BAB VII: METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'AN
A. Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri
dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti,
sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan
arah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan
dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau
Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara
yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan
dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan
sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang
benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat
Al-Qur’an terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir
berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir
ialah ilmu yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat,
baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang
dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan
sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam
memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an
adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari
ayat.
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran
dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan
dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa
kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran
yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.
B.
Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
- Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya
masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an
berdasarkan urutan ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga
dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang
intelek.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini
mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti,
mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan
hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode
Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan
Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts
Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir
karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.
a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh
dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada
aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak
hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih
ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat
ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas
dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang
kita baca adalah kitab tafsirnya.
b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini
mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis
dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan
bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada
permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari
kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk
Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan
analisis yang memadai.
- Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka
atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan
bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan
makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat,
hubungan surat, asbabun nuzul,
hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir
terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily
ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf
dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat
diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a). Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian
keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai
penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1
yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi
dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan
untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir
Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat
Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b). Pendekatan bi
Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan,
qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad
yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa
diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir
Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan;
“barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat
menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk
orang-orang yang keliru dan tercela”.
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan
pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah
yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2).
Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4).
Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang
berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan
Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara
tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat
itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang
buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang
dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta
hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni
Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara
lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang
ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an
yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak
ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya
adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang
ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an
memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten karena adanya perbedaan,
akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran
yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu
adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud
al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya
al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.
- Metode Maqarin (Komparatif atau
Perbandingan)
Maqarin adalah
membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat
Al-Qur’an dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat
dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik,
yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki
redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat
Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir
dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif),
yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana
ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya
bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda
dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di
dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam
ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat
yang dijadikan objek bahasan.
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan
wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui
berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan
kekurangan dari metode maqarin, yaitu; Tidak
cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer,
menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.
4. Metode
Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya
topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya
tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir
mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat
atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua
bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh
dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta
menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat
terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu
kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat
Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat
Al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk
Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan
judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua
Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun.
Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat
tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat
tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih
berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat
Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir,
baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara
tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui
kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang
ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua
persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis,
sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu;
memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.
BAB VIII: HERMENETIKA AL-QUR'AN
Penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang
biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi
pengarangnya. Yang paling menarik membedakan konsep takwil dalam tradisi
keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat.
Nasr Hamid mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam
bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk
memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu
menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi
Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan
terminologi.
Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat,
lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman
teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat
al-takwil.[1]
Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan
al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan
sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna -
al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika, Sebenarnya tidaklah
sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil
dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat. Pertama,
dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama.
Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi
hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti
pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam
kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah
keilmuan kita yang telah mapan. Kedua,
dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika
lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan
khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi
sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan
dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Al-Qur'an. Tidak ada alternatif
pemahaman selain bahwa Al-Qur'an, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari
Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada"
(loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Al-Qur'an tidak pernah
dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal: pertama Al-Qur'an sendiri
dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi.
Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan
kata-kata dari Al-Qur'an. Kedua Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di
tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Al-Qur'an tetap terjaga
seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Al-Qur'an
mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit
tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan
kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun
yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme
Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte
sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem
pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para
ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban.
Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan
kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.
Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan
cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas
realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk
dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks
dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang
jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan
mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran
kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh
otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai
pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas
keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi
keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu;
"mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai
takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan
stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam
upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil
Qur'an).
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam
yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun
telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang
melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya
sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan
suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara
bahasa, adat dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih
makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem
keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan
arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam
'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang
lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari
deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau
"gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan
untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja
hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih
dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi
dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu
dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa
batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal, Penulis setuju
dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi
keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi
patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah)
dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat
penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu
makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan
kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal
(perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan
Kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang
luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga
'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik
yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai
memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari
kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan
ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan
dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang
dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan
takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan
dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah
dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah,
2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad
XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam
Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas
Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998).
Muhdir Kathim Syanehchi, dkk. Al-Qur’an Buku yang
Menyesasatkan dan Buku yang Mencerahkan. (Jakarta: Gugus Press, 2002)
Al-Subri Soleh, Terjemah pustaka firdaus, Mabahits fi
ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
[1] Lihat 'Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi Madkhal ila al-Hermeneuthiqa,
Ro'yah for Publishing & Distribution, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar