Teori Perkembangan Manusia Menurut Kohlberg
1. Kohlberg
Lawrence Kohlberg
(25 Oktober 1927 – 19 Januari 1987) dilahirkan di Bronxville, New York. Ia
menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia
terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral.
Sebagai pengikut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg
mencerminkan dan bahkan memperluas karya pendahulunya. Karyanya ini telah
diperluas dan dimodifikasi oleh sejumlah pakar, seperti misalnya Carol
Gilligan.
Ia merumuskan enam
tahapan perkembangan moral.Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu
Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada
dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk
melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan
diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap
sebelumnya.
Tingkat 1
(Pra-Konvensional)
1. Orientasi
kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat
pribadi
( Apa untungnya
buat saya?)
Tingkat 2
(Konvensional)
3. Orientasi
keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi
otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum
dan aturan)
Tingkat 3
(Pasca-Konvensional)
5. Orientasi
kontrak sosial
6. Prinsip etika
universal
Pra-Konvensional
Tingkat
pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang
berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan
berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua
tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk
egosentris.
Dalam tahap
pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap
salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini
bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua
menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan
dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan
akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan
kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan
diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Konvensional
Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari
tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga,
seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa
terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada
hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu
tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini;
'mereka bermaksud baik…'.
Dalam tahap empat,
adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam
tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme
utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus
fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga
akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral,
sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca
konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima,
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai
yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan
pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang
pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain
tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya
keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial
harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk
sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusanmayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan
pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam,
penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral
deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan
bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari
Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan
dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang
dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls).
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak
pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal
itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau
sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia
merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara
konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam
dari model Kohlberg ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar