Tugas Final
Nama
: Ridwan Mahasiswa PPs : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah :
Metodologi Studi Islam
Dosen Pengasuh : Prof.
Drs. Yusny Saby, MA.Phd
1. Apa signifikansinya mempelajari
anthropologi agama? Prinsip agama yang mana yang dapat di jelaskn oleh ilmu
ini. Uraikan!
2. Dalam kajian anthropologi di pahami bahwa makhluk sejenis manusia sudah
ada sejah lebih dari satu setengah juta tahun yang lalu.Ini dibuktikan dari
penggalian-penggalian di beberapa lokasi di dunia ini.Bahkan "temuan"
perak Man di Malaysia mengatakan 1,8juta tahun yang lalu.Bagaimana dapat anda
jelaskan dengan pemahaman ulama tentang asal usul manusia yang katanya dipahami
dari kitab suci, yang nampaknya baru sekitar kurang dari 10.000 tahun yang
lalu. Uraikan!.
3. Dalam memahami agama ada dimensi polotik. Jelaskan pemahaman anda tentang
dimensi tersebut seirama dengan perkembangan dan "kemunduran agama".
4. Bagaimana fenomena ekonomi dapat dikaitkan dengan kehidupan beragama,
uraikan!.
5.
Coba prediksi, akan
bagaimana kira-kira masa depan agama-agama di dunia. Aspek apa yang (mungkin)
ditinggalkan, atau bagaimana lanjutannya? Detailkan.
Jawaban No. 1
Antropologi Agama ini mempelajari
konsep-konsep/teori-teori dasar dan fungsi agama dalam kehidupan bermasyarakat:
tidak hanya untuk sekedar dipahami, akan tetapi juga untuk digunakankan guna
menganalisis dan memperoleh kejelasan tentang berbagai permasalahan fenomena
keagamaan dalam konteks perkembangan dan perubahan masyarakat dan kebudayaan di
Indonesia dewasa ini. Fokus perhatian akan tertuju ke hal perkembangan
kehidupan beragama, baik yang menyangkut segi perilaku yang dinamik
tengah-tengah perubahan masyarakat dan budaya yang beragam latar belakang
suku/ras, agama
Penelitian dan studi antropologi agama akan sangat membantu memahami
akar-akar kepelbagaian (diversity) dalam berbagai hal :
kepelbagaian dalam menginterpretasi teks, perbedaan ritual peribadatan,
model-model kepemimpinan, perjalanan kesejarahan, perkembangan
kelembagaan agama, bagaimana pengetahuan dan ide-ide ( gender, hak
asasi manusia, kemiskinan, lingkungan) didistribusikan dan
disebarluaskan dalam masyarakat luas lewat organisasi
sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga pendidikan, bagaimana keadilan
dan kesejahteraan diperbincangkan. Akan dapat dijelaskan dan
direkonstruksi kembali bagaimana praktik keagamaan (Local practices)
pada tingkat lokal dalam keterkaitannya dengan pelbagai macam penafsiran
oleh para tokoh (da’I, kyai, dosen, pemangku adat, tokoh agama, guru,
dosen) dan pemangku kepentingan lainnya serta akibatnya dalam
perbedaan kehidupan sosial. Dengan bantuan pendekatan antropologi,
semua kepercayaan agama terbuka untuk diperdebatkan dan
ditransformasikan kearah yang lebih baik-humanis. Dan ketika semua aktor
terlibat dalam perdebatan dan penjelasan tersebut , maka akan membawa
kepada pemahaman bahwa agama-agama sangat terbuka untuk
kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih kondusif untuk kesejahteraan manusia di
muka bumi.
Apa yang dibicarakan diatas menenui relevansinya dengan perkembangan
terakhir studi hukum Islam dan usul fikih pada umumnya. Adalah Jasser
Auda yang membuka perspektif baru tentang bagaimana sesungguhnya peran
para jurist dan fakih dalam menentukan corak, perbedaan
interpretasi serta tingkat kedalaman pemahaman keagamaan.
Diuraikan bahwa terjadi pergeseran pemahaman dan peran yang
dimainkan oleh para fuqaha dalam setiap jaman. Sebenarnya hal
ini tidak baru, karena para fuqaha lama sudah menjelaskannya.
Yang penulis anggap baru adalah cara menjelaskan dan perangkat keilmuan
yang diikutsertakan yang berbeda dari uraian terdahulu. Para pembaca
semakin disadarkan betapa diversitas dan pluralitas pemahaman keagamaan itu
adalah memang begitu adanya dan perbedaan tafsir keagamaan adalah min
lawazim al hayah. Jika realitasnya memang begitu, maka bagaimana cara para
pemimpin agama menyikapi dan mengantisipasinya?.
Bagaimana agama dijelaskan oleh para guru agama, para kyai, para
dosen, para tokoh dan pimpinan organisasi sosial keagamaan di era global
seperti sekarang ini ? Apakah fikih aghlabiyyah (fikih mayoritas) harus berlalu
pada wilayah fikih aqalliyyah (minoritas), misalnya? Ada semacam living
Qur’an dan living Sunnah atau Hadis yang berbeda dari satu
wilayah ke wilayah yang lain.
Pada era fikih era
tradisional digambarkan bahwa peran fakih (para ahli
agama) dianggap sederajat dengan Syariah, dan seolah-olah sederajat
pula dengan Al-Qur’an dan al Sunnah (Prophetic tradition).Bahkan apa
yang disebut Prophetic tradition pun tidak atau belum dibedakan antar
berbagai klasifikasi al-Hadis . Hadis-hadis misoginik, misalnya, dijadikan satu
atau sederajat dengan hadis-hadis lain. (lihat
ilustrasi dalam gambar 1).
Gambar
1
Sedangkan
pada era fikih era modernitas,
secara jelas sudah mulai dibedakan antara apa yang disebut Revealed Syariah,
dengan Al-Qur’an dan Prophetic tradition disatu sisi dan peran
Fakih di sisi yang lain. Dalam wilayah Prophetic tradition juga sudah
dapat dipilah-pilah, mana Hadis yang matan nya dapat diterima dan mana yang
kiranya tidak dapat diterima, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan
literacy umat manusia. Sedang Fikih (pemahaman keagamaan Islam dan
praktiknya di lapangan oleh seorang fakih) pun sudah jelas
dimana tempatnya. Dia sudah jelas berada di luar wilayah apa yang disebut
dengan Revealed Syariah. (lihat
gambar 2).
Gambar
2
Sedangkan
para era pemahaman fikih era
postmodernitas, selain menggarisbawahi yang ada pada era
Modernitas, tetapi peran fakih jauh lebih jelas lagi perannya dalam
memahami agama. Yang baru disini adalah bahwasanya pemahaman para ahli hukum
agama (jurist), selain terinspirasi oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah,
tetapi dia sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidupnya sendiri,
lingkungan yang ada disekitarnya, bahkan tingkap ilmu pengetahuan yang dimiliki
umat manusia saat itu. Faktor-faktor inilah yang ikut membentuk pandangan
hidupnya. (Competent Worldview). Sedang Competent worldview
nya sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan (Sciences),
baik pengetahuan alam, sosial, budaya dan humanitas kontemporer yang
mengelilinginya). Artinya penafsiran teks-teks kitab suci dan juga al-sunnah
dan al-hadis sangat bersifat lokal. Yaitu lokal dalam arti ditentukan
oleh tingkat penguasaan ilmu pengathuan sang jurist itu sendiri. Dan
Fikih tidak bisa tidak adalah sangat ditentukan oleh kondisi lokal (sosial,
politik, budaya, ekonomi), ilmu pengetahuan yang dikuasi oleh para ahli
hukum agama (jurist) tersebut. (Lihat gambar 3).
Gambar
3
Dan sangat
dimungkinkan munculnya diversifikasi dan kepelbagaian interpretasi dalam
beragama. Dalam tingkat terakhir ini, menurut hemat penulis, pendekatan
antropologi agama dapat membantu dan bahkan bekerjasama dengan studi
Islam untuk menjelaskan dan melerai berbagai isu yang sulit dipecahkan atau
dijelaskan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja , apalagi
pendekatan kekuasaan, pendekatan mayoritas – minoritas, tanpa mengaitkan dan
mempertautkan antara Fikih dan Usulnya dengan antropologi agama.
Jawaban No. 2
Berbicara mengenai cultural evolution atau evolusi budaya, kita akan
berhadapan dengan dua istilah yaitu evolusi dan budaya. Evolusi sendiri
merupakan terminologi yang berasal dari biologi, yang menggambarkan fenomena
asal usul adanya variasi spesies dan bagaimana manusia kemudian menjadi makhluk
yang paling dominan di dunia saat ini. Evolusi merupakan suatu fenomena yang
telah lama dikenal dalam bidang biologi. Fenomena yang berupaya dijawabnya
tentunya adalah variasi dalam spesies dan juga dinamika variasi tersebut dari
waktu ke waktu yang didapatinya melalui berbagai penemuan fosil. Ada 2 hal yang
menentukan dinamilka yang terjadi dalam evolusi, yaitu variasi melalui mutasi
yang bersifat random dan kekuatan seleksi.
Sebagaimana kita tahu bahwa teori evolusi Darwin mendapatkan kritik
keras dari berbagai pihak khususnya bidang Agama. Franz Dahler mencoba
melakukan penelitian untuk mencari jalan keluar atas permasalahan diatas.
Dahler mencoba menguji kesahihan dari teori evolusi tanpa mengesampingkan doktrin
suci agama. Aneka temuan fosil purbakala ada sesuatu yang diyakini sebagai
jejak manusia primitive. Penyelidikan manusia menurut Dahler merupakan
petualangan yang sangat menegangkan. Fosil pertama ditemukan di lembah
Neandertal, Jerman tahun 1856. Lalu Eugene Dubois menemukan fosil yang lebih
tua umurnya dari Neandertal di Trinil, Jawa Tengah. Penelitian terus dilakukan
hingga sebuah misteri terpecahkan. Sampai pada Tahun 1944 di Afrika Timur
ditemukan 2000 fosil Hominid (leluhur manusia). Para sarjana beranggapan bahwa
manusia pertama adalah berasal dari afrika atau yang kita kenal sebagai teori
Out Of Africa Theory yang secara telak mematahkan teori Multiregional.
Teori ini berdasarkan penelusuran genetik populasi manusia
menggunakan biologi molekulen yang memastikan bahwa manusia modern berevolusi
dari benua Afrika. Manusia modern tidak mendapatkan kontnibusi genetik dari
hominid-hominid pendahulunya seperti hominid Eropa (Neanderthal) maupun hominid
Asia baik yang fosilnya ditemukan di Peking maupun di Jawa. Teoni ini
dipublikasikan di jurnal Science, yang salah seorang penulisnya adalah Prof.
Sangkot Marzuki. Penelitian ini mengambil sampel DNA 12.127 orang pnia dari 163
populasi. Fokus penelitian ini adalah 3 marka genetik kromosom Y (YAP, M89, M 130)
yang diturunkan secara paternal. Ketiga marka tersebut diturunkan dari lokus M
168 yang dimiliki oleh semua populasi manusia modern di luar Afrika, sehingga
marka ini menunjukkan pertanda migrasi besar-besaran dari Afrika yang terjadi
puluhan ribu tahun yang lalu. Prof. Sangkot menyatakan “Jika terdapat individu
yang tidak menunjukkan satu dari ketiga marka tersebut, maka kontribusi hominid
lokal menjadi mungkin, tetapi semua sampel menunjukkan marka tersebut, sehingga
simpulannya semua manusia modern berasal dari Afrika”. Jadi secara genetik
terbukti bahwa manusia-manusia purba seperti Neanderthal, Peking maupun manusia
Jawa telah terputus, tidak sempat berevolusi dan digantikan manusia modern
(Homo sapiens sapiens).
Jawaban No. 3
Dengan melemahnya kekuatan politik dan militer Islam maka lahirlah
babak baru dalam sejarah Dunia Islam, yaitu babak penjajahan Barat terhadap
Dunia Islam, sebagaicounter gerakan Dunia Islam yang terwujud dalam gerakan
sporadis dari setiap wilayah yang dijajah karena ingin merdeka, sebab kekuatan
integratif maupun kordinatif yang mempersatukan Islam sudah tidak mendapat
legitimasi dari masyarakat Islam. Sementara itu, masa depan Islam bertumpu pada
sejauh mana kekuatan Islam melakukan perlawanan, kendati bersifat lokal.
India ketika berada pada masa pemerintahan Mughal adalah negeri yang
kaya dengan hasil pertanian. Hal itu mengundang Eropa, yang sedang mengalami
kemajuan berdagang kesana. Awal abad ke-17, Inggris dan Belanda mulai
menginjakkan kaki di India. Tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan
modal, dan tahun 1617 M Belanda mendapat izin yang sama. Akhirnya, pada tahun
1899 M kesultanan Muslim Baluchistan jatuh di bawah kekuasaan India-Inggris,
yang memang sebelumnya telah diincarnya.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, merupakan
daerah rempah - rempah terkenal pada masa itu dan menjadi ajang perebutan
negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya
di negeri ini. Hal ini dimungkinkan karena dibandingkan dengan Mughal, kerajaan
- kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat
ditaklukkan.
Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di
Semenanjung Malaya yang strategis dan merupakan kerajaan Islam kedua di Asia
Tenggara setelah Samudera Pasai, di taklukkan Portugis tahun 1511 M. Pada tahun
1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil
menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti
Kesultanan Manguindanao, Kesultanan Buayan, dan Kesultanan Sulu. Bahkan, Abad
ke-19 M, Inggris menguasai seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang tidak
terlalu lama.
Sebagaimana di India, di Asia Tenggara kekuasaan politik
negara-negara Eropa berlanjut terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika
negeri - negeri tersebut memerdekakan diri dari kekuasaan asing. Ekspansi Barat
ke Timur Tengah di mulai ketika Kerajaan Usmani mengalami kemunduran sementara
Barat mengalami kemajuan di segala bidang, seperti perdagangan, ekonomi,
industri perang dan teknologi militer. Meskipun demikian, nama besar Turki
Usmani masih disegani oleh Eropa Barat sehingga mereka tidak melakukan
penyerangan ke wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Islam. Namun, kekalahan besar
Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M
menyadarkan Barat bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah
Kerajaan Usmani berulangkali mendapat serangan - serangan besar dari Barat
(Stoddard, 1966:26).
Renaisans abad pertengahan di Eropa
memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Pasca
peristiwa tersebut, weltanschauung (baca: pandangan dunia) masyarakat
Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu
ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi “gereja” yang secara otomatis
mengubah weltanschauung mereka dari Teosentris menjadi Antroposentris.
Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik
secara massif membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru
yang disebut modernitas.
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa, secara tidak langsung
memberikan dampak hingga ke dunia Arab. Diawali dengan invasi Napoleon pada
tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang
dialami Eropa dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang menganggap
kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal
tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah “ dan bangkit untuk mengejarnya
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi
dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat
yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka
sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya.
Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang
menawarkan solusi. Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta, yang
mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis
modernitas; Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif.
Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari
tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi
kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen
yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan
lain-lan. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah
mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang
selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi,
al-Jabiri, dan lain-lan. Ketiga, kelompok yang disebut
idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam
murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis.
Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb,
dan lain-lain.
Gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa
lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan
mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan
“modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan
sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Modernitas adalah sebuah
keharusan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–supaya dia mampu
menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul.
Sehingga modernitas yang demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan
perubahan dalam rangka menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma
pemikiran beserta seluruh apresiasinya.
Akal Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang
diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan
memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan
konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam
fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur
pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola
interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu
anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban
Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama,
kalu bukan satu-satunya.
Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah
‘Aql al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar
(akal) murni, sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia
mempunyai akal tersebut. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql
al-Mukawwan. Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya,
yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana
orang tersebut hidup. Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”.
Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana
diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan
penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.
Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa
kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa
Jahiliyah dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam
peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada
disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya,
dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam
menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan
mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada
masa sebelumnya, di pihak lain.
Jabiri melihat aktivitas politik Arab mempunyai motif-motif (al-muhaddidat)
dan pengejawantahan (al-tajalliyat). Adapun motif-motif tersebut,
Jabiri melihat tiga motif yang dominan dalam praktik politik Arab. Motif
ideologis (al-‘aqidah), motif ikatan in-group sedarah (al-qabilah)
dan motif materi (al-ghanimah).
Motif pertama tidak diartikan sebagai akidah agama dalam
pengertian yang lazim, melainkan “fenomena politis” yang terdapat dalam dakwah
Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam memberikan inspirasi terhadap imajinasi
sosial-politik kelompok muslim pertama, di satu pihak, dan reaksi balik yang
disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu kaum kafir Quraisy, di pihak lain.
Sedangkan dengan motif kedua adalah peranan ikatan in-group
di antara klan-klan Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif maupun
negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal. Dan yang ketiga,
motif al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan
politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa
penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad
saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan
terhadap berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga bahwa
berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus
sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu.
Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan
tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan
Islam awal menjadi tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad, yang
diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada periode Makkah dan
menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode Madinah. Kedua
pada fase negara Islam yang established, yang diwakili pada masa
Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dan ketiga fase ledakan kekacauan (nation
under riots), yang diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik (al-mulk
al-siyasi) yang membangkitkan kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali
ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme kerajaan monarki.
Timbulnya kerajaan politik ini (al-mulk al-siyasi) ini
merupakan salah satu bentuk pengejawantahan (al-tajalliyat) dari Akal
Politik Arab, di samping timbulnya mitos keimaman yang dimunculkan oleh kaum
Syiah. Selain itu, timbul pula Ideologi kesultanan dan–apa yang disebut oleh
Jabiri sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan oleh dinasti Abbasiyah.
Ideologi kesultanan diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi kekaisaran
Persia, sedangkan fikih politik merupakan kompilasi hukum “agama” yang
mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan kekuasaan junta militer (ashab
al-syaukah). Tak perlu ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi
kesultanan inilah yang sampai sekarang mendominasi praktik politik Arab.
Membuat rakyat yang seharusnya memegang supremasi kekuasaan, dikungkung oleh khurafat
dan menyerah kepada takdir.
Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar
bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang
menurutnya sebagai prototipe ideal: 1). Mengubah masyarakat klan menjadi
masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi,
organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi. 2). Mengubah ekonomi al-ghanimah
yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama
dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi. 3). Mengubah
sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup dengan
pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri
dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan
kritis.
Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal Pilitik Arab “hampir”
menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan berarti Jabiri mendukung
sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok dengan umat Islam, karena
sekularisme didasarka pada pemisahan gereja dan agama. Pemisahan demikian ini
memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen. Karena tidak ada
gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan semacam ini.
Umat Islam menghendaki agar Islam dijaga dan diterapkan sebagai acuan etis dan
Syari’ah, hukum yang diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip
bagi kehidupan sosial dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang
diperbaharui.
Jawaban No. 4
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar bukan
sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang
adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan
untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam
pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dan salah satu bentuk
pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’al muqayyadah), di mana barang
saling dipertukar kan. Menurut Afzalur Rahman: “Rasulullah saw menyadari akan
kesulitan-kesulitan dan ke Icmahan-kelernahan sistem pertukaran in lalu beliau
ingin unenggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh ka rena itu
beliau menekankan kepada para sahabat untuk meng gunakan uang dalam
transaksi-transaksi mereka.”
Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti
diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al
Khudri. “Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi transaksi dengan
sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Tampaknya
beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di
dalamnya.”
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation,
karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dan system konvensional yang
memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat.
Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan
tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang
beredar di masyarakat.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam
menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau
Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi-hasil. Bila ia tidak ingin mengambil
risiko karena bermusyarakah atau bermudharabah, maka Islam sangat menganjurkan
untuk mela kukan yard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, ka rena
meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.
Secara mikro, qard tidak memberikari manfaat Iangsung bagi orang
yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak
langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal mi disebabkan karena
pemberian yard mem buat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan
hertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian,
sehingga pendapatan nasional (national income) meningkat. Dengan peningkatan
pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula
pendapatannya. Demi kian pula, pengeluaran shadaqah juga akan memberikan man
faat yang lebih kurang sama dengan pemberian qard.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, na mun Islam
mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah
waktu itu sendiri. Islam memperbo lehkan penetapan harga tangguh bayar lebih
tinggi daripada bar ga tunai. Zaid bin Au Zainal Abidin bin Hussein bin Au bin
Abi Thalib, cicit Rasulullah SAW, adalah orang yang pertama kali menjelaskan
diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred payment) lebih tinggi
daripada harga tunai. Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan
harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of
money. namun karena semata – mata ditahannya hak si penjual barang, Dapat
dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500, maka si
penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam Satu hari itu
keuntungannya adalab Rp 1.000. Sedangkan bila dijual tangguh bayar, maka hak si
penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual
lagi. Akibat lebih jauh dan itu, hak dan keluarga dan anak si penjual untuk
makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu
tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang),
maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi daripada harga
tunai.
Jawaban No. 5
Menurut penelitian Profesor Qian Wenzhong dari Fudan University
Shanghai China, pada sekitar 1.000 tahun SM, di wilayah Asia Barat, Afrika
Utara, Asia Kecil, termasuk wilayah luas Mesopotamia dan Mesir, secara populer
beredar kepercayaan akan Sang Juru Selamat masa depan. Mesias dalam agama Yesus
adalah seperti sebuah representatif kepercayaan terhadap Sang Juru Selamat.
Kepercayaan seperti ini dalam Alkitab ‘Perjanjian Lama’ telah ada.
Juga seperti kepercayaan Maitreya di India, dalam komunitas akademik telah
dikonfirmasi, itu berkaitan erat dengan kepercayaan Juru Selamat di seluruh
dunia dan satu sama lain juga saling mempengaruhi.
Kepercayaan Maitreya di India merupakan sebuah bagian integral dari
kepercayaan akan Sang Juru Selamat. Dengan istilah yang paling sederhana dapat
dikatakan, mengapa Maitreya adalah Buddha masa depan dan Juru Selamat masa
depan. Ini karena Ia memiliki akar di India dan juga memiliki akar seluruh
dunia atau akar dari dunia kuno yang lebih luas, dan adalah sebuah bagian
kepercayaan Mesias yang paling populer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar