BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat penting untuk
keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di
dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam pertama sebelum Hadist.
Dalam Al-Qur’an Banyak ayat-ayat yang mengandung makna untuk
menyelesaikan persoalan manusia baik dalam hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah,
namun sayang, semua ini belum tergali guna memberikan pencerahan kepada umat manusia.
Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al-Qur’an diperlukan
perangkat-perangkat dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu,
Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi
dan budaya guna mewujudkan Al-Qur’an aplikatif sebagai pedoman dan
pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman.[1]
Memang memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar tidaklah mudah,
sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat Al-Qur’an yang tidak
difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal
tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa
tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi
ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung misteri dari
maksud ayat tersebut secara tertulis.
Memahami Al-Qur’an diperlukan metode menafsirkan Al-Qur’an, agar
dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai dengan sekian banyak persoalan
yang berkembang dimasyarakat. Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa yang
dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak
positif bagi Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.
Dalam perkembangannya metode-metode yang digunakan para mufasir
tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Metode apa yang akan
digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak diketahui dan
dicapainya. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh jawaban secara tuntas
tentang suatu persoalan, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Maudlu’i.
Di sisi lain, metode ini mampu menjawab dan menolak adanya kesan kontradiksi di
antara ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan bagi seseorang yang ingin mengetahui
segala segi dari kandungan ayat Al-Qur’an, maka baginya lebih tepat menggunakan
metode Tahlili, akan tetapi metode ini ia tidak dapat memperoleh
jawaban Al-Qur’an secara tuntas terhadap suatu persoalan yang terdapat pada
ayat itu.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari
dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah;
dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah.[3].
Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan
dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau
Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang teratur,
terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan
sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.[4]
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan sebagai cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa
yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an
terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti
menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu
yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika
berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika
dalam keadaan tersusun.[5]
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan sebagai
penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami
dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah
menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat.[6]
Lebih
rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu. Para ulama
yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an,
sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran yaitu: Tahlili, Ijmali,
Muqarin, Maudu’i.
B. Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
Metode dan pendekatan adalah merupakan rangkaian yang tidak
terpisahkan satu sama lainnya dalam melakukan kajian atau penelitian.
Kedua-duanya saling melengkapi. Pendekatan merupakan suatu upaya untuk
menafsirkan, memahami dan menjelaskan sebuah ayat atau obyek tertentu sesuai
dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Maka tak heran kemudian
banyak sekali perbedaan pemahaman dan kesimpulan yang dihasilkan terhadap satu
obyek yang menjadi kajiannya, karena berangkat dari disiplin ilmu yang
berbeda-beda. Adapun terkait dengan metode dan pendekatan tafsir Al-Qur’an ini
secara garis besar di bagi menjadi empat macam :
- Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya
masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an
berdasarkan urutan ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga
dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang
intelek.[7]
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti
susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan
menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadits yang
terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode Ijmali adalah
seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid
Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts Al-Islamiyyat dan
Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir karangan
Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.[8]
a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan
metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek
wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga
mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas,
sederhana dan tidak berbelit-belit.[9]
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir
tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau
kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum,
seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca
adalah kitab tafsirnya.[10]
b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis dan mudah
difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan bahasa
Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada
permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari
kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk
Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan
analisis yang memadai.
2. Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka atau
mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya.
Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna yang tercakup
di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir, ia menjelaskan
dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat, hubungan surat, asbabun
nuzul, hadis-hadis yang berhubungan
dan pendapat para mufassir terdahulu yang diwarnai oleh latar
belakang pendidikan dan keahliannya.[11]
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini
ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf
dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat
diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a)
Pendekatan
Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan
yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan
maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang
menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi
dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan
untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir
Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat
Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b)
Pendekatan
bi Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan, qiyas dan ijtihad,
dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad yang didasarkan
pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta
sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau
mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa
yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut
pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang
yang keliru dan tercela”.[12]
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu
tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah yang ketat, yaitu; (1).
Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
(3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok
agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat
yang ditafsirkan.[13]
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah
pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya
akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan
bahwa “Setiap orang yang buta adalah
celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang dimaksud dengan
buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta
mata”, akan tetapi “buta hati”.
Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj :
46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah
matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara lain, yaitu; Ruang
lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang ada, apabila kita
hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang lebih luas
dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain
kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya
adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang
ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an
memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten karena adanya perbedaan,
akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran
yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.[14]
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah
kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy,
kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan
lain-lainnya.
3. Metode Maqarin (Komparatif atau
Perbandingan)
Maqarin adalah membandingkan antara dua
hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara
membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau
antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu
dari obyek yang dibandingkan.[15]
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik, yaitu; (1). Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus
yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan
berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif), yaitu; Pertama
Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya
bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang
tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya
bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda
dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di
dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam
ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang
ayat yang dijadikan objek bahasan.[16]
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan wawasan yang
luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui berbagai
penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan kekurangan
dari metode maqarin, yaitu; Tidak cocok
untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, menimbulkan kesan
pengulangan pendapat para mufasir.
4.
Metode Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya topik atau materi
suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya tafsir ayat
Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal
dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk, yatu;
Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh
dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan
korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga
satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang
utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang
membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang
diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara
menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh
tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan
judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua Menulusuri
latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun. Ketiga Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut.
Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan
dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat Mengkaji
pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir,
baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara
tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui
kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang
ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua persoalan
masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis, sangat dinamis,
dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu; memenggal ayat Al-Qur’an,
dan membatasi pemahaman ayat.
C. Manfaat Tafsir
Titik fokus tafsir adalah semangat untuk menggali, mengkaji dan
memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an guna dijadikan sebagai pedoman dan
rujukan umat Islam tatkala mengalami berbagai macam persoalan dalam kehidupan
di dunia.
Sebagai upaya untuk menjelaskan maksud dari ayat Al-Qur’an tersebut,
obyek yang dijadikan kajian dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah kalam Allah,
dalam konteks ini Ia tidak perlu diragukan dan diperdebatkan mengenai
kemuliaannya, kandungannya meliputi aqidah-aqidah yang benar, hukum-hukum
syara’ dan lain-lain.
Tujuan akhirnya adalah dapat diperoleh tali yang amat kuat dan tidak
akan putus serta akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat.
Dan oleh karenanya, ilmu tafsir merupakan pokok dari segala ilmu agama, sebab
ia diambil dari Al-Qur’an, maka ia menjadi ilmu yang sangat dibutuhkan oleh
manusia.[17]
D. Klasifikasi Metodologi Tafsir Al-Qur'an
Klasifikasi Metodologi Tafsir Al-Qur'an merupakan jalan
yang ditempuh para mufasir dalam menyusun tafsir, dapat diklasifikasikan dalam
tiga model
1.
Sederhana
Penyusunan tafsir yang dilakukan dengan menggunakan atau
mengemukakan segi-segi penafsirannya, dan biasanya hanya memberikan kata-kata
sinonim dari lafal-lafal ayat yang perlu dijelaskan saja. Dan penjelasan
dilakukan dengan seperlunya saja. Penafsiran semacam ini dapat ditemui pada
tefsiran-tafsiran Nabi dan para sahabat, yang biasanya hanya memberi keterangan
tentang maksud kata pada ayat-ayat yang sukar saja dengan menjelaskan
dibelakang kata-kata yang sukar tersebut.
2.
Sedang
Penyusunan tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan
menggunakan dua atau tiga segi penafsiran saja. Misalnya mufasir hanya
menerangkan kata-kata Mufradat, sebab-sebab turunnya ayat dan sedikit tafsiran
kalimat-kalimatnya.
Cara penyusunan tafsir semacam ini biasanya dipakai oleh sebagian sahabat dan tabi’in. Mereka mulai menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan ditengah-tengah ayat Al-Qur’an.
Cara penyusunan tafsir semacam ini biasanya dipakai oleh sebagian sahabat dan tabi’in. Mereka mulai menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan ditengah-tengah ayat Al-Qur’an.
3.
Lengkap
Penyusunan tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan
menggunakan dari berbagai segi penafsiran, misalnya dari segi kata Mufdarat,
I’rab bacaannya, sebab turunnya ayat, hubungan ayat-ayat yang ditafsirkan,
hukum-hukum yang dikandungnya, penafsiran kalimat demi kalimat dan segi-segi
yang lain.
Penyusunan tafsir yang demikian banyak dilakukan oleh sebagian Mufasir dari tabiit tabi’in dan para ulama Mutaqaddim pada umumnya. Penafsiran-penafsiran mereka biasanya disusun tanpa dipisah-pisahkan dari segi-segi penafsiran yang ada di dalamnya, melainkan disambungkan tanpa memberikan judul-judul khusus.
Penyusunan tafsir yang demikian banyak dilakukan oleh sebagian Mufasir dari tabiit tabi’in dan para ulama Mutaqaddim pada umumnya. Penafsiran-penafsiran mereka biasanya disusun tanpa dipisah-pisahkan dari segi-segi penafsiran yang ada di dalamnya, melainkan disambungkan tanpa memberikan judul-judul khusus.
BAB III
KESIMPULAN
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafisirkan Al-Qur’an
dan pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an. Pembahasan
yang berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
disebut Metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut
dinamakan teknik atau seni penafsiran.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat banyak dapat menjawab semua
persoalan yang terjadi pada masyarakat, Namun kesan pada saat ini seakan-akan
ayat Al-Qur’an masih mengandung misteri sehingga belum mampu menjawab semua
persoalan yang ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari
"miskin"nya cara, metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan
ayat Al-Qur’an . Tafsir dengan metode maqarin (perbandingan) mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu; Dapat mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan
Al-Qur’an dengan cara yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan
gambaran yang komprehensif berkenaan dengal latar belakang lahirnya suatu
penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam
mengembangkan penafsiran Al-Qur’an pada periode-periode selanjutnya. Adapun
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridh,
Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers,
1992).
Ali
Ash-Shabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan,
Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Al-Farmawy, Abu al-Hayy, AL Bidayah Fi ala Tafsir
al-maudhu’iy, Terjemahan
(Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977).
Baidan,
Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002).
Jalal,
Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia,
1990)
M. Karman,
Supriana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2002).
Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Gramedia,
1977)
[1] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta :
Rajawali Pers, 1992), h. 75
[2] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir… h.77
[3] Supriana, dan M. Karman, Ulumul
Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika,
2002), h. 302
[4] Tim Penyusun, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, (Jakarta : Gramedia, 1977), h. 16
[6] Nasrudin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 40
[7] Abu al-Hayy Al-Farmawy, Terjemahan, AL Bidayah Fi ala
Tafsir Al-Maudhu’iy, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25
[8] Abu al-Hayy Al-Farmawy, Terjemahan, AL Bidayah Fi ala
Tafsir …h. 43-44
[9] Ali Hasan Al-Aridh, Sejarah
dan Metodologi Tafsir…h. 73
[10] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 35
[11] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan,
Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 247
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, Studi
Ilmu Al-Qur’an… h. 258
[13] Supriana, dan M. Karman, Ulumul
Qur’an dan Pengenalan… h. 308
[14] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 36
[15] Supriana, dan M. Karman, Ulumul
Qur’an dan Pengenalan… h. 309
[16] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 69
[17] Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini,
(Jakarta : Kalam Mulia, 1990), h. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar