BAB I : ESENSI AL-QUR'AN DAN WAHYU
Wahyu memiliki
bentuk khusus dan berbeda dengan daya khayal atau ilmu biasa, karena pada
mulanya hakikat-hakikat ilmu itu secalangsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi
Saw. dan dari sini memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Ketika wahyu
turun kepada Nabi Saw., mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi Saw., karena
beliau sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian
dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi Saw. Dan ini merupakan sebuah
tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih
rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan
kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam
pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan
metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah
menuju ke maqam yang lebih tinggi.
Ciri khas
lain wahyu adalah Nabi Saw. menyaksikan malaikat dengan hati mulia, sebagaimana
yang diisyaratkan ayat Al-Qur'an, yaitu; “Maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa”,
"ru’yat al fuaad" di sini dinisbahkan kepada hati dan jiwa
maksudnya Rasul menyaksikan malaikat Jibril melalui perantajiwa dan hati.
Kalimat-kalimat seperti "maa yaraa" dan "wa
laqad ra’aahu nazlatan ukhra" juga memiliki makna yang sama dengan
kata di atas, yaitu penyaksian melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata "
bashara" dalam kalimat "maa zaagha al basharu"
memiliki makna mata hati. (QS. An- Najm : 1-18).
Makna "maa
kadzaba al fuaadu maa ra’aa" adalah apa yang disaksikan Nabi Saw. dengan
qalbunya merupakan sebuah kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan
ru’yat kepada penyaksian melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan
lumrah, karena manusia, selain memiliki persepsi melalui indelahiriah dan daya
pikir serta kemampuan berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi
yang bukan indelahiriah.
A.
Wahyu
dalam Hadits
Abdullah
bin Umar berkata: Saya mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah Saw.: "Apakah
anda merasakan wahyu itu? Beliau Saw. menjawab: Iya, saya merasakannya sama
seperti suagemerincing (bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang
kepadaku, karena begitu dahsyatnya, saya menginyawa dan ruhku telah melayang."
Dari
hadits di atas, dapat dipahami bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai dengan
terdengar suayang menyerupai suagemerincing (bel), dan ini merupakan jenis
wahyu yang paling berat. Dan kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma sesuatu
(misalnya menjelma seperti seorang pemuda) dan berbicara.
B. Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat
tiga bentuk wahyu dan percakapan Allah SWT. dengan Nabi Saw., sebagaimana yang
diisyaratkan Al-Qur'an: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa
Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang
tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Syuura: 51)
1.
Wahyu
berbentuk percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa penghubung
Percakapan
khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantaantaAllah SWT. dengan Nabi Muhammad Saw.
Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata "illaa
wahyan." Percakapan Allah SWT.
2.
Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi
Wahyu berbentuk
terukur atau terbatasi ini terlihat pada kalimat "min waraai hijaabin"
pada ayat di atas. Dan kalimat "auw yursila rasuulan",
Bentuk
kedua berbeda dengan bentuk pertama pada kata "illa wahyan" tidak
memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan demikian, ia merupakan sebuah
percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta tanpa ada media perantara.
Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi Saw. – sedang terjaga
(terbangun), dan kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari
sebagian hadits dapat dipahami bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah
bentuknya, yaitu; ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan
diwahyukan dengan sangat jelas ke dalam hati mereka ketika mereka sedang dalam
keadaan tidur dan mereka panabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat
dan kebenaran.
Sebagian
dari panabi, pada awal mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk
bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam
bentuk mustaqim (langsung).
Yang
dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As dalam
bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan Nabi
adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang disaksikan
Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi Muhammad Saw.
sebelum bi’tsah sampai ketika Jibril As datang dari Allah SWT. membawa
wahyu untuk beliau Saw. Ketika terjadi integrasi antamaqam kenabian dan risalah
kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau dan berbicakepadanya.
Sebagian panabi didatangi malaikat ketika sedang tidur dan berbicaserta
bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya ketika terjaga. Adapun
muhaddats adalah orang yang diajak bicadan dikatakan sesuatu (hadits) kepadanya
lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia tidak menyaksikan dan
melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang tertidur."
Adapun
ihwal Nabi Saw., beliau Saw. sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai
macam hakikat dan kebenaran, yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah
berkata: "Paling pertama dari tahap kenabian Muhammad Saw., ketika
Allah SWT. menghendaki kemuliaan dia dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah
mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau Saw. tidak bermimpi kecuali yang dilihat itu
adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang terang."
Wahyu
yang turun kepada Nabi Saw. dimulai dengan calewat mimpi sampai pada saat
beliau Saw. siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu
darinya, karena menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima
wahyu adalah sebuah perkayang sangat sulit dan berat.
Mimpi
panabi merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam
hakikat dan kebenaran secajelas dan terang; hal tersebut memiliki kesesuaian
dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan dan
godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya selalu
terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti
manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah
Saw. bersabda: "Mata kami tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami
selalu terjaga dalam segala kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada
dibelakang sama seperti kami menyaksikan apa yang ada di depan kami."
BAB II : AL-QUR'AN PADA MASA RASUL
A.
Pengumpulan Al-Qur'an
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadi perang Yamamah
yang mengakibatkan banyak sekali paqurra’/ pahuffazh (penghafal Al-Qur'an)
terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan
hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an akibat wafatnya pahuffazh, maka
beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur'an yang masih ada di
lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit berkata; "Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang
korban Perang Ahlul Yamamah." Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya. Abu Bakar
berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya
peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa paqurra’ (pahuffazh). Dan
aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap paqur (sehingga mereka
banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian
besar Al-Qur'an.”
Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul Saw.?” Umar menjawab:
“Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik." Umar selalu mengulang-ulang
kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar. Abu
Bakar berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Engkau laki-laki yang masih muda dan
cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan
engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw. sehingga engkau selalu
mengikuti Al-Qur'an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk
memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat
dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan Al-Qur'an. Zaid
bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah saw?." Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik.
Umar selalu mengulang-ulang perkataannya sampai Allah memberikan kelapangan
pada dadaku seperti yang telah diberikan-Nya kepada Umar.
Maka Zaid mulai menyusun Al-Qur'an dan mengumpulkannya
dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan
pasahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah Al-Anshari
yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu; "Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini
tidak berdasarkan hafalan pahuffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu
apa yang tertulis di hadapan Rasulullah Saw. Lembaran-lembaran Al-Qur'an
tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua
orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis
di hadapan Rasulullah Saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua
syarat, yaitu; Pertama Harus diperoleh secatertulis dari salah seorang
sahabat. Kedua Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Pengambilan akhir Surat At-Taubah sempat terhenti karena
tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat At-Taubah
ditulis di hadapan Rasululllah Saw. Kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat
lain pun tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa
Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah
sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun pasahabat telah hafal seluruh ayat
Al-Qur'an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya,
rampung sudah tugas pengumpulan Al-Qur'an yang sangat berat namun sangat mulia
ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur'an untuk
ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang
telah ditulis di hadapan Rasulullah Saw. ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur'an ini tetap terjaga bersama
Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin Al-Khaththab selama
hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar.
B.
Penyalinan Al-Qur'an
Pada masa Khalifah
Utsman bin Affan di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan,
sahabat nabi yang bernama Hudzaifah
bin Al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur'an.
Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur'an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya
dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia
melihat penduduk Irak membaca Al-Qur'an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini
adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.
Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah, dan berkata: “Penduduk Kufah
membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa.
Demi Allah jika aku bertemu dengan Khalifah, sungguh aku akan memintanya untuk
menjadikan bacaan tersebut menjadi satu."
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin Al-Yaman
menghadap Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul
Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab (Al-Qur'an)
sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani."
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar
Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ada padanya kepada Utsman
untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan
lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an itu
kepada Utsman. Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam
beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?” Dijawab,
“Penulis Rasulullah Saw. adalah Zaid bin Tsabit.” Utsman bertanya lagi, “Lalu
siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?” Dijawab, “Said bin Al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk
mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan Al-Qur'an.” Saat proses penyalinan
mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya
perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut."
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin Al-Ash
dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat.
Ketika Said bin Al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit
menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena
memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya.
Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu
tertulis di dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka
memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk
menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin
teguh.
Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis
dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an yaitu dengan Ta`
Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula Al-Qur'an
diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta`
Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari
perkaitu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada
lembaran-lembaran Al-Qur'an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut
ke dalam mushhaf, Utsman segera mengembalikannya kepada Hafshah. Utsman
kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar
orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang Al-Qur'an. Jumlah salinan yang
telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan
masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah
dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan Al-Qur'an yang ditulis
oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang
mutawatir tersebut untuk dibakar. Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf
yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama
hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah,
dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang
dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan
bacaan bagi papembaca Al-Qur'an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada
masa Daulah Abbasiyah,
tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di
atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah
ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas
huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf
lainnya. Dengan demikian, Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang adalah
sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah Saw. Allah SWT telah
menjamin terjaganya Al-Qur'an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu
huruf saja dari Al-Qur'an kecuali hal itu akan terungkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar