Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Esensi Al-Qur'an dan Qur'an Pada Masa Rasul; Ridwan, MA

BAB I : ESENSI AL-QUR'AN DAN WAHYU

Wahyu memiliki bentuk khusus dan berbeda dengan daya khayal atau ilmu biasa, karena pada mulanya hakikat-hakikat ilmu itu secalangsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi Saw. dan dari sini memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Ketika wahyu turun kepada Nabi Saw., mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi Saw., karena beliau sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi Saw. Dan ini merupakan sebuah tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah menuju ke maqam yang lebih tinggi.
Ciri khas lain wahyu adalah Nabi Saw. menyaksikan malaikat dengan hati mulia, sebagaimana yang diisyaratkan ayat Al-Qur'an, yaitu; “Maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa”,  "ru’yat al fuaad" di sini dinisbahkan kepada hati dan jiwa maksudnya Rasul menyaksikan malaikat Jibril melalui perantajiwa dan hati. Kalimat-kalimat  seperti "maa yaraa" dan "wa laqad ra’aahu nazlatan ukhra" juga memiliki makna yang sama dengan kata di atas, yaitu penyaksian melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata " bashara" dalam kalimat "maa zaagha al basharu" memiliki makna mata hati. (QS. An- Najm : 1-18).
Makna "maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa" adalah apa yang disaksikan Nabi Saw. dengan qalbunya merupakan sebuah kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan ru’yat kepada penyaksian melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan lumrah, karena manusia, selain memiliki persepsi melalui indelahiriah dan daya pikir serta  kemampuan berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi yang bukan indelahiriah.

A.      Wahyu dalam Hadits
Abdullah bin Umar berkata: Saya mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah Saw.: "Apakah anda merasakan wahyu itu? Beliau Saw. menjawab: Iya, saya merasakannya sama seperti suagemerincing (bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang kepadaku, karena begitu dahsyatnya, saya menginyawa dan ruhku telah melayang."
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai dengan terdengar suayang menyerupai suagemerincing (bel), dan ini merupakan jenis wahyu yang paling berat. Dan kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma sesuatu (misalnya menjelma seperti seorang pemuda) dan berbicara.

B.  Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat tiga bentuk wahyu dan percakapan Allah SWT. dengan Nabi Saw., sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur'an: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Syuura: 51)
1.      Wahyu berbentuk percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa penghubung
Percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantaantaAllah SWT. dengan Nabi Muhammad Saw. Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata "illaa wahyan." Percakapan Allah SWT.
2.       Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi
Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi ini terlihat pada kalimat "min waraai hijaabin" pada ayat di atas. Dan kalimat "auw yursila rasuulan",
Bentuk kedua berbeda dengan bentuk pertama pada kata "illa wahyan" tidak memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan demikian, ia merupakan sebuah percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta tanpa ada media perantara. Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi Saw. – sedang terjaga (terbangun), dan kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari sebagian hadits dapat dipahami bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah bentuknya, yaitu; ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan diwahyukan dengan sangat jelas ke dalam hati mereka ketika mereka sedang dalam keadaan tidur dan mereka panabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat dan kebenaran.
Sebagian dari panabi, pada awal mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam bentuk mustaqim (langsung).
Yang dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As dalam bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan Nabi adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang disaksikan Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi Muhammad Saw. sebelum bi’tsah  sampai ketika Jibril As datang dari Allah SWT. membawa wahyu untuk beliau Saw. Ketika terjadi integrasi antamaqam kenabian dan risalah kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau dan berbicakepadanya. Sebagian panabi didatangi malaikat ketika sedang tidur dan berbicaserta bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya ketika terjaga. Adapun muhaddats adalah orang yang diajak bicadan dikatakan sesuatu (hadits) kepadanya lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia tidak menyaksikan dan melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang tertidur."
Adapun ihwal Nabi Saw., beliau Saw. sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai macam hakikat dan kebenaran, yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah berkata: "Paling pertama dari tahap kenabian Muhammad Saw., ketika Allah SWT. menghendaki kemuliaan dia dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau Saw. tidak bermimpi kecuali yang dilihat itu adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang terang."
Wahyu yang turun kepada Nabi Saw. dimulai dengan calewat mimpi sampai pada saat beliau Saw. siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu darinya, karena menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima wahyu adalah sebuah perkayang sangat sulit dan berat.
Mimpi panabi merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam hakikat dan kebenaran secajelas dan terang; hal tersebut memiliki kesesuaian dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan dan godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya selalu terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah Saw. bersabda: "Mata kami tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami selalu terjaga dalam segala kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada dibelakang sama seperti kami menyaksikan apa yang ada di depan kami."      

BAB II : AL-QUR'AN PADA MASA RASUL
A.  Pengumpulan Al-Qur'an
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan  banyak sekali paqurra’/ pahuffazh (penghafal Al-Qur'an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an akibat wafatnya pahuffazh, maka beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur'an yang masih ada di lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit berkata; "Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang korban Perang Ahlul Yamamah." Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya. Abu Bakar berkata, bahwa Umar telah datang  kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa paqurra’ (pahuffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap paqur (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar Al-Qur'an.”
Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul Saw.?” Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik." Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar. Abu Bakar berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw. sehingga engkau selalu mengikuti Al-Qur'an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan Al-Qur'an. Zaid bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?." Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang-ulang perkataannya sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah diberikan-Nya kepada Umar.
Maka Zaid mulai menyusun Al-Qur'an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan pasahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu; "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan pahuffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah Saw. Lembaran-lembaran Al-Qur'an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah Saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat, yaitu; Pertama Harus diperoleh secatertulis dari salah seorang sahabat. Kedua Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Pengambilan akhir Surat At-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat At-Taubah ditulis di hadapan Rasululllah Saw. Kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat lain pun tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun pasahabat telah hafal seluruh ayat Al-Qur'an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan Al-Qur'an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur'an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah Saw. ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur'an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin Al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar.

B.  Penyalinan Al-Qur'an
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur'an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur'an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Qur'an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah, dan berkata: “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Khalifah, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu."
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin Al-Yaman menghadap Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani."
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an itu kepada Utsman. Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?” Dijawab, “Penulis Rasulullah Saw. adalah Zaid bin Tsabit.” Utsman bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?” Dijawab, “Said bin Al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan Al-Qur'an.” Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut."
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin Al-Ash dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said bin Al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh.
Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkaitu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran Al-Qur'an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut  ke dalam mushhaf, Utsman segera mengembalikannya kepada Hafshah. Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang Al-Qur'an. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan Al-Qur'an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar. Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi papembaca Al-Qur'an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya. Dengan demikian, Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah Saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya Al-Qur'an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari Al-Qur'an kecuali hal itu akan terungkap.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar