Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Metodologi Penafsiran Qur'an ; Ridwan, MA

BAB VII: METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'AN
A.  Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat.
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.

B.  Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
  1. Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan urutan  ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.

a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.


b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

  1. Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat, hubungan surat, asbabun nuzul,  hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya.
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a). Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b).  Pendekatan bi Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan, qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela”.
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten  karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.

  1. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Maqarin adalah membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik, yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif), yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan kekurangan dari metode maqarin,  yaitu; Tidak cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.

4.    Metode Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari  yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama  Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun. Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis, sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu; memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.


BAB VIII: HERMENETIKA AL-QUR'AN
Penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya. Yang paling menarik membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat.
Nasr Hamid mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan terminologi.
Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat al-takwil.[1] Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna - al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika, Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat. Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.  Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Al-Qur'an. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Al-Qur'an, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada" (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Al-Qur'an tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal: pertama Al-Qur'an sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Al-Qur'an. Kedua Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Al-Qur'an tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Al-Qur'an mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan. Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu; "mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil Qur'an).
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam 'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau "gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal, Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan Kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga 'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah, 2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998).
Muhdir Kathim Syanehchi, dkk. Al-Qur’an Buku yang Menyesasatkan dan Buku yang Mencerahkan. (Jakarta: Gugus Press, 2002)
Rosihon Anwar, Ulum Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Al-Subri Soleh, Terjemah pustaka firdaus, Mabahits fi ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)





[1] Lihat 'Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi Madkhal ila al-Hermeneuthiqa, Ro'yah for Publishing & Distribution, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar