Total Tayangan Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

MSI Profan Membungkus yang Sakral Ridwan, MA





Profan Membungkus Yang Sakral

Manusia, dalam sejarahnya, telah hidup bersama dengan ragam simbol dan mitos. Dua hal ini tak terkira jumlahnya, diwarisi dan diperbarui lagi sebagai suatu proses penciptaan. Pada akhirnya, manusia dibatasi oleh tanda-tanda, simbol, serta mitos tersebut. Tak terkecuali yang dialami oleh masyarakat beragama di dunia ini, bahkan sebelum modernisme menyeruak. Masyarakat beragama yang maju dengan peradabannya sejak dekade awal Masehi memiliki banyak tradisi, baik yang berdasar pada keyakinan akan alam sekitar, atau hal yang dianggap transendental. Setiap manusia kemudian berduyun-duyun meyakini kepercayaannya, baik yang beragama sesuai keyakinan leluhur, atau mereka yang memilih agama-agama yang kemudian diakui oleh “ruling class”(kelas berkuasa). Agama yang terakhir disebut biasanya  memiliki keleluasaan untuk menikmati ritual agamanya karena mendapat fasilitas tertentu dari kelas berkuasa.
Agama-agama tersebut dalam kehidupan masyarakat hadir dengan sederet ritual, atau sebuah proses penyembahan kepada Yang Kuasa. Salah satunya adalah ritual penyambutan hari raya keagamaannya. Hingga saat ini, tradisi itu pun dilestarikan. Hanya saja, kita bisa menjamin jika terdapat banyak perbedaan dalam memaknai momen tersebut. Antara awal dekade Masehi dengan sekarang, dapat dibayangkan mitos yang digunakan pun berbeda. Mitos tersebut bisa berupa ritual, simbol, hingga atribut yang tak dipahami sepenuhnya. Orang beragama, saat ini, cenderung mengalami distorsi dalam memahami agamanya. Golongan ini biasanya lebih mengutamakan bentuk artifisial daripada pemaknaan yang dalam. Orang lebih bangga dengan menonjolkan ritus seperti tasbih, kitab, dsbnya, agar dia terlihat seperti orang beragam yang taat. Akan tetapi, perilakunya tak lebih taat dari yang kelihatan. Malah mungkin sebaliknya, menunjukkan diri tak lebih baik dari kaum barbar.
Disinilah kita temukan ketegangan antara idealitas merayakan dengan praktiknya dalam kehidupan. Ini yang kemudian bisa kita lihat sebagai hal yang disebut “Sakral” dan “Profan”. Untuk mendefinisikan dua hal ini, kiranya kita dapat merujuk pada pernyataan Mircea Eliade (via Daniel Pals :1996). Menurut ilmuan kelahiran Bucharest ini, apa yang kita dapati di tengah-tengah masyarakat tersebut adalah sebuah kehidupan yang berada di antara dua wilayah yang terpisah; wilayah Yang Sakral dan wilayah Yang Profan. Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal yang dilakukan secara acak, teratur, dan sebenarnya tidak terlalu penting. Selain itu, Yang Profan merupakan tempat manusia berbuat salah. Akan hal tersebut, ada dua hal yang akan disorot dalam hal ini, yaitu dimensi Profan dan Sakral yang dijalani oleh masyarakat kita.
Di Indonesia, perayaan hari besar agama pun juga dilakukan, bahkan terbilang khusus. Bagi agama-agama yang diakui negara, hari raya diekspresikan secara bebas dan terhormat. Sebelum reformasi, hanya ada 5 agama yang diakui dan mendapat tempat layak dalam ruang publik. Pada saat hari raya, aktivitas dihentikan untuk menghormati perayaan tersebut. Baru setelah Gus Dur berkuasa, dimensi minoritas mulai diperhitungkan. Gus Dur menetapkan hari raya Imlek Konghucu sebagai hari libur nasional. Selain itu, Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui negara. Gebrakan ini menjadi suatu afirmasi terhadap kaum minoritas yang selama ini tidak diakui. Atas kebijakannya tersebut, Gus Dur, yang saat ini telag mangkat, kemudian dikagumi, dihargai, bahkan dihormati sebagai bapak pluralis yang membela kepentingan kaum minoritas. Namun, hal ini masih menjadi langkah panjang dalam kebebasan umat beragama, mengingat masih banyak agama-agama lokal yang tengah berjuang untuk mendapatkan “restu” dari pemerintah.
Kebebasan yang telah dimiliki oleh umat beragama saat ini , sayangnya masih memiliki cacat. Tak bisa dimungkiri jika hari raya besar agama yang menjadi simbol atau ritual cenderung diwarnai dengan pemaknaan yang dangkal. Hal ini bisa terlihat dari cara masyarakat atau golongan yang merayakannya. Idealnya, memang hari raya apapun harus dinikmati, bisa sebagai bentuk syukur, perenungan, atau pijakan menuju hal yang lebih baik.
Ada dua hal mencolok yang kemudian menjadi masalah kaum  beragama saat ini. Pertama, hari raya agama, khususnya di Indonesia menjadi hal istimewa di hati masing-masing pemeluknya. Hingga kesehariannya pun tak bisa lepas dari merayakan. Jika tidak, maka akan menjadi suatu yang janggal, aneh, bahkan cenderung asosial. Tapi, manusia saat ini, yang sebagian besar modern, menjadikannya sebagai ajang “senang-senang”. Sayangnya, hal ini cuma bisa dinikmati oleh golongan tertentu yang memiliki kapital ekonomi.  Kedua, kelomok yang mendaku sebagai kaum beragama tersebut ternyata cenderung belum bisa lepas dari penggunjingan dan kecurigaan terhadap kelompok agama lain.
Hal pertama yang akan dibahas adalah seputar kemegahan perayaan. Hal ini, terutama di Indonesia, tak bisa lepas dari yang namanya kesenjangan karena tida meratanya kapital yang dimiliki. Disini, kita dapat melihat bahwa kapital menunjukkan kelas bahkan strata dalam menikmati hari besar agama. Kesenjangan sosial, menurut Ariel Heryanto (Idi Subandy Ibrahim (ed.) : 2000)), merupakan buah konkret dari sebuah tata masyarakat yang bersifat eksploitatif. Hal ini mungkin-bagi kita-terkesan kontraproduktif dengan proyek modernisme yang didengungkan. Secara prinsip, lanjut Ariel, masyarakat modern mengutuk eskploitasi antarmanusia, dan menyesalkan kesenjangan sosial sebagai akibatnya. Sayangnya, dalam praktik, yang terjadi jauh lebih rumit.
Kita bisa melihat fenomena sederhana di sekitar kita bahwa perayaan agama yang berlebihan justru telah menjadikan kita asosial. Saat perayaan hari besar agama, seperti Lebaran atau Natal, masyarakat menjadi masyarakat konsumtif mendadak. Namun, mereka lupa, bahwa ada segolongan orang yang mungkin gigit jari dari luar toko atau mall karena tak bisa berlaku hal yang sama. Persoalan lain adalah perayaan hari besar mungkin tak terlalu berarti secara harfiah oleh para pekerja toko atau mahasiswa yang tak bisa pulang dan berkumpul bersama keluarganya. Para pekerja yang harus mburuh di toko-nya tak memiliki waktu luang untuk berlibur karena kebijakan perusahaan tempat dia bernaung mengharuskannya masuk kerja. Perjuangan untuk meliburkan hari disaat suatu kelompok agama tertentu merayakan merupakan hak asasi yang harus dipenuhi. Namun, logika modal tak berbicara demikian dan memang menjadi dilematis. Pasalnya, di hari-hari tersebut justru pekerja harus menjalani hari yang super sibuk, karena biasanya orang berbondong-bondong datang untuk berbelanja. Tak bisa dimungkiri pula mahasiswa yang tak bisa mudik atau pulang kampung karena alasan ekonomi memaknai hari raya tidak dengan hura-hura. Mereka, bahkan, hanya membekuk di kamar 3×3-nya untuk “membunuh” waktu agar hari itu cepat berlalu. Meskipun, tak dapat dimungkiri, jika secara sakral masih bisa dinikmati, yaitu hubungan batin antara kawula dan Gusti-nya. Hal ini merupakan suatu yang tidak bisa disentuh oleh individu lain.
Sedangkan hal kedua yang juga perlu perhatian bersama adalah masih kentalnya budaya curiga atau prasangka berlebihan kepada golongan lain. Anehnya, di Indonesia, hal ini susah sekali dihindari, bahkan wujudnya tak hanya berhenti pada curiga, tapi hingga aktivitas kekerasan. Meskipun sudah lebih baik, namun kerusuhan antar-agama bahkan antar-etnis masih menjadi bahaya laten. Bahkan, di hari besar agama, yang notabene sakral, masih diwarnai dengan kerusuhan, tangisan, atau umpatan. Biasanya yang menjadi sasaran atau bulan-bulanan adalah kelompok minoritas atau etnis. Hal ini tak lepas dari masih melekatnya sebuah rezim wacana yang terwarisi. Bahwa persoalan identitas menjadi suatu hal yang krusial dalam melakukan justifikasi atau pembenaran akan kekerasan. Parahnya, identitas tersebut seolah menjadi pembenaran untuk kepentingan yang sesungguhnya, terselubung, ujung-ujungnya sebuah kesenjangan ekonomi.
Aktivitas tak terpuji ini bisa tergolong sebuah eksploitasi sosial, yang biasanya dilakukan dengan cara kategorisasi, melakukan pemilahan, pembedaan, mana yang menjadi kelompok “aku, kita”-dan-“kamu, kalian, mereka”. Ada upaya untuk me-liyan-kan yang lain demi sebuah tujuan tak berbudi. Konflik sosial yang terjadi selama beberapa tahun terakhir bisa saja kita pertanyakan kembali. Mulai dari sengketa antar-etnik, pengrusakan rumah ibadah, hingga pelarangan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Untuk mereduksi emosi dan amarah tak bermanfaat, hendaknya kita harus terlepas dari “wacana tuan” yang menggerogoti pikiran kita. Dalam pemahaman sehari-hari yang mendominasi kehidupan beragam kita adalah dikuasai oleh dogmatisasi. Inilah yang disebut “wacana tuan”, dalam wacana psikoanalisa Jacques Lacan. Wacana ini kemudian membuat kita enggan berpikir tentang kebenaran dan perbedaan yang lain. Pikiran kita menjadi terkungkung dan tidak merdeka. Ibarat kata Minke, dalam novel Pramoedya Ananta Toer, hendaklah berlaku adil sejak dalam pikiran.
Poinnya adalah bahwa perbedaan agama tidak meniscayakan perbedaan visi kemanusiaan. Penghayatan umat beragama yang berbeda, terhadap masing-masing agamanya, diharapkan akan melahirkan semangat iman yang sama, yakni kemanusiaan. Bahwa membunuh-misalnya- adalah persoalan kemanusiaan, bukan persoalan identitas siapa dan apa atau bagaimana yang mengenainya. Golongan yang bersengketa sama-sama berteriak atas nama Tuhan, tapi mereka sendiri menafikkan ajarannya. Keimanan setidaknya tidak punya ruh untuk menertawai atau bahkan membunuh golongan lainnya. Konon, Tuhan tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah sesama manusia terutama yang mengalami penindasan.
Jika harus membahas mengenai masalah hak asasi manusia, berbagai agama setidaknya bicara mengenai hal itu. Dalam Islam misalnya, ada beberapa hak asasi yang tidak boleh dilanggar, antara lain hak hidup, berkeyakinan, perlindungan terhadap akal pikiran, perlindungan terhadap hak milik, dan hak berkeluarga atau memperoleh keturunan (Masdar F.Mas’udi : 2000). Membincangkan salah satu ajaran agama tertentu, bukanlah berarti terjebak pada satu pemikiran tertentu, dengan menafikkan ajaran lain. Kira-kira pembicarannya bukanlah dari sudut pandang dogmatis, tapi ajaran kritis yang membuat kita berpikir kembali.
Berbicara mengenai streotip, ini mengingatkan kita pada zaman kolonial, salah satu tujuannnya untuk melemahkan kekuatan koloninya. Bila ditelusuri jauh ke belakang, hubungan antara agama-agama di Indonesia pada masa kolonial misalnya, sangat dicoraki oleh kepentingan kolonial. Dalam konteks kolonial, persaingan antar-agama terjadi di tingkat pusat masing-masing kegiatan misioner dari agama-agama tersebut. Saat itu, persaingan antar lembaga agama, terutama yang terkait dengan doktriner terlihat jelas. Sementara itu, pemerintah kolonial Belanda punya kepentingan untuk mencegah bentrokan antaragama. Hal ini terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Seiring waktu, ide mengenai toleransi mulai dikembangkan pada zaman Orde Baru, tapi dengan kepentingan tertentu pula, demi sebuah kestabilan. Meskipun tak dapat dimungkiri jika kekerasan antaragama bahkan etnis pun tak dapat dihindari era itu.
Seorang pembaharu, yang merupakan lulusan Mc Gill University, A.Mukti Ali, menandaskan bahwa manusia beragama dewasa ini tidak bisa hidup menyendiri dalam lingkungan agama yang dipeluknya. Mereka harus bergaul dengan kelompok manusia yang memeluk agama lain (Mohammad Sabri : 1999). Dengan mengenal, maka kita tidak hanya menemukan perbedaan, tapi sekaligus memahaminya. Hal paling mengenaskan dalam suatu konflik, jika itu terjadi, maka orang dapat mengetahui kapan konflik itu mulai timbul, tetapi orang tak bisa menduga kapan konflik akan berakhir.
Agama, dalam penekanannya yang paling layak adalah bersifat universal, bahwa yang lebih penting adalah persoalan kemanusiaan, bukan melulu menonjolkan perbedaan sebagai pembentuk identitas. Akan hal ini, perlu kiranya kita memahami agama sebagai suatu variabel yang konstan (independen). Untuk menjelaskan agama, maka tiada lain selain kita  melakukan perbandingan. Eliade, sangat berempati mengulang ungkapan filsafat Goethe tentang bahasa, , bahwa “seseorang yang hanya tahu satu hal, berarti dia tidak tahu apa-apa”.  Termasuk dalam studi agama, jika tanpa perbandingan, tidak akan ada ilmu yang benar-benar ilmu.
Manusia beragama pun diharapkan memiliki pemahaman yang sama, bahwa perlu memperkaya dirinya dengan pengetahuan akan sesuatu di luar mereka. Dengan demikian, akan ditemukan pemahaman. Mengetahui bukan berarti mematuhi, tapi setidaknya merenungi pengetahuan pada tempatnya. Jika kita sudah merasa mengetahui unutk mematuhi, maka kita akan diperbudak pengetahuan. Inilah kecenderungan manusia modern yang hendak membunuh tradisi yang sudah diwarisi turun temurun. Analogi membunuh tradisi ini dapat kita gunakan untuk melihat keengganan kaum beragama untuk “mengenal” satu sama lainnya. Manusia modern seolah terjebak pada fungsionalitas suatu hal, pada keyakinan bahwa suatu hal harus membawa asas manfaat, atau keuntungan, bukan sebuah pengetahuan.
Lalu, untuk apa kita bergontok-gontokan atau pamer kemewahan dalam kehidupan bernuansa agama? Mungkin, inilah kekhasan manusia dari dunia Yang Profan. Kita cenderung terjebak pada pemikiran bahwa dalam rangka merasakan atau mencari Yang Sakral adalah menemukan lalu mendeskripsikannya.  Padahal bukan itu titik tekannya. Dengan menggunakan konsep Mircea Eliade, kita dapat memahami agama secara fenomenologi. Eliade sangat yakin dengan keindependenan atau keotonoman agama yang menurutnya tidak hanya bisa diartikan sebagai produk “realitas” yang lain. Agama tidak tergantung pada konsep ritual atau simbol artifisial, tapi dia berdiri sendiri. Sebaliknya, manusia lah yang patut memahami bahwa kita dapat mencapai Yang Sakral, dengan menjalani Yang Profan, dalam semangat kemanusiaan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar