Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Metodologi Tafsir ; Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist.
Dalam Al-Qur’an Banyak ayat-ayat yang mengandung makna untuk menyelesaikan persoalan manusia baik dalam hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah, namun sayang, semua ini belum tergali guna memberikan pencerahan kepada umat manusia.
Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al-Qur’an diperlukan perangkat-perangkat dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya   guna mewujudkan Al-Qur’an aplikatif sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman.[1]
Memang memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat Al-Qur’an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
Memahami Al-Qur’an diperlukan metode menafsirkan Al-Qur’an, agar dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai dengan sekian banyak persoalan yang berkembang dimasyarakat. Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.
Dalam perkembangannya metode-metode yang digunakan para mufasir tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Metode apa yang akan digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak diketahui dan dicapainya. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh jawaban secara tuntas tentang suatu persoalan, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Maudlu’i. Di sisi lain, metode ini mampu menjawab dan menolak adanya kesan kontradiksi di antara ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan bagi seseorang yang ingin mengetahui segala segi dari kandungan ayat Al-Qur’an, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Tahlili, akan tetapi metode ini ia tidak dapat memperoleh jawaban Al-Qur’an secara tuntas terhadap suatu persoalan yang terdapat pada ayat itu.[2]

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah.[3]. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.[4]
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[5]
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat.[6]
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.

B. Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
Metode dan pendekatan adalah merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya dalam melakukan kajian atau penelitian. Kedua-duanya saling melengkapi. Pendekatan merupakan suatu upaya untuk menafsirkan, memahami dan menjelaskan sebuah ayat atau obyek tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Maka tak heran kemudian banyak sekali perbedaan pemahaman dan kesimpulan yang dihasilkan terhadap satu obyek yang menjadi kajiannya, karena berangkat dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. Adapun terkait dengan metode dan pendekatan tafsir Al-Qur’an ini secara garis besar di bagi menjadi empat macam :
  1. Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan urutan  ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.[7]
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.[8]

a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.[9]
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.[10]
b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
2. Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat, hubungan surat, asbabun nuzul,  hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya.[11]
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a)   Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b)      Pendekatan bi Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan, qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela”.[12]
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[13]
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten  karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.[14]
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.
3. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Maqarin adalah membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[15]
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik, yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif), yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.[16]
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan kekurangan dari metode maqarin,  yaitu; Tidak cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.
4.      Metode Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari  yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama  Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun. Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis, sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu; memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.

C. Manfaat Tafsir
Titik fokus tafsir adalah semangat untuk menggali, mengkaji dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an guna dijadikan sebagai pedoman dan rujukan umat Islam tatkala mengalami berbagai macam persoalan dalam kehidupan di dunia.
Sebagai upaya untuk menjelaskan maksud dari ayat Al-Qur’an tersebut, obyek yang dijadikan kajian dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah kalam Allah, dalam konteks ini Ia tidak perlu diragukan dan diperdebatkan mengenai kemuliaannya, kandungannya meliputi aqidah-aqidah yang benar, hukum-hukum syara’ dan lain-lain.
Tujuan akhirnya adalah dapat diperoleh tali yang amat kuat dan tidak akan putus serta akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Dan oleh karenanya, ilmu tafsir merupakan pokok dari segala ilmu agama, sebab ia diambil dari Al-Qur’an, maka ia menjadi ilmu yang sangat dibutuhkan oleh manusia.[17]
D. Klasifikasi Metodologi Tafsir Al-Qur'an
Klasifikasi Metodologi Tafsir Al-Qur'an merupakan jalan yang ditempuh para mufasir dalam menyusun tafsir, dapat diklasifikasikan dalam tiga model
1.      Sederhana
Penyusunan tafsir yang dilakukan dengan menggunakan atau mengemukakan segi-segi penafsirannya, dan biasanya hanya memberikan kata-kata sinonim dari lafal-lafal ayat yang perlu dijelaskan saja. Dan penjelasan dilakukan dengan seperlunya saja. Penafsiran semacam ini dapat ditemui pada tefsiran-tafsiran Nabi dan para sahabat, yang biasanya hanya memberi keterangan tentang maksud kata pada ayat-ayat yang sukar saja dengan menjelaskan dibelakang kata-kata yang sukar tersebut.

2.      Sedang
Penyusunan tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan dua atau tiga segi penafsiran saja. Misalnya mufasir hanya menerangkan kata-kata Mufradat, sebab-sebab turunnya ayat dan sedikit tafsiran kalimat-kalimatnya.
Cara penyusunan tafsir semacam ini biasanya dipakai oleh sebagian sahabat dan tabi’in. Mereka mulai menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan ditengah-tengah ayat Al-Qur’an.

3.      Lengkap
Penyusunan tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan dari berbagai segi penafsiran, misalnya dari segi kata Mufdarat, I’rab bacaannya, sebab turunnya ayat, hubungan ayat-ayat yang ditafsirkan, hukum-hukum yang dikandungnya, penafsiran kalimat demi kalimat dan segi-segi yang lain.
Penyusunan tafsir yang demikian banyak dilakukan oleh sebagian Mufasir dari tabiit tabi’in dan para ulama Mutaqaddim pada umumnya. Penafsiran-penafsiran mereka biasanya disusun tanpa dipisah-pisahkan dari segi-segi penafsiran yang ada di dalamnya, melainkan disambungkan tanpa memberikan judul-judul khusus.





BAB III
KESIMPULAN

Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafisirkan Al-Qur’an dan pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an. Pembahasan yang berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat Al-Qur’an disebut Metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat banyak dapat menjawab semua persoalan yang terjadi pada masyarakat, Namun kesan pada saat ini seakan-akan ayat Al-Qur’an masih mengandung misteri sehingga belum mampu menjawab semua persoalan yang ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari "miskin"nya cara, metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an . Tafsir dengan metode maqarin (perbandingan) mempunyai beberapa kelebihan, yaitu; Dapat mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang komprehensif berkenaan dengal latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al-Qur’an pada periode-periode selanjutnya. Adapun



DAFTAR PUSTAKA



Al-Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
Ali Ash-Shabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan, Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Al-Farmawy, Abu al-Hayy,  AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu’iy, Terjemahan (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977).
Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990)
M. Karman, Supriana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Gramedia, 1977)





[1] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), h. 75
[2] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir… h.77
[3] Supriana, dan  M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), h. 302

[4] Tim Penyusun,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, (Jakarta : Gramedia, 1977), h. 16
[5] Ali Hasan Al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h.3
[6] Nasrudin Baidan,  Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 40
[7] Abu al-Hayy Al-Farmawy, Terjemahan,  AL Bidayah Fi ala Tafsir Al-Maudhu’iy, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25

[8] Abu al-Hayy Al-Farmawy, Terjemahan,  AL Bidayah Fi ala Tafsir …h. 43-44
[9] Ali Hasan Al-Aridh,  Sejarah dan Metodologi Tafsir…h. 73

[10] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 35
[11] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan, Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 247
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy,  Studi Ilmu Al-Qur’an… h. 258

[13] Supriana, dan  M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan… h. 308
[14] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 36

[15] Supriana, dan  M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan… h. 309
[16] Nasrudin Baidah, Metodologi Penafsiran… h. 69
[17] Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), h. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar