Nama : Ridwan
Mahasiswa
PPs : Pendidikan Islam II
Mata
Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen
Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby,
MA.Phd
1. Anggapan "sempalan" ada pada setiap agama. Apa yang dimaksud
dengan sempalan dalam studi agama? Bagaimana sebaiknya mensikapi
"sempalan" ini dalam Islam? Uraikan dengan jelas!
2. Sebelum sepuluh tahun terakhir ini dunia sangat menaruh harapan pada
"Indonesia Muslim" termasuk "Malaisiya Muslim" mereka
merasa sudah "jenuh" melihat Muslim Timur Tengah, khususnya Arab
yang, persepsi mereka, sangat tidak toleran. Namun perkembangan suasana
Indonesia dalam dekade terkhir ini (dengan meningkatnya kekerasan bermotif
agama) telah mengubah persepsi tersebut. Bagaimana anda dapat jelaskan gejala
ini?
3. Bagaiamana memahami perbedaan atau persamaan antara sakral dan profane
dalam pengamalan agama? Uraikan dengan contoh-contoh praktik di lapangan!
4. Kalau agama terstruktur seperti yang kita pahami selama ini lambat laun
tidak lagi mendapat kepercayaan sebagaian umat manusia, kemana arah pelampiasan
spiritual akan akan tersalurkan? Jelaskan dengan rinci!.
Jawaban No. 1
Berbicara tentang "gerakan sempalan"
berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau
"mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan
yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok
ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk
menentukan mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus
mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam
Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh
badan-badan ulama yang berwibawa seperti MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.
Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara
normatif, untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat
dan membahayakan.Akan tetapi,
definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya,
apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah
ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga,
berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat
Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di
negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang
sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut
zaman dan tempat, dan yang "sempalan" pun bersifat kontekstual.
Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut
pandangan orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat,
apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam
yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok awal abad ke-20
ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan
"tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang
menganggap diri mewakili Ahlus
Sunnah wal Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para
modernis justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk
mendefinisikan dan memahami gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak
dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja
juga menganggap diri lebih benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru
merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu,
kriteria yang akan saya gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis.
Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat,
mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang
mapan.
Dalam pendekatan sosiologis ini,
"ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan
abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang
dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat
lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah
Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang
tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang
didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat;
gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus
merupakan protes sosial atau politik.
Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan
ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili
(yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi,
faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis
"gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang,
juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang
terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah
"mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang
dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah
gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah)
yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut
mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan
mereka tidak bisa lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari
ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan
dalam proses perkembangan suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara,
dapat dipastikan bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal
dari kalangan sosial yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang
sedang naik posisi ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan
sejarah telah terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan
reformis dan tradisional.
Apakah di antara "gerakan sempalan" masa
kini ada juga yang berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan?
Tidak satu orang pun yang akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa
meraih banyak penganut di Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis,
apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas,
terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan
tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa
sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung
kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut
menganggap dirinya sebagai pihak yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana
penilaian kita obyektif dalam hal ini?.
Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang
kelihatannya punya dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu
biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan
rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki
pengetahuan agama yang cukup tinggi dan pandai mempertahankan faham
mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan
kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama
yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri
dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena
mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas
ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara
mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat
bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham
dominan baru kira-kira lima abad belakangan!.
Bagaimana dengan Darul
Islam dan gerakan Usrah? Keduanya dapat dianggap
gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh
lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari
mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah
dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka. Seandainya pada tahun
1950-an bukan Republik yang menang tetapiNegara Islam Indonesia'nya
Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan membentuk
"mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak mustahil sebagian
"mainstream" Islam sekarang inilah yang mereka anggap sebagai
"sempalan".
Jawaban No. 1
Aksi-aksi kekerasan bermotif agama, ada hal-hal yang menjadi
perhatian pengamat, di antaranya, kemunculan politik Islam setelah kejatuhan
Orde Baru, berkembangnya faham yang memilih cara-cara kekerasan, terjadinya
kekerasan komunal seperti di Ambon dan Poso, serta munculnya beberapa kelompok
radikal yang memilih cara kekerasan yang memiliki jaringan nasional, regional,
dan global. Selain itu, studi-studi tentang terrorism financing juga memperkuat
cara pandang itu, dengan berusaha mengerti bagaimana jaringan global terorisme
saling mendukung dari sisi pembiayaan, termasuk dalam kasus Indonesia
Bagaimanapun, munculnya tindakan teror dan kekerasan komunal di
Indonesia penting dilihat dari sisi warisan politik masa lalu dan kegagalan
konsolidasi demokrasi. Politik yang terbuka berjalan seiring hukum yang bobrok,
rendahnya penghormatan HAM, korupsi yang merajalela, dan pemerintah yang
bangkrut dan terpecah-belah, serta rumitnya problem sosial ekonomi. Semua
masalah ini berakar dalam tubuh pemerintah. Oleh karena itu, sudah saatnya
pemerintah mengembangkan perang melawan terorisme dari pendekatan yang terfokus
di masyarakat ke pendekatan yang terpusat di dalam tubuh sendiri.
pemerintah harus mengontrol berbagai kekuatan dalam tubuh sendiri
yang mengeksploitasi cara-cara kekerasan untuk berbagai tujuan politik. Hal itu
karena kegagalan aparat keamanan bertahun-tahun mengakhiri teror dan kekerasan
komunal bukan saja berasal dari ketidakmampuan menghentikan kekerasan, tetapi
lebih karena terpecah-belahnya kepentingan dalam tubuh pemerintah. Bahkan,
sudah bukan rahasia lagi kelahiran sejumlah kelompok sipil bersenjata
berbendera agama dan suku di Indonesia justru terkait faksi-faksi yang terlibat
dalam perebutan kekuasaan. Begitu juga, jatuhnya senjata api dan amunisi ke
tangan sipil, bukan saja karena merajalelanya pasar gelap yang melintasi tapal
batas negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga bersumber dari stockpile milik
aparat keamanan.
Kita harus menelusuri praktik korupsi dengan tindakan terorisme.
Sebagai contoh, di daerah konflik, dana pemerintah yang hilang melalui korupsi
pejabat dan pengusaha yang menyandarkan diri ke sumber pembiayaan pemerintah
mengalir melalui berbagai jalan untuk membiayai kekerasan. Di sini, tindak
kekerasan terorisme harus dijelaskan sebagai buah kombinasi antara pejabat yang
korup, pengusaha yang mencari untung, dan pelaku teror dengan beragam
motif. UU Tindak Pidana Korupsi dan UU
Tindak Pidana Pencucian Uang dapat menjadi dasar untuk melihat kaitan itu.
Pemerintah seharusnya menegakkan kedua UU ini dalam kerangka kontra pembiayaan
terorisme (countering the financing of terrorism). Investigasi mendalam
terhadap hubungan antara terorisme dan korupsi harus dilakukan, dengan melacak
sumber pembiayaan setiap tindakan kekerasan itu.
Jawaban No. 1
Sakral dan profan tidak bisa terlepas dari diri manusia. Karena
manusia adalah makhluk sosial yang serba berubah dan suka mencoba sesuatu hal
yang belum diketahuinya yang biasa juga disebut dengan trial and arror atau
mencoba-coba sesuatu. Rasa ingin tahu manusia sampai kepada sesuatu hal yang
sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar kemampuannya dan
mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka anggap suci, maka mereka
anggaplah itu sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia
menganggap sesuatu itu biasa-biasa saja. Sikap sakral dan profan ini terus
menjalar dalam kehidupan manusia, sehingga pemahaman tentang sesuatu yang
disakralkan itu menyimpang dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini
terjadi disebabkan mereka yang beragama ardhi (bumi) masuk ke dalam agama
Islam, namun ajaran-ajaran atai ritual-ritual yang ada di dalam agama mereka
terikut dalam praktek ibadah mereka sehari-hari, ditambah lagi dengan
pengetahuan umat Islam yang kurang tentang pemahaman akidah sehingga
praktek-praketk adat yang salah yang berlaku dikalangan mereka, mereka masukkan
dalam praktek ibadah mereka.
Jadi mereka salah atau keliru dalam memandang sesuatu itu, yang
profan dan anggapan mereka adalah suci, itulah yang sakral, dan sebaliknya
sesuatu yang sakral dianggap hanya profan (duniawi) saja. Sampai saat sekarang
ini sebagian orang atau masyarakat menganggap sesuatu yang sakral itu profan
(duniawi), bahkan yang nyata-nyata profan (duniawi) malah mereka menganggapnya
sakral. Penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang juga merupakan
pensakralan yang menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan ini sangat keliru
sekali dan merupakan pola piker yang salah yang harus dibetulkan.
Sakral adalah sesuatu yang keramat atau suci, sedangkan profan
adalah sesuatu yang bersifat duniawi dijadikan sakral. Kadang dalam kehidupan
sehari-hari banyakkita jumpai hal-hal yang bersifat sakral dianggap profan dan
yang profan dianggap sakral. Kaum sekuler berangkat dari anggapan bahwa agama
dan kehidupan duniawi tidak bisa dibaurkan. Dengan demikian, nilai-nilai
keagamaan tidak bisa digunakan untuk mengatur kehidupan duniawi. Alasannya
sangat klasik, yaitu agama bersifat sakral, sedangkan kehidupan duniawi
bersifat profan. Demikian pula sebaliknya, tidak satu pun institusi duniawi,
termasuk negara, berhak mengatur kehidupan keagamaan. Tentu saja yang dimaksud
dalam hal ini adalah sisi ritual agama itu.
Dalam Islam, tidak ada pandangan tentang pemisahan kehidupan agama
dari duniawi, sebagaimana perbedaan antara sakral dan profan. Islam justru
merupakan agama yang boleh dikatakan sangat peduli pada kehidupan duniawi (yang
profan?). Sebagian besar ajaran Islam berisi cara menata kehidupan duniawi
dengan tata nilai agamawi. Para intelektual Islam mana pun pasti mengetahui
itu, meskipun belum pasti menghayati pemahaman itu.
Sebagian orang berpandangan bahwa perempuan telah dipenjarakan oleh
dunia profan dan dunia sacral, sehinggaga perempuan tidak bisa mengekpresikan
keinginannya. Jadi tubuh perempuan itu milik siapa? Milik perempuankah atau
milik laki-laki hidung belang? Ketahuilah sesungguhnya kehidupan diawali oleh
tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia
harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah
sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam
dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan,
yaitu dunia profan dan dunia sakral.
Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi
terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh
agar tetap menjadi bersih. Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan
‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam
memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan
menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili
tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya
telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni
kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur
memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar
keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.
Adapun hal-hal yang bersifat sacral di antranya adalah perkawinan
dan hubungan seksual. Perkawinan merupakan kondisi antara dua jenis kelamin
manusia yang beradab, suatu hubungan sakral yang seharusnya dijaga dari unsur
pengaruh lingkungan yang nuansanya negatif. Orang tua dulu berkata, bahwa
setiap pertemuan antara dua jenis manusia, yang bermufakat hendak mendirikan
rumah tangga, merupakan suatu niat yang beradab. Hubungan antar mereka dijaga
benar dengan rasa kasih sayang yang sangat tinggi, dan tidak dipengaruhi oleh
persoalan fisik dan biologis. Bahwa untuk mendapatkan keturunan, kita
sepertinya kembali pada nilai seperti hewan, memang sudah merupakan Ciptaan dari
Yang Maha Pencipta. Kita termasuk spesis kehidupan didalam bumi, tapi yang
diberkati dengan akal, pikiran, kebebasan menentukan keinginan yang berbeda
dari makhluk yang mempunyai kesadaran terbatas, sehingga bergerak melalui
insting dan bukan intuisi.
Jawaban No. 4
Betapapun sulitnya melanggengkan qiyamullail sambil pula mewujudkan
sifat wara’ dan tetap menggeluti dunia ilmu dengan mengarang, menulis dan
berkreasi. Betapa menyesalnya ketika aku tidak mampu menyempatkan diri
berkhalwat menyendiri bermunajat kepada Allah karena disibukkan oleh urusan
mengajar dan berbaur dengan sesama manusia. Betapa lemahnya sifat wara’ ketika
dicampuri dengan mencari nafkah untuk keluarga.
Manusia menjalani hidup dengan berbagai kecenderungan dan hasrat.
Keduanya merupakan software penting bagi manusia yang telah dianugerahkan oleh
Allah swt. Pertanggung jawaban amal manusia di hari akhir, sangat berhubungan
erat dengan benar atau tidaknya ia mengarahkan kecenderungan dan hasrat itu.
Ketika kecenderungan dan hasrat – atau apapun dengan bahasa yang serupa dengan
keduanya – itu hilang dalam diri manusia, maka saat itu pula ia berubah menjadi
robot. Setiap orang tentu memiliki cita-cita dan tujuan hidup masing-masing dan
ia akan berusaha memenuhi dan mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup itu. Apapun
motifnya baik yang mengharapkan ridha Allah maupun yang mencintai dunia.
Begitupun kalimat diatas. Kalimat tersebut secara implisit
menunjukkan betapa pentingnya menyeimbangkan antara berbagai kecenderungan
dalam diri. Seorang ulama salaf shaleh terkemuka, Imam Ibnu Jauzi dalam buku
“Shaidul Khatir” mengungkapkan hal tersebut.
Bagi seorang muslim, kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan
tumbuh menjamur seiring berkembangnya pemahaman terhadap Islam. “Cita-citaku
adalah keinginan hidup yang tidak terbatas.”, begitu Imam Hasan Al Banna
menggambarkan tingginya cita-cita seorang Muslim, baik terhadap diri, ummat
dan dien Islam tercinta. Namun tentu cita-cita, kecenderungan dan
hasrat tadi harus mampu direalisasi secara adil, proporsional dan seimbang.
Sebab kemenangan da’wah tidak hanya disebabkan oleh Qiyamulail dan munajat
tanpa menuntut ilmu, bekerja dan berinteraksi dengan manusia.
Sebagai manusia biasa, seorang Muslim memiliki At
Tanaazu’ yaitu ketertarikan, hasrat, merindukan atau condong kepada
sesuatu. Oleh karena itu antara diri dan nafsunya, timbullah keinginan untuk
merealisasikan kecenderungan-kecenderungan tersebut.
Dalam diri seorang Muslim kecenderungan-kecenderungan ke arah
kebaikan tumbuh menjamur seiring dengan semakin dalam pemahamannya terhadap
Islam. Oleh karenanya disinilah perbedaan antara seorang muslim dengan non
muslim, dimana kecenderungan yang hadir selalu dalam bingkai kebaikan dan
mengharapkan kedekatan serta keridhaan Allah SWT.
“At Tanaazu’ wa tawaazun fii Hayatil Muslim” ada beberapa
kecenderungan pada diri seorang Muslim yang tetap harus dijaga
sisi-sisi tawaazun dari kecenderungan-kecenderungan itu. Hal tersebut
antara lain : kecenderungan menuntut ilmu, kecenderungan memperbanyak kuantitas
dan persentase ibadah, kecenderungan berda’wah dan berjihad di jalan Allah,
kecenderungan mencari dan meraih harta yang banyak. Tak pelak lagi semua
kecenderungan inilah yang akhirnya bisa mewujudkan kemenangan da’wah bila
dipadukan dan diaplikasikan secara baik, adil, bijaksana dan seimbang.
Dalam kecenderungan menuntut ilmu, seorang muslim harus menjaga
keseimbangan antara semangat menuntut ilmu dengan menyucikan hati. Keduanya
jelas memiliki manfaat yang besar bagi seorang muslim. Namun, bila tidak dijaga
keseimbangannya bisa menimbulkan efek yang ekstrim. Melulu menuntut ilmu tanpa
menata dan mengelola hati akan membuat hati menjadi keras, menumbuhkan
kesombongan dan lambat laun akan meremehkan ibadah. Sedangkan terlalu tekun
melunakkan hati akan mewarisi sifat penakut dan malas yang kadang kala membuat
orang cepat merasa puas.
Selain itu dalam menuntut ilmu harus pula dijaga keseimbangan antara
menuntut ilmu syar’i (hukum-hukum Islam) dengan ilmu lain yang
bermanfaat. Karena hakikat ilmu adalah harta kaum muslimin yang hilang maka
ambillah dimana pun ia berada. Dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim
harus memprioritaskan pelaksanaan ibadah fardhu, karena ibadah fardhu ini tidak
boleh ditinggalkan kecuali ada udzur syar’i. Selain itu seorang muslim
juga tidak bisa meninggalkan ibadah-ibdah sunnahnya (sesuai dengan
kemampuannya) karena ibadah sunnah merupakan harta karun peninggalan Rasulullah
saw yang selalu dicari oleh pemburu kemuliaan dari Allah swt.
Di sisi lain menumbuhkan kemauan yang kuat untuk melaksanakan ibadah
adalah syarat awal bagi kelanggengan pelaksanaan ibadah-ibdah tersebut pada
hari-hari yang kita lalui. Namun jangan pula terlalu bersemangat beribadah yang
akan mengesampingkan hak-hak orang lain disekitar kita, misalnya keluarga kita.
Kisah sahabat Rasulullah saw, Abu Darda yang diigatkan – karena terlalu
semangat beribadah – bahwa Allah, diri dan keluarga mempunyai hak atas dirinya
yang harus dipenuhi secara adil.
Merealisasikan keseimbangan dalam diri adalah sebuah pekerjaan yang
sulit. terkadang kita tidak bisa mengetahui apakah kita sudah berada pada titik
tengah atau belum. Bahkan kita sendiri tidak mampu menjaga
kecenderungan-kecenderungan yang luapannya terlalu besar agar bisa diarahkan
pada porsi-porsi yang adil. Malah yang perlu dikhawatirkan bahwa kita terlalu
putus asa untuk mewujudkan keseimbangan itu dalam diri kita.
Para sahabat Rasulullah saw telah banyak yang mampu memadukan secara
baik dan adil berbagai kecenderungan beramal dalam diri mereka. Lihatlah
bagaimana Umar bin Khattab seorang Khalifah yang memimpin ummat, namun
kehidupannya begitu zuhud. Perilakunya tegas saat memutuskan sesuatu, tapi di
sudut lain ia menangis khawatir keputusannya keliru. Atau seorang tabi’in Imam
Baqiy bin Mukhalid yang mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam tiga belas
rakaat. Siangnya sholat sebanyak seratus rakaat, melanggengkan puasa dan
dikenal sebagai ahli hadits. Disisi lain beliau pernah mengikuti peperangan
sebanyak 72 kali.
Walaupun sulitnya keseimbangan itu terwujud, namun hendaknya proses
berusaha pada diri kita untuk mewujudkan dan melanggengkan keseimbangan itu
tidak pernah pudar. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan kaidah dalam usaha
menjaga keseimbangan kita. Pertama, optimalisasi penggunaan waktu dan cita-cita
yang tinggi. Permasalahan awal dari ketidakmampuan kita menjaga keseimbangan
adalah buruknya manajemen waktu pribadi dan rendahnya kemauan dan cita-cita
kita. Jiwa thumuh(dorongan berprestasi) belum merasuk dalam diri kita.
Rasa puas dan cukup dengan kondisi keimanan dan kualitas diri sekarang adalah
suatu yang harus kita buang jauh-jauh. “akulah jiwa perindu. setiap kali ia
sampai pada satu tingkat, setiap itu pula ia merindukan tingkat yang lebih
tinggi...” demikian Umar ibn Abdul Aziz menuturkan.
Kedua, mengetahui skala prioritas. Mengetahui urutan amal dan
prioritas serta mengklasifikasi berbagaimasalah adalah faktor penting dalam
membentuk pribadi tawazun. Dengan adanya skala prioritas akan
menghindarkannya dari ketidakteraturan kegiatan. Ketiga, tidak isti’jal (terburu-buru)
mengharap terwujud mengharap sesuatu. Menelusuri jalan dengan tidak
tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil adalah landasan
penting dalam mewujudkan keseimbangan yang dikehendaki. Jarak yang akan
ditempuh ratusan mil oleh seseorang harus dimulai dengan langkah pertama.
Memang harus dibedakan antara ketergesa-gesaan dan semangat, militansi dan etos
kerja. Oleh karenanya agar semangat yang sudah menggebu dalam diri kita tidak
berubah menjadi isti’jal maka harus diimbangi dengan pemahaman dan
kesabaran. Keempat, melihat secara utuh setiap persoalan. Setiap orang yang
menginginkan keseimbangan dalam hidupnya, ia harus menyelamatkan akalnya dari
cara pandang yang parsial, sebab akan melemahkan fungsi akal sendiri. Cara
berfikir yang parsial akan mematikan daya kreatifitas manusia dan menyeretnya
kepada jalan taqlid serta menghalanginya untuk memperoleh manfaat
dari orang lain.
Seorang mukmin, bila diibaratkan seekor elang maka kepakan sayapnya
adalah cermin kekhusyu’an, paduan antara keseriusan, kerja keras, kesungguhan
dan konsentrasi yang mendalam. Tak adalagi ruang kosong antara idealisme dan
realitas, karena ujung tali keduanya telah tersimpul dalam ikatan thumuh.
Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas yang kelelahan mengitarinya. “Bila
jiwa itu besar. raga akan lelah mengikuti kehendaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar