Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Esensi Al-Qur'an dan Wahyu ; Ridwan, MA

Esensi Quran dan Wahyu
Sebagaimana pengakuan al-Qur’an bahwa wahyu merupakan sebuah hakikat dan kebenaran dan dalam beberapa ayat al-Qur’an hal tersebut dinisbahkan kepada Nabi saw. Akan tetapi, al-Qur’an, dalam menjelaskan esensi wahyu, hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak memaparkan sedetail mungkin. Al-Qur’an menyatakan: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Qs. asy-Syu’araa’ ayat 192-194)
Dalam ayat lain menyatakan: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Baqarah ayat 97)
Kedua ayat ini mengisyaratkan salah satu karakter penting wahyu, yaitu wahyu langsung turun  ke qalbu (hati) Nabi saw dan dikatakan bahwa Jibril as membawa al-Qur’an dan menyampaikan langsung ke dalam qalbu Nabi saw.
Merupakan perkara badihi (aksioma) bahwa bentuk pengajaran seperti ini berbeda dengan bentuk atau sistem pengajaran-pengajaran pada umumnya, karena ilmu husuli  manusia diperoleh melalui media panca indera. Pada mulanya dia, melalui indera ini, menjalin hubungan dengan dunia luar, kemudian apa saja yang diperoleh dari dunia luar masuk ke dalam indera musytarak, forma-forma yang ada dalam daya khayal serta makna-makna yang bersifat partikular dapat ditangkap atau dipahami melalui daya delusive (wahm), dan menyatu di dalam daya memori (haafizh). Ketika itu daya akal, dengan argumentasi dan dengan bentuk silogisme, memperoleh ilmu-ilmu husuli. Dan pada akhirnya masuk ke dalam hati dan jiwa  (nafs).
Sementara al-Qur’an menyatakan bahwa wahyu memiliki bentuk khusus dan berbeda, karena pada mulanya hakikat-hakikat ilmu itu secara langsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi saw dan dari sini memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Allamah Thabathabai Qs, dalam menafsirkan ayat di atas, menuliskan: yang dimaksud dengan qalb adalah nafs (jiwa) manusia, yang mana dia merupakan tempat berpijak dan media untuk menangkap dan memahami berbagai macam ilmu. Mungkin yang diinginkan dari menggunakan gaya pengucapan seperti ini: Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad), dan tidak menggunakan kata ‘alaika  adalah untuk sekedar mengisyaratkan ihwal kebagaimanaan dalam memperoleh wahyu al-Qur’an. Yakni penyampaian wahyu langsung ke dalam hati dan jiwa Nabi saw tanpa ada intervensi alat indera. Oleh karena itu, Nabi saw menyaksikan langsung malaikat dan mendengar wahyu, tanpa harus menggunakan panca inderanya. Karena kalau wahyu itu bisa dilihat dengan mata kepala dan didengar dengan telinga biasa, maka orang-orang yang hadir ketika wahyu itu turun akan menyaksikan dan mendengarkan pula suara malaikat Jibril as. Padahal tidak demikian adanya.[1]
Dalam tafsir Ruhul Bayan, yang dinukil dari kitab Kasyful  Asrar,  dinyatakan bahwa: ketika wahyu turun kepada Nabi saw, mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi saw, karena beliau saw sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi saw. Dan ini merupakan sebuah tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah menuju ke maqam yang lebih tinggi. Dan betapa sebuah perbedaan yang begitu jauh antara keduanya.[2]
Oleh karena itu, wahyu merupakan sejenis ilmu yang sungguh luar biasa dan menakjubkan serta diperoleh melalui cara yang tidak biasa. Penyampaiannya tidak sama dengan penyampaian yang ada pada pengajaran-pengajaran yang terjadi di masyarakat umum dan juga metode tafakkur dan struktur silogisme yang  digunakan untuk memperolehnya sangat berbeda. Bahkan merupakan refleksi lansung seluruh hakikat ilmu ke dalam hati nurani dan qalb Rasulullah saw, dan memperolehnya merupakan sebuah kondisi perasaan atau persepsi batin yang berbeda dengan apa yang ada pada umumnya.
Allamah Thabathabai Qs menuliskan: “Para psikolog tidak ragu bahwa manusia memiliki unsur kesadaran jiwa dan batin yang mana nampak di sebagian pribadi-pribadi manusia dan dengan hal itu, terbukalah pintu alam gaib baginya. Dan dalam kondisi tersebut, tersingkaplah baginya berbagai ilmu dan pengetahuan yang mana ilmu dan pengetahuan tersebut lebih baik dan lebih tinggi dari pengetahuan yang diperoleh dari hasil berfikir. Sekelompok ilmuan dalam bidang ilmu jiwa dan juga para ilmuan Eropa seperti James dari inggris serta yang lain memaparkan akan adanya aspek kesadaran seperti ini. Oleh karena itu, wahyu yang turun kepada Nabi saw bukanlah berupa sebuah hasil tafakkur akal”.[3]
Di tempat lain beliau juga menuliskan: “Dari aspek ini tidak diragukan lagi bahwa wahyu merupakan sebuah perkara yang luar biasa, sejenis persepsi dan kesadaran batin yang mana indera kita tidak bisa mencapai hal itu, namun akal tidak bisa menafikan dan tidak bisa memustahilkan keberadaan perkara yang luar biasa seperti ini”.[4]  
Ada satu lagi ciri khas wahyu yaitu menyaksikan malaikat melalui hati mulia Nabi saw, sebagaimana yang diisyaratkan ayat al-Qur’an beriktu ini:
“Maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa”,  ru’yat al fuaad disini dinisbahkan kepada hati dan jiwa yaitu yang dimaksud adalah menyaksikan malaikat Jibril as melalui perantara jiwa dan hati. Kalimat-kalimat  seperti maa yaraa dan wa laqad ra’aahu nazlatan ukhra juga memiliki makna yang sama dengan kata di atas, yaitu penyaksian melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata bashara dalam kalimat maa zaagha al basharu memiliki makna mata hati. (Qs. An- Najm ayat 1-18)
Allamah Thabathabai, dalam menafsirkan ayat di atas, menuliskan bahwa: “Makna maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa adalah apa yang disaksikan Nabi saw dengan qalbunya merupakan sebuah kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan ru’yat kepada penyaksian melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan lumrah, karena manusia, selain memiliki persepsi melalui indera lahiriah dan daya pikir serta  kemampuan berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi yang mana hal itu bukan indera lahiriah dan juga bukan indera batin. Kita dapat merasakan atau memahami dalam diri ini terdapat hal-hal seperti mendengar, mencium, mengecap, dan meraba dan demikian juga kita menyaksikan adanya daya khayal dan tafakkur dalam diri ini, padahal kita tahu bahwa indera lahiriah dan batiniah kita tidak turut campur tangan di dalam persepsi ini.
Dan begitu pula forma-forma, yang dengan melalui daya-daya itu, bisa ditangkap dan dipahami dan kita juga memahami tentang cara kerja persepsi tersebut, namun pemahaman dan persepsi kita itu bukan melalui daya-daya tersebut, akan tetapi melalui perantara nafs (jiwa) yang mana ayat yang disebutkan di atas mengistilahkannya dengan fu’aad. [5]
Wahyu dalam Hadis
Sangat disayangkan karena kita tidak memiliki hadits-hadits yang menjelaskan tentang esensi wahyu secara baik. Dalam kesempatan ini kita hanya sekedar mengisyaratkan saja. Diantaranya:
Harits bin Hisyam mengutarakan pertanyaan kepada Nabi saw: “Bagaimana wahyu itu datang kepada anda? Beliau menjawab: Terkadang dimulai dengan suara yang menyerupai suara gemerincing (bel), dan ini bentuk wahyu yang paling berat. Ketika suara itu terputus, apa yang telah disampaikan dan dikatakan langsung ada dalam memori saya. Terkadang juga malaikat datang kepada saya dengan menyerupai seorang laki-laki dan berkata kepadaku. Lalu saya menghafal apa yang dikatakannya”.[6]
Abdullah bin Umar berkata: Saya mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah saw: Apakah anda merasakan wahyu itu? Beliau saw menjawab: Iya, saya merasakannya sama seperti suara gemerincing (bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang kepadaku, karena begitu dahsyatnya, saya mengira nyawa dan ruhku telah melayang.[7]
Dari kedua hadits ini, dapat dipahami bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai dengan terdengar suara yang menyerupai suara gemerincing (bel), dan ini merupakan jenis wahyu yang paling berat. Dan kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma sesuatu (misalnya menjelma seperti seorang pemuda) dan berbicara.
Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat tiga bentuk wahyu dan percakapan Allah swt dengan Nabi saw, sebagaimana yang diisyaratkan al-Qur’an:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Syuura ayat 51)
 1. Bentuk pertama; percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantara antara Allah swt dengan Nabi Muhammad saw. Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata illaa wahyan. Percakapan Allah swt pada bentuk kedua  diukur atau dibatasi dengan kalimat min waraai hijaabin pada ayat tersebut dan pada bentuk ketiga diukur atau dibatasi oleh kalimat auw yursila rasuulan, berbeda dengan bentuk pertama illa wahyan yang mana tidak memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan demikian, ia merupakan sebuah percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta tanpa ada media perantara. Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi saw – sedang terjaga (terbangun), sebagaimana yang telah dijelaskan tadi. Dan kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari sebagian hadits dapat dipahami bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah bentuknya seperti berikut; yaitu ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan diwahyukan dengan sangat jelas ke dalam hati dan kalbu mereka ketika mereka sedang dalam keadaan tidur dan mereka, para nabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat dan kebenaran tersebut.
Sebagian dari para nabi, pada awal mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk sepeti ini; yaitu secara bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam bentuk mustaqim (langsung). Imam Baqir As bersabda: “Bentuk (penerimaan wahyu) para nabi itu ada lima: sebagian dari mereka (kelompok pertama) mendengar suara wahyu itu sama seperti suara rantai besi, dan dengan wasilah ini mereka mendapatkan dan memahami makna-makna dan materi-materi pokok; sebagiannya lagi (kelompok kedua) memperoleh wahyu dalam keadaan sedang tidur, seperti Nabi Yusuf As dan Nabi Ibrahim As; sebagian lagi (kelompok ketiga) memperoleh wahyu dengan melihat dan menyaksikan malaikat pembawa wahyu; kelompok keempat dan kelima adalah mereka yang seluruh hakikat ilmu pengetahuan itu disampaikan melalui hati dan kalbu atau telinga mereka”. [8]
Zurarah bertanya kepada Imam Baqir As: “Siapakah yang dimaksud rasul, nabi, dan muhaddats? Beliau As menjawab: Yang dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As dalam bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan Nabi adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang disaksikan Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi Muhammad saw sebelum bi’tsah  sampai ketika Jibril As datang dari Allah swt membawa wahyu untuk beliau saw. Ketika terjadi integrasi antara maqam kenabian dan risalah kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau dan berbicara kepadanya. Sebagian para nabi didatangi malaikat ketika sedang tidur dan berbicara serta bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya ketika terjaga. Adapun muhaddats adalah orang yang diajak bicara dan dikatakan sesuatu (hadits) kepadanya lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia tidak menyaksikan dan melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang tertidur”.[9]
Adapun ihwal Nabi saw, beliau saw sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai macam hakikat dan kebenaran, yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah berkata: Paling pertama dari tahap kenabian Muhammad saw, ketika Allah swt menghendaki kemuliaan dia dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau saw tidak bermimpi kecuali yang dilihat itu adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang terang.[10]
Halabi menuliskan: Wahyu yang turun kepada Nabi saw dimulai dengan cara lewat mimpi sampai pada saat beliau saw siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu darinya, karena menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima wahyu adalah sebuah perkara yang sangat sulit dan berat[11]. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan oleh Amirulmukminin Ali As: Mimpi para nabi As adalah salah satu bentuk wahyu. [12]
Tentunya mimpi para nabi As dengan mimpi manusia biasa memiliki perbedaan yang sangat jauh. Mimpi para nabi merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam hakikat dan kebenaran secara jelas dan terang; yang mana hal tersebut memiliki kesesuaian dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan dan godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya selalu terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah saw bersabda: Mata kami tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami selalu terjaga dalam segala kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada dibelakang sama seperti kami menyaksikan apa yang ada di depan kami”. [13]      
2. Bentuk kedua; wahyu datang dari balik tabir, yang dalam istilah al-Qur’an disebut min waraai hijaabin. Pada bentuk wahyu ini, Allah swt berbicara dengan Nabi saw tanpa perantara malaikat. Nabi saw pun mendengar kalam Allah swt, namun kalam Allah swt itu muncul dari sebuah tempat khusus atau sesuatu yang khusus. Seperti yang terjadi pada Nabi Musa as ketika berdialog dengan pohon.
Al-Qur’an mengatakan: “Maka ketika dia (Musa) sampai ke (tempat) api itu, dia diseru dari arah pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi, “Wahai Musa! Sungguh, Aku adalah Allah, Tuhan seluruh alam.”  (Qs. Al-Qashash ayat 30)
Seperti yang anda saksikan pada ayat di atas bahwa Allah swt berbicara melalui pohon tersebut. Pada dasarnya suara itu, tanpa perantara malaikat as, bersumber dari Allah swt, akan tetapi kedengarannya datang dari pohon tersebut.
Allamah Thabathabai (qs) menuliskan: Pada bentuk wahyu ini terdapat sebuah perantara yang dikenal dengan istilah hijab atau tabir, namun media ini tidak berbicara, tapi suara itu muncul dan terdengar dari balik hijab atau tabir tersebut. Perlu dicatat bahwa yang dimaksud di balik tabir disini bukan di belakang kita, akan tetapi yang dimaksud adalah di luar sesuatu dan meliputi hal tersebut; sebagaimana yang disebutkan oleh al-Qur’an: wallahu min waraaihim muhith .[14]
3. Bentuk Ketiga; bentuk wahyu yang ketiga ini terjadi melalui perantara malaikat Jibril As, sebagaimana yang diisyaratkan ayat auw yursila rasulan fayuuhiya bi idznihi maa yasyaau  pada awal pembahasan.
Pada bentuk wahyu ini, hubungan antara Allah swt dengan nabi terjalin melalui perantara malaikat Jibril As. Malaikat Jibril As datang dari sisi Tuhan membawa ilmu pengetahuan, makrifat, serta pesan-pesan Ilahi, kemudian disampaikan ke dalam hati mulia nabi dan nabi pun mendengarnya melalui hati.
Harits bertanya kepada Nabi saw: Bagaimana wahyu itu turun kepada anda? Nabi saw bersabda: Kadang saya mendengar suara seperti suara gemerincing bel, dan ini sangat berat bagi saya. Ketika kondisi seperti ini berlalu, pesan yang disampaikan itu ada dalam hafalan saya. Dan kadang malaikat pembawa wahyu datang kepadaku dalam bentuk seorang laki-laki dan berdialog denganku. Dan aku merekam dan menghafal segala apa yang disampaikannya.[15]
Imam Shadiq As berkata: Bahwa ketika Jibril as turun kepada Nabi saw, malaikat Jibril As duduk seperti hamba ketika berhadapan dengan beliau saw dan tidak akan masuk tanpa izin dari beliau saw.[16]
Kadang malaikat Jibril as menyerupai seorang manusia yang berparas tanpan ketika turun kepada beliau saw dan hal ini paling sering terjadi dan kadang datang dalam bentuk aslinya, tapi hal ini jarang terjadi; paling tidak dua kali atau lebih. Pertama kali hal ini terjadi di saat wahyu pertama turun kepada Nabi saw di Goa Hira. Nabi saw melihat malaikat Jibril as dalam sebuah bentuk yang memenuhi antara timur dan barat, dan Nabi saw pingsan ketika menyaksikannya, lalu Jibril as menjelma menjadi manusia biasa dan merangkul Nabi saw, kemudian Nabi pun tersadar kembali.[17]
Kedua kalinya terjadi atas permintaan Nabi saw sendiri. Beliau saw meminta kepada Jibril as untuk menampakkan bentuk aslinya. Jibril as berkata: Anda tidak memiliki kemampuan untuk menyaksikannya. Beliau saw berkata: Saya senang dengan hal itu. Kemudian Nabi saw pergi ke mesjid pada malam bulan purnama. Lalu Jibril as menampakkan diri kepada beliau saw dalam bentuknya yang asli. Nabi saw pingsan ketika melihatnya tetapi kemudian beliau saw sadar.[18]
Perlu dipahami bahwa malaikat Jibril as -pada silsilah tahapan atau tingkatan nuzulul wahyu- memiliki dua maqam, yaitu maqam tabiat (natural) dan maqam hakikat (realitas). Ilmu pengetahuan dan makrifat yang datang dari sisi Allah swt harus melalui dan menempuh cara ini, dan bahkan juga dalam hal wahyu yang langsung dari Allah swt. Perbedaan tahapan-tahapan wahyu berada pada kadar tinggi dan naiknya jiwa dan nafs  Nabi saw. Kadang Nabi saw naik ke tingkat maqam malaikat wahyu, lantas beliau saw menyaksikan malaikat Jibril as dan mendengar ucapannya. Dan kadang Nabi saw naik ke maqam yang lebih tinggi dari itu, sehingga beliau tidak lagi menyaksikan malaikat Jibril as dan beliau saw mendengar ucapan itu langsung dari Allah swt. Namun demikian Jibril as tetap sebagai perantara.
Allamah Thabathabai –mengenai hal ini– menuliskan: Wahyu dari balik tabir atau wahyu melalui perantara malaikat Jibril as tidak memiliki pertentangan dengan percakapan langsung Allah swt. Karena, wahyu merupakan perbuatan (fi’il) Allah swt dan sama seperti perbuatan-perbuatan lainnya; yang mana terjadi dengan sebuah perantara. Perbedaan pada bentuk-bentuk wahyu berkisar pada kadar perhatian dan atensi mukhathab (lawan bicara).  Kalau perhatian dan atensi Nabi saw tertuju pada malaikat pembawa wahyu Ilahi –yakni Jibril as–  maka kalam Ilahi itu akan diperoleh dari malaikat Jibril as. Dan kalau perhatian Nabi saw tidak tertuju pada malaikat Jibril as maka kalam Ilahi itu akan didengar secara langsung dari Allah swt. Dan kalau perhatiannya tertuju pada sesuatu yang bukan pembawa wahyu, seperti pada pohon (kasus) Nabi Musa as, maka beliau saw akan mendengar wahyu itu dari balik tabir. Namun demikian, kedudukan Jibril as sebagai perantara wahyu Ilahi tetap terjaga.[19]       
Malaikat Pembawa Wahyu
Agama-agama samawi menerima dan meyakini akan keberadaan sebuah makhluk yang bernama malaikat dan para nabi mengetahui akan keberadaan mereka itu. Dalam sistem alam semesta ini mereka memiliki tanggung jawab khusus masing-masing. Di dalam kitab-kitab suci samawi, seperti al-Qur’an, Injil, dan Taurat, mengisyaratkan akan wujud dan keberadaan mereka. Di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 88 ayat yang mengisyaratkan akan keberadaan para malaikat tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wujud semacam ini merupakan hal pasti dalam agama-agama samawi.
Hal yang bisa digunakan dari ayat dan hadits antara lain adalah:
1. Telah ada sebelum Nabi Adam as. Al-Qur’an mengatakan dalam surat al- Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
2. Sebagian dari malaikat dipilih sebagai rasul dan utusan. Al-Qur’an mengatakan dalam surat al-Hajj ayat 75:
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
3. Para malaikat mengitari arasy Allah swt. Al-Qur’an menyatakan dalam surat az- Zumar ayat 75:
“Dan (pada hari itu) engkau akan melihat malaikat beredar di sekeliling Arasy dengan bertasbih memuji Tuhan mereka…”
4. Mentaati segala perintah Allah swt. Al-Qur’an menyatakan dalam surat al- Anbiyaa ayat 26-27:
“Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak”, Maha suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”
5. Tidak maksiat. Al-Qur’an menyatakan dalam surat at-Tahriim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Dari hadits-hadits juga dapat digunakan bahwa para malaikat adalah sebuah wujud nurani dan non-materi dan non-jasmani, tidak makan, tidak minum dan tidak menikah, tidak punya bentuk  dan panjang lebar, tidak tidur, tidak lalai dan tidak lupa, keberadaannya tidak atas dasar dilahirkan dan jauh dari segala bentuk maksiat dan dosa. Mengenai ihwal ini, kita memiliki banyak hadits. Sebagian di antaranya adalah:
Imam Ali as, mengenai penciptaan malaikat, berkata:
“Para malaikat yang Engkau ciptakan dan Engkau beri tempat tinggal di atas langit, tidak lupa, lalai dan lemah, tidak berbuat dosa dan tidak durhaka. Mereka lebih mengenal Engkau dari pada makhluk-makhluk lain. Dan mereka lebih takut kepada-Mu dari pada makhluk-makhluk lain dan mereka itu paling dekat kepada Engkau dari pada makhluk lain. Dan mereka lebih mentaati segala perintah-Mu dari pada makhluk lain. Matanya tidak pernah terjangkiti rasa ngantuk, hati-hati mereka tidak pernah lalai, dan badan-badan mereka tidak pernah merasa letih dan lelah.  Mereka tidak tinggal di dalam rahim ibu. Mereka tidak tercipta dari air nutfah (mani) laki-laki”. [20]
Imam Shadiq as ditanya: Apakah malaikat juga makan dan minum serta menikah? Beliau as menjawab: Tidak, akan tetapi mereka hidup mengitari arasy.[21]
Oleh karena itu, malaikat merupakan makhluk non-materi dan non-jasmani, Tidak memiliki bentuk dan rupa sehingga bisa dilihat dan disaksikan oleh indera manusia.
Malaikat Jibril as
Salah satu malaikat terdekat Allah swt adalah malaikat Jibril as. Jibril adalah sebuah kata dan lafaz dari bahasa ibrani, yang berarti pemuda Ilahi, hamba Allah, dan kekuatan Ilahi.[22]
Jibril as adalah malaikat pembawa wahyu yang diutus oleh Allah swt untuk menyampaikan pesan dan wahyu Ilahi kepada nabi. Di dalam kitab al-Muqaddas dan kitab al-Qur’an  berkali-kali disebutkan nama malaikat Jibril as.
Dalam kitab Danial dikatakan: Saya, Danial, bermimpi dan menginginkan makna mimpi tersebut, tiba-tiba ada seseorang yang serupa dengan laki-laki berdiri dekat saya dan saya mendengar suara seorang manusia dari tengah-tengah sungai dengan berkata: Wahai Jibril beritahukanlah makna mimpi tersebut kepada laki-laki ini.[23]
Di dalam kitab itu pula tertulis: Ketika saya masih sedang berdoa, laki-laki itu (Jibril as) yang saya lihat dalam mimpi, terbang dengan cepat dan datang kepadaku serta berbicara dan berkata: Wahai Danial, sekarang saya datang kepadamu untuk menganugerahimu kecerdasan dan kepahaman.[24] Di dalam Injil Lukas tertulis bahwa: Tiba-tiba malaikat Tuhan berdiri di arah tempat sesembahan dan dia menampakkan diri.[25]
Dalam ayat lain disebutkan bahwa: Malaikat ketika menjawab, berkata: Saya malaikat Jibril yang mana berdiri di hadapan Allah swt dan diutus oleh-Nya supaya saya berbicara dengan anda dan memberi anda ganjaran atas perkara-perkara ini.[26]
Dan pada ayat lain: Pada bulan ke enam Jibril as diutus oleh Allah swt untuk datang ke sebuah negara yang mulia yang bernama Naashirah.[27]
Dalam ayat lain disebutkan: Bahwa ketika malaikat Jibril as menjawab, dia berkata: Ruhulqudus akan datang kepada anda, dan kekuatan Allah swt akan menaungi dan membentengi anda.[28]
Di dalam al-Qur’an juga disebutkan bahwa malaikat pembawa wahyu itu bernama Jibril as:
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (Qs. Al Baqarah ayat 97-98)
 “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka Sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”  (Qs. At-Tahriim ayat 4)
Di sebagian ayat-ayat, malaikat pembawa wahyu itu diberi nama ruhul qudus:
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur”an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Qs. An Nahl ayat 102)
Dan disebagian ayat lain, malaikat pembawa wahyu itu diberi julukan ruhul amin:
“Dan Sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”  (Qs. Asy Syu’araa’  ayat 192-195)
Turunnya (nuzul) Jibril as
Dari pembicaraan yang lalu, kita dapat mengambil manfaat bahwa Jibril as merupakan malaikat pembawa wahyu yang turun kepada nabi dan menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Dikatakan bahwa para malaikat tersebut adalah non-fisik dan non-jasmani yang mana ketika dia turun maka akan nampak dan kelihatan. Mereka tidak memiliki lidah dan mulut untuk berkata-kata sehingga perkataannya bisa didengar. Lalu apa makna nuzul  (turun) dan kalam (perkataan) bagi Jibril as dan seperti apa bentuknya? Jawabannya: dikatakan bahwa nuzul bagi Jibril as adalah turun secara non-fisik dan non-place (tidak menggunakan tempat), akan tetapi dalam bentuk menyerupai atau menjelma (tamatstsul ) sesuatu.
Tentang ihwal malaikat yang turun kepada Maryam Al-Muqaddas, al-Qur’an menggunakan istilah tamatstsul (menyerupai): 
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Qur’an. Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya. Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa”.
Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”. (Qs. Maryam ayat 16-19)
 Di dalam beberapa hadits juga menggunakan istilah yang sama, yaitu tamatstsul  ketika menjelaskan ihwal turunnya Jibril as.
Bahkan dalam hal lain juga terkadang istilah tamatstsul  ini digunakan, seperti tamatstsul  harta, anak-anak dan perbuatan-perbuatan manusia ketika sedang sekarat, dan seperti tamatstsul  Nabi saw dan para Imam Maksum as untuk sebagian manusia ketika sedang menghadapi kematian. Dan seperti tamatstsul dunia yang menyerupai seorang wanita cantik bagi Imam Ali as. Dan seperti tamatstsul  malaikat maut bagi manusia untuk mencabut ruhnya, dan seperti tamatstsul  setan bagi sebagian orang. Tamatstsul-tamatstsul  seperti ini banyak ditemukan dalam hadits-hadits, diantaranya:
Imam Ali as berkata: “Ketika manusia menemui hari akhir baginya di dunia ini dan memasuki hari pertama pada hari kiamat, maka harta dan amal perbuatannya akan ber-tamatstsul (menjelma sesuatu) baginya.” [29]
Dari Imam Shadiq as dari bapak-bapaknya dan dari Amirul mukminin Ali as, bahwa beliau berkata: “Suatu ketika saya sedang sibuk mencangkul di sebagian tanah pertanian Fadak, yang mana setelah itu menjadi milik sayyidah Fathimah as, tiba-tiba muncul di depanku seorang wanita cantik. Sangat cantik dan menarik serta menawan.  Menyerupai Batsinah binti Amir Al Jumhaa, wanita tercantik kaum Quraisy. Wanita itu berkata kepadaku: kalau kamu menikan denganku, maka aku akan membuatmu tidak perlu bekerja lagi, dan aku akan menunjukkan kepada kamu seluruh harta karun yang ada di dalam perut bumi ini, dan selama hidup kamu akan menjadi penguasa. Saya berkata: kamu ini siapa sehingga saya bisa datang ke keluargamu untuk melamar? Dia menjawab: saya adalah dunia. Saya berkata: pergilah dan carilah calon suami selain aku! Kamu tidak layak dan tidak se-kufu’ denganku, setelah berkata seperti ini, saya pun kembali sibuk dengan pekerjaanku.” [30]
Dalam buku-buku sejarah dan hadits dikisahkan bahwa Jibril as paling sering menampakkan dirinya dengan menyerupai Dahiyah kalabi, seorang pemuda yang gagah dan tampan, dan kadang dalam bentuk manusia-manusia lain dan turun kepada Nabi saw. Oleh karena itu, nuzul-nya Jibril as itu harus ditafsirkan dengan penyerupaan dia itu sebagai manusia khusus yang sesuai dengan idrak (persepsi) dan dzihni Nabi saw. Penjelmaan Jibril as menjadi seorang manusia khusus ketika menjumpai Nabi saw tidak bermakna bahwa hakikat kemalaikatannya itu telah hilang dan menjadi manusia lalu turun dan menemui Nabi saw.
Allamah Thabatabai Qs, mengenai ihwal ini, menuliskan: Makna tamatstsul malaikat ketika turun kepada hadhrat Maryam as adalah penjelmaan dan penyerupaannya dengan rupa manusia ketika menemui Maryam as. Dan tidak bermakna bahwa secara hakikat malaikat tersebut berubah menjadi manusia. Jibril as –sesuai kapasitas akal dan persepsi hadhrat Maryam as – menjelma di hadapannya dengan rupa seorang manusia, bukan dalam bentuknya yang asli dan hakiki. Hadhrat Maryam lah yang menyaksikan Jibril as berbentuk seperti ini, bukan Jibril as yang betul-betul berubah menjadi manusia.” [31]
Dalam menjelaskan pokok bahasan ini, maka dapat dikatakan bahwa Jibril as adalah sebuah maujud  atau makhluk yang memiliki nurani dan non-materi yang mana mengemban sebagian ilmu-ilmu Ilahi dan siap untuk disebarkan dan sampaikan. Ruh suci dan penuh cahaya Nabi saw, yang mana jauh dari kecenderungan-kecenderungan jasmani dan nafsu, juga ketika atensinya itu ditujukan kepada alam yang lebih tinggi, maka sebagian hakikat ilmu yang ada dalam esensi dan dzat Jibril as akan tergambar dan nampak di dalam hati beliau saw, dan inilah yang dimaksud wahyu. Pada tahapan ini, wahyu tidak lain adalah bermakna penuangan dan penganugerahan berbagai ilmu pengetahuan, bukan dalam suatu bentuk dan bukan pula sebuah kalam dan perkataan.
Bentuk atau forma dan kalam muncul pada tahapan imajinasi dan indera musytarak. Ketika hakikat-hakikat berbagai ilmu pengetahuan turun dari qalb (hati) dan ruh Nabi saw menuju ke arah daya imajinasi dan indera musytarak beliau saw, maka pada ketika itu Jibril as muncul di hadapan Nabi saw dalam bentuk seorang laki-laki gagah dan tampan dan kemuidan berdialog dengan beliau saw. Karena tahapan imajinasi dan indera  musytarak merupakan tahapan membentuk sebuah rupa.
Nabi saw lah, yang mana sesuai dengan kapasitas imajinasi dan akal pikirannya, yang menyaksikan Jibril as dalam bentuk seorang manusia yang gagah dan tampan dan mendengar pembicaraannya. Akan tetapi, orang lain yang bahkan berada bersama Nabi saw tidak memiliki penyaksian (musyahadah) seperti ini. Kecuali orang-orang yang jiwanya berada di bawah pengawasan Nabi saw dan dipersiapkan untuk menangkap dan memahami hal-hal seperti ini.
Akan tetapi jangan sekali-kali anda beranggapan kami ingin mengatakan bahwa menyaksikan dan mendengarkan ucapan dan kalam Jibril as merupakan perkara dan nasihat kosong belaka dan bertentangan dengan realitas, sungguh kami tidak mengatakan hal yang seperti ini, akan tetapi yang kami katakan adalah: Sungguh Nabi saw menyaksikan malaikat itu dalam bentuk seorang pemuda yang gagah dan tampan dan sungguh beliau saw mendengar kalam dan perkataannya akan tetapi ini semua ada di alam yang disebut alam mitsal.
Manifestasi Jibril as dalam bentuk seorang manusia gagah dan tampan dan musyahadah (penyaksian) Nabi saw merupakan sebuah realitas yang nyata, akan tetapi hal ini berada pada alam mitsal. Tentunya penyaksian dan sense ini dengan penyaksian dan sense terhadap hal-hal yang bersifat eksternal memiliki perbedaan yang sangat fundamental. Di sana kita tidak bisa menyaksikan wujud eksternal itu dengan mata kepala. Akan tetapi yang disaksikan dan diketahui secara ashalah an nafs (kesejatian jiwa) adalah bentuk maujud dan keberadaan pada kesadaran imajinatif. Demikian pula halnya dalam penyaksian malaikat, dengan perbedaan bahwa pada penyaksian-penyaksian rasa (sense)  bentuk maujud pada indera musytarak dan imajinasi adalah dengan wasilah indera, berbeda dengan wahyu dan rupa Jibril as, yaitu dimana hati Nabi saw turun ke daya imajinasi beliau

[1] . Al-Mizan, Jld. 15, Hal. 345.
[2] . Ruhul Bayan, Jld. 6, Hal. 306.

[3] . Al-Mizan, Jld. 15, Ha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar