1. Esensi
Al-Qur’an dan Wahyu
Bila ada seorang lagi melontarkan suatu kata tertentu, maka kita
akan melihatnya sedang menggerakan lisannya dengan memakai alat lain yaitu
mulut. Gerakan ini dinamakan kata yang terucap(kalam lafdzy), begitu juga kata
yang dilontarkan. Terkadang kita juga merangkai kata namun tidak diwujudkan
dengan bentuk di atas. merangkai kata ini dinamakan kata hati(kalam al-Nafsi),
begitu juga rangkaian katanya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kalam itu dibagi menjadi dua
bagian.pertama, Kalam Lafdzy. Kedua, Kalam Nafsy. Dua pembagian kalam ini
terdapat pada dzat yang hadist(Makhluq) dan yang Qadim(khaliq). Namun apakah
kalamnya makhluq sama dengan kalamnya khaliq?. Dan apakah al-Quran yang
kitabaca sekarang makluq?.
Al-Qur’an menurut bahasa adalah Masdar yang searti dengan lafadz
Qira’ah(membaca) kemudian dijadikan nama bagi kalam yang ditutrunkan ke Nabi
Muhammad SAW sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Lihyani dan kebanyakan
ulama. Ada juga yang mengatakan sifat dari lafadz Qar’i dengan arti kumpul, ada
juga yang mengatakan bahwa Qur’an itu diambil dari lafadz Qara’in dan Qarana.
Namun pendapat ini tidak terlalu tepat, karena terdapat unsur pemaksaan dan dan
tidak mengikuti kaidah pengambilan kata(isytiqaq).
Al-Qur’an juga punya nama lain yaitu al-Furqan meninjau
eksistensinya sebagai kalam yang dapat memisahkan antara kebenaran dan
kebatilan. Dan al-Qura’an sama al-Furqan ini adalah dua nama bagi kalamu
al-Allah yang termasyhur. Sementara nama-nama lain, seperti al-Kitab, al-Dzikri
dan al-Tanzil DLL semuanya merujuk pada keduanya, sebagaimana yang dikatakan
sebagian ulama Tafsir. Sebenarnya masih banyak nama-nama al-Qur’an selain yang
penulis sebutkan di atas, bahkan ada sebagian ulama yang ketelaluan dalam
menamainya sampai lebih dari Sembilan puluh nama, sebagaimana yang disebutkan
oleh pengarang kita al-Tibyan.
Sementara difinisi al-Qur’an menurut istilah adalah sifat Qadim yang
berhubungan dengan kalimat al-Hukmiyah atau dengan kata lain adalah firman
Allah yang tidak memakai huruf dan suara. Difinisi ini adalah difinisi ulama
Tauhid(Mutakallimin). Sementara Ulama ushul Fiqih mendifiniskannya sebagai
lafadz yang diturunkan kepada Nabi dari awal surat al-fatihah sampai ahir surat
an-Nas. Ada juga yang mendifinisikannya sebagai lukisan yang ada disetiap
lembar Mushaf yang kita kenal sekarang. Difinisi-difinisi di atas tidak ada
yang bertentangan karena tinjaunnya adalah pembahasan yang berkaitan dengan
setiap apa yang ditekuni para ulama(takhasshus).[1]
Mutakallimin membahas tentang sifat Allah dan yang menafikan keberadaan
al-Qur’an sebagai makhluk sementara ulama Ushul Fiqih membahas penetapan dalil
sebuah hukum(istidlal) yang hubungannya dengan lafadz.
a. Jibril dan Wahyu
Banyak sekali nash-nash al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah
berbicara terhadap para malaikat tanpa pelantara apapun, sebagaimana dalam
surat al-Baqarah ayat 30, al-Anfal ayat 13, al-Dzariyat ayat 4 dan al-Nazi’at
ayat 5. Diriwayatkan dari Nuwas Bin Sam’an bahwa rasulullah berkata: ”Bila
Allah menghendaki suatu perkara, maka Allah akan berbicara. Semua langit dan
seisinya merasa ketakutan, akhirnya mereka semua bersujud pada Allah dan tidak
ada yang berani mengangkat kepalanya kecuali Malaikat Jibril. Kemudian Allah
menyampaikan padanya perkara yang dikehendaki tersebut dan Jibrilpun
menerimanya secara langsung(sima’an). Setelah itu Jibril berjalan mengelilingi
langit dan setiap dia ketemu Malaikat dia ditanya perihal firman Allah tadi
Jibrilpun menjawabnya, kemudian para malaikat itu berkata bahwa semua yang disampaikan
Jibril adalah apa yang disampaikan Allah.”.
Terkait dengan al-Qur’an sebagai Wahyu ada tiga pendapat. Pertama,
Jibril menerimanya secara langsung dari Allah(sima’an). Kedua, Jibril
menghafalnya dari Lauhi al-Mahfudz. Ketiga, Allah mewahyukan secara makna,
sementara lafadzya dari Jibril atau dari Muhammad SAW. Pendapat ketiga ini
jelas batilnya meninjau al-Qur’an itu sendiri, karena di sana ada hadit Qudsi
yang kebanyakan ulama’ sepakat sebagai wahyu dari Allah namun secara makna
sementara lafadzya dari Rasul sendiri.
b.
Wahyu dan Rasulullah
Yang dimaksud wahyu di sini al-Qur’an dan hadis Nabi baik hadis
Qudsi atau bukan, namun penulis lebih memfokuskan pada al-Qur’an sebagai kajian
di sini. Ada dua model Rasulullah menerima wahyu dari Allah. Pertama, langsung
dari Allah. Kedua, melalui pelantaraan malaikat. Wahyu yang secara langsung ini
terkadang berbentuk sebuah mimpi nyata dan kalam ilahi dari di belakang
layar(wara’a hijab) seperti wahyu yang turun pada Rasulullah di malam Isra’ dan
Mi’raj. Pelentara yang disebutkan di sini bisa berbentuk kekuatan suara yang
terkadang berupa kepakan sayap malaikat atau deringan bel(shalshalatu
al-Jarras) sebagai tanda, sehingga Rasul bisa bersiap-siap menerima wahyu
tersebut. Terkadang Malaikat Jibril mendatangi Rasul secara langsung dengan
bentuk manusia, sebagaimana dalam hadis yang menjelaskan tentang Iman, Islam
dan Ihsan.
c. Al-Qur’an Dan Firman Allah
Bicara tentang firman Allah berarti berbicara tentang
difinisi-difinisi di atas, yaitu kalam yang Qadim yang tidak menggunakan suara
dan huruf, lukisan yang ada disetiap lembar Mushaf yang kita kenal sekarang,
atau lafadz yang diturunkan pada Rasulullah dari awal surat al-Fatihah sampai
akhir al-Nas yang juga kita kenal dengan Mushaf di masa sekarang. Dua difinisi
ini sama-sama dikatakan al-Qur’an. Namun yang kedua hanya bukti dari firman
Allah tersebut(dilalah yang ditunjukannya sama dengan dilalah kalamullah yang
Qadim) bukan firman Allah itu sendiri, karena karena firman Allah itu Qadim
sementara bukti(al-Qur’an yang kita kenal sekarang) itu baru(baru). Namun
walaupun begitu bukti tadi tetap dikatakan al-Quran dan bukan makhluk karena
mengindikasikan firman yang Qadim sebagaimana yang disebutkan imam Sanusi dalam
kitabnya”Hasyiyatu al-Sanusi”.[2]
Diriwayatkan bahwa Siti Aisyah pernah berkata”Lukisan yang berada di setiap
lemabar atau Mushaf yang kita kenal sekarang adalah firman Allah(kalamullah)
dengan artian diciptkan oleh Allah(makluqun lahu) bukan manusia”. Karena itu
tidak ada alasan bagi kita untuk mengatkan al-Qur’an itu makluk lebih-lebih
kalau harus meremehkannya sebagaimana kejadian yang pernah dilakukan oleh
sebagian dosen di Surabaya di IAIN Surabaya. Untuk lebih membuktikan kemulyaan
al-Qur’an tersebut ada pertanyaan dari penulis yang bisa kita renungkan sendiri”Apa
yang kita rasakan bila kita punya karangan atau mengatakan sesuatu kemudian
dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian tulisan diremehkan oleh seseorang
dengan diinjaknya atau dengan model peremehan yang lain?”. ini adalah bukti
keterkaitan al-Qur’an yang kita kenal sekarang dengan kalamullah al-Qadim
tersebut.
Untuk lebih membuktikan lagi keberadaan al-Qur’an sebagai kalamullah
dan murni dari Allah secara lafadz dan makna adalah apa yang riwayatkan imam
Suyuti dari imam Juwaini bahwa beliau membagi firman Allah menjadi dua bagian.
Pertam, Allah memerintah malaikat Jibril untuk menyampaikan sesuatu pada Nabi
seraya berkata”Hai Jibril katakana pada Nabi” sesungguhnya Allah memerintahkan
ini dan itu”. Kemudian Jibril memahami apa yang diperintahkan Allah dan
menyampaikannya pada Nabi, namun bukan dengan redaksi yang dari Allh tersebut.
Kedua, perintah Allah pada malaikat Jibril”Hai Jibril Bacakanlah pada Nabi
kitab ini kemudian Jibril turun pada Nabi untuk menyampaikan perintah tadi
tanpa merubah redaksi yang disampaikan Allah padanya. Setelah itu imam Suyuti
mengatakan bahwa al-Qur’an termasuk bagian yang kedua sementara bagian yang
pertama adalah hadis Rasul, karena itu boleh meriwayatkan hadis secara
makna(al-Riwayah bi al-Ma’na).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu bisa dikatakan
pada al-qur’an yang kita kenal sekarang(al-Alfadz al-Musyarrafah) dan firman
Allah yang Qadim, namun kita tetap tidak boleh mengatakan al-Qur’an(al-Alfadz
al-Musyarrafah) adalah hadis karena al-Qur’an tersebut mengindikasikan
keberadaan firman Allah yang Qadim, sehingga sebagai kesimpulan kita juga tidak
bisa mengatakan kalau al-Qur’an itu makluq.[3]
Esensi Wahyu
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy
yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan,
paham dan juga api. Ttp ada juga yang mengartikan bisikan yang tersembunyi dan cepat. Dengan demikian,
pengertian wahyu secara etimologis
adalah penyampaian sabda tuhan kepada manusia piihan-nya tanpa diketahui
orang lain , agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai
pegangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Pengertian Wahyu Secara Terminologis adalah pemberitahuan Allah swt
kepada hambanya yang terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk
dikemukakannya, baik berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara
rahasia dan tersembunyi serta tidak terjadi pada manusia biasa. Sedang wahyu
Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i
definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.
Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu almuha (yang diwahyukan).
Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah
pengetahuan yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan
bahawa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang
pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama
sekali. Beza antara wahyu dengan ilham adalah bahawa ilham itu intuisi yang
diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa
mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar,
haus, sedih, dan senang.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar.
Bahagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan
suara hati atau kasyaf, tetapi pembezaannya dengan ilham di akhir definisi
meniadakan hal ini. Sebagaimana pengakuan al-Qur’an bahwa wahyu merupakan
sebuah hakikat dan kebenaran dan dalam beberapa ayat al-Qur’an hal tersebut
dinisbahkan kepada Nabi saw. Akan tetapi, al-Qur’an, dalam menjelaskan esensi
wahyu, hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak memaparkan sedetail mungkin.
Al-Qur’an menyatakan: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan
oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan.” (Qs. asy-Syu’araa’ ayat 192-194).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar