Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Amsalul dan Aqsamul Qur'an; Ridwan, MA

BAB III: AMSAL
Dalam Al-Quran banyak kita temui ayat-ayat yang menggunakan gaya bahasa perumpamaan. Baik yang menyangkut peringatan, kabar gembira maupun sindiran terhadap manusia. Bahasa perumpamaan itu digunakan dalam Al-Quran, tidak lain agar manusia selalu ingat terhadap isi pesan yang disampaikan Allah SWT. Salah satu bahasa perumpamaan itu dapat kita temui dalam QS. Ibrahim: 24-25, ”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Kalau kita telaah dan renungkan makna perumpamaan ayat tersebut, sungguh agung dan dalam artinya. Yakni pohon yang baik itu tidak lain adalah pohon kurma. Akarnya teguh sebagaimana dasar tauhid yang telah terhunjam ke dalam hati. Cabangnya menjulang tinggi, menandakan bahwa cabang iman, amal shalih dan ihsan adalah akan naik ke atas langit. Demikian pula, laksana pohon kurma yang daun-daunnya tidak jatuh berguguran, maka seorang mukmin diharapkan tidak berubah imannya karena hawa nafsu.
Lebih jauh, sifat pohon kurma ini jika dicabangkan, ia akan bercabang banyak dan tiap cabangnya itu akan berbuah. Begitu pun seorang mukmin jika dididik, maka ia akan terdidik dengan baik. Artinya, bila diperbaiki moral dan akhlaknya, maka ia akan terbentuk dengan baik.
Sementara itu, pohon kurma memiliki madu yang jernih dan minumannya adalah memberi kesembuhan. Hal ini memberi perlambang bahwa seorang mukmin hendaknya ide-idenya adalah memberi kesembuhan dan nasehat-nasehatnya itu laksana obat. Begitu pun dengan kebaikannya terlihat segera, sementara keburukannya begitu jarang nampak.
Akhirnya, tidak berlebihan bila Fudhail bin Iyadh mengatakan, ”Seorang mukmin adalah sedikit bicara, banyak bekerja. Sementara orang munafik adalah banyak bicara dan sedikit beramal.”
Firaman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Buruuj 85:11).
Penggambaran surga dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya tentulah penggambaran yang sangat “dirindukan” oleh bangsa Arab yang hidup di gurun pasir dengan air dan tumbuh-tumbuhan yang terbatas.
Contoh perumpamaan/pemisalan “mitsil” mengenai surga di atas secara implisit menjelaskan bahwa kondisi surga itu seperti suatu “tempat yang kita rindukan” kenikmatan dan keindahannya dan tidak ada di “dunia kita”. Itulah pelajaran yang kita dapatkan dari perumpamaan ini. Dan Allah memang sengaja menuliskan banyak perumpamaan agar manusia mendapat pelajaran.
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (QS. Az-Zumar 39:27). Pelajaran dari Al-Qur’an itu telah dibuat mudah oleh Allah. Dan Allah telah menjaminnya dengan mengatakannya 4 kali di ayat 17, 22, 32 dan 40 surah al-Qamar.
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al- Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar 54: 17, 22, 32 dan 40).
Berdasarkan contoh kasus di atas, ternyata memang mudah memahami “mitsil” mengenai “surganya bangsa Arab”. Dan ini pun berlaku untuk mitsil-mitsil lainnya, karena Allah telah menuliskan kata matsala (مثل), berikut perubahan-perubahannya, di 130 ayat. Tapi, untuk memahami semua mitsil yang terdapat di dalam Al-Qur’an, apakah memang harus selalu menggunakan “kacamata” budaya dan bahasa Arab?.
Mitsil untuk Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat, Untuk memahami dan menyadari kapankah saat yang tepat menggunakan metoda mitsil untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, perhatikanlah QS. Ali Imran 3:7. “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam kalbunya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran 3:7)
Pada QS. Ali Imran 3:7 ini disebutkan bahwa pokok-pokok isi Al-Qur’an disebut “muhkamaat”, yang berasal dari kata dasar “hakama” atau hukum. Sementara kita ketahui bersama, bahwa bahasa hukum haruslah memiliki hanya satu arti saja. Tidak boleh ada pemahaman lain selain apa yang tertulis. Sehingga untuk hal-hal “muhkamaat” ini tertutuplah pintu perbedaan pemahaman. Tidak ada pintu untuk perumpamaan atau pemisalan. Semuanya telah jelas secara tekstual. Sehingga ayat-ayat muhkamaat hanya dapat menggunakan “kacamata” budaya dan bahasa Arab saja. Inilah inti dari penjelasan QS. Asy-Syu’araa 26:198-199 yang telah ditampilkan sebelumnya.
Sedangkan kata “mutasyabihat” berasal dari kata “tasyabaha” atau “tasyabuh”, yang artinya mirip/sama/ seperti. Sehingga untuk ayat-ayat “mutasyabihat” sangat terbuka perbedaan pendapat. Pendapat (takwil) yang keluar dari kalbu  yang  condong kepada kesesatan dapat menimbulkan fitnah karena tidak sesuai dengan takwil yang Allah tetapkan dan hanya Dia yang mengetahui takwil tersebut. Manusia pun diberi ijin oleh Allah untuk mengetahui (mengambil pelajaran) takwil ayat-ayat “mutasyabihat” ini. Tentu saja tidak semua manusia. Hanya u’lul albaab saja, yaitu orang-orang yang mendalam ilmunya dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Atau, menurut QS. Ali Imran 3:191-194, yaitu orang-orang yang mengingat Allah (beribadah atau beramal) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi serta menyadari dan mengakui kebesaran Allah di dalam do’a dan perkataannya. Juga menyadari dan mengakui betapa tiada berarti diri mereka dibandingkan dengan Allah sehingga mereka pun beriman seraya memohon ampunan kepada Allah agar terbebas dari siksa neraka.
Karena itulah, untuk mengetahui ayat-ayat mutasyabihat kita wajib menjadi u’lul albaab agar pendapat/takwil kita terhadap ayat-ayat Allah mendapat petunjuk langsung dari Allah berupa ayat-ayat kauniah seperti disebutkan dalam QS. Ali Imran 3:190. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran 3:190)
Atau pun berupa al-Hikmah, langsung dari Allah. “Allah menganugrahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya u’lul albaab yang dapat mengambil pelajaran” (QS. al-Baqarah 2:269)
Memahami Mitsil Menggunakan Bahasa Universal, Pengalaman mengikuti beberapa seminar/ simposium/kongres ilmiah baik secara lokal, regional ataupun internasional telah menyadarkan kami tentang adanya bahasa universal di lingkungan ilmiah. Dan untuk selanjutnya kami sebut bahasa ilmiah (scientific language) sebagai bahasa universal. Biasanya istilah bahasa ilmiah ini dinisbatkan kepada ilmu Matematika. Maka dengan menggunakan ilmu matematika ini telah banyak saudara-saudara kita sesama Muslim yang berhasil mengungkapkan banyak informasi keilmuan dari dalam Al-Qur’an. Dan dikenallah istilah Matematika Al-Qur’an atau Numerik Al-Qur’an.
Bahasa ilmiah yang dimaksudkan di sini tidak saya berasal dari ilmu matematika saja, tapi juga berbagai ilmu dasar lainnya yang sudah diakui kebenarannya di kalangan masyarakat ilmiah. Di sini kita menggunakan pemahaman Bahasa Ilmiah untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sebagai perumpamaan atau mitsil. Sebagai contoh, QS. Al-Hadiid 57:12 berikut ini:
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya.” Itulah keberuntungan yang banyak.” (QS. Al-Hadiid 57:12)
Ayat 12 surah al-Hadiid di atas, jika dikaitkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita mendapatkan informasi tentang kondisi mu’minin dan mu’minat ketika memasuki alam akherat kelak. Mereka diberi berita gembira tentang surga yang akan mereka dapatkan adalah keuntungan yang banyak sebagai pahala atas semua amal kebaikan mereka. Tapi tidak ada penjelasan langsung mengenai cahaya apa yang dimaksud dalam “… sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”. Apakah “cahaya mereka” itu? Dan kenapa cahaya itu bersinar hanya di hadapan dan sebelah kanan mereka? Apakah cahaya itu berupa sinar pelita?
Di dalam kitab Taisirul alliyatul qadir li ikhtishari tafsir Ibnu Katsir atau Syarah Tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’i disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut. Dikatakan oleh Ibnu Mas’ud (riwayat ini turut pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir) ketika menafsirkan “… sedang cahaya mereka bersinar di hadapan mereka …”, katanya: “Sesuai dengan amal mereka, akan melintasi jembatan. Di antara mereka ada yang cahayanya seperti gunung. Ada pula yang seperti pohon kurma dan ada pula yang seperti seorang-orang laki normal yang tengah berdiri tegak. Yang paling rendah adalah orang-orang yang cahayanya terdapat pada ibu jari mereka; terkadang bercahaya dan terkadang padam.” Selanjutnya, “… dan cahaya di sebelah kanan mereka …”, adh-Dhahak mengatakan: “Maksudnya, di sebelah kanan mereka terdapat catatan-catatan amal mereka, sebagaimana firman-Nya: فأمّا من ٲوتى كتٰبه بيمينه (maka bagi siapa saja yang dihadirkan kitabnya dari arah kanannya, 84:7). Selanjutnya Allah berfirman, “… pada hari ini ada berita gembira untukmu, surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai …”, yaitu kamu berhak untuk digembirakan dengan surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. “… yang kamu kekal di dalamnya …”, tinggal di sana untuk selama-lamanya. “… itulah keberuntungan yang banyak.”
Pada intinya, ayat tersebut (diikuti ayat-ayat selanjutnya sampai ke ayat 15) mengisahkan keadaan dan dialog orang-orang beriman dan orang-orang munafik di alam akherat. Allah membimbing kaum mu’minin menuju surga menggunakan cahaya yang hanya dapat dilihat oleh mereka, sementara kaum munafiq tidak dapat melihat cahaya itu sehingga mereka tertinggal dan masuk ke neraka.

BAB IV: AQSAMUL QUR'AN

Kata al-aqsam jamak dari kata qasam. Berarti sumpah. Ungkapan sumpah dalam bahan Arab berasal dari kata kerja, uqsimu kemudian disertai huruf ba’. Jadi uqsimu billah artinya aku bersumpah atas nama Allah. Seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: 'Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati'." (QS. An-Nahl: 38).
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang, kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ba’nya saja. Kemudian huruf ba’ diganti dengan huruf wawu, seperti firman Allah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)." (Al-Lail: 1). Kadang-kadang digunakan huruf-huruf ta’. Firman Allah, "Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu." (Al-Anbiya': 57). Tapi, huruf wawu paling banyak dipakai.

A.  Pentingnya Sumpah
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur'an turun kepada seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah dalam Al-Qur'an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat (kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’ al-Qaththan.

B.  Macam-macam Sumpah  
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an berkisar antara tiga hal.
  1. Allah Bersumpah dengan Diri-Nya
Allah Bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur'an.
a).  Firman Allah: "Orang-orang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: 'Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. At-Taghabun: 7).
b). Firman Allah: "Katakanlah: 'Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu ...'." (QS. Saba’: 3).
c). Firman Allah: "Dan mereka menanyakan kepadamu: 'Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?' Katakanlah: 'Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)'." (QS. Yunus: 53).
d). Firman Allah: "Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut." (QS. Maryam: 68).
e). Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua." (QS. Al-Hijr: 92).
f). Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa’: 65).
g). Firman Allah: "Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa." (QS. Al-Ma’arij: 40).

  1. Allah bersumpah dengan makhluk-Nya.
Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur'an, seperti, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)." (QS. Asy-Syams: 1-7).
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan perempuan (3)." (QS. Al-Lail: 3-1). "Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan malam bila berlalu (4)." (QS. Al-Fajr: 1-4).
"Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8), karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang." (QS. At-Takwir: 5–15). "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2)." (At-Tin: 1-2).

  1. Satu kali Allah bersumpah dengan Nabi Muhammad saw.
Karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. "Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan Syirik." (QS. HR Ahmad).
Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur'an terkadang menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak, seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ...." (QS. Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat permintaan), seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu." (QS. Al-Hijr: 92-93).
Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, "Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit." (QS. Al-Buruj: 1-4).

Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan jawabannya, seperti firman Allah SWT, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari .... Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ...." (QS. Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun .... Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin:1-4). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar