Total Tayangan Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

Pola Hubungan Guru dan Murid I Ridwan, MA

POLA HUBUNGAN GURU DAN MURID

A.      Pendahuluan
Hubungan baik antara guru murid dalam dunia pendidikan sangat diperlukan agar tujuan-tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Kualitas pembelajaran sangat ditentekan pada keharmonisan interaksi antara guru dan  murid. Seorang guru sebagai pelaku utama kegiatan pendidikan memerlukan persiapan dalam membangun hubungan dengan anak didik, baik dari segi mengasah emosional untuk membangun kerjasama dengan anak didik, persipan penguasaan ilmu yang hendak diajarkannya, perispan metode menyampaikan ilmu secara efisien dan tepat sasaran kepada obyek didik yang bervariasi dari kepribadian atau akhlaknya.[1] Oleh karena itu guru harus mampu melakukan tugas dan perannya sebagai fasilisator, motivator dan innovator.
Makalah ini membahas tentang Pola Hubungan Guru dan Murid yang disajikan dalam bahasa yang sederhana, dibimbing oleh Dr. Sri Suyanta, MA sebagai dosen pengasuh Mata Kuliah Sejarah Khazanah Pendidikan Islam, Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry semester II Jurusan Pendidikan Islam-II tahun 2012.
Metode pengkajian makalah ini adalah telaah perpustakaan dengan mengupulkan berbagai konsep untuk mengukuhkan analisa yang lebih tajam. Sitematika pembahasan makalah ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu; bagian pertama pendahuluan, bagian kedua pembahasan dan bagian ketiga penutup. Adapun temuan-temuan signifikan penulis paparkan pada akhir bahagian kedua "Analisa Penulis".
B.  Makna Kerja Guru Bagi Murid
Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan murid sebagai aktor pelaksana.[2]
Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Dengan mendasarkan pada pengertian bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas murid, terkandung suatu makna bahwa proses yang dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung apabila tidak hadir pendidik dan murid dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar.[3] Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidik dan murid merupakan pilar utama terselenggaranya aktivitas pendidikan.
Pendidik dan murid merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendidikan. Masing-masing posisi yang melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan murid terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan.[4] Semenjak penyusunan perencanaan pengajaran sampai kepada evaluasi pengajaran telah melibatkan proses hubungan timbal balik antara guru dan murid baik secara langsung maupun tidak langsung demi mencapai tujuan kegiatan.[5]
Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar-mengajar selalu mengupayakanterjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.[6]
Selain itu proses perembesan nilai dominan tersebut tentunya menyebar dan mendapat reaksi aktif dari para murid dengan beragam kemampuan, identitas, karakter individu maupun kelompok serta unsur sosial lain yang ikut terlibat dalam atmosfir orientasi edukatif rupanya berhasil menciptakan keragaman pola hubungan beserta aneka ragam hasil dari interaksi belajar mengajar antara guru dan murid di dalam lingkungan belajarnya.[7] Semua proses itu merupakan konsekuensi logis atas terbentuknya dunia sekunder aktivitas sekelompok manusia bernama lingkungan pendidikan yang di dalamnya mencakup kompleksitas aktivitas individu, kelompok dan sub-kultur lain yang ikut terlibat. Sehingga apapun yang terlaksana juga mengikutsertakan jaring-jaring nilai, peran, status, hak dan kewajiban serta implikasi-implikasi sosial lainnya.[8]
Sebagai salah satu sistem organisasi aktivitas manusia, dunia pendidikan memiliki perangkat-perangkat sistemik yang mengikutsertakan unsur internal maupun eksternal guna membantu upaya pencapaian tujuan kelembagaannya. Dalam dimensi sosial, lembaga pendidikan merupakan bagian dari pranata sistem sosiokultural masyarakat luas yang secara spesifik bertugas memelihara kelangsungan hasil kerja peradaban masyarakat agar dirangkai menjadi ragam aktivitas belajar-mengajar demi menjamin kelestarian produk masyarakat serta kualitas manusia-manusia penerus kebudayaan.[9]
Hakikat hubungan pendidikan dengan masyarakat ini mempengaruhi eksistensi serta dinamika antarkomponen dalam wilayah internal lembaga pendidikan. Sehingga untuk hal yang lebih khusus, hubungan guru dan murid tidak lepas dari jaring pengaruh komponen lain di wilayah kelembagaanya juga kekuatan-kekuatan eksternal yang secara laten ikut terlibat aktif mewarnai dinamika interaksi guru dan murid.[10]
Sedikit ilustrasi tersebut dapat menegaskan bahwa makna kerja guru terhadap murid dalam ruang pendidikannya bukanlah sekadar aktivitas sederhana yang terisolasi dari konteks pembentuk serta keanekaragaman implikasi sosialnya. Menyadari hal demikian, kiranya dapat dipahami bahwa aktivitas belajar-mengajar antara guru dengan murid merupakan salah satu gejala social yang memiliki keterkaitan erat dengan rangkaian latar belakang serta konsekuensi sosialnya. Oleh sebab itu, dalam kerangka tersebut segi-segi hubungan guru dan murid menjadi salah satu topik bahasan dalam sosiologi pendidikan.  Dalam hal ini, kacamata sosiologi pendidikan akan meneropong segala hal yang berkaitan dengan interaksi edukatif antara guru dan murid dalam konteks sosialnya.

C.  Sikap Guru Terhadap Murid
Akhlak guru yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas menghadapi para siswa telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Menurut Ibnu Jama’ah, dalam Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam
Seorang guru dalam menghadapi muridnya hendaknya: (1). Bertujuan mengharapkan ridho dari Alloh, (2). Memiliki niat yang baik, (3). Menyukai ilmu dan mengamalkannya, (4). Memberikan peluang terhadap pelajaran yang menunjukkan kecerdasan dan keunggulan, (5). Memberikan pemahaman menurut kadar kesanggupan muridnya, (6). Mendahulukan pemberian pujian daripada hukuman, (7). Menghormati muridnya, (8). Memberikan motivasi kepada para siswa agar giat belajar, (9). Memperlakukan siswa secara adil tidak pilih kasih, (10). Memberikan bantuan kepada pelajar sesuai dengan kesanggupannya, (11). Bersikap  rendah hati.[11]

Seorang guru harus mengetahui dan memahami gejala aktivitas jiwa murid. Murid memiliki karakteristik yang unik yang perlu dipahami oleh para guru. Pengetahuan tentang karakteristik psikologis murid yang berkaitan dengan aktivitas umum jiwa murid sangat penting bagi para guru dalam memahami murid secara individual untuk menyukseskan pembelajaran di kelas. Adapun gejala umum aktifitas jiwa murid yang perlu menjadi perhatian bagi seorang guru adalah; perhatian, pengamatan, persepsi, fantasi, ingatan, berfikir, motif, sikap, minat dan sebagainya. Itu semua gejala-gejala aktifitas jiwa yang sangat perlu diperhatikan bagi seorang guru.[12] 
Adapun kualitas sikap guru terhadap murid bisa dilihat dari cara guru untuk memahami muridnya. Apabila guru itu bisa memahami siswanya mulai dari yang kemampuannya rendah sampai yang mempunyai kemampuan tinggi maka hubungan guru dan murid bisa berjalan dengan baik dan sikap guru itu merupakan cerminan dari sifat dan kepribadian guru tersebut.

D.  Sikap Murid terhadap Guru
Secara moral, pada umumnya sikap murid sama dengan sikap guru, yaitu sama-sama mengedepankan akhlak, saling menghargai dan menjalankan peran sesuai porsi dalam menyerab dan member ilmu. Semua guru berasal dari murid, maka murid harus mampu bersikap sebagai pribadi yang berakhlak dan murid harus mampu bersikap sebagai penuntut ilmu.[13]
Sebagai pribadi, seorang murid harus bersikap rendah hati pada ilmu dan guru. Selanjutnya murid sebagai penuntut ilmu  harus belajar bersungguh-sungguh agar dapat menangkap pelajaran dan mengamalkannya. Dengan cara demikian ia akan menjadi insan yang berilmu dan beramal, ia menjaga keridhaan gurunya, tidak menggunjing gurunya, mencegah orang lain yang menggunjing gurunya.

E.     Hubungan Guru dan Murid Sebagai Interaksi Edukatif
Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kehadiran manusia lain. Keberadaan manusia selain diri kita menyebabkan proses hubungan timbal-balik terjadi secara alamiah. Proses jalinan hubungan antar individu maupun kelompok terjadi dalam rangkaian upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling membutuhkan yang berbeda-beda jenis kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia lain. [14]
Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Oleh karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Oleh karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[15]
Ilustrasi tentang interaksi di atas adalah interaksi manusia yang lazim terjadi dalam masyarakat. Hal itu berbeda dengan interaksi edukatif, interaksi tersebut dilakukan secara alamiah tanpa dilandasi pedoman tujuan yang mengikat. Mereka melakukan interaksi dengan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, interaksi antara manusia selalu mempunyai motif-motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan mereka masingmasing.
Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi yang bernilai edukatif”, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif”. [16]
Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi edukatif harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan.[17]
Proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma. Semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik.[18] Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.


F.     Pola Hubungan Guru Murid dalam Perspektif Qur'an dan Hadits
Sebelum lebih jauh penulis memaparkan hubungan guru-murid perspektif hadis, maka perlu penulis tegaskan bahwa kajian di seputar ini sama saja dengan membicarakan etika guru-murid perspektif hadis. Disebut demikian, karena pembicaraan ini pasti menyangkut hubungan atau interaksi bernilai positif guru-murid. Interaksi bernilai positif tentu sama saja dengan interaksi etis guru-murid. Oleh karena itu, kajian hubungan guru-murid sama artinya dengan etika guru-murid.
Kajian ini akan didasarkan kepada suatu perspektif bahwa Nabi SAW dalam hal ini sebagai contoh guru sempurna. Oleh karena itu, interaksinya dengan para sahabat menjadi fokus pembahasan ini. Secara lebih rinci, bagaimana Nabi memberlakukan para sahabat yang nota bene muridnya, mendidik mereka, berbicara kepada mereka, menyayangi mereka dan menjalin persahabatan dengan mereka.
Di antara point penting hubungan guru-murid perspektif hadis sebagai berikut:

1.      Menjadikan guru sebagai suri tauladan yang baik kepada murid
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Anak memandang pendidik sebagai figure terbaik, yang tindak-tanduk dan sopan-santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru. Bahkan perkataan, perbuatan dan tindak-tanduk guru akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.
Masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik-buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya, jika pendidik adalah seorang pembohong, khianat, durhaka, kikir, penakut, dan hina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut, dan hina.
Allah SWT telah mengajarkan — dan Dia adalah peletak metode samawi yang tiada taranya — bahwa Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, adalah seorang pendidik yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji. Allah mengutus Nabi Saw sebagai teladan yang baik bagi kaum muslimin sepanjang sejarah, dan bagi umat manusia di setiap saat dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang memberi petunjuk. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab/33 ayat 21:
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة
Artinya: Sesumngguhnya telah ada pada( diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.
Dalam al-Ahzab/33 ayat 45-46 disebutkan sebagai berikut:
يا ايها النبي انا ارسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا
Artinya: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepad agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.
Allah meletakkan pada diri Nabi yang mulia suatu bentuk yang sempurna bagi metode pendidikan yang islami, agar menjadi gambaran yang hidup dan abadi bagi generasi-generasi umat selanjutnya dalam kesempurnaan akhlak dan universalitas keagungan kepribadian.
Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau berkata:
حدثنا عبد الله حدثني ابي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن قتا دة عن زرارة عن سعد بن هشام قال سالت عاءشة فقالت اخبرني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت:  كان خلقه القران
Artinya: …Akhlaknya adalah al-Qur`an.
Ungkapan Aisyah tersebut tentu tidak mengherankan karena karena Allah Yang Maha Sucilah yang telah mendidiknya secara langsung dalam suasana pendidikan yang mulia. Hal demikian sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan Askari dan Ibnu Sam’ani sebagai berikut:
ادبني ربي فاحسن تاءديبي
Artinya: Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.


[1]Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), h. 97
[2] Suparlan, Guru Sebagai Profesi, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2006), h. 37-39.

[3] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008),  h.52

[4]  Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara. 1992), h. l29

[5] Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar…, h. 97

[6] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), h. 49

[7] Supiana dan M. Karman, Materi..., h. 50

[8] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), h. 74

[9] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Persada, 2003), h. 40

[10] Suparlan, Guru…, h. 41
[11] Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar…, h. 98

[12]Abdul Hadis, Psikologi Dalam Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2006), h.  21-22

[13] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rinika Cipta, 2001), h. 54

[14] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, tt), h. 167-168

[15] Sanapiah Faisal, Sosiologi…,  h. 167-168

[16] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 71

[17] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 39

[18] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 37-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar