Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 Desember 2015

Psikologi Pendidikan BahanJadi Baku jadi Makalah Jadi Psikologi Pendidikan islam Ridwan, MA

Individuasi dan Perkembangan dalam Pembinaan Akhlak
BAB I
PENDAHULUAN
Rata-rata binatang beberapa saat setelah lahir sudah bisa mandiri, seekor bayi sapi yang kira-kira 4 jam setelah lahir sudah berusaha berdiri dan lari dengan induknya. Bayi reptil begitu menetas sudah bisa berenang dan berlari-lari. Semua bayi ini, biarpun sudah bisa lari tetapi mereka tetap bermain-main. Masa bermain ini merupakan masa mereka berlatih, menguatkan tulang dan belajar keahlian yang mereka butuhkan untuk masa dewasa mereka kelak ketika mereka harus mandiri.
Mengapa manusia masa kanak-kanaknya sangat lama, apakah karena keahlian yang harus mereka kembangkan kelak juga jauh lebih rumit daripada sekedar mencari, dan memburu makanannya sehingga masa bermainnyapun lebih lama daripada mahluk lain.
Dalam makalah ini penulis mebahas makalah ini tiga bagian, bagian pertama  pendahuluan, bagian kedua konsep perkembangan manusia  secara umum mulai dari bayi hingga lanjut usia, namun penulis hanya mengkhususkan analisisnya pada tahap perkembangan mengikuti pendidikan formal pada akhir bagian kedua. Selanjutnya bagian ketiga yaitu bagian penutup.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Individuasi Dan Perkembangan Dalam Pembelajaran di Kelas
Individuasi dalam kebutuhan untuk menjadi berbeda dengan orang lain Dalam beberapa hal; Menurut psikolog Jung (2009:47) individuasi dalam proses integrasi psikologi untuk pengembangan kepribadian individu. Sedangkan menurut Baron (2004:65) individuasi dalam proses membentuk konsepsi dari ketidaksadaran yang dibutuhkan secara filogenetis yang diisi dengan libido non-seksual, tipe umum introversi dan ekstroversi, dan pendekatan sintetis dan konstruktif kepada formasi fantasi dan utilisasi.
Freud (1998) melihat perkembangan manusia sebagai sebuah evolusi Dalam bentuk perkembangan individu. Menurutnya dorongan utama Dalam diri manusia, yaitu energi seksual, merupakan sebuah proses evolusi sejak kelahiran hingga masa puber dan dewasa Dalam kehidupan masing-masing individu. Libido manusia juga mengalami perkembangan Dalam berbagai tahap mulai dari tahapan mengisap dan menggigit pada masa bayi, masa pengeluaran sekresi dan saluran kencing, dan berakhir pada organ-organ genital. Libido punya potensi yang sama, namun punya manifestasi yang berbeda-beda dan mengalami perubahan sesuai proses evolusi pada masing-masing individu. Perubahan dari energi seksual menjadi energi nonseksual disebutnya sebagai sublimasi. Semakin cepat dan besar perkembangan peradaban akan semakin tinggi harkat manusia namun semakin besar pula penekanan yang dilakukan manusia terhadap dorongan-dorongan libidonya.
Freud mengasumsikan bahwa libido atau energi seksual individu selalu mengalami perkembangan Dalam tahap-tahap mulai oral hingga genital. Jadi menurut Freud, individu yang sehat dalamereka yang sudah mencapai tingkatan genital tanpa mengalami fiksasi dan kemunduran. Individu seperti inilah yang bisa menjalani kehidupan sebagai orang dewasa, bekerja dan memperoleh kepuasan seksual yang memadai hingga ia menghasilkan keturunan.
Berbeda dengan Erickson (1998) meskipun pemikiran Erickson banyak dipengaruhi oleh pemikiran Freud, namun Erickson lebih berkonsentrasi pada pengaruh lingkungan sosial pada perkembangan kepribadian manusia, itulah sebabnya teori perkembangannya disebut psikososial.

B.  Fase Emerging Self (diri muncul) 0-2
Kemampuan mental manusia muncul di tahap tertentu Dalam proses perkembangan yang dilalui terjadi perubahan dari satu peringkat keperingkat lainnya. Hal ini hanya berlaku apabila anak-anak mencapai tahap kematangan yang sesuai. Tanpa pengalaman-pengalaman tersebut, anak-anak dianggap tidak mampu mencapai tahap perkembangan kognitif yang tinggi.
Fase cognitive ini Menurut Piaget (1998) disebut Tahap Sensorimotor (0-2 Tahun). Pada tahap ini, bayi melihat hubungan antara badannya dengan alam sekitar. Bayi tersebut mempelajari tentang dirinya dengan melihat, menyentuh, dan mendengar di sekelilingnya kemudian menirunya. Kebolehan untuk meniru tingkah laku dikenali sebagai pembelajaran melalui pemerhatian (observational learning).
Mussen dan Kagan (1998) Dalam perkembangan sensorimotor ini, terdapat enam sub tahap yang dikategorikan dengan melihat perkembangan kebolehan tertentu pada umur yang tertentu.
a)                       Dari lahir 0-1 Bulan (refleks)
Bayi hanya mampu melakukan gerakan pantulan. Gerakan pantulan yang diwujudkan lahir melalui tingkah laku pendengaran, penyusunan, gerakan tangan (genggaman dan sebagainya), penyesuaian, pandangan, pergerakan mata dan sebagainya. Gerakan ini belum dapat ditentukan perbedaannya. Sebahagian besar gerakan ini dilakukan untuk keperluan tertentu atau hanya sebagai gerakan pantulan sahaja.
b)               Dari 1-4 bulan (reaksi asas sekular)
Peringkat pertama pencapaian untuk penyesuaian dan berlakunya reaksi sekular. Padamulanya bayi memperoleh pengertian tentang bahagian badannya yang tertentu. Di tahap ini pengalaman memainkan peranan untuk pembentukan tingkah laku. Pada perkembangan ini anak banyak mendapatkan pengalaman pertama. Oleh karena itu tingkah laku anak pada tahap kedua ini sudah bergantung kepada andai-andai, sebab musabab tertentu untuk mewujudkan sesuatu situasi baru. Pergerakan sistem sensori mulai diselaraskan dengan sistem pandangan dan gerakan tangan. bila mendengar sesuatu bunyi, bayi akan menggerakkan kepala dan matanya ke arah punca sumber bunyi. Contoh; sekiranya bayi tersebut melakukan sesuatu tingkah laku yang ganjarannya akan mendapat menyeronokkan atau menyenangkan, dia akan mengulangi tingkah laku itu lagi.
c)                Dari 4-8 bulan (reaksi sekular kedua)
Di tahap ini bayi mempunyai persediaan untuk membuat pandangan da n pemerhatian yang lebih. Kebanyakan tingkahlaku bayi dihasilkan dari sesuatu proses pembelajaran. Bayi telah dapat melakukan tingkah laku baru seperti mengambil sesuatu barang lalu menggerakkannya. Di waktu ini, bayi boleh membuat tanggapan tentang objek Dalam tangannya. Contoh; bayi itu sengaja memasukkan barang mainan ke Dalam mulut dengan tujuan untuk mengetahui atau mengenali barang tersebut.
d)               Dari 8-12 bulan ( reaksi kordinasi)
Masa ini dikatakan sebagai masa pengukuhan yang disesuaikan antara satu sama lain dari masa sebelumnya. Pada tahap ini, perkembangan mental bayi sudah dapat dikatakan sebagai telah berada di tahap perkembangan daya kognitif dan kebolehan mental asas pada bayi. Bayi sudah mengetahui sebab akibat sesuatu keadaan berlaku. Contoh; apabila menggoncangkan sesuatu alat mainan, ia akan berbunyi.
e)                Dari 12-18 bulan (reaksi sekular ketiga)
Pada ketika ini, penemuan makna baru melalui pengalaman yang dilalui oleh bayi berlaku secara aktif. Oleh karena itu bayi memerlukan kecepatan untuk melahirkan keseluruhan rangkaian tingkah laku apabila berada di Dalam sesuatu situasi baru. di tahap ini, bayi memperlihatkan kemajuan yang pesat berhubung dengan pemahaman sesuatu konsep dan telah mempunyai konsep yang kukuh tentang sesuatu objek. bayi juga mengalami proses coba-coba, tetapi Dalam keadaan yang mudah. Contoh; anak-anak ini akan mencoba berbagai bunyi dan tingkah laku untuk mendapatkan perhatian.
f)                Dari 18-24 bulan (penggambaran pemikiran awal)
Berlakunya kombinasi mental pada anak karena mempunyai keupayaan untuk memahami aktiviti permainan dan fungsi simbolik. Pada masa ini anak dapat mengatasi masalah coba-coba dan dapat membedakan jenis-jenis tingkah laku peniruan yang diperhatikan.

C.  Fase Development of Self (pengembangan diri)
Menurut Erikson (1990) fase ini disebut Autonomy vs Shame (Kemandirian vs Rasa Malu) Usia 2-3 tahun. Gejala perkembangan psikologis pada usia ini, anak mencoba untuk mandiri yang secara fisik dimungkinkan oleh kemampuan mereka untuk berjalan, lari dan berkelana tanpa dibantu orang dewasa lagi. Kebebasan berkelalana ini, anak masuk Dalam periode menjelajah/eksplorasi.
Enurut Piaget (1990) fase perkembangan kognitif tahap ini disebut praoperasi (2-7 tahun). Perkembangan yang paling penting di tahap ini ialah penggunaan bahasa. Anak-anak yang berada di tahap ini menggunakan simbol di Dalam permainan, contoh; mengandaikan buku sebagai kereta lalu didorong-dorong di atas lantai. Namun, dari segi kualiti, pemikiran anak-anak masih di tahap yang rendah dibandingkan orang dewasa. Contoh; pemikiran anak-anak dalam egosentrik keseluruhan dunia dilihat hanya dari perspektif mereka saja. Namun proses perkembangan kognitif anak menjadi lebih sempurna mencakup tiga kebolehan asas yang berlaku yaitu; 1). Perkembangan kebolehan mental anak untuk melakukan tingkah laku seperti kebolehan menghitung, 2). Melalui latihan yang diulang-ulang, rangkaian tingkah laku yang dikukuhkan dan digeneralisasikan sehingga menjadi skema tingkah laku yang stabil, 3). Hal-hal umum yang betul-betul difahami oleh individu untuk mewujudkan sesuatu pengukuhan tingkah laku.
Dari dua pendapat di atas dapat dipahami bahwa fenomena mental yang paling penting pada fase ini dalam pengamatan, ingatan dan bayangan. Pengamatan merupakan suatu proses memberikan sepenuh perhatian terhadap sesuatu yang dilihat. Sedangkan ingatan dalam satu proses pembinaan, pengumpulan dan pengambilan kembali memori mengenai peristiwa lalu. Selanjutnya bayangan merupakan satu proses yang menyebabkan sensasi yang statik, selalunya pandangan dan pendengaran yang dikumpulkan di bahagian mental.
Hampir senada  dengan Kohlberg (1987). Ia menyebutkan perkembangan fase ini dalam pra-konvensional tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Anak-anak fase ini tidak mahu tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme
Beberapa hal dapat dicapai Dalam periode ini, seperti keberanian untuk menjelajah, insting untuk menentukan arah sendiri. Periode inilah kemampuan anak untuk percaya diri dikembangkan.
Problem yang dapat terjadi, menurut Erikson (1990), dalam rasa malu karena mereka merasa tidak mampu "be on tahuneir own". Ini akan terjadi bila orang tua terlalu banyak ikut campur misalnya membantu atau mengkoreksi kekeliruan mereka. Karena pada usia ini anak mulai belajar bahasa, maka ortu yang terus berusaha memperbaiki anak yang sedang belajar berbicara, akan mengakibatkan anak menjadi penakut/pemalu Dalam berkomunikasi.
Bagaimana sebaiknya ortu bersikap pada periode ini? Ortu harus sering bicara dengan anak, menanyakan pendapat anak, menciptakan suasana yang berwarna warni, mengarahkan dengan tidak langsung. "Ini dalam seekor...gajah. Warna gajah ini puuuu...tih. Apa yang akan terjadi ketika kucing bertemu tikus?". Kalau anak berusaha mengikat tali sepatunya, pujilah, dan jangan dibikin betul dengan tujuan menunjukkan kesalahannya. Pada saat ini yang dia pelajari bukanlah mengikat tali dengan benar tapi bahwa dia dihargai karena punya inisiatif untuk melakukan sesuatu yang baru.  Kondisi krisis fase kedua ini dalam "citra diri" atau "Sense of Identity".
Anak-anak yang tidak mengembangkan citra diri mereka ini, cenderung menjadi terlalu patuh dan penurut. Orang tua perlu terus menerus menggugah rasa percaya anak bahwa mereka bisa dan boleh menentukan hidup mereka sendiri.

D.   Fase  Changing of Self (Perubahan diri)
Menurut Erikson (1990) fase ini disebut Inisiatif vs Guilt (Prakarsa vs Rasa Bersalah) Usia 3-6 tahun. Pada fase bermain inilah anak-anak belajar berfantasi, belajar mentertawakan diri, mulai belajar bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada fase ini terletak fondasi anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat penting pada fase berikutnya.
Menurut Kohlberg (1987) fase ini disebut fase pra-konvensional tahap dua orientasi minat pribadi. Konsep bagi mereka berorientasi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik. Semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja.
Pada fase ini anak menciptakan konsep identitas diri, terutama sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Anak belajar menjadi lelaki atau perempuan bukan hanya dari alat kelamin tapi juga dari perlakuan sekeliling pada mereka. Fase inilah yang berperanan besar Dalam menentukan identitas karena pengaruh kelamin mulai dirasakan secara psikologis. "Anak lelaki menjadi lebih sayang pada ibu dan tidak begitu senang pada bapak sementara anak perempuan menjadi dekat bapak dan merasa disaingi ibu. Anak-anak kecil menjadi sayang guru TK-nya". Orang tua tidak perlu khawatir dengan hal ini karena hal ini memang normal, malah kalau anak dimarahi bisa-bisa menjadi "Guilty", merasa bersalah akan identitas kelaminnya.
Jika fase ini berhasil dilewati dengan sukses anak menjadi tidak terganggu dengan perasaan bersalah. Anak bisa menentukan apakah mereka mau menjadi seperti ayah/ibu (biasanya) tanpa perasaan bersalah dan anak tidak akan mengalami banyak kegelisahan karena merasa tidak dimengerti.
Apa yang bisa dilakukan ortu untuk merusak fase ini? banyak dan contohnya dalam dengan merampok masa bermain anak dengan menyuruh mereka belajar lebih dulu dari teman-teman seumur . Anak mulai didisiplinkan untuk menghafal angka, abjad dan menulis bagus supaya lebih pandai dari yang lain. Kalau boleh jujur, seringkali sebenarnya lebih banyak ambisi membuat anak pinter ini dalam untuk gengsi ortu yang disamarkan dengan mengharapkan masa depan anak yang baik. Yang terjadi sesungguhnya dalamengambil masa "fun" dari anak-anak sehingga emosi, kesenangan dan penjelajahan yang hanya tumbuh pada masa bermain ini tidak pernah tumbuh matang.
E.  Fase Self-Esteem and Competence (harga diri dan kompetensi)
Menurut Erikson (1990) fase ini disebut Mastery vs Inferiority (Penguasaan vs Rendah Diri) 6-12 tahun.
Kalau binatang muda, sesudah merasa tenteram dekat induknya, maka pada saatnya mereka mulai pergi ke alam untuk mengenalnya secara instingtif. Manusia mudapun demikian. Apabila sampai sekitar 6 tahun anak-anak masih melakukan eksplorasi tentang diri sendiri, maka selewat usia itu anak secara instingtif mulai melihat ke luar dan perkembangannya mulai berhubungan dengan dunia luar.
Pada fase ini anak mulai ke dunia di luar rumah seperti, sekolah, tetangga. Dunia luar menjadi tempat untuk tumbuh, terutama karena pada saat inilah mereka baru benar-benar mulai mampu berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka mulai bisa membentuk kelompok.
Menurut Piaget (1998) fase ini disebut tahap operasi konkrit usia (7-11 tahun). Pada tahap ini, tumbuh rasa ingin tahu yang tinggi sehingga anak-anak gemar bertanya sesuatu yang menarik minat mereka kepada orang yang lebih dewasa. Berkembangnya semangat inkuiri ini seterusnya menyebabkan mereka mulai menerima pendapat orang lain. Anak-anak akan mulai belajar bermain dan bergaul dengan kawan-kawan yang sebaya kerana pada tahap ini mereka akan mulai memasuki zaman persekolahan.
Dari dua pendapat di atas, walau sedikit selisih tahunnya dapat kita pahami bahwa; fase ini anak-anak sudah mulai memahami unsur-unsur pemikiran logic, mulai memahami konsep-konsep nombor, berat benda, susunan sesuatu dll.
 Namun anak-anak pada umur sebegini masih belum memahami atau menaakul tentang perkara-perkara yang abstrak seperti konsep kenegaraan, ketuhanan, makna hidup dan sebagainya. Mereka hanya memahami konsep-konsep yang konkrit atau objektif seperti mengenali haiwan, tumbuhan dan sebagainya.
Pada masa-masa ini tidak ada hal relatif, yang ada hanyalah kemutlakan. "Semua penjahat berbaju hitam dan berwajah kotor. Pahlawan berwajah bersih, dan bajunya terang. Kelompok saya dalam kelompok lelaki dan kami benci/tidak menerima perempuan (dan sebaliknya). Orang dewasa selalu benar dan guru tahu segalanya".
Pada usia ini anak-anak juga sangat tertarik untuk belajar, dan sangat sulit untuk berdiam diri. Mereka belajar segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan fisik seperti olahraga, berlari, berenang, mengumpulkan segala sesuatu dan mengembara sampai ke batas yang disetujui. Anak-anak yang melalui fase ini dengan baik akhirnya akan memperoleh ganjaran dengan mendapatkan sense of mastery, suatu keyakinan bahwa mereka mampu menguasai masalah yang mereka hadapi. Syaratnya dalam bahwa orang-orang dewasa yang mereka hormati seperti Ortu harus mendukung kegiatan yang banyak ini karena dari Dalam setiap anak memang ada keinginan untuk mengerti dan menguasai lingkungan mereka.
Kesulitan bagi anak terjadi ketika ortu tidak mau repot dan cenderung melarang anak kemana-mana sehingga tidak terlalu merepotkannya. Ortu yang terlalu lelah karena bekerja dan ingin anaknya diam, sopan dan tenang, juga merugikan pertumbuhan anaknya. Bila ini terjadi cukup lama sehingga anak memperoleh kebiasaan untuk nonton TV daripada mempelajari hal-hal di lingkungan mereka, maka anak-anak ini kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi mereka. Pada anak ini, sense of mastery diganti oleh rasa rendah diri (inferiority) yang sangat berdampak pada masa-masa yang akan datang.
Anak-anak yang penuh rendah diri ini lebih sulit merasakan adanya kemampuan mereka untuk mengembangkan Kompetensi Dalam bidang yang penting. Ortu yang sangat takut akan lingkungan yang tidak aman sering mengurung anak di rumah, dan memberikan TV, atau Play Station-Sega. Hal ini sangat sayang karena pada usia inilah anak paling siap untuk belajar secara aktif.
Untuk ortu semacam ini, sebaiknya membahas hal ini dengan guru anaknya karena sebenarnya pengaruh guru sangat besar pada masa-masa ini. Karena itu pula pilihan sekolah dasar sangat penting, bukan hanya karena bangunan dan fasilitasnya tapi juga harus melihat guru yang akan sangat mempengaruhi kompetensi yang tercipta.
F.   Fase Salf in Self- Control (diri Dalam pengendalian diri)
Fase ini umumnya menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mulai mahu menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya.
Fase ini mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya Dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan Dalam penalaran di tahap ini; "mereka bermaksud baik".
Fase ini sangat penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna Dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral Dalam tahap lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual. Kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti Dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.

G. Adolescent and Individuasi (remaja dan individuasi)
Menurut Erikson (1990) fase ini disebut Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran) untuk masa bergolak, yakni masa remaja 12 - 18/20 tahun. Fase ini dalam fase puncak kegoncangan diri Dalam menciptakan identitas diri. Kegagalan fase ini akan menciptakan kerancuan identitas/peran. Identitas-diri dalamengenal siapa diri sesungguhnya dan bagaimana diri ini melebur dengan masyarakat di sekeliling. Menciptakan yang benar mengumpulkan semua pengetahuan dan menggabungkan semuanya menjadi suatu citra diri yang berguna bagi masyarakat. Faktor terpenting supaya tercipta identitas diri yang sehat dan berguna bagi masyarakat yaitu hadirnya role model di Dalam masyarakat. Seseorang yang bisa dijadikan contoh seperti orang tua atau guru yang hebat menjadi sangat penting. Faktor penting lainnya dalam adanya kejelasan bagaimana melangkah meninggalkan masa anak-anak menuju kedewasaan.
Menurut Piaget (1985) perkembangan kecerdasan kognitif pada fase ini telah sampai ke tahap maksimal. Pemikiran dan penguraian pendapat individu pada tahap ini dikatakan lebih baik dan nyata. mereka dikatakan mampu membuat keputusan dan telah dapat membuat hipotesis melalui pemerhatian. Individu telah mulai mencari jalan untuk menyelesaikan masalah berdasarkan rasional dan lebih bersifat sistematik. Remaja pada tahap ini didapati patuh dan berhati-hati dengan pendapat dan pegangan.
Berdasarkan dua pendapat di atas dapat dipahami bahwa remaja fase ini mulai memahami tentang diri mereka dan peranannya Dalam masyarakat sehingga mereka telah mampu membuat perancangan berdasarkan pegangan dan pendapat yang disesuaikan dengan nilai dan norma yang terdapat Dalam masyarakat. Pada tahap ini juga, pemikiran baru dihasilkan iaitu berbentuk abstrak, formal dan logik.
Walaupun pemikiran pada operasi tahap formal bermula semasa zaman remaja, pemikiran sebegini kadangkala jarang digunakan (Burbulus & Linn 1988)Di suku Indian tertentu, anak dianggap dewasa setelah dia berhasil pergi ke padang rumput dan membawa pulang bulu elang, ekor kerbau atau tengkorak hyena. Di suku-suku Afrika, sunat dalam tanda bagi remaja lelaki yang sudah dianggap dewasa; dan kebetulan katanya memang berguna secara fisik karena lebih "bersih". Remaja wanita diAfrikapun disunat, istilah modernnya dalam Female Genital Mutilation, walaupun manfaatnya bagi wanita kurang jelas. Pokoknya, yang penting ada suatu upacara yang dengan jelas menunjukkan pada umum bahwa anak sudah bukan anak lagi tetapi sudah menjadi dewasa dan dia dituntut untuk berlaku dewasa.
Identitas diri bisa menjadi ekstrim bila para orang dewasa yang mengelilingi kita menekankan bahwa tidak ada kompromi untuk suatu hal, dan kita berakhir dengan menjadi fanatik. Yang paling sering difanatikkan dalam faktor agama atau etahunnik tertentu. Remaja fanatik tidak diijinkan melihat pilihan lain dani dentitas dirinya dibanjiri oleh dominasi faktor ini. Harus kita ingat bahwa remaja baru saja meninggalkan stage ke 4 di mana mereka tidak melihat adanya relatifitas, yang ada hanya kemutlakan.
Orang dewasa yang berhasil mempengaruhi anak-anak pada usia rawan ini akan berhasil mendapatkan pengikut yang sangat setia dan membabi buta.
Identitas diri yang sehat mencapai suatu keadaan yang dinamai fidelity oleh erikson, yaitu suatu kelegaan karena kita mengenal siapa diri kita, tempat kita Dalam masyarakat dan kontribusi macam apa yang kita bisa sumbangkan untuk masyarakat. Sebaliknya, mereka yang gagal memiliki suatu identitas diri akan gelisah karena tidak jelasnya identitas mereka. Orang-orang ini bisa menjadi "drifter", sipengembara, atau si penolak (mereka bisa menolak untuk punya identitas, menolak definisi masyarakat tentang anggota masyarakat dll) dan mereka hidup sendiri bahkan ketika ada di tengah masyarakat.
Remaja yang orangtuanya bercerai, sering bekerja larut malam, cenderung bingung menghadapi perubahan kultur dan cara hidup global yang baik bagi perkembangan psikisnya. Mereka mengalami masa pertumbuhan yang rentan dan sering gelisah karena tidak ada role model. Akibatnya beberapa di antara mereka meninggalkan masa kanak-kanaknya dengan mencari identitas diri bergabung Dalam kelompk gank dan dengan kagum melihat pemimpin gank sebagai role model.
Mereka cenderung membuktikan status setelah berhasil merokok atau meminum minuman keras, atau bahkan berhubungan badan dengan anggota lama yang berlainan sex. Kegiatan mereka menjadi merusak dan mengkacaukan masyarakat, tapi bagi mereka itu tidak masalah daripada hidup tanpa suatu identitas. Inilah bahaya besar dari kaum remaja yang gagal melewati masa ini dengan sukses.


BAB III
PRENUTUP
Setiap manusia dilahirhkan telah memiliki potensi cognitive Dalam diri untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu. -Contohnya, sewaktu dilahirkan, bayi telah dilengkapkan dengan beberapa gerakan pantulan yang dikenali sebagai skema seperti gerakan; menghisap, memandang, mencapai, merasa, memegang, serta menggerakkan tangan dan kaki.-Bagi gerakan memegang, kandungan skemanya dalamemegang benda yang tidak menyakitkan.-Oleh karena itu, bayi juga akan cenderung memegang benda-benda yang tidak menyakitkan seperti; jari ibu.-Skema yang ada pada bayi akan menentukan bagaimana bayi bertindak balas dengan persekitarannya.
Perkembangan kognitif selanjutnya disebut asimilasi yang merupakan satu proses penyesuaian antara objek yang baru diperolehi dengan skema yang telah ada.-Proses asimilasi yang berlaku membolehkan manusia mengikuti sesuatu modifikasi skema hasil daripada pengalaman yang baru diperoleh, contoh; seorang anak yang baru pertama kali melihat sebuah apel, maka anak tersebut akan menggunakan skema memegang dan sekaligus merasa. Oleh karena itu anak tersebut mendapatkan satu pengetahuan baru baginya.
Selanjutnya akomodasi. Merupakan suatu proses struktur kognitif mengalami perubahan.-Akomodasi berfungsi apabila skema tidak dapat mengasimilasi (menyesuaikan) persekitaran baru yang belum ada Dalam perolehan kognitif anak. Proses akomodasi ini disebut sebagai suatu proses pembelajaran.-Contoh; anak yang berumur 2 tahun belum pernah melihat magnet. Ketika ditunjukkan magnet, maka  akan melekat objek baru tersebut ke Dalam skemanya dan mewujudkan penyesuaian konsep terhadap magnet itu.
Selanjutnya adaptasi. Merupakan satu keadaan keseimbangan diantara akomodasi dan asimilasi untuk disesuaikan dengan persekitaran.-Keadaan keseimbangan yang telah ada dengan mencipta hubungan apa yang dipelajari dengan kehendak persekitaran.








DAFTAR PUSTAKA

Erickson, E, 1966, Ciri-ciri Fase Pertumbuhan dan Perkembangan. Dalam Baron & Byrne, 2004,  Psikologi Sosial, (5tahun ed.). (hlm. 133-139). Jakarta: Erlangga

Baron & Byrne, 2004,  Psikologi Sosial, (5tahun ed.). Jakarta: Erlangga

Jung, C.G, 2009, Psychological Types. Collected Works, terjemahan Shamdasani, (2nd ed.). Jakarta: Erlangga

L, Zulkifli, 1986, Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Karya

Suryabrata, Sumadi, 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers

Hardy, Malcom dan Heyes, Steve, 1988, Pengantar Psikologi, terjemahan, Sunardji, (2nd ed.). Jakarta: Erlangga

Mussen dan Kagan, 1998 Psikologi Perkembangan. Dalam Gerungan, 1966, Psikologi Sosial, (2nd ed.). (hlm. 139-145) Jakarta: Rajawali Pers

Gerungan, 1966, Psikologi Sosial, (2nd ed.). (hlm. 139-145) Jakarta: Rajawali Pers

B. Hurlock, Elizabeth, 1981, Developmental Psychology, terjemahan, Istiwidayanti, (2nd ed.). Jakarta: Erlangga

Sabari, M. Alisuf, 1998, Pengantar Psikologi Umum Perkembangan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya  

Preud, Sigmund, 1998 Psikologi Perkembangan. Dalam  Sabari, M. Alisuf, 1998, Pengantar Psikologi Umum Perkembangan, (hlm. 152-154). Jakarta: Pedoman Ilmu

Piaget, 1998, Fase Pertumbuhan dan Perkembangan. Dalam  Sabari, M. Alisuf, 1998, Pengantar Psikologi Umum Perkembangan, (hlm. 149-154). Jakarta: Pedoman Ilmu
Erickson, E, 1998, Fase Pertumbuhan dan Perkembangan. Dalam  Sabari, M. Alisuf, 1998, Pengantar Psikologi Umum Perkembangan, (hlm. 146-149). Jakarta: Pedoman Ilmu

APA: amirican psychologist associasion
jabarian
CARA MENULIS DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dornyei, Z. 2001. Teaching and Researching Motivation. Essex, England: Pearson Education Limited

Cronbach, L. J. 1990. Essentials of Psychological Testing (5tahun ed.). New York: Harper Collins Publishers

Burden, P.R., & Byrd, D.M. 1999. Metahunods for Effective Teaching (2nd ed.). Boston: Allyn & Bacon

Borg, W. R., & Gall, M. D. 1983. Educational Research: An Introduction (4tahun ed.). New York: Longman Inc.

Jalal, F., & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. 2003. Educational Research: An Introduction (7tahun ed.). New York: Pearson Education Inc.


Johnson, D.W., Johnson, R.T., & Holubec, E.J. 1990. Circles of Learning: Cooperative in tahune Classroom (3rd ed.). Minnesota: Interaction Book Company

Elliott, S. N., Kratochwill, T.R., Littlefield, J., & Travers, J.F. 1996. Educational Psychology: Effective Teaching Effective Learning (2nd ed.). New York: McGraw-Hill Co.

Elliott, S. N., Kratochwill, T.R., Cook, J.L., & Travers, J.F. 2000. Educational Psychology: Effective Teaching Effective Learning (3rd ed.). Singapore: McGraw-Hill Book Co.

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. 1993. Cross-culture Psychology: Research and Applications. Cambridge: Cambridge University Press


Journal

Bandura, A. 1986. Tahune Explanatory and Predictive Scope of Self-Efficacy Tahuneory. Journal of Social and Clinical Psychology, 4: 359-373

Subono, Nur Imam. 2000. Perempuan, Perang, dan Perkosaan. Jurnal Perempuan, 15: 95-110

Anonimous, 2000. Apa Khabar Perempuan Aceh. Jurnal Perempuan. 1(15): 127-130

Bergin, D.A.1999. Influences on Classroom Interest. Educational Psychologist, 34 (2): 87-98 

Boekaerts, M. 1998. Do Culturally Rooted Self-Construal Affect Student’s Conceptualization of Control Over-learning? Educational Psychologist, 33 (2/3): 87-108

Bradley, R. H., & Corwyn, R. F. 2000. Moderating Effect of Perceived Amount of Family Conflict on tahune Relation between Home Environmental Processes and Well-being of Adolescents. Journal of Psychology Family, 14 (3): 349-364

Baker, L., Scher, D., & Mackler, K. 1997. Home and Family Influences on Motivations for Reading. Educational Psychologist, 32(2): 69-82

Butler, L. D., Koopman C., Classen, C., & Spiegel, D. 1999. Traumatic Stress, Live Events, and Emotional Support in Women witahun Metastatic Cancer: Cancer –Related Traumatic Stress Symptoms Associated witahun Past and Current Stressor. Healtahun Psychology, 18 (6): 555-560

Clarke-Stewart, K.A., Vandell, D.L., McCartney, K., Owen, M.T., & Bootahun, C. 2000. Effect of Parental Separation and Divorce on Very Young Children. Journal of Family Psychology, 14 (2): 304-326

Benotsch, E. G., Brailey, K., Vasterling, J.J., Uddo, M., Constans, J.I., & Sutker, P.B. 2000. War Zone Stress, Personal and Environmental Resources and PTSD Symptoms in Gulf War Veterans: A Longitudinal Perspective. Journal of Abnormal Psychology, 109 (2): 205-213

Boyles, S.H., Ness, R.B., Grisso, J.A., Markovic, N., Bromberger, J., & CiFelli, D. 2000. Life Event Stress and Tahune Association witahun Spontaneous Abortion in Gravid Women at an Urban Emergency Department. Healtahun Psychology, 19 (6): 510-514

Sternberg, K. J., Lamb, M. E., Greenbaum, C., Cicchetti, D., Dawud, S., Cortes, M. M., Krispin, O., & Lorey, F. 1993. Effects of Domestic Violence on Children’s Behavior Problem and Depression. Developmental Psychology, 29 (1): 44-52



Rujukan Dalam buku penulis lain

Joni, T. R. 2001. Restrukturisasi Sistem Karier dan Insentif Guru. Dalam Jalal, F., & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah (hlm. 349-357). Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Perkin, D. N, & Unger, C. 1999. Teaching and Learning for Understanding. Dalam Reigelutahun, C.M. (Ed.), Instructional-Design Tahuneories and Model Volume II: A New Paradigm of Instructional Tahuneory (hlm. 91-114). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers

Medley, D.M.1995. Tahune Effectiveness of Teachers. Dalam Peterson, P.L. & Walberg, H.J. 1997. Research on Teaching: Concepts, Findings, and Implications (hlm. 11-56). Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation

Makalah

Joni, T. R. 2000. Rasional Pembelajaran Terpadu.  Makalah disampaikan Dalam Seminar Regional Implementasi Pembelajaran Terpadu Dalam Menyongsong Era Indonesia Baru, PPS Universitas Negeri Malang, 20 Mei

Parawansa, H. P. 2001. Pendidikan Nasional di Persimpangan Jalan: Reorientasi terhadap Strategi Pendidikan Nasional. Makalah disampaikan Dalam  Simposium dan Musyawarah Nasional I Alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, FKM PPS UN Malang, 13 Oktober

Suryadi, A. 2000. Pembiayaan Pendidikan: Suatu Investasi Produktif. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV. Universitas Negeri Jakarta, 19-22 September


Suyanto. 2000. Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi Berwawasan Entrepreneurship. Makalah disampaikan Dalam Konvensi Pendidikan Nasional Indonesia IV. Universitas Negeri Jakarta, 19-22 September


Buku (Editor)

Moll, L. C. (Ed.). 1993. Vyangotsky and Education: Instructional Implications and Applications of Sociohistorical Psychology. Cambridge, USA: Cambridge University Press

Reigelutahun, C.M. (Ed.). 1999. Instructional-Design Tahuneories and Model, Volume II: A New Paradigm of Instructional Tahuneory. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers

Peterson, P.L., & Walberg, H.J. (Ed.).1997. Research on Teaching: Concepts, Findings, and Implications. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation


Peterson, P.L., & Walberg, H.J. (Ed.).1997. Research on Teaching: Concepts, Findings, and Implications. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation


Sumber kantor/badan

Bagian Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Ar-Raniry. 2003. Data Kemahasiswaan: Jumlah Mahasiswa yang Mendaftar dan Diterima menurut Fakultas/Jurusan, Jenjang/Program dan Asal Sekolah Calon Mahasiswa Semester Ganjil Tahun Akademik 2003/2004. Banda Aceh: Kabag Akademik & Kemahasiswaan IAIN Ar-Raniry

Depag. 2003. Laporan Statistik Education Management Information System (EMIS) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Tahun Pelajaran 2002-2003 Nanggroe Aceh Darussalam. Jakarta: Dirjen. Kelembagaan Agama Islam

Kanwil Depag Aceh, 2001. Rekapitulasi Data Alamat dan Jumlah Madrasah, Guru Negeri dan Honorer, Pegawai Administrasi, dan Pegawai Honorer pada MAN/MAS Depag. D.I. Aceh Tahun 2000/2001. Banda Aceh: Kanwil Depag Aceh

UNDP. 1996. Human Development Report 1996. New York: Oxford University Press

UNDP. 1999. Human Development Report 1999. New York: Oxford University Press


Rujukan dengan penulis dan tahun sama

Dimyati, M. 2000a. Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistimologi, Pendekatan, Metode, dan Terapan (cet. ke 2). PPS Universitas Negeri Malang

Dimyati, M. 2000b. Demokratisasi Belajar pada Lembaga Pendidikan  Dalam Masyarakat Indonesia Transisional: Suatu Analisis Epistimologi Keindonesiaan. Makalah disajikan Dalam Seminar dan Diskusi Panel Nasional Teknologi Pembelajaran V, PPS UNM dan IPTPI, Malang, 7 Oktober




Terjemahan

Fromm, E. 1941. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia. Terjemahan oleh Imam Muttaqin. 2001. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rujukan Media

Litbang Kompas. 1 Mei, 2001. Keluhan Orangtua, Murid,  dan Guru, hlm. 40.

Litbang Kompas. 31 Agustus, 2002. Sistem Pendidikan belum Terapkan Pembelajaran Tuntas, hlm. 9.

Litbang Tempo. 2001. Konflik Menggangu Jiwa Mereka. Tempo. 14: 96-97

Metro TV, 13 Maret, 2003. Dialog Interaktif tentang Pendidikan di Aceh, pukul 17.00

Serambi Indonesia, 19 Agustus, 2001. Pengumuman Hasil UMPTN Tahun 2001, hlm. 9-12

Serambi Indonesia, 13 Agustus, 2002. Pengumuman Hasil UMPTN Tahun 2002, hlm. 9-12

Disertasi/tesis
Mahmud, Alimuddin. 2005. Penerapan Konseling Kelompok Berwawasan Jender untuk Meningkatkan Rasa Keberhasilan Dalam Karier (Career Self-efficacy) Siswa: Studi Pra-eksperimental Di SMA Neg.9 Makassar. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Malang: PPs Universitas Negeri Malang

Fakhri. 2005. Hubungan Sejumlah Faktor Non-Kognitif dengan Performansi Akademik Siswa MAN Di NAD. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Malang: PPs Universitas Negeri Malang






Tidak ada komentar:

Posting Komentar