BAB III: AMSAL
Dalam Al-Quran banyak kita temui ayat-ayat yang
menggunakan gaya bahasa perumpamaan. Baik yang menyangkut peringatan, kabar
gembira maupun sindiran terhadap manusia. Bahasa perumpamaan itu digunakan
dalam Al-Quran, tidak lain agar manusia selalu ingat terhadap isi pesan yang
disampaikan Allah SWT. Salah satu bahasa perumpamaan itu dapat kita temui dalam
QS. Ibrahim: 24-25, ”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat.”
Kalau kita telaah dan renungkan makna perumpamaan ayat
tersebut, sungguh agung dan dalam artinya. Yakni pohon yang baik itu tidak lain
adalah pohon kurma. Akarnya teguh sebagaimana dasar tauhid yang telah terhunjam
ke dalam hati. Cabangnya menjulang tinggi, menandakan bahwa cabang iman, amal
shalih dan ihsan adalah akan naik ke atas langit. Demikian pula, laksana pohon
kurma yang daun-daunnya tidak jatuh berguguran, maka seorang mukmin diharapkan
tidak berubah imannya karena hawa nafsu.
Lebih jauh, sifat pohon kurma ini jika dicabangkan, ia
akan bercabang banyak dan tiap cabangnya itu akan berbuah. Begitu pun seorang
mukmin jika dididik, maka ia akan terdidik dengan baik. Artinya, bila
diperbaiki moral dan akhlaknya, maka ia akan terbentuk dengan baik.
Sementara itu, pohon kurma memiliki madu yang jernih dan
minumannya adalah memberi kesembuhan. Hal ini memberi perlambang bahwa seorang
mukmin hendaknya ide-idenya adalah memberi kesembuhan dan nasehat-nasehatnya
itu laksana obat. Begitu pun dengan kebaikannya terlihat segera, sementara
keburukannya begitu jarang nampak.
Akhirnya, tidak berlebihan bila Fudhail bin Iyadh
mengatakan, ”Seorang mukmin adalah sedikit bicara, banyak bekerja. Sementara
orang munafik adalah banyak bicara dan sedikit beramal.”
Firaman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bagi mereka surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.” (QS.
Al-Buruuj 85:11).
Penggambaran surga dengan sungai-sungai yang mengalir di
bawahnya tentulah penggambaran yang sangat “dirindukan” oleh bangsa Arab yang
hidup di gurun pasir dengan air dan tumbuh-tumbuhan yang terbatas.
Contoh perumpamaan/pemisalan “mitsil” mengenai surga di
atas secara implisit menjelaskan bahwa kondisi surga itu seperti suatu “tempat
yang kita rindukan” kenikmatan dan keindahannya dan tidak ada di “dunia kita”.
Itulah pelajaran yang kita dapatkan dari perumpamaan ini. Dan Allah memang
sengaja menuliskan banyak perumpamaan agar manusia mendapat pelajaran.
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam
Al Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (QS.
Az-Zumar 39:27). Pelajaran dari Al-Qur’an itu telah dibuat mudah oleh Allah.
Dan Allah telah menjaminnya dengan mengatakannya 4 kali di ayat 17, 22, 32 dan
40 surah al-Qamar.
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al- Qur’an
untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS.
Al-Qamar 54: 17, 22, 32 dan 40).
Berdasarkan contoh kasus di atas, ternyata memang mudah
memahami “mitsil” mengenai “surganya bangsa Arab”. Dan ini pun berlaku untuk
mitsil-mitsil lainnya, karena Allah telah menuliskan kata matsala (مثل), berikut
perubahan-perubahannya, di 130 ayat. Tapi, untuk memahami semua mitsil yang
terdapat di dalam Al-Qur’an, apakah memang harus selalu menggunakan “kacamata”
budaya dan bahasa Arab?.
Mitsil untuk Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat, Untuk
memahami dan menyadari kapankah saat yang tepat menggunakan metoda mitsil untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an, perhatikanlah QS. Ali Imran 3:7. “Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamaat
itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam kalbunya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran 3:7)
Pada QS. Ali Imran 3:7 ini disebutkan bahwa pokok-pokok
isi Al-Qur’an disebut “muhkamaat”, yang berasal dari kata dasar “hakama” atau
hukum. Sementara kita ketahui bersama, bahwa bahasa hukum haruslah memiliki
hanya satu arti saja. Tidak boleh ada pemahaman lain selain apa yang tertulis.
Sehingga untuk hal-hal “muhkamaat” ini tertutuplah pintu perbedaan pemahaman.
Tidak ada pintu untuk perumpamaan atau pemisalan. Semuanya telah jelas secara
tekstual. Sehingga ayat-ayat muhkamaat hanya dapat menggunakan “kacamata”
budaya dan bahasa Arab saja. Inilah inti dari penjelasan QS. Asy-Syu’araa
26:198-199 yang telah ditampilkan sebelumnya.
Sedangkan kata “mutasyabihat” berasal dari kata
“tasyabaha” atau “tasyabuh”, yang artinya mirip/sama/ seperti. Sehingga untuk
ayat-ayat “mutasyabihat” sangat terbuka perbedaan pendapat. Pendapat (takwil)
yang keluar dari kalbu yang condong kepada kesesatan dapat
menimbulkan fitnah karena tidak sesuai dengan takwil yang Allah tetapkan dan
hanya Dia yang mengetahui takwil tersebut. Manusia pun diberi ijin oleh Allah
untuk mengetahui (mengambil pelajaran) takwil ayat-ayat “mutasyabihat” ini.
Tentu saja tidak semua manusia. Hanya u’lul albaab saja, yaitu orang-orang yang
mendalam ilmunya dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Atau, menurut QS.
Ali Imran 3:191-194, yaitu orang-orang yang mengingat Allah (beribadah atau
beramal) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi serta menyadari dan mengakui
kebesaran Allah di dalam do’a dan perkataannya. Juga menyadari dan mengakui
betapa tiada berarti diri mereka dibandingkan dengan Allah sehingga mereka pun
beriman seraya memohon ampunan kepada Allah agar terbebas dari siksa neraka.
Karena itulah, untuk mengetahui ayat-ayat mutasyabihat
kita wajib menjadi u’lul albaab agar pendapat/takwil kita terhadap ayat-ayat
Allah mendapat petunjuk langsung dari Allah berupa ayat-ayat kauniah seperti
disebutkan dalam QS. Ali Imran 3:190. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi
orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran 3:190)
Atau pun berupa al-Hikmah, langsung dari Allah. “Allah
menganugrahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah
itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya u’lul
albaab yang dapat mengambil pelajaran” (QS. al-Baqarah 2:269)
Memahami Mitsil Menggunakan Bahasa Universal, Pengalaman
mengikuti beberapa seminar/ simposium/kongres ilmiah baik secara lokal,
regional ataupun internasional telah menyadarkan kami tentang adanya bahasa
universal di lingkungan ilmiah. Dan untuk selanjutnya kami sebut bahasa ilmiah
(scientific language) sebagai bahasa universal. Biasanya istilah
bahasa ilmiah ini dinisbatkan kepada ilmu Matematika. Maka dengan menggunakan
ilmu matematika ini telah banyak saudara-saudara kita sesama Muslim yang
berhasil mengungkapkan banyak informasi keilmuan dari dalam Al-Qur’an. Dan
dikenallah istilah Matematika Al-Qur’an atau Numerik Al-Qur’an.
Bahasa ilmiah yang dimaksudkan di sini tidak saya
berasal dari ilmu matematika saja, tapi juga berbagai ilmu dasar lainnya yang
sudah diakui kebenarannya di kalangan masyarakat ilmiah. Di sini kita
menggunakan pemahaman Bahasa Ilmiah untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sebagai
perumpamaan atau mitsil. Sebagai contoh, QS. Al-Hadiid 57:12 berikut ini:
“Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin
laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya.” Itulah
keberuntungan yang banyak.” (QS. Al-Hadiid 57:12)
Ayat 12 surah al-Hadiid di atas, jika dikaitkan dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita mendapatkan informasi tentang kondisi
mu’minin dan mu’minat ketika memasuki alam akherat kelak. Mereka diberi berita
gembira tentang surga yang akan mereka dapatkan adalah keuntungan yang banyak
sebagai pahala atas semua amal kebaikan mereka. Tapi tidak ada penjelasan
langsung mengenai cahaya apa yang dimaksud dalam “… sedang cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”. Apakah “cahaya mereka” itu?
Dan kenapa cahaya itu bersinar hanya di hadapan dan sebelah kanan mereka?
Apakah cahaya itu berupa sinar pelita?
Di dalam kitab Taisirul alliyatul qadir li
ikhtishari tafsir Ibnu Katsir atau Syarah Tafsir Ibnu Katsir yang ditulis
oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’i disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut.
Dikatakan oleh Ibnu Mas’ud (riwayat ini turut pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dan Ibnu Jarir) ketika menafsirkan “… sedang cahaya mereka bersinar di
hadapan mereka …”, katanya: “Sesuai dengan amal mereka, akan melintasi
jembatan. Di antara mereka ada yang cahayanya seperti gunung. Ada pula yang
seperti pohon kurma dan ada pula yang seperti seorang-orang laki normal yang
tengah berdiri tegak. Yang paling rendah adalah orang-orang yang cahayanya
terdapat pada ibu jari mereka; terkadang bercahaya dan terkadang padam.” Selanjutnya,
“… dan cahaya di sebelah kanan mereka …”, adh-Dhahak mengatakan: “Maksudnya,
di sebelah kanan mereka terdapat catatan-catatan amal mereka, sebagaimana
firman-Nya: فأمّا من ٲوتى كتٰبه بيمينه (maka bagi siapa saja yang dihadirkan kitabnya dari arah
kanannya, 84:7). Selanjutnya Allah berfirman, “… pada hari ini ada berita
gembira untukmu, surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai …”, yaitu kamu
berhak untuk digembirakan dengan surga-surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. “… yang kamu kekal di dalamnya …”, tinggal di sana untuk
selama-lamanya. “… itulah keberuntungan yang banyak.”
Pada intinya, ayat tersebut (diikuti ayat-ayat
selanjutnya sampai ke ayat 15) mengisahkan keadaan dan dialog orang-orang
beriman dan orang-orang munafik di alam akherat. Allah membimbing kaum mu’minin
menuju surga menggunakan cahaya yang hanya dapat dilihat oleh mereka, sementara
kaum munafiq tidak dapat melihat cahaya itu sehingga mereka tertinggal dan
masuk ke neraka.
BAB IV: AQSAMUL QUR'AN
Kata al-aqsam jamak dari kata qasam.
Berarti sumpah. Ungkapan sumpah dalam bahan Arab berasal dari kata kerja, uqsimu
kemudian disertai huruf ba’. Jadi uqsimu billah artinya aku
bersumpah atas nama Allah. Seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: 'Allah tidak
akan membangkitkan orang yang mati'." (QS. An-Nahl: 38).
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang, kata kerja
sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ba’nya saja.
Kemudian huruf ba’ diganti dengan huruf wawu, seperti firman
Allah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)."
(Al-Lail: 1). Kadang-kadang digunakan huruf-huruf ta’. Firman Allah, "Demi
Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu." (Al-Anbiya': 57). Tapi, huruf wawu
paling banyak dipakai.
A.
Pentingnya Sumpah
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk
tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah
untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang
dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi
lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang
terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur'an turun kepada
seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang
ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah
dalam Al-Qur'an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat
(kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta
menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’
al-Qaththan.
B.
Macam-macam
Sumpah
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an
berkisar antara tiga hal.
- Allah Bersumpah dengan Diri-Nya
Allah Bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan
kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur'an.
a). Firman Allah: "Orang-orang
kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah:
'Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian
akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah." (QS. At-Taghabun:
7).
b).
Firman Allah: "Katakanlah: 'Pasti datang,
demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan
datang kepadamu ...'." (QS. Saba’: 3).
c).
Firman Allah: "Dan mereka menanyakan
kepadamu: 'Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?' Katakanlah: 'Ya, demi Tuhanku,
sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput
(daripadanya)'." (QS. Yunus: 53).
d).
Firman Allah: "Demi Tuhanmu, sesungguhnya
akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan
mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut." (QS. Maryam: 68).
e).
Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, Kami
pasti akan menanyai mereka semua." (QS. Al-Hijr: 92).
f).
Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (QS. An-Nisa’: 65).
g).
Firman Allah: "Maka Aku bersumpah dengan
Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang;
sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa." (QS. Al-Ma’arij: 40).
- Allah bersumpah dengan
makhluk-Nya.
Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur'an, seperti, "Demi
matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan
siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit
serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya)." (QS. Asy-Syams: 1-7).
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)
(1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan
perempuan (3)." (QS. Al-Lail: 3-1). "Demi
fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan
malam bila berlalu (4)." (QS. Al-Fajr: 1-4).
"Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan
(5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan
tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8),
karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan
manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka
Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa
akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan
bintang-bintang." (QS. At-Takwir: 5–15). "Demi
(buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2)." (At-Tin:
1-2).
- Satu kali Allah bersumpah dengan
Nabi Muhammad saw.
Karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu
Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah
tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. "Barang
siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan
Syirik." (QS. HR Ahmad).
Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur'an terkadang
menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak,
seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhan langit dan bumi,
sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ...."
(QS. Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat
permintaan), seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti
akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu."
(QS. Al-Hijr: 92-93).
Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib
seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti
sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang
disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, "Demi
langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang
menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang
membuat parit." (QS. Al-Buruj: 1-4).
Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan
jawabannya, seperti firman Allah SWT, "Demi matahari dan cahayanya di
pagi hari .... Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ...."
(QS. Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, "Demi (buah) Tin dan
(buah) Zaitun .... Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin:1-4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar