Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Desember 2015

Latar Belakang Masalah Kebencanaan

A.    Latar Belakang Masalah 
Indonesia merupakan negara yang sering dilanda bencana, baik bencana karena faktor alam maupun bencana akibat ulah manusia. Silih berganti bencana datang menimpa berbagai wilayah di Indonesia, seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, tanah longsor, kebakaran, dan banjir. Berdasarkan data Pusat Mitigasi Bencana ITB (2008) terdapat setidaknya 257 kejadian bencana terjadi di Indonesia dari keseluruhan 2.866 kejadian bencana alam di Asia selama periode tersebut. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.
Selain gempa bumi, hampir seluruh wilayah di Indonesia juga sering dilanda banjir, terutama pada saat musim penghujan. Banjir yang melanda Indonesia berupa banjir perkotaan dan juga banjir akibat luapan sungai. Banjir perkotaan terjadi ketika hujan tiba dan airnya menggenangi permukaan tanah di area permukiman. Permukaan tanah yang biasanya sudah tertutup dengan beton, aspal, maupun paving tersebut tidak mampu lagi untuk menyerap air. Sedangkan banjir akibat luapan sungai terjadi ketika air hujan datang dengan intensitas yang banyak hingga melebihi daya tampung badan sungai. Akibatnya air sungai meluap membanjiri area di sekitar badan sungai tersebut.
Bencana banjir yang semakin parah terjadi dalam lima tahun terakhir tidak lepas dari pengaruh pemanasan global (global warming). Pemanasan global (global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosferlaut, dan daratan bumiAkibat meningkatnya suhu di bumi tersebut, es di kutub mencair sehingga permukaan laut naik, terjadi peningkatan penguapan di seluruh permukaan bumi sehingga kekeringan melanda, dan pepohonan sebagai penyimpan cadangan air banyak yang mati sehingga air langsung diloloskan oleh tanah.
Di sisi lain banyak perilaku manusia yang memperbesar potensi terjadinya banjir, misalnya betonisasi, membuang sampah di sungai dan saluran-saluran pembuangan, penebangan liar (illegal logging), alih fungsi lahan menjadi permukiman, dan kurang peduli terhadap tanaman-tanaman perindang. Perilaku-perilaku tersebut banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Mereka kurang peduli akan akibat yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Onrizal (2005) mengungkapkan bahwa penebangan hutan menyebabkan berkurangnya air tanah rata-rata sebesar 53.2 mm/bln. Sedangkan kemampuan peresapan air pada DAS berhutan lebih besar 34.9 mm/bln dibandingkan dengan DAS tidak berhutan.
Kota Banjarmasin termasuk daerah yang sering dilanda banjir, yaitu banjir perkotaan. Ketika hujan tiba banyak rumah terendam air, jalan-jalan raya tergenang air hingga sulit dilalui, sungai-sungai meluap, dan banyak fasilitas umum yang tidak dapat difungsikan. Hal ini bisa dimungkinkan bahwa masyarakat di Kota Banjarmasin masih banyak yang berperilaku yang bisa memicu terjadinya banjir perkotaan.
Dengan kondisi wilayah Indonesia khususnya Kota Banjarmasin yang rawan bencana banjir tersebut mestinya masyarakat sudah familiar juga dengan berbagai hal mengenai bencana banjir. Hal-hal yang dimaksud adalah usaha meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari terjadinya bencana banjir, tindakan yang dilakukan apabila bencana terjadi, serta apa saja yang mestinya kita lakukan pasca bencana banjir terjadi. Lalu apakah masyarakat Indonesia telah memiliki pemahaman akan hal-hal di atas? Berkaca dari seringnya bencana banjir terjadi dan sangat parahnya dampak yang ditimbulkan, dapat kita katakan bahwa masyarakat rata-rata belum memiliki pemahaman yang cukup seputar bencana banjir.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya bisa menyebabkan terjadinya bencana banjir atau pun memperparah dampak dari bencana tersebut. Masih banyak kita temukan orang seenaknya membuang sampah di sungai, masih banyak kita dengar orang menebangi hutan tanpa menanaminya kembali, masih banyak kita lihat bangunan-bangunan didirikan di kawasan yang diperuntukkan bagi jalur hijau maupun di kawasan yang berperan sebagai daerah resapan.
Pada saat terjadinya bencana masyarakat Indonesia juga masih belum sigap dalam menghadapinya. Pada saat air bah menerjang, bukan mengutamakan nyawa untuk diselamatkan tetapi mereka malah lebih memilih menyelamatkan harta benda yang dimiliki. Untuk daerah yang sudah menjadi langganan terjadi banjir masih banyak yang belum memiliki sampan atau sejenisnya sebagai sarana transportasi ketika banjir datang. "Pendidikan bencana dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat sangat penting artinya demi menghindarkan banyaknya korban jiwa saat bencana melanda," kata Kepala Bidang Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo di Medan. Selain itu beliau juga mengatakan “Untuk beberapa langkah yang harus dilakukan adalah masyarakat harus sadar dan tahu bahwa ia berada di daerah rawan bencana. Setelah itu dia perlu tahu rute untuk evakuasi. Kalau lari harus kemana, dia harus tahu jalur-jalurnya. Dia juga harus tahu potensi bencana di daerahnya seperti apa”.
Selanjutnya pada masa-masa pasca bencana dengan keadaan segalanya hancur, harta benda habis, penghidupan hilang, atau bahkan sanak keluarga yang dicintai meninggal masyarakat kebingungan akan apa yang harus dikerjakannya. Dalam keadaan stres yang dilakukannya hanyalah meratapi nasib tanpa mau segera bertindak untuk melanjutkan penghidupannya. Puing-puing yang hancur harus segera dibersihkan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Rumah tempat bernaung harus segera didirikan, seperti apapun bentuknya. Penghasilan harus tetap ada demi keberlangsungan hidupnya bersama keluarga.
Sekolah merupakan lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Di sekolah pula terdapat beberapa komponen yang memungkinkan terselenggaranya proses pendidikan, yakni pelajar, pengajar, media belajar, lingkungan belajar, dan tujuan pembelajaran. Sedangkan pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap potensi, bakat, dan minat seseorang sehingga dapat berkembang menjadi manusia yang dewasa.
Menurut Adiwikarta dalam Ino Sutisno Rawita (2011) sekolah diartikan sebagai: (1) sekolah berarti suatu bangunan atau lingkungan fisik dengan segala perlengkapannya, merupakan tempat untuk menyelenggarakan proses pendidikan tertentu bagi kelompok manusia tertentu, (2) sekolah berarti suatu proses atau kegiatan belajar mengajar, dan (3) sekolah adalah sebuah organisasi sosial yang mempunyai struktur tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan. Di lembaga bernama sekolah inilah anak mengalami proses pendidikan secara formal, baik berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Sedangkan menurut Nawawi (1986) sekolah sebagai lembaga pendidikan berperan untuk mengembangkan potensi manusiawi yang dimiliki peserta didik agar mampu menjalankan tugas sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat. Melalui sekolah anak dipersiapkan menjadi manusia yang dalam kehidupannya selalu memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan keahlian dalam mengolah lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial guna menciptakan kondisi kehidupan yang semakin baik.
 Menurut Horton dan Hunt, sekolah sebagai lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata, yaitu; 1. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, 2. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat, 3.      Melestarikan kebudayaan, 4.      Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Sedangkan fungsi latennya yaitu:
1.      Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
2.      Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
3.      Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestiseprivilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
4.      Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
1.      Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
2.      Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
3.      Menjamin integrasi sosial.
4.      Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
5.      Sumber inovasi sosial.
Terkait dengan upaya sosialisasi pendidikan siaga bencana, sangatlah tepat apabila sekolah menjadi medianya. Sekolah menjadi tempat yang tepat untuk menyampaikan segala informasi kepada siswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Di sekolah pula dapat dilakukan praktek, simulasi, maupun roleplay (bermain peran) untuk membiasakan siswa berperilaku menjaga lingkungan demi meminimalisir dampak bencana.
Keteladanan guru di sekolah juga sangat penting dalam menanamkan kebiasaan baik kepada siswa. Untuk itu guru haruslah berdiri di garda depan memberikan contoh sebelum dia memberikan ceramah kepada siswa tentang perilaku siaga bencana. Dengan keteladanan siswa akan lebih mudah memahami karena mereka akan dengan mudah meniru kebiasaan baik yang dilakukan gurunya.
Contoh keteladanan yang dapat dilakukan guru diantaranya penanaman pohon perindang untuk menyumbang persediaan oksigen, mengatur pembuangan sampah secara benar, memisahkan jenis-jenis sampah untuk mempermudah proses daur ulang sampah, memanfaatkan listrik secara bijak dengan mematikan lampu, AC, kipas, dan peralatan elektronik lainnya yang sudah tidak diperlukan, serta membiasakan memakai produk yang ramah lingkungan dan pembungkus non-sintesis.
Education for Sustainable Development (EfSD) ialah pendidikan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, yaitu pendidikan yang memberi kesadaran dan kemampuan kepada semua orang terutama generasi mendatang untuk berkontribusi lebih baik bagi pengembangan berkelanjutan pada masa sekarang dan yang akan datang. Pembangunan/pengembangan berkelanjutan adalah pembangunan/ pengembangan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
EfSD dicetuskan oleh Prof. Dr. Hans J. A. Van Ginkel, mantan rektor United Nations (UN) University dan Staff Ahli Sekjen UN. Latar belakang EfSD sendiri ialah lahir dikarenakan kondisi dunia kontemporer yang mengalami masalah yang makin kompleks bahkan mendekati kekacauan. EfSD sendiri memiliki komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan satu sama lain, yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Beberapa fungsi EfSD antara lain, yaitu:
1.   Mendidik manusia agar bertanggung jawab terhadap alam, dan menghargai hak-hak orang lain dan lingkungan hidup
2.   Terbangun kapasitas komunitas/bangsa yang mampu membangun, mengembangkan, dan mengimplementasikan rencana kegiatan yang mengarah kepada sustainable development, yaitu kegiatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan ekosistem
3.   Menumbuhkan komitmen untuk berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih aman dan nyaman

Tujuan EfSD antara lain, yaitu:
1.   Menyediakan negara-negara dengan peluang baru untuk menggabungkan PBB ke dalam upaya-upaya reformasi pendidikan
2.   Mendorong peningkatan kualitas belajar dan mengajar di PBB
3.   Membantu negara-negara membuat kemajuan dan mencapai Tujuan Pembangunan Milenium melalui upaya EfSD
4.   Memfasilitasi hubungan jaringan, pertukaran, dan interaksi di antara pemangku kepentingan dalam EfSD. (http://lingkunganhidup8.wordpress.com/2012/10/22/education-for-sustainable-development-efsd/)
Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam sebagai akibat posisi geografisnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya upaya mitigasi bencana alam itu sejak dini sudah diketahui dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah. Di beberapa sekolah hal ini memang sudah ada, tetapi belum terimplementasi secara menyeluruh dan serentak. Menurut Arif Rahman, ketua Komisi Nasional untuk UNESCO, pendidikan siaga bencana alam ini baru diberikan kepada tiga sekolah di Maumere dan Papua (edukasi.kompas.com, 18/5/2012). Pendidikan siaga bencana ini seharusnya diberikan kepada seluruh sekolah di Indonesia. Pendidikan siaga bencana ini dapat diberikan melalui pendidikan untuk pengembangan berkelanjutan atau yang sering disebut EfSD (Education for Sustainable Development). Pendidikan ini dapat diberikan pada sekolah formal, nonformal, maupun informal. Bahkan sejak dini yaitu di tingkat taman kanak-kanak, EfSD ini seharusnya sudah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran.
Menerapkan EfSD di sekolah dapat dilakukan dengan menjadikan muatan EfSD sebagai bagian tak terpisahkan dari program penyelenggaraan pendidikan. EfSD bukan mata pelajaran baru yang harus diujikan atau dinilai, melainkan harus disisipkan dalam program pembelajaran secara terintegrasi. Penanaman nilai-nilai EfSD dilakukan secara terintegrasi (integrated learning) dengan program pendidikan.
Secara khusus dari dimensi lingkungan hidup, upaya yang ditekankan adalah menanamkan kesadaran dan tanggungjawab individu dan kolektif melalui:
1.      Penghijauan di lingkungan sekitar atau pekarangan
2.      Menjaga kebersihan (sanitasi air, MCK, bak sampah)
3.      3M (menguras bak air, mengubur kaleng bekas, membakar sampah)
4.      Membuang sampah pada tempatnya
5.      Tidak menggunakan bahan kimia
6.      Reuse (menggunakan barang bekas seperti kertas)
7.      Reduce (menghemat air, mematikan listrik pada waktunya, mematikan AC pada waktunya)
8.      Recycle (mengolah barang bekas)
9.      Pengurangan emisi
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada realita bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berada pada dimensi ruang dan waktu. Dalam dimensi ruang dan waktu inilah manusia menjalani suatu kehidupan. Di dalam menjalani suatu kehidupan itu manusia akan terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan kegiatan.
Tujuan pembelajaran IPS adalah mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan trampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat (Puskur, 2006: 7). Hal senada dikemukakan oleh Jarolimek (1986: 4) menyatakan bahwa “the major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way; to learn to cope with social realities; and to develop the knowledge, attitudes, and skills, needed to help shape an enlightened humanity”, maksudnya misi utama IPS adalah untuk membantu siswa belajar tentang masyarakat dimana mereka hidup dan memperoleh cara untuk belajar menerima realita sosial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan, membantu membentuk kemanusiaan yang cerah. Dengan demikian tepat jika kita mengintegrasikan pendidikan siaga bencana ke dalam mata pelajaran IPS.
 Di sisi lain Sapriya (2012) memaparkan konsep Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat (ITM). Apabila kita berharap warga Negara dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) maka masalah ITM harus diperkenalkan kepada mereka. Mereka harus memahami bahwa masalah-masalah social yang kompleks yang berkaitan dengan iptek menimbulkan masalah ketidakjelasan nilai yang “benar” dan nilai yang “salah” di masyarakat. Oleh karena itu kurikulum IPS dapat menjadi wahana bagi siswa untuk belajar mengkaji dan menganalisis tentang isu-isu kemasyarakatan dan akibat-akibat dari kemajuan iptek.
Dalam mata pelajaran IPS banyak sekali materi yang sesuai untuk menanamkan siaga bencana kepada siswa. Dengan demikian akan mudah untuk menyisipkan pendidikan siaga bencana dengan langsung memberikannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun praktek di luar kelas. Materi-materi IPS SMP dalam kurikulum 2013 yang relevan untuk disisipi pendidikan siaga bencana melalui EfSD  diantaranya:
1.      Materi Kelas 7
a.    Kepulauan Indonesia
1)      Proses  terbentuknya kepulauan Indonesia
2)      Letak wilayah Indonesia
3)      Keadaan alam Indonesia
4)      Potensi sumberdaya alam daratan dan perairan Indonesia.
5)      Pengaruh kondisi geografis terhadap kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik)
b.   Dinamika Interaksi Manusia
1)      Pengertian dinamika interaksi manusia dengan alam, sosial, budaya, dan ekonomi.
2)      Bentuk-bentuk interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi.
2.   Materi Kelas 8
a.       Permasalahan kependudukan, lingkungan, dan dampaknya terhadap pembangunan nasional.
1)      Permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup
2)      Dampak  permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup terhadap pembangunan  nasional
3)      Cara mencegah dan  mengatasi permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup
b.   Interaksi  Manusia  dengan Lingkungan Alam, Sosial, Budaya, dan Ekonomi.
1)      Bentuk-bentuk interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
2)      Permasalahan yang timbul akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
3)      Faktor penyebab timbulnya permasalahan akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
4)      Cara mencegah dan mengatasi permasalahan yang timbul akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi


B.     Rumusan Masalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar