Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

MSI agama sempalan, kekerasan modus agama dan peselisishan; Ridwan, MA

Tugas Final

Nama                   : Ridwan
Mahasiswa PPs    : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah        : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby, MA.Phd          

1.    Anggapan "sempalan" ada pada setiap agama. Apa yang dimaksud dengan sempalan dalam studi agama? Bagaimana sebaiknya mensikapi "sempalan" ini dalam Islam? Uraikan dengan jelas!
2.    Sebelum sepuluh tahun terakhir ini dunia sangat menaruh harapan pada "Indonesia Muslim" termasuk "Malaisiya Muslim" mereka merasa sudah "jenuh" melihat Muslim Timur Tengah, khususnya Arab yang, persepsi mereka, sangat tidak toleran. Namun perkembangan suasana Indonesia dalam dekade terkhir ini (dengan meningkatnya kekerasan bermotif agama) telah mengubah persepsi tersebut. Bagaimana anda dapat jelaskan gejala ini?
3.    Bagaiamana memahami perbedaan atau persamaan antara sakral dan profane dalam pengamalan agama? Uraikan dengan contoh-contoh praktik di lapangan!
4.    Kalau agama terstruktur seperti yang kita pahami selama ini lambat laun tidak lagi mendapat kepercayaan sebagaian umat manusia, kemana arah pelampiasan spiritual akan akan tersalurkan? Jelaskan dengan rinci!.

Jawaban No. 1
Berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.
Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif, untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan membahayakan.Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan"  pun bersifat kontekstual.
Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.
Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan  protes sosial atau politik.
Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan mereka tidak bisa lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan reformis dan tradisional.
Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai pihak  yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita obyektif dalam hal ini?.
Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan  pandai mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad belakangan!.
Bagaimana dengan Darul Islam dan gerakan Usrah? Keduanya dapat dianggap gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka. Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapiNegara Islam Indonesia'nya Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan membentuk "mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak mustahil sebagian "mainstream" Islam sekarang inilah yang mereka anggap sebagai "sempalan".

Jawaban No. 1
Aksi-aksi kekerasan bermotif agama, ada hal-hal yang menjadi perhatian pengamat, di antaranya, kemunculan politik Islam setelah kejatuhan Orde Baru, berkembangnya faham yang memilih cara-cara kekerasan, terjadinya kekerasan komunal seperti di Ambon dan Poso, serta munculnya beberapa kelompok radikal yang memilih cara kekerasan yang memiliki jaringan nasional, regional, dan global. Selain itu, studi-studi tentang terrorism financing juga memperkuat cara pandang itu, dengan berusaha mengerti bagaimana jaringan global terorisme saling mendukung dari sisi pembiayaan, termasuk dalam kasus Indonesia
Bagaimanapun, munculnya tindakan teror dan kekerasan komunal di Indonesia penting dilihat dari sisi warisan politik masa lalu dan kegagalan konsolidasi demokrasi. Politik yang terbuka berjalan seiring hukum yang bobrok, rendahnya penghormatan HAM, korupsi yang merajalela, dan pemerintah yang bangkrut dan terpecah-belah, serta rumitnya problem sosial ekonomi. Semua masalah ini berakar dalam tubuh pemerintah. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengembangkan perang melawan terorisme dari pendekatan yang terfokus di masyarakat ke pendekatan yang terpusat di dalam tubuh sendiri.
pemerintah harus mengontrol berbagai kekuatan dalam tubuh sendiri yang mengeksploitasi cara-cara kekerasan untuk berbagai tujuan politik. Hal itu karena kegagalan aparat keamanan bertahun-tahun mengakhiri teror dan kekerasan komunal bukan saja berasal dari ketidakmampuan menghentikan kekerasan, tetapi lebih karena terpecah-belahnya kepentingan dalam tubuh pemerintah. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kelahiran sejumlah kelompok sipil bersenjata berbendera agama dan suku di Indonesia justru terkait faksi-faksi yang terlibat dalam perebutan kekuasaan. Begitu juga, jatuhnya senjata api dan amunisi ke tangan sipil, bukan saja karena merajalelanya pasar gelap yang melintasi tapal batas negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga bersumber dari stockpile milik aparat keamanan.
Kita harus menelusuri praktik korupsi dengan tindakan terorisme. Sebagai contoh, di daerah konflik, dana pemerintah yang hilang melalui korupsi pejabat dan pengusaha yang menyandarkan diri ke sumber pembiayaan pemerintah mengalir melalui berbagai jalan untuk membiayai kekerasan. Di sini, tindak kekerasan terorisme harus dijelaskan sebagai buah kombinasi antara pejabat yang korup, pengusaha yang mencari untung, dan pelaku teror dengan beragam motif.  UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dapat menjadi dasar untuk melihat kaitan itu. Pemerintah seharusnya menegakkan kedua UU ini dalam kerangka kontra pembiayaan terorisme (countering the financing of terrorism). Investigasi mendalam terhadap hubungan antara terorisme dan korupsi harus dilakukan, dengan melacak sumber pembiayaan setiap tindakan kekerasan itu.

Jawaban No. 1
Sakral dan profan tidak bisa terlepas dari diri manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial yang serba berubah dan suka mencoba sesuatu hal yang belum diketahuinya yang biasa juga disebut dengan trial and arror atau mencoba-coba sesuatu. Rasa ingin tahu manusia sampai kepada sesuatu hal yang sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar kemampuannya dan mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka anggap suci, maka mereka anggaplah itu sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia menganggap sesuatu itu biasa-biasa saja. Sikap sakral dan profan ini terus menjalar dalam kehidupan manusia, sehingga pemahaman tentang sesuatu yang disakralkan itu menyimpang dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terjadi disebabkan mereka yang beragama ardhi (bumi) masuk ke dalam agama Islam, namun ajaran-ajaran atai ritual-ritual yang ada di dalam agama mereka terikut dalam praktek ibadah mereka sehari-hari, ditambah lagi dengan pengetahuan umat Islam yang kurang tentang pemahaman akidah sehingga praktek-praketk adat yang salah yang berlaku dikalangan mereka, mereka masukkan dalam praktek ibadah mereka. 
Jadi mereka salah atau keliru dalam memandang sesuatu itu, yang profan dan anggapan mereka adalah suci, itulah yang sakral, dan sebaliknya sesuatu yang sakral dianggap hanya profan (duniawi) saja. Sampai saat sekarang ini sebagian orang atau masyarakat menganggap sesuatu yang sakral itu profan (duniawi), bahkan yang nyata-nyata profan (duniawi) malah mereka menganggapnya sakral. Penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang juga merupakan pensakralan yang menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan ini sangat keliru sekali dan merupakan pola piker yang salah yang harus dibetulkan.
Sakral adalah sesuatu yang keramat atau suci, sedangkan profan adalah sesuatu yang bersifat duniawi dijadikan sakral. Kadang dalam kehidupan sehari-hari banyakkita jumpai hal-hal yang bersifat sakral dianggap profan dan yang profan dianggap sakral. Kaum sekuler berangkat dari anggapan bahwa agama dan kehidupan duniawi tidak bisa dibaurkan. Dengan demikian, nilai-nilai keagamaan tidak bisa digunakan untuk mengatur kehidupan duniawi. Alasannya sangat klasik, yaitu agama bersifat sakral, sedangkan kehidupan duniawi bersifat profan. Demikian pula sebaliknya, tidak satu pun institusi duniawi, termasuk negara, berhak mengatur kehidupan keagamaan. Tentu saja yang dimaksud dalam hal ini adalah sisi ritual agama itu.
Dalam Islam, tidak ada pandangan tentang pemisahan kehidupan agama dari duniawi, sebagaimana perbedaan antara sakral dan profan. Islam justru merupakan agama yang boleh dikatakan sangat peduli pada kehidupan duniawi (yang profan?). Sebagian besar ajaran Islam berisi cara menata kehidupan duniawi dengan tata nilai agamawi. Para intelektual Islam mana pun pasti mengetahui itu, meskipun belum pasti menghayati pemahaman itu.
Sebagian orang berpandangan bahwa perempuan telah dipenjarakan oleh dunia profan dan dunia sacral, sehinggaga perempuan tidak bisa mengekpresikan keinginannya. Jadi tubuh perempuan itu milik siapa? Milik perempuankah atau milik laki-laki hidung belang? Ketahuilah sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu dunia profan dan dunia sakral.
Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih. Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.
Adapun hal-hal yang bersifat sacral di antranya adalah perkawinan dan hubungan seksual. Perkawinan merupakan kondisi antara dua jenis kelamin manusia yang beradab, suatu hubungan sakral yang seharusnya dijaga dari unsur pengaruh lingkungan yang nuansanya negatif. Orang tua dulu berkata, bahwa setiap pertemuan antara dua jenis manusia, yang bermufakat hendak mendirikan rumah tangga, merupakan suatu niat yang beradab. Hubungan antar mereka dijaga benar dengan rasa kasih sayang yang sangat tinggi, dan tidak dipengaruhi oleh persoalan fisik dan biologis. Bahwa untuk mendapatkan keturunan, kita sepertinya kembali pada nilai seperti hewan, memang sudah merupakan Ciptaan dari Yang Maha Pencipta. Kita termasuk spesis kehidupan didalam bumi, tapi yang diberkati dengan akal, pikiran, kebebasan menentukan keinginan yang berbeda dari makhluk yang mempunyai kesadaran terbatas, sehingga bergerak melalui insting dan bukan intuisi.

Jawaban No. 4
Betapapun sulitnya melanggengkan qiyamullail sambil pula mewujudkan sifat wara’ dan tetap menggeluti dunia ilmu dengan mengarang, menulis dan berkreasi. Betapa menyesalnya ketika aku tidak mampu menyempatkan diri berkhalwat menyendiri bermunajat kepada Allah karena disibukkan oleh urusan mengajar dan berbaur dengan sesama manusia. Betapa lemahnya sifat wara’ ketika dicampuri dengan mencari nafkah untuk keluarga.
Manusia menjalani hidup dengan berbagai kecenderungan dan hasrat. Keduanya merupakan software penting bagi manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. Pertanggung jawaban amal manusia di hari akhir, sangat berhubungan erat dengan benar atau tidaknya ia mengarahkan kecenderungan dan hasrat itu. Ketika kecenderungan dan hasrat – atau apapun dengan bahasa yang serupa dengan keduanya – itu hilang dalam diri manusia, maka saat itu pula ia berubah menjadi robot. Setiap orang tentu memiliki cita-cita dan tujuan hidup masing-masing dan ia akan berusaha memenuhi dan mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup itu. Apapun motifnya baik yang mengharapkan ridha Allah maupun yang mencintai dunia.
Begitupun kalimat diatas. Kalimat tersebut secara implisit menunjukkan betapa pentingnya menyeimbangkan antara berbagai kecenderungan dalam diri. Seorang ulama salaf shaleh terkemuka, Imam Ibnu Jauzi dalam buku “Shaidul Khatir” mengungkapkan hal tersebut.
Bagi seorang muslim, kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan tumbuh menjamur seiring berkembangnya pemahaman terhadap Islam. “Cita-citaku adalah keinginan hidup yang tidak terbatas.”, begitu Imam Hasan Al Banna menggambarkan tingginya cita-cita seorang Muslim, baik terhadap diri, ummat dan dien Islam tercinta. Namun tentu cita-cita, kecenderungan dan hasrat tadi harus mampu direalisasi secara adil, proporsional dan seimbang. Sebab kemenangan da’wah tidak hanya disebabkan oleh Qiyamulail dan munajat tanpa menuntut ilmu, bekerja dan berinteraksi dengan manusia.
Sebagai manusia biasa, seorang Muslim memiliki At Tanaazu’ yaitu ketertarikan, hasrat, merindukan atau condong kepada sesuatu. Oleh karena itu antara diri dan nafsunya, timbullah keinginan untuk merealisasikan kecenderungan-kecenderungan tersebut.
Dalam diri seorang Muslim kecenderungan-kecenderungan ke arah kebaikan tumbuh menjamur seiring dengan semakin dalam pemahamannya terhadap Islam. Oleh karenanya disinilah perbedaan antara seorang muslim dengan non muslim, dimana kecenderungan yang hadir selalu dalam bingkai kebaikan dan mengharapkan kedekatan serta keridhaan Allah SWT.
“At Tanaazu’ wa tawaazun fii Hayatil Muslim” ada beberapa kecenderungan pada diri seorang Muslim yang tetap harus dijaga sisi-sisi tawaazun dari kecenderungan-kecenderungan itu. Hal tersebut antara lain : kecenderungan menuntut ilmu, kecenderungan memperbanyak kuantitas dan persentase ibadah, kecenderungan berda’wah dan berjihad di jalan Allah, kecenderungan mencari dan meraih harta yang banyak. Tak pelak lagi semua kecenderungan inilah yang akhirnya bisa mewujudkan kemenangan da’wah bila dipadukan dan diaplikasikan secara baik, adil, bijaksana dan seimbang.
Dalam kecenderungan menuntut ilmu, seorang muslim harus menjaga keseimbangan antara semangat menuntut ilmu dengan menyucikan hati. Keduanya jelas memiliki manfaat yang besar bagi seorang muslim. Namun, bila tidak dijaga keseimbangannya bisa menimbulkan efek yang ekstrim. Melulu menuntut ilmu tanpa menata dan mengelola hati akan membuat hati menjadi keras, menumbuhkan kesombongan dan lambat laun akan meremehkan ibadah. Sedangkan terlalu tekun melunakkan hati akan mewarisi sifat penakut dan malas yang kadang kala membuat orang cepat merasa puas.
Selain itu dalam menuntut ilmu harus pula dijaga keseimbangan antara menuntut ilmu syar’i (hukum-hukum Islam) dengan ilmu lain yang bermanfaat. Karena hakikat ilmu adalah harta kaum muslimin yang hilang maka ambillah dimana pun ia berada. Dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim harus memprioritaskan pelaksanaan ibadah fardhu, karena ibadah fardhu ini tidak boleh ditinggalkan kecuali ada udzur syar’i. Selain itu seorang muslim juga tidak bisa meninggalkan ibadah-ibdah sunnahnya (sesuai dengan kemampuannya) karena ibadah sunnah merupakan harta karun peninggalan Rasulullah saw yang selalu dicari oleh pemburu kemuliaan dari Allah swt.
Di sisi lain menumbuhkan kemauan yang kuat untuk melaksanakan ibadah adalah syarat awal bagi kelanggengan pelaksanaan ibadah-ibdah tersebut pada hari-hari yang kita lalui. Namun jangan pula terlalu bersemangat beribadah yang akan mengesampingkan hak-hak orang lain disekitar kita, misalnya keluarga kita. Kisah sahabat Rasulullah saw, Abu Darda yang diigatkan – karena terlalu semangat beribadah – bahwa Allah, diri dan keluarga mempunyai hak atas dirinya yang harus dipenuhi secara adil.
Merealisasikan keseimbangan dalam diri adalah sebuah pekerjaan yang sulit. terkadang kita tidak bisa mengetahui apakah kita sudah berada pada titik tengah atau belum. Bahkan kita sendiri tidak mampu menjaga kecenderungan-kecenderungan yang luapannya terlalu besar agar bisa diarahkan pada porsi-porsi yang adil. Malah yang perlu dikhawatirkan bahwa kita terlalu putus asa untuk mewujudkan keseimbangan itu dalam diri kita.
Para sahabat Rasulullah saw telah banyak yang mampu memadukan secara baik dan adil berbagai kecenderungan beramal dalam diri mereka. Lihatlah bagaimana Umar bin Khattab seorang Khalifah yang memimpin ummat, namun kehidupannya begitu zuhud. Perilakunya tegas saat memutuskan sesuatu, tapi di sudut lain ia menangis khawatir keputusannya keliru. Atau seorang tabi’in Imam Baqiy bin Mukhalid yang mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam tiga belas rakaat. Siangnya sholat sebanyak seratus rakaat, melanggengkan puasa dan dikenal sebagai ahli hadits. Disisi lain beliau pernah mengikuti peperangan sebanyak 72 kali.
Walaupun sulitnya keseimbangan itu terwujud, namun hendaknya proses berusaha pada diri kita untuk mewujudkan dan melanggengkan keseimbangan itu tidak pernah pudar. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan kaidah dalam usaha menjaga keseimbangan kita. Pertama, optimalisasi penggunaan waktu dan cita-cita yang tinggi. Permasalahan awal dari ketidakmampuan kita menjaga keseimbangan adalah buruknya manajemen waktu pribadi dan rendahnya kemauan dan cita-cita kita. Jiwa thumuh(dorongan berprestasi) belum merasuk dalam diri kita. Rasa puas dan cukup dengan kondisi keimanan dan kualitas diri sekarang adalah suatu yang harus kita buang jauh-jauh. “akulah jiwa perindu. setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap itu pula ia merindukan tingkat yang lebih tinggi...” demikian Umar ibn Abdul Aziz menuturkan.
Kedua, mengetahui skala prioritas. Mengetahui urutan amal dan prioritas serta mengklasifikasi berbagaimasalah adalah faktor penting dalam membentuk pribadi tawazun. Dengan adanya skala prioritas akan menghindarkannya dari ketidakteraturan kegiatan. Ketiga, tidak isti’jal (terburu-buru) mengharap terwujud mengharap sesuatu. Menelusuri jalan dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil adalah landasan penting dalam mewujudkan keseimbangan yang dikehendaki. Jarak yang akan  ditempuh ratusan mil oleh seseorang harus dimulai dengan langkah pertama. Memang harus dibedakan antara ketergesa-gesaan dan semangat, militansi dan etos kerja. Oleh karenanya agar semangat yang sudah menggebu dalam diri kita tidak berubah menjadi isti’jal maka harus diimbangi dengan pemahaman dan kesabaran. Keempat, melihat secara utuh setiap persoalan. Setiap orang yang menginginkan keseimbangan dalam hidupnya, ia harus menyelamatkan akalnya dari cara pandang yang parsial, sebab akan melemahkan fungsi akal sendiri. Cara berfikir yang parsial akan mematikan daya kreatifitas manusia dan menyeretnya kepada jalan taqlid serta menghalanginya untuk memperoleh manfaat dari orang lain.
Seorang mukmin, bila diibaratkan seekor elang maka kepakan sayapnya adalah cermin kekhusyu’an, paduan antara keseriusan, kerja keras, kesungguhan dan konsentrasi yang mendalam. Tak adalagi ruang kosong antara idealisme dan realitas, karena ujung tali keduanya telah tersimpul dalam ikatan thumuh. Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas yang kelelahan mengitarinya. “Bila jiwa itu besar. raga akan lelah mengikuti kehendaknya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar