BAB V: 'IJAZ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an
untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?. Kitab suci Al-Qur'an penuh keistimewaan dan merupakan mu’jizat yang
diberikan kepada nabi Muhammad Saw. Nabi Akhir Zaman yang pada beliau
telah sempurna agama ini dan menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat
manusia untuk menjalani kehidupan. Kita sering merasa memahami Al-Qur'an
bukanlah hal yang mudah, apalagi bahasanya yang memang berbeda dengan bahasa
Indonesia, tetapi itulah keindahannya, ketika kita tilawah kita sedang berusaha
untuk berdialog dengan Allah SWT.
Jika kita amati ayat diatas, ternyata ayat tersebut
didalam surat Al Qamar diulang sebanyak 4 kali yaitu pada ayat 17, 22, 32, dan
40. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Allah menjanjikan kemudahan bagi kita
untuk mempelajari Al-Qur'an, baik dalam mempermudah pembacaan maupun memahami
pengertian yang penuh ibarat dan tamsil (membuat pemisalan perumpamaan), serta
untuk kita jadikan pelajaran dan direnungkan.
Ibarat komunikasi, jika salah dialek saja maka orang
yang sedang berkomunikasi dengan kita bisa tidak paham apa maksud kita, salah
arti atau yang lebih fatal bisa salah makna. Al-Qur'an langsung diturunkan
sebagai firman Allah SWT.
Saat tilawah adalah saat kita berkomunikasi dengan
Allah. Agar komunikasi berjalan dua arah, perlu kita perbaiki bacaan kita,
mulai dari makharijul (cara keluar) huruf dan penggunaan tajwid
yang benar.
Sekali lagi mari kita dalami makna ayat di atas, bahwa
tak ada kesukaran ketika kita memang sungguh-sungguh memahaminya. Dan ayat
tersebut terbukti pada kemudahan dari keunikan yang ada pada Al-Qur'an cetakan
Timur Tengah atau sering disebut Al-Qur'an Utsmani atau Al-Qur'an Madinah.
Al-Qur'an Madinah merupakan Al-Qur'an standar yang
dipakai di seluruh dunia. Pada Al-Qur'an tersebut, kita dibantu untuk tidak
perlu hafal huruf dalam hukum tajwid seperti ikhfa, ’idgham
dan idzhar. Karena terdapat beberapa tanda yang mempermudah kita dalam
membacanya.
Pada Al-Qur'an Madinah, hukum idzhar dimana dibaca
jelas dan tidak ghunnah (mendengung) ditandai dengan nun mati
yang diatasnya ada tanda sukun, kemudian untuk fat-ha-tain dan kasrah-tain
kalau diperhatikan bentuk garisnya sejajar, sementara itu untuk dhammah
bentuknya seperti angka enam sembilan.
Bacaan Idzhar
Berbeda dengan ikhfa’ dibaca samar antara idgham
dan idzhar disertai ghunnah, sehingga pada Al-Qur'an Madinah
ditandai dengan nun mati yang tidak ada tanda sukun diatasnya dan
tanda fat-ha-tain serta kasrah-tain jika diperhatikan tidak
sejajar bentuknya, sementara itu untuk dhammah bentuknya seperti angka
sembilan-sembilan.
Bacaan Ikhfa'
Sementara untuk idgham yang dibagi dua: idgham
sempurna dan tidak sempurna juga memiliki ciri khas tertentu pada Al-Qur'an
Madinah. Idgham sempurna adalah memasukkan huruf setelahnya dengan sempurna
sehingga huruf pertama hilang makhraj dan sifatnya, dan idgham tidak
sempurna adalah memasukkan huruf pertama dimana masih ada sifatnya.
Idgham sempurna
ditandai dengan tanda seperti ikhfa’ tetapi setelah tanda baca bertemu
huruf yang ber-tasydid. Sedangkan yang tidak sempurna hurufnya tidak
ber-tasydid setelah tanda baca.
Bacaan Idgham
Belajar hukum tajwid memang fardhu kifayah,
tetapi hukum praktiknya adalah fardhu ‘ain. Di setiap lantunan ayat
Al-Qur'an yang kita baca, ada do’a pengharapan, ada peringatan, dan ada hikmah
yang perlu dipelajari dan direnungkan. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk
merasa sulit, tetapi kesungguhan yang diperlukan. Janji Allah yang mempermudah
kita dalam mempelajarinya terbukti dari tanda-tanda yang unik yang membuat kita
mudah untuk membacanya.
Ibnu `Abbas berkata: “Andaikata Allah tidak memudahkan
Al-Qur'an bagi lidah manusia, niscaya tidak seorang pun dari manusia yang dapat
berbicara dengan pembicaraan Allah.”
Untuk mengenal Al-Qur'an dengan lebih dekat melalui
menghafalnya, maka diperlukan perbaikkan bacaan yang tiada henti, selain itu
tak lupa untuk mengajarkan kembali apa yang sudah dipelajari. Belajar makharijul
(cara keluar) huruf hijaiyah sesuai haqnya memang sulit,
tetapi kesulitan itu akan berakhir pada kemudahan kita membacanya dengan
sempurna seperti bacaan Rasulullah shalallahu alaihi was salam.
Ibadah adalah cinta dan kesungguhan. Jadi, jangan pernah
lelah untuk meletakkan kata-kata itu dalam hati kita dan menjadikannya pelecut
ibadah dan amal. Sesungguhnya, Al-Qur'an itu mudah untuk dipelajari.
BAB VI: RASMUL QUR'AN
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah
suatu pertanda diangkatnya Baginda sebagai seorang Nabi sekaligus Rasul yang
mengemban amanat untuk mentablighkan tekstual dan kontekstual wahyu-wahyu tersebut
kepada umat. Diharapkan umat yang bergelimang dengan dekadensi moral dan
politheisme kembali ke jalan yang benar, menjadi manusia yang tidak diperbudak
oleh kejumudan (stagnansi) berpikir. Baginda menginginkan kaum Quraisy menuju
jalan kecerdasan dan kesempurnaan.
Setiap kali wahyu diturunkan oleh Jibril kepada Nabi
maka Baginda segera mengajarkannya kepada para sahabat. Dari proses inilah
kemudian muncul penulisan dan pembukuan Al-Qur'an sehingga setiap muslim di
mana pun ia berada dapat memiliki dan mempelajarinya. Al-Qur'an yang ada di
tangan kita sekarang bukan sekedar sebuah Kitab Suci akan tetapi bukti sejarah
kecerdasan seeorang Nabi yang Ummy, kepedulian terhadap generasi dan regenerasi
muslim berkualitas qur’any, dan kepekaan akan kondisi masa depan.
Bagaimana proses itu terjadi dan apa-apa saja motif yang
mendorong penulisan dan pembukuan Al-Qur'an serta siapa saja tokoh-tokoh
sahabat atau tabi’in yang terlibat dalam menghantarkan Al-Qur'an ke tengah
peradaban dunia yang bersumber darinya. Bagaimana peran Al-Qur'an dalam merubah
paradigma lama kaum Quraisy dalam sastera, sehingga ribuan bait syair yang
mereka hafal berganti menjadi ribuan ayat-ayat Kalam Suci Sang Maha Suci. Bukan
sekedar itu, bahkan mindsite mereka mengalami brain washing secara serta merta
baik mereka sadari ataupun tidak karena Al-Qur'an memang sebuah Kitab Suci yang
sempurna dan penyempurna Kitab Suci-Kitab Suci terdahulu.
A.
Pada
Masa Rasululah
Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur'an dipelihara
sedemikia rupa, sehingga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-Qur'an
adalah dengan menghafal dan menulisnya. Rasulullah di masa hidupnya
menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat
menghafalnya dengan baik. Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dapat
dilaksanakan dengan baik pula oleh para sahabat.
Al-Qur'an yang turun secara berangsur-angsur baik di
Mekah maupun di Madinah sangat memudahkan dokumentasi yang dilakukan para
sahabat. Al-Qur'an tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di toko akan
tetapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Al-Qur'an
diturunkan secara terpisah (perayat atau beberapa ayat) tidak persurah, maka
yang diturunkan di Mekah kami tetapkan di Mekah walaupun penyempurnaannya di
Madinah. Demikian juga yang diturunkan di Madinah, bahwasanya Al-Qur'an itu
dipisah antara satu surah dengan surah yang lain, apabila turun
Bismillahirrahmanirrahim maka mereka (para sahabat) mengetahui bahwa surah yang
pertama sudah selesai dan dimulai dengan surah yang lain”.
1.
Penulis
Wahyu
Selain dari cara menghafal, Rasulullah memerintahkan
agar para sahabat yang pandai menulis segera menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an
yang telah dihafal oleh mereka. Di antara sahabat yang diperintahkan untuk menulis
ayat-ayat Al-Qur'an adalah: 1). 4 sahabat terkemuka, yaitu Abu Bakar, Umar,
Usman, dan Ali, 2). Muawiyah bin Abu Sofyan, 3). Zaid bin Tsabit, 4). Ubay bin
Ka’ab, dan 5). Khalid bin Walid.
Mengenai para penulis Alqur’an yang disebut dengan
istilah kuttab, Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i tidak menyebutkan 8 orang
seperti yang dikemukakan oleh Abu Anwar, akan tetapi menurut mereka berdua
bahwa para penulis wahyu itu ada 18 orang, yaitu; 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2).
Umar bin Khattab, 3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Ubay bin
Ka’ab bin Qais, 6). Zaid bin Tsabit, 7). Zubair bin Awwam, 8). Muawiyah bin Abu
Sofyan, 9). Arqom bin Maslamah, 10). Muhammad bin Maslamah, 11. Abban bin Sa’id
bin ‘Ash, 12. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, 13. Tsabit bin Qais, 14. Hanzalah bin
Rabi’, 15. Khalid bin Walid, 16. Abdullah bin Arqam, 17. Al-A’la bin Utbah, dan
18. Syurahbil bin Hasanah.
Tetapi menurut Al-Hafizh Abu Qosim di dalam bukunya
Tarikh Damsyiq bahwa para kuttab berjumlah 23 orang. Selain yang 18 orang yaitu:
Abdullah bin Zaid bin Abdu Robbih, Mughiroh bin Syu’bah, As-Sijil, dan Arqom
bin Abil Arqom.
2.
Metode dan
Sarana Penulisan
Setiap kali Nabi menerima wahyu maka Baginda membacakan
wahyu tersebut di hadapan para sahabat lalu diperintahkan kepada para kuttab
untuk menulisnya dan kemudian menyerahkannya kepada Nabi untuk disimpan.
Sehingga Al-Qur'an benar-benar terjaga dan terpelihara walaupun Bangsa Arab
pada masa itu terkenal dengan kemampuan menghafal data dalam jumlah yang
banyak.
Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu itu
disimpan di rumah Rasul. Di samping itu mereka juga menulis untuk mereka
sendiri. Di saat Rasul masih hidup Al-Qur'an belum dikumpulkan di dalam satu
mushaf (buku yang berjilid).
Kondisi Bangsa Arab pada zaman Nabi belum begitu maju di
bidang percetakan dan perusahaan kertas seperti di negeri Persia dan Romawi,
maka alternatif yang kondisional adalah dengan menggunakan media yang ada di
sekitar mereka seperti pelepah kurma, kepingan batu, kulit kayu, kulit dan
tulang hewan, dan sebagainya.
Adapun tulisan Arab itu mula-mula diciptakan orang di
Yaman, sebenarnya hurufnya sudah didapat dan dipakai orang sejak dari zaman
dahulu kala, semasa Himyar memerintah di sana, konon kabarnya tatkala Al-Munzir
mendirikan kerajaan di Hirah, tulisan Arab itu telah diajarkan dan dipelajari
orang. Menurut Ridho orang-orang Arab belajar tulisan dari orang-orang Thaif
yang dipelajari dari seorang laki-laki suku Hirah dan orang-orang Hirah
mempelajarinya dari orang-orang Anbar. Huruf itu terpakai sampai kepada masa
Sayyidina Umar memerintah di Kufah. Inilah sebabnya maka tulisan Arab itu
dinamakan Huruf Kufi.
Tulisan yang dipakai pada masa Nabi Muhammad SAW adalah
tulisan Kufi itu juga, dan yang membawa tulisan itu ke tanah Hijaz ialah Karb
bin Umayyah, dan dengan demikian catatan-catatan ayat Al-Qur'an dalam masa
Rasulullah dilakukan dengan tulisan itu.
3.
Guru Al-Qur'an
dan Sarana Belajar
Al-Qur'an tidak sekedar ditulis oleh para sahabat akan
tetapi lebih dari itu senantiasa dipelajari dengan seksama, apalagi Nabi ada di
tengah-tengah mereka sehingga menjadi rujukan utama dalam pemahaman kontekstual
Al-Qur'an. Karena pemahaman Al-Qur'an secara tekstual saja tidak cukup untuk
menjalani roda kehidupan di dunia ini.
Sangat diperlukan pendalaman dan penggalian terhadap
kontekstual Al-Qur'an yang bahasanya tidak sekedar tersurat bahkan banyak
sekali yang tersirat, oleh karena itu pembelajaran Al-Qur'an sudah berlangsung
sejak zaman Nabi. Pemahaman yang salah tidak sekedar merusak diri pribadi
bahkan menodai kemurnian syariat dan menyesatkan orang lain.
Metodologi pembelajaran pada zaman Nabi menurut Prof.
Dr. H. Syamsul Nizar, M.Ag ada dua macam, pertama rumah Arqam bin Arqam dan
kuttab. Kuttab adalah istilah tulis baca dan istilah kuttab juga berarti
penulis wahyu, biasanya Nabi mendiktekan dan para sahabat menulis ayat yang
didiktekan Nabi.
Maka pembelajaran Al-Qur'an sangat digalakkan oleh Nabi
terutama kepada para muallaf. Belajar Al-Qur'an sangat didorong oleh Nabi
sebagaimana diceritakan oleh Ubadah bin Shamit: “Apabila ada seorang yang
hijrah (masuk Islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang di antara kami
untuk mengajarkannya. Di Mesjid Nabawi sering terdengar kegaduhan dalam membaca
Al-Qur'an, sehingga Rasul memerintahkan kepada mereka agar jangan saling mengganggu”.
Di antara para sahabat yang terkenal sebagai guru
mengajar Al-Qur'an kepada sesamanya dan kepada para tabi’in adalah: 1).
Usman bin Affan,
2). Ali bin Abi Thalib, 3). Ubay bin Ka’ab, 4). Zaid bin Tsabit, 5). Ibnu Mas’ud, 6). Abu Darda’, dan 7). Abu Musa al-Asy’ari.
2). Ali bin Abi Thalib, 3). Ubay bin Ka’ab, 4). Zaid bin Tsabit, 5). Ibnu Mas’ud, 6). Abu Darda’, dan 7). Abu Musa al-Asy’ari.
4.
Motivasi
menghafal Al-Qur'an
Di samping motivasi belajar Al-Qur'an, Nabi juga
senantiasa menganjurkan para sahabat untuk menghafalnya, apalagi Bangsa Arab
terkenal dengan kemampuan menghafal dan daya ingat yang luar biasa. Tak heran
kalau banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur'an 30 juz.
Motivasi itu bukan hanya dari Nabi tetapi juga dari diri
mereka sendiri begitu mereka mendengar untaian-untaian Kalam Ilahy yang
dibacakan Nabi. Bahasa Al-Qur'an melemahkan bait-bait syair Mu’allaqotul Asy’ar
yang mereka hafal, tanpa terasa akal pikiran mereka meninggalkan syair bait
demi bait dan menggantikannya dengan menghafal Al-Qur'an ayat demi ayat.
Di antara sahabat-sahabat terkemuka yang menghafal
Alqur’an menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari adalah: 1). Abdullah bin
Mas’ud, 2). Salim bin Mu’aqil, dia adalah Maula Abu Huzaifah, 3). Mu’az bin
Jabal, 4). Ubay bin Ka’ab, 5). Zaid bin Tsabit, 6). Abu zaid bin Sukun, dan 7).
Abu Darda’.
Menurut sumber Hadits Bukhari, bahwa tujuh orang tersebutlah
yang bertanggung jawab mengumpulkan Al-Qur'an menurut apa yang mereka hafal
itu, dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Rasulullah. Jadi, melalui
sanad-sanad mereka inilah Al-Qur'an sampai kepada kita seperti yang ada
sekarang ini.
Berbeda dengan Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, menurut
mereka berdua bahwa di antara para sahabat yang hafal Al-Qur'an keseluruhannya
adalah sebagai berikut: 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2). Umar bin Khattab,
3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Talhah, 6). Sa’ad, 7).
Hudzaifah, 8). Salim, 9). Abu Hurairah, 10). Abdullah bin Mas’ud, 11). Abdullah
bin Umar, 12). Abdullah bin Abbas, 13). Amr bin Ash, 14). Abdullah bin Amar bin
Ash, 15). Muawiyah bin Abu Sofyan, 16). Ibnu Zubair, 17). Abdullah bin Saib,
dan 18). ‘Aisyah Ummul Mukminin, 19). Hafshah Ummul Mukminin, 20). Ummu Salamah
Ummul Mukminin, 21). Ubay bin Ka’ab bin Qais, 22). Mu’adz bin Jabal
23). Zaid bin Tsabit, 24. Abu Darda’, 25. Abu Zaid (Qais bin Sakan), 26. Majma’ bin Jariyah (Haritsah), 27. Anas bin Malik, 28. Ubadah bin Shamit
29. Fudhalah bin Ubaid, 30. Maslamah bin Khalid, 31. Qais bin Shasha’ah, 32. Tamim Ad-Dari, 33. Salamah bin Makhlad, 34. Abu Musa Al-Asy’ari
35. Uqbah bin Amir, dan 36. Ummu Faraqah binti abdullah bin Harits.
23). Zaid bin Tsabit, 24. Abu Darda’, 25. Abu Zaid (Qais bin Sakan), 26. Majma’ bin Jariyah (Haritsah), 27. Anas bin Malik, 28. Ubadah bin Shamit
29. Fudhalah bin Ubaid, 30. Maslamah bin Khalid, 31. Qais bin Shasha’ah, 32. Tamim Ad-Dari, 33. Salamah bin Makhlad, 34. Abu Musa Al-Asy’ari
35. Uqbah bin Amir, dan 36. Ummu Faraqah binti abdullah bin Harits.
B. Pada masa Khalifah Abu Bakar
1. Kondisi Al-Qur'an
Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
masih tersimpan dengan rapi di dalam dada para sahabat yang hafal dan juga
tertulis pada pelepah-pelepah kurma, batu-batu tipis, kulit-kulit kayu dan
tulang-tulang hewan. Apa yang dihafal oleh para sahabat sesuai dengan hafalan
Nabi, apa yang tertulis sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi ketika
membacakan wahyu di depan para sahabat.
Kondisi istimewa ini sangat rawan dengan penurunan
kualitas sebab daya hafal dan pemahaman generasi berikutnya tidaklah seistimewa
generasi pertama ditambah lagi dengan mulai terjadi pembangkangan agama sebagai
sinyalir melemahnya keimanan terhadap Al-Qur'an. Ada yang mengaku dirinya
adalah nabi, ada pula yang dengan sengaja meruntuhkan Rukun Islam.
1.
Gagasan
Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Demoralitas kaum munafikin sangat mengganggu ketentraman
beragama pada masa Abu Bakar dan berpengaruh pada keimanan kaum muslimin yang
lainnya. Musailamah Al-Kadzab mengaku dirinya nabi dan bukan sekedar mengaku
tetapi mempengaruhi akidah kaum muslimin Bani Hanifah dari penduduk Yamamah.
Dampak negatif dari pengakuan Musailamah adalah
kemurtadan dan pembangkangan dalam membayar zakat. Dari karena itu Abu Bakar
mengambil inisiatif prepentif agar akidah dapat dikembalikan dan dimurnikan
seperti sedia kala. Disiapkanlah pasukan perang di bawah komando militer Khalid
bin Walid berangkat menuju Yamamah. Perang Yamamah ini banyak menelan korban
dari pihak kaum muslimin, setidaknya gugur sekitar 70 penghafal Al-Qur'an.
Hal ini menggusarkan pikiran Umar bin Khattab khawatir
lenyapnya Al-Qur'an dari muka bumi ini sebagai akibat dari gugurnya para
penghafal Al-Qur'an dalam peperangan. Maka timbullah gagasan menghimpun Al-Qur'an
menjadi satu mushaf dan gagasan cemerlang ini disetujui oleh Abu Bakar.
Segeralah gagasan dilaksanakan dengan menyurati Zaid bin Tsabit sebagai penulis
wahyu.
Ketika Abu Bakar mendengar jawaban yang memuaskan dari
Zaid ia berkata: “Kamu adalah pemuda yang bijaksana, saya tidak meragukan kamu,
kamu adalah penulis wahyu Rasulullah, maka telitilah Al-Qur'an itu dan
kumpulkanlah”. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur'an
setelah syahidnya beberapa orang penghafal Al-Qur'an di perang Yamamah. Umarlah
yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur'an ini. Sejak itulah Al-Qur'an
dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya Al-Qur'an dihimpun.
2.
Pedoman
Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Kepanititan diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang telah
ditunjuk oleh Abu Bakar dengan anggota Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan
Usman bin Affan. Sebagai pengawas adalah Abu Bakar sendiri, Umar bin Khattab
dan para tokoh sahabat lainnya.
Kapabalitas Zaid memang tidak diragukan lagi dan hal itu
terbukti dengan temuannya ketika mengumpulkan Al-Qur'an. Didapati ada ayat yang
tidak tertulis dalam kepingan-kepingan dan ayat itu Zaid dapati ada pada
seorang anshor yaitu Abu Huzaimah.
Adapun acuan yang menjadi pedoman penulisan adalah: 1).
Penulisan berdasarkan kepada sumber tulisan Al-Qur'an yang pernah ditulis pada
masa Rasul yang tersimpan di kediaman Rasul Saw. 2). Penulisan berdasarkan
kepada sumber hafalan para sahabat penghafal Al-Qur'an. Adapun Al-Qur'an
dalam bentuk mushaf disimpan pada Abu Bakar sehingga dia wafat, kemudian
disimpan pada Umar bin Khattab hinggga dia wafat, kemudian disimpan pada Hafsah
binti Umar.
Selain Al-Mushaf yang disimpan di rumah Abu Bakar masih
ada mushaf-mushaf lain yang berada di tangan penulis masing-masing seperti
Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Abu Musa Al-Asy’ari, Mushaf Miqdad bin Aswad, Mushaf
Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Masing-masing mushaf itu dipakai di negeri-negeri
dalam wilayah Islam seperti Kufah, Basrah, Damaskus dan Syam.
C. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
1. Kondisi Al-Qur'an
Tersebarnya Al-Qur'an di beberapa negeri ternyata
berdampak negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah
memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu egosentris
masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka bahwa riwayat qira’at
merekalah yang paling benar dan lebih baik dari qira’at yang lain. Ironisnya
adalah timbul konflik antara murid-murid yang belajar Al-Qur'an dari guru yang
berbeda. Tak menghiraukan Al-Qur'an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang
mengajar di antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
- Gagasan Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Terjadi perbedaan cara membaca (qira’at) di beberapa
negara Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca
Rasulullah. Dia satukan Al-Qur'an dalam satu mushaf dengan bacaan tadi dan
memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras Utsmani merupakan
bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Prilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir
terhadap sesama muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita
tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi berita itu
dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda
pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari ku pasti
lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat
prilaku kaum muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum
muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qira’at. Maka serta
dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan dan menghentikan
perselisihan qira’at.
Ketika terjadi perselisihan tentang Al-Qur'an seyogyanya
tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk kepada orang yang ahli. Sebaiknya
adalah menghindari terjadinya perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada
hendaknya seseorang membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur'an
sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-Qur'an. Jika
terjadi perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur'an, lafazh-lafazh,
hukum-hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu berlarut-larut hingga
dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk, hendaknya mereka membubarkan
diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim
penulis wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang
yang paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit
Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek Arabnya
sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah bin Zubair.
- Pedoman Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap
shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar. Shuhuf
yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf pertama yang dijadikan sebagai
pegangan. Dwi tunggal penulis wahyu itu selalu sependapat dan tidak pernah
berselisih pendapat dalam melaksanakan tugas kecuali pada satu tempat dan
itupun segera mereka atasi dengan mengambil qiro’ah Zaid bin Tsabit sebagai
pedoman dengan alasan Zaid adalah penulis wahyu.
Manakala penulisan selesai pekerjaan selanjutnya adalah
menggandakan mushaf untuk didistribusikan ke negeri-negeri Islam dan menyita
semua mushaf yang ada pada masyarakat kecuali beberapa mushaf yang ditulis oleh
sahabat kenamaan seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin
Ka’ab.
- Keistimewaan Mushaf Utsmani
Beberapa keistimewaan Mushaf Usmani yaitu: 1).
Mushaf ini ditulis berdasarkan kepada riwayat yang mutawatir bukan riwayat ahad,
2). Mushaf ini meninggalkan ayat yang dinasakh bacaannya, 3). Tertib susunannya
(ayat dan surat) sesuai dengan tertib ayat dan surat yang dikenal sekarang ini,
4). Penulisannya berdasarkan cara yang dapat menghimpun segi bacaan yang
berbeda-beda dan huruf-hurufnya sesuai dengan diturunkannya Al-Qur'an tujuh
huruf, 5). Menjauhkan segala sesuatu yang bukan Al-Qur'an, seperti tafsiran
yang ditulis oleh sebagian orang (sahabat) dalam mushaf pribadinya.
Keistimewaan mushaf ini mengistimewakan Utsman sebagai
pelopor atau orang yang pertama menghimpun Al-Qur'an dalam satu tulisan dan qira’at.
A.
Penyempurnaan
Mushaf Utsmani
Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Al-Qur'an.
Penyempurnaan dilakukan karena banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana
dialek mereka berbeda dengan dialek Arab yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk
mempermudah bacaan Al-Qur'an sebagai upaya menghindari terjadinya kecacatan
atau kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:
1. Mu’awiyah bin Abu sofyan
menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap
kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2. Abdul Malik bin Marwan
menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara
satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik
di atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan
kepada Nashir bin
3. Peletakkan baris atau tanda baca
(i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti cara pemberian
baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Al-Qur'an,
pemberian tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf, pangkal surah, nama surah,
tempat turunnya, dan bilangan ayatnya. Upaya ini terjadi pada masa Al-Makmun.
Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur'an agar jumlah Al-Qur'an yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur'an digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur'an agar jumlah Al-Qur'an yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur'an digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
Fase-fase percetakan Al-Qur'an adalah: 1). Dicetak di
Venesia (Bunduqiyah) pada tahun 1530 M. Masa ini mengalami intimidasi dari
gereja, 2). Dicetak di Hamburg pada tahun 1694 M oleh Hinkelman, 3). Dicetak di
Padone pada tahun 1698 M oleh Marocci, 4). Dicetak secara Islami di Saint
Petersbaurg Rusia pada tahun 1873 M oleh Maulaya Usman, 5). Dicetak di Qazan, 6).
Dicetak di Iran sebanyak dua kali, 7). Dicetak di Taheran pada tahun 1828 M, 8).
Dicetak di Tibriz pada tahun 1833 M, 9). Dicetak oleh Flugel di Leipzig pada
tahun 1834.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar