi
dasar bahwa the real is the physical..
Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan
berpikir menjeIaskan, karena defacto berpikir dengan menjelaskan sekadar gerak
pikiran di antara batas-batas yang sudah ditetapkan. Rasionalitas, logika
validasi, metode-metodenya, sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekadar
menggiring pikiran ke jalur tersebut.
Berpikir dengan menghitung, berpikir dengan
memvisualisasikan, berpikir dengan menjelaskan, adalah bentuk-bentuk berpikir,
tetapi sekadar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir. Berbagai
realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak
hal tidak akan tampak dalam gaya-gaya berpikir secara menghitung,
memvisualisasikan atau secara menjeIaskan.
Anti realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan
semestinya. Reahtas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran
tersebut tidak memungkinkan untuk memikirkan pertanyaan tentang hakikat
realitas, hakikat manusia. Jelas kiranya bahwa berpikir yang benar-benar
berpikir bukan bergerak diantara batas-bata yang sebelumnya sudah dipastikan,
tidak bertujuan untuk meredam, menguasai, memaksakan kekuasaan (teori-teori,
metode-metode, sistem-sistem, dan sebagainya) pada realitas.
Realitas bukan hasil pikiran, dan bahasa bukan alat.
Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa reaitas. Berpikir
adalah tanggapan, jawaban, bukan sikap objektivistik dan sikap mengambil jarak.
Dan bahasa berkaitan erat dengan peristiwa menyampaikan arti. Bahasa adalah
jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya
Berpikir tidak konseptual
Bagaimana kita berfikir tidak konseptual? Bukankah itu
contradiction in terminis. Bukankah kata pada dasarnya tidak terpisahkan dari
konsep? Memang itu ada benarnya, tetapi bila kita berfikir konseptual maka
sekalipun sebagai orientasi, kearah perspektif atas fenomena, konsepsi atau
konseptualisasi, karena ditentukan batas-batasnya secara cermat dan rasional de
facto senantiasa membendung peristiwa penyingkapan realitas. Bicara benar (vere
loqui) akhirnya menjadi hanya bicara lurus, sesuai dengan batas-batas (recte
loqui). Kesulitannya berfikir tidak konseptual, karena umum memandang bahasa
sebagai alat, sebagai objektivasi. Padahal ada fungsi lainnya.
Ada tiga konsep berfikir sesuai dengan 3 konsep
berkebenaran. 1) Idealisme yang mengatakan; yang ada adalah yang dimengerti
(esse est percipi), tidak dimengerti adalah yang tidak dipikirkan, berarti ada
ada. Maka konsep atau ekspresi konseptual adalah (yang) ada itu sendiri. Ide
adalah realitas dan realitas adalah ide. 2) Pola empiris, karena kesadaran
manusia adalah tabula rasa, maka konsep, atau juga pengetahuan konseptional
adalah pencerminan realitas, atau Copy. 3) Bendasarkan pertimbangan pragmatis,
kebenaran suatu teori tidak hanya terdiri dan suatu penggambaran kenyataan
secara tepat, tetapi juga diarahkan pada kegunaan praktis. Rasionalitasnya:
pengetahuan adalah pasti manakala Anda dalam praktek dapat memakainya. Benar adalah
bila operasional; pengetahuan adalah suatu alat, dibutuhkan untuk berbuat tanpa
mempunyal pretensi lebih lanjut. Demikianlah minat orang tidak terarah kepada
peristiwa tampak dan tampilnya realitas lewat pikiran dan bahasa yang defacto
tidak pernah selesaj atau final, tetapi terpusat pada kesibukan memikirkan
kesesuaian dunia; ideanya dan dunia sebagai titik akhir perjumpaan yang
hakikatnya selalu berbeda. Lalu apa berpikir tidak konseptual itu?
Berpikir tidak konseptual[18] berarti tidak memikirkan
bahasa sebagai terdiri dan atau sebagai senantiasa mencari konsep yang dibatasi
dengan-jelas-dan-secara-rasional-ditetapkan. Dengan mengartikan bahasa sebagai
konsep-yang-dibatasi artinya secara-jelas dan ditetapkan-secara rasional, maka
serba statis dan terkotak..kotak dengan sendirinya kejelasan dapat dijamin.
Tetapi berpikir seperti itu adalah berpikir secara pemaksaan pada realitas.
Inisiatif realitas ditiadakan.
Perlu selalu disadari bahwa pikiran bukan pertama-tama
perbuatan kita, tetapi sesuatu yang menerpa menjumpai kita manakala realitas
mengungkapkan diri pada pikiran kita.Di dalam kenyataan, suatu konsep adalah
peristiwa kejernihan atau penyelubungan suatu hal. Dengan demikian sejarah
(historikalitas) merupakan hahekat suatu konsep. Realitas bukanlah suatu konsep
yang pasti, melainkan suatu peristiwa yang terjadi pada kita, sesuatu yang
menjadi terang pada diri kita. Berbaga! pandangan tentang realitas yang telah
dipakai selama berabad-abad niscaya merupakan hasil cara realitas menampakkan
diri dalam berbagai kesempatan. Ekspresi konseptual seharusnya tidak dipandang
dan diperlakukan sebagai ekspresi sempurna dari terminus perjumpaan (karenanya
menjadi konseptualisasi statis yang siap untuk dianalisa), tetapi niscaya
dipandang dan diperlakukan sebagai suatu perspektif (abschattung), sebagai
artikulasi realitas dalam prosesnya untuk membahasa. Kegiatan berpikir adalah
jawaban terhadap kata suara realitas, mencari konsep ungkapannya yang tepat
sehingga realitas dapat menjadi bahasa. Arti senantiasa lebih luas dan yang
mungkin diungkapkan dalam ekspresi konseptual atau diungkapkan secana verbal.
Dalam ekspresi konseptual, segala sesuatu yang tercakup di dalamnya bergerak
dan menari berdasarkan petunjuk-petunjuk rasional cermat si konseptor misalnya
ilmuwan. Ekpresi konseptual tidak dihuni oleh kenyataan-kenyataan yang
benar-benar riel, tidak dihuni oleh manusia-manusia yang hidup menyejarah
terdiri dan daging dan darah dengan segala emosi dan intuisinya.
Demikianlah secara sangat singkat dan padat pembicaraan
kita tentang hakikat bahasa dan pikiran. Kendati kita telah terpolakan dalam
cara-cara berpikir dan logika tertentu, berpikir yang benar-benar berpikir
pantang dilupakan. Orientasi-onentasi di atas mutlak perlu disadari di dalam
praksis cara-cara berpikir dan logika yang hanya tukilan dari benpikir yang
benar-benar berpikir. Jika tidak, taruhannya akan terlalu serius.
[1] Drs.
W.Poespoprodjo,L.Ph.,S.S. “Logika Sientifika”, Remadja Karya, Bandung, 1985,
hal 3.
[2] Ibid, hal 5.
[3] Logika hanya menyangkut “prosedur” kebenaran, bukan isi
kebenarannya. Sebagai contoh; 1) Semua manusia pasti mati (Benar), Si ali
manusia (Benar), maka kesimpulannya; Si ali pasrti mati (benar). Ini benar
secara logika formal. 2) Setiap yang Ada, ciptaan Tuhan (banar), Kejahatan atau
Keburukan itu ada (benar), maka kesimpulannya; Keburukan atau kejahatan ciptaan
Tuhan (Apa ini Benar?). Inilah masalah dalam logika formal, karena dia tidak
mengindahkan isi dari pernyataan-pernyaan itu. Untuk kritik dan penjelasannya,
lihat Hossein Ziai, “Suhrawardi & Filsafat Iluminasi, Pencerahan Ilmu
Pengetahuan”, Khususnya bab II, Logika dalam filsafat Illuminasi, Zaman,
Bandung, 1998.
[4] Secara sederhana, Manusia itu tidak mungkin dapat mengetahui, kalau
dia tak punya pikiran atau intelek. Dan ia tak mungkin tahu bahwa ia tahu dan
mampu mengetahui kalau dia tidak sadar akan dirinya. Jadi pernyataan Descartes;
“saya berfikir maka saya ada”, sebenarnya kurang tepat. Sebab saya berfikir,
sebenarnya sudah mengasumsikan “ke-saya-annya (sadar dirinya ada). Oleh karena
itu yang benar adalah; kita ada (sebagai kesadaran langsung, terberikan,
Istilah filsafat islamnya, “Ilmu Khuduri). Kemudian untuk mengaktifkan intelek
selanjutnya, perlu dukungan, support dari indra (baik eksternal atupun
internal). Lihat, Mehdi Ha’iri Yazdi, “Ilmu Khuduri, Prinsip-prinsip
Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Mizan, Bandung, 1994.
[5] Ibid, Poespoprodjo, hal 55.
[6] Banyak teori tentang ini. Salah satunya dikemukakan oleh Mulla Sadra
yang mengatakan “ ada kemungkinan perubahan dari materi ke non-material”
perubahan ini dilakukan dengan cara “gerakan evolusi substansial”, atau “al
harakhar al jauharriyyah”. “tidak ada dinding atau selaput antara yang alami
dan adi-alami, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi wujud material
untuk berubah menjadi wujud ekstramaterial (nonmaterial) melalui suatu evolusi
bertahap. Hakikat hubungan kehidupan dan materi, atau antara ruh dan jasad,
adalah lebih alamiah dan lebih substansial ketimbang yang mereka (Plato dan
aristoteles) duga, kata Sadra. Hubungan keduanya adalah seperti hubungan antara
suatu wujud dengan tahap perkembangannya terhadap wujud yang sama dengan tahap
perkembnagan yang lebih lemah dan lebih rendah tingkatannya. Atau lebih
tepatnya, seperti hubungan antara satu dimensi terhadap dimensi lainya.
Maksudnya, materi dalam tranformasi dan evolusinya berkembang dalam suatu arah
baru selain dari tiga dimensi fisik atau ruang dan selain dari dimensi waktu
yang dengannya gerak essensial dan substansial dikuantifikasi. Arah baru itu
terlepas dari keempat arah lainnya, arah ruang-waktu… materi menemukan arah
baru dimana ia sepenuhnya melepaskan sifat materialitasnya. [Diambil dari: Seri
Muttahari, Murtadha Muttahari, “Ruh, Materi dan Kehidupan”, Mizan, Bandung,
1993, hal15-16]. Kritik terhadap teori ini dan pembahasan falsafah gerak, lihat
Baqir Sadr, “Falsafatuna”, Mizan, Bandung, 1991, tentang, “Gerak Perkembangan”,
hal 152 -171, khususnya hal 157. Sedangkan dari Immaterial ke Material,
diterangkan oleh Ibn Sina dengan akal ke 10-nya.
[7] Op cit, hal 55.
[8] Bagaimana dengan konsep Tuhan? Apakah isinya tetap tergantung pada
indra? Apakah tidak mungkin ada konsep yang lepas sama sekali dari indra? Dia
(Allah) adalah Muhalafatu lil hawadish (berbeda dengan apapun dialam). Bahkan
surga dan neraka saja dikatakan, tidak pernah manusia pikirkan, bayangkan.
Bagaimana bahasa Tuhan bisa sampai dan terfahami oleh manusia? Apa masalahnya?
Akan kita bicarakan ditempat lain. [bisa dilihat di, Muhammad Ja'fari, “Wahyu,
Bahasa, dan Paradoks Eksistensial,. Jawa Pos, 16/03/2003. juga buku-buku
Fritcouf Schoun (Muhammad Isa Nuruddin), “Understanding Islam”, dan lain-lain.
[9] Lihat secara lengkap dalam; Dissertasi Osman Bakar, “Khirarki Ilmu,
Membangun Kerangka Pikir Islamisasi Ilmu”, Mizan, cet-I, 1997. hal 106-110.
[10] Dimana sebagaian besar mensyaratkan itu sebagai kebenaran. Kebenaran
didefinisikan sebagai kesesuaian Subjek yang mengetahui atau menunjuk dengan
objek yang diketahui atau ditunjuk. Lihat Loren bagus, “Kamus Filsafat”,
Gramedia, Jakarta, 1996. Entri “K” , Kebenaran, hal 412.
[11] Definisi dan pembagian-pembagiannya, Bagus, op cit, entri
“Fenomenologi”, hal 234.
[12] Edmund Husserl dan Fenomenologi, lihat K. Bertens, “Filsafat Barat
Abad XX (Inggris-Jerman), Gramedia, Jakarta, 1990, hal 94. Maurice
Merleau-Ponty dan Fenomenologi, juga K. Berten, Filsafat Barat Abad XX, Jilid
II (Prancis), Gramedia, Jakarta, 1996, hal 124.
[13] Bagus, op cit, hal 237.
[14] Apa yang kita alami sekarang, pasti kita hubungkan, dipengaruhi
kesannya, intrepretasinya, sudut pandangnya oleh masa lalu, juga oleh proyeksi,
kesempatan, target, keinginan dan lain-lain masa datang. Artinya apa yang kita
alami sekarang, menunjukkan jejak-jejak masa lalunya dan mengantisipasi arah
masa depannya.
[15] Poespoprodjo, hal 63.
[16] Diringkaskan dari buku Ibid, hal 66-74, dengan berbagai modifikasi
dan komentar.
[17] Lihat buku j. Piaget, “Strukturalisme”, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1995, kata pengantar hal viii, dan bab 1, hal 1-12.
[18] Idea adalah kata dari bahasa Yunani eidos, yang berarti ‘yang orang
lihat’, ‘penampakan’, ‘bentuk’, ‘gambar’, ‘rupa’ yang dilihat. Intelek (akal
budi) manusia melihat benda melalui ‘gambar’-nya yang terdapat didalam intelek
tersebut. Oleh karena itu representasi atau wakil benda yang terdapat didalam
intelek disebut idea. Jadi melalui dan didalam idea intelek melihat onjek.
Sedangkan hal yang kita ketahui ( id quod per se primo intelligitur) adalah
idea atau konsep onjektif.
Sedangkan konsep berasal dari kata latin: concipere,
yang artinya mencakup, mengandung, mengambil, menyedot, menangkap. Dari kata
concipere muncul kata benda conceptus yang berarti tangkapan. Intelek manusia,
apabila menangkap sesuatu, terwujud dengan membuat konsep. Jadi konsep dan idea
itu sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar