Resume: Sirajudin Abbas, I’tikad
Ahlussunnah Wal Jamah (Jakarta :
Pustaka Tarbiyah Baru, 2006), h. 174
Nama : Ridwan Mahasiswa PPs : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah :
Metodologi Studi Islam
Konsep Ijtihad menurut NU
Di antara pengertian ijtihad yang sering dikemukakan adalah para
ulama fikih / ushul fikih adalah definisi al-Gazali, yaitu; “Pengerahan kemampuan
secara maksimal seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang
hukum-hukum syara’”.
Dari definisi tersebut setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad,
yaitu; pertama Pengerahan segenap kemampuan yang berijtihad merupakan usaha
jasmani rohani, tenaga fikiran, waktu maupun biaya dan bukan upaya ala
kadarnya. Kedua Seorang mujtahid mengandung arti bahwa ijtihad hanya
menggunakan dan boleh dilakukan oleh seseorang yang telah memenuhi persyaratan
tertentu, sehingga mencapai level mujtahid dan bukan sembarang orang. Ketiga Guna
memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengandung arti bahwa capaian
ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah manusia dalam kaitannya
dengan pengalaman ajaran agama.
Sebahagian dari mereka berpendpat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan
dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanni, sehingga
dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.
Dari beberapa definisi ijtihad konsepsi NU, dapat dipahami bahwa
ijtihad dalam bidang hukum Islam adalah pengerahan kemampuan intelektual secara
optimal untuk mendapatkan hukum suatu permasalahan pada tingkat zanni.
Al-Syaukani mendefinisikan ijtihad bahwa: Mengerahkan segenap
kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode
istinbat.
Dari defenisi al-Syaukani ada satu penekanan mengenai cara
berijtihad, yaitu dengan cara istinbat yang pengertiannya mendalami, mengkaji
suatu lafaz untuk dikeluarkan atau ditetapkan hukumnya. Hal ini berarti bahwa
menetapkan hukum dari suatu nash yang secara jelas telah menunjuk suatu hukum
tidak bisa dinamakan suatu ijtihad. Jadi intinya adalah lapangan ijtihad adalah
masalah yang tidak jelas penunjukan hukumnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, ijtihad adalah suatu
usaha maksimal, Ijtihad harus (dan hanya dapat) dilakukan oleh orang yang ahli,
Lapangan ijtihad adalah hukum syara’, Ijtihad harus ditempuh melalui
cara istinbat, dan Status hukum dari hasil ijtihad adalah zanni.
Motivasi berijtihad telah ada sejak pada masa nabi, hal ini terbukti
dengan adanya beberapa riwayat tentang bolehnya berijtihad sebagai contoh: Diriwayatkan
dari ‘Amr bin al-‘As bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah saw., bersabda:
apabila seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara) lalu berijtihad,
kemudian ijtihadnya itu benar, maka dia mendapatkan dua pahala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar