POLA HUBUNGAN GURU DAN MURID
A. Pendahuluan
Hubungan baik antara guru murid dalam dunia pendidikan
sangat diperlukan agar tujuan-tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Kualitas
pembelajaran sangat ditentekan pada keharmonisan interaksi antara guru dan
murid. Seorang guru sebagai pelaku utama kegiatan pendidikan memerlukan
persiapan dalam membangun hubungan dengan anak didik, baik dari segi mengasah
emosional untuk membangun kerjasama dengan anak didik, persipan penguasaan ilmu
yang hendak diajarkannya, perispan metode menyampaikan ilmu secara efisien dan
tepat sasaran kepada obyek didik yang bervariasi dari kepribadian atau
akhlaknya.[1] Oleh
karena itu guru harus mampu melakukan tugas dan perannya sebagai fasilisator,
motivator dan innovator.
Makalah ini membahas tentang
Pola Hubungan Guru dan Murid yang disajikan dalam bahasa yang sederhana,
dibimbing oleh Dr. Sri Suyanta, MA sebagai dosen pengasuh Mata Kuliah Sejarah
Khazanah Pendidikan Islam, Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry semester II
Jurusan Pendidikan Islam-II tahun 2012.
Metode pengkajian makalah ini
adalah telaah perpustakaan dengan mengupulkan berbagai konsep untuk mengukuhkan
analisa yang lebih tajam. Sitematika pembahasan makalah ini dibagi dalam tiga
bagian, yaitu; bagian pertama pendahuluan, bagian kedua pembahasan dan bagian
ketiga penutup. Adapun temuan-temuan signifikan penulis paparkan pada akhir bahagian
kedua "Analisa Penulis".
B. Makna Kerja Guru Bagi Murid
Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang
memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap
orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang
menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam
proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses, aktivitas orientasi serta
relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu
melibatkan keberadaan pendidik dan murid sebagai aktor pelaksana.[2]
Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas
terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Dengan mendasarkan pada pengertian
bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk
mengembangkan kualitas murid, terkandung suatu makna bahwa proses yang
dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung apabila tidak hadir
pendidik dan murid dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar.[3] Sehingga
bisa dikatakan bahwa pendidik dan murid merupakan pilar utama terselenggaranya
aktivitas pendidikan.
Pendidik dan murid merupakan dua jenis status yang
dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah
aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendidikan. Masing-masing posisi yang
melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat
peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang
menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan murid terikat oleh suatu
tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai
dengan posisi yang diperankan.[4]
Semenjak penyusunan perencanaan pengajaran sampai kepada evaluasi pengajaran
telah melibatkan proses hubungan timbal balik antara guru dan murid baik secara
langsung maupun tidak langsung demi mencapai tujuan kegiatan.[5]
Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut
mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar-mengajar selalu
mengupayakanterjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai
pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria
peningkatan kemampuan pribadi baik pada ranah kognitif, afektif maupun
psikomotorik.[6]
Selain
itu proses perembesan nilai dominan tersebut tentunya menyebar dan mendapat
reaksi aktif dari para murid dengan beragam kemampuan, identitas, karakter
individu maupun kelompok serta unsur sosial lain yang ikut terlibat dalam atmosfir
orientasi edukatif rupanya berhasil menciptakan keragaman pola hubungan beserta
aneka ragam hasil dari interaksi belajar mengajar antara guru dan murid di
dalam lingkungan belajarnya.[7] Semua
proses itu merupakan konsekuensi logis atas terbentuknya dunia sekunder
aktivitas sekelompok manusia bernama lingkungan pendidikan yang di dalamnya
mencakup kompleksitas aktivitas individu, kelompok dan sub-kultur lain yang
ikut terlibat. Sehingga apapun yang terlaksana juga mengikutsertakan
jaring-jaring nilai, peran, status, hak dan kewajiban serta implikasi-implikasi
sosial lainnya.[8]
Sebagai
salah satu sistem organisasi aktivitas manusia, dunia pendidikan memiliki
perangkat-perangkat sistemik yang mengikutsertakan unsur internal maupun
eksternal guna membantu upaya pencapaian tujuan kelembagaannya. Dalam dimensi
sosial, lembaga pendidikan merupakan bagian dari pranata sistem sosiokultural
masyarakat luas yang secara spesifik bertugas memelihara kelangsungan hasil
kerja peradaban masyarakat agar dirangkai menjadi ragam aktivitas
belajar-mengajar demi menjamin kelestarian produk masyarakat serta kualitas
manusia-manusia penerus kebudayaan.[9]
Hakikat
hubungan pendidikan dengan masyarakat ini mempengaruhi eksistensi serta
dinamika antarkomponen dalam wilayah internal lembaga pendidikan. Sehingga
untuk hal yang lebih khusus, hubungan guru dan murid tidak lepas dari jaring
pengaruh komponen lain di wilayah kelembagaanya juga kekuatan-kekuatan
eksternal yang secara laten ikut terlibat aktif mewarnai dinamika interaksi
guru dan murid.[10]
Sedikit
ilustrasi tersebut dapat menegaskan bahwa makna kerja guru terhadap murid dalam
ruang pendidikannya bukanlah sekadar aktivitas sederhana yang terisolasi dari
konteks pembentuk serta keanekaragaman implikasi sosialnya. Menyadari hal
demikian, kiranya dapat dipahami bahwa aktivitas belajar-mengajar antara guru
dengan murid merupakan salah satu gejala social yang memiliki keterkaitan erat
dengan rangkaian latar belakang serta konsekuensi sosialnya. Oleh sebab itu,
dalam kerangka tersebut segi-segi hubungan guru dan murid menjadi salah satu
topik bahasan dalam sosiologi pendidikan.
Dalam hal ini, kacamata sosiologi pendidikan akan meneropong segala hal
yang berkaitan dengan interaksi edukatif antara guru dan murid dalam konteks
sosialnya.
C. Sikap Guru Terhadap Murid
Akhlak guru yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
menghadapi para siswa telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Menurut Ibnu
Jama’ah, dalam Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam
Seorang guru dalam menghadapi muridnya hendaknya: (1). Bertujuan
mengharapkan ridho dari Alloh, (2). Memiliki niat yang baik, (3). Menyukai ilmu
dan mengamalkannya, (4). Memberikan peluang terhadap pelajaran yang menunjukkan
kecerdasan dan keunggulan, (5). Memberikan pemahaman menurut kadar kesanggupan
muridnya, (6). Mendahulukan pemberian pujian daripada hukuman, (7). Menghormati
muridnya, (8). Memberikan motivasi kepada para siswa agar giat belajar, (9). Memperlakukan
siswa secara adil tidak pilih kasih, (10). Memberikan bantuan kepada pelajar
sesuai dengan kesanggupannya, (11). Bersikap rendah hati.[11]
Seorang guru harus mengetahui dan memahami gejala
aktivitas jiwa murid. Murid memiliki karakteristik yang unik yang perlu
dipahami oleh para guru. Pengetahuan tentang karakteristik psikologis murid
yang berkaitan dengan aktivitas umum jiwa murid sangat penting bagi para guru
dalam memahami murid secara individual untuk menyukseskan pembelajaran di
kelas. Adapun gejala umum aktifitas jiwa murid yang perlu menjadi perhatian
bagi seorang guru adalah; perhatian, pengamatan, persepsi, fantasi, ingatan,
berfikir, motif, sikap, minat dan sebagainya. Itu semua gejala-gejala aktifitas
jiwa yang sangat perlu diperhatikan bagi seorang guru.[12]
Adapun kualitas sikap guru terhadap murid bisa
dilihat dari cara guru untuk memahami muridnya. Apabila guru itu bisa memahami
siswanya mulai dari yang kemampuannya rendah sampai yang mempunyai kemampuan
tinggi maka hubungan guru dan murid bisa berjalan dengan baik dan sikap guru
itu merupakan cerminan dari sifat dan kepribadian guru tersebut.
Secara moral, pada umumnya sikap murid sama dengan sikap
guru, yaitu sama-sama mengedepankan akhlak, saling menghargai dan menjalankan
peran sesuai porsi dalam menyerab dan member ilmu. Semua guru berasal dari
murid, maka murid harus mampu bersikap sebagai pribadi yang berakhlak dan murid
harus mampu bersikap sebagai penuntut ilmu.[13]
Sebagai pribadi, seorang murid harus bersikap rendah
hati pada ilmu dan guru. Selanjutnya murid sebagai penuntut ilmu harus belajar bersungguh-sungguh agar dapat
menangkap pelajaran dan mengamalkannya. Dengan cara demikian ia akan menjadi
insan yang berilmu dan beramal, ia menjaga keridhaan gurunya, tidak menggunjing
gurunya, mencegah orang lain yang menggunjing gurunya.
E. Hubungan Guru dan Murid Sebagai Interaksi
Edukatif
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kehadiran manusia lain. Keberadaan
manusia selain diri kita menyebabkan proses hubungan timbal-balik terjadi
secara alamiah. Proses jalinan hubungan antar individu maupun kelompok terjadi dalam
rangkaian upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling membutuhkan yang berbeda-beda
jenis kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia lain. [14]
Kecenderungan
manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang
mengandung tindakan dan perbuatan. Oleh karena ada aksi dan reaksi, maka
interaksi pun terjadi. Oleh karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan
timbal balik antara dua orang atau lebih.[15]
Ilustrasi
tentang interaksi di atas adalah interaksi manusia yang lazim terjadi dalam
masyarakat. Hal itu berbeda dengan interaksi edukatif, interaksi tersebut
dilakukan secara alamiah tanpa dilandasi pedoman tujuan yang mengikat. Mereka
melakukan interaksi dengan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, interaksi
antara manusia selalu mempunyai motif-motif tertentu guna memenuhi tuntutan
hidup dan kehidupan mereka masingmasing.
Interaksi
yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi
yang bernilai edukatif”, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan
untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan
ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif”. [16]
Interaksi
edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah
pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang
bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi edukatif harus berproses dalam
ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, interaksi edukatif adalah suatu
gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung
dalam ikatan tujuan pendidikan.[17]
Proses
interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma. Semua
norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu,
wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam
penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan
antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai
dengan pengetahuan yang diterima anak didik.[18] Dengan
demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah
antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai
tujuan pendidikan.
F. Pola Hubungan Guru Murid dalam
Perspektif Qur'an dan Hadits
Sebelum lebih jauh penulis
memaparkan hubungan guru-murid perspektif hadis, maka perlu penulis tegaskan
bahwa kajian di seputar ini sama saja dengan membicarakan etika guru-murid
perspektif hadis. Disebut demikian, karena pembicaraan ini pasti menyangkut hubungan
atau interaksi bernilai positif guru-murid. Interaksi bernilai positif tentu
sama saja dengan interaksi etis guru-murid. Oleh karena itu, kajian hubungan
guru-murid sama artinya dengan etika guru-murid.
Kajian ini akan didasarkan kepada
suatu perspektif bahwa Nabi SAW dalam hal ini sebagai contoh guru sempurna.
Oleh karena itu, interaksinya dengan para sahabat menjadi fokus pembahasan ini.
Secara lebih rinci, bagaimana Nabi memberlakukan para sahabat yang nota bene
muridnya, mendidik mereka, berbicara kepada mereka, menyayangi mereka dan
menjalin persahabatan dengan mereka.
Di antara point penting hubungan
guru-murid perspektif hadis sebagai berikut:
1. Menjadikan
guru sebagai suri tauladan yang baik kepada murid
Keteladanan dalam pendidikan
merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Anak
memandang pendidik sebagai figure terbaik, yang tindak-tanduk dan
sopan-santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru. Bahkan perkataan, perbuatan
dan tindak-tanduk guru akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.
Masalah keteladanan menjadi
faktor penting dalam menentukan baik-buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat
dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh
dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya,
jika pendidik adalah seorang pembohong, khianat, durhaka, kikir, penakut, dan
hina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir,
penakut, dan hina.
Allah SWT telah mengajarkan — dan
Dia adalah peletak metode samawi yang tiada taranya — bahwa Rasul yang diutus
untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, adalah seorang pendidik
yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun intelektual.
Sehingga umat manusia meneladaninya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan,
keutamaan dan akhlak yang terpuji. Allah mengutus Nabi Saw sebagai teladan yang
baik bagi kaum muslimin sepanjang sejarah, dan bagi umat manusia di setiap saat
dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang memberi petunjuk. Allah
berfirman dalam surat al-Ahzab/33 ayat 21:
لقد كان لكم في رسول الله
اسوة حسنة
Artinya: Sesumngguhnya telah ada pada( diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik.
Dalam
al-Ahzab/33 ayat 45-46 disebutkan sebagai berikut:
يا ايها النبي انا ارسلناك
شاهدا ومبشرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا
Artinya: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi
dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepad
agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.
Allah meletakkan pada diri Nabi yang mulia
suatu bentuk yang sempurna bagi metode pendidikan yang islami, agar menjadi
gambaran yang hidup dan abadi bagi generasi-generasi umat selanjutnya dalam
kesempurnaan akhlak dan universalitas keagungan kepribadian.
Aisyah pernah ditanya tentang akhlak
Rasulullah, beliau berkata:
حدثنا عبد الله حدثني ابي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن قتا
دة عن زرارة عن سعد بن هشام قال سالت عاءشة فقالت اخبرني عن خلق رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقالت: كان خلقه القران
Artinya: …Akhlaknya
adalah al-Qur`an.
Ungkapan
Aisyah tersebut tentu tidak mengherankan karena karena Allah Yang Maha Sucilah
yang telah mendidiknya secara langsung dalam suasana pendidikan yang mulia. Hal
demikian sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan Askari dan Ibnu Sam’ani
sebagai berikut:
ادبني ربي فاحسن تاءديبي
Artinya: Tuhanku
telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.
[1]Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam,
(Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), h. 97
[2] Suparlan, Guru Sebagai Profesi,
(Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2006), h. 37-39.
[3] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008),
h.52
[4]
Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara. 1992), h. l29
[5] Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar…, h. 97
[6] Supiana dan M. Karman, Materi
Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), h. 49
[7] Supiana dan M. Karman, Materi...,
h. 50
[8] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam
Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), h. 74
[9] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali
Persada, 2003), h. 40
[10] Suparlan, Guru…, h. 41
[11] Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar…, h. 98
[12]Abdul Hadis, Psikologi Dalam Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2006), h. 21-22
[14] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha
Nasional, tt), h. 167-168
[15] Sanapiah Faisal, Sosiologi…, h. 167-168
[16] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1993), h. 71
[17] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), h. 39
[18] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 37-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar