Tugas Final
Nama
: Ridwan Mahasiswa PPs : Pendidikan Islam II
Mata Kuliah :
Metodologi Studi Islam
Dosen Pengasuh : Prof.
Drs. Yusny Saby, MA.Phd
1. Apa yang dimaksud dengan "ilmu-ilmu Kemanusiaan" dalam konteks
disiplin ilmu-ilmu yang diajarkan di pasca IAIN? Uraikan!.
2. Sejauh mana disiplin ilmu agama dan kenanusiaan dapat diharapkan untuk
memahami lebih konperensif tentang bagaimana kaitan dan relevansi antara "
ilmu agama" dengan ilmu-ilmu lain?
3. Sejauh ini agama (misalnya agama islam) dipahami dan didekati lewat
kajian ilu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghah, qira'ah, dan sejenisnya.
Dapatkah pendekatan ini dipertahankan terus atau ada alternative lain yang
lebih dapat melengkapi, sehingga agama dapat dipahami sebagai "realitas
kehidupan " atau sebagai "hal lain" di luar kehidupan nyata?
Uraikan.
4. Sejauh mana dan bagaimana seharusnya "pemahaman dan pengamalan suatu
agama"dapat memberi ethos kepada si pemeluknya?Ada orang yang melandasi
hidupnya pada ethos agama, ada juga pada ethos lainnya?jelaskan dan berikan
contoh apapun jawabannya.
5. Bagaimana anda jelaskan ketika ada terma: "membudayakan agama atau
meng-agamakan budaya." Apa makna terma tersebut? Mana yang efektif di
antara kedusnya dan apa solusi anda.
Jawaban No. 1
Kemanusiaan adalah suatu nilai hidup pada
daya akal dan daya rasa manusia. Hasil daripada kegiatan berfikir dan merasa
manusia dalam bentuk perbuatan yang disebut cara.
Pengertian yang luas meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu dan seni
falsafah yang merupakan satu cara hidup yang lahir dan menjelma daripada
keimanan. Merangkap segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan kesenian Islam.
Merupakan manifestasi daripada keimanan dan ketakwaan.
Banyak gejala dan kebiasaan yang perlu kita perbaiki agar segalanya
sejalan dengan acuan Islam. Kita tidak boleh memisahkan Islam dari kehidupan.
Islam adalah segala-galanya, Islam adalah cara hidup! Bukan hanya Islam ketika
majlis akad nikah, majlis bacaan Yaa Sin dan tahlil, ketika kematian, tetapi ia
meliputi segala sistem, setiap inci dalam kehidupan dari sekecil-kecil perkara
hingga ke sebesar-besarnya.
Tidak semua agama memiliki tuntunan tentang masalah Kemanusiaan. Islam jelas memiliki banyak tuntunan tentang
sosial-hukum-politik-ekonomi tersebut, Cuma kadang sering diabaikan oleh orang
Islam sendiri. Mengapa? Karena lebih percaya/yakin/iman pada
produk-produk ilmuan sosial-politik yang bertebaran di mana-mana. Di sinilah
sesungguhnya asal-muasal lahirnya ‘Pemikiran
Sekuler’ dalam dunia umat Islam, yakni menolak (kafir)
terhadap tuntunan sosial-hukum-politik-ekonomi Islam yang diajarkan Allah swt
dan dicontohklan Nabi Muhammad saw dan lebih memilih tuntunan hasil kajian
manusia. Siapa yang bisa mengoreksi penyimpangan fatal seperti itu?
Mestinya Ulama dan Pemerintah,
yang sadar bahwa tuntunan agama (Islam) itu terkait kehidupan sosial-politik
juga, yang harus mengoreksi secara mendasar. Mana ada pemerintahan Negara
yang dengan lantang akan mengevaluasi ‘kebenaran’ kandungan ilmu sosial-politik
yang selama ini secara massif beredar dengan tingkat keyakinan tinggi di
negerinya, dianut oleh banyak profesor, doktor, ilmuan, pakar, mahasiswa, untuk
dikoreksi dengan ajaran al Qur’an dan Sunnah Nabi?
Iran diberitakan memulai rintisan ke arah itu. Atas perintah
Ayatollah Ali Khameini, seorang Ulama besar, Penguasa Tertinggi Iran, maka akan
dilakukan koreksi terhadap Kandungan Ilmu Sosial, antara lain: Hukum, Studi Perempuan, HAM, Manajemen, Ekonomi,
Filsafat, Psikologi, dan Ilmu Politik. Ilmu-ilmu Sosial
tersebut dikatakan akan ditinjau ulang kandungannya karena kajiannya
didasarkan oleh budaya barat (Sekuler/ Non-Islam). Kandungan ilmu sosial
tersebut akan diselaraskan dengan tuntunan Islam. Ayat al Qur’an dan Sunnah
Nabi memiliki banyak tuntunan tentang masalah sosial-politik-ekonomi tersebut.
Pemerintah Iran juga akan merombak kandungan kurikulum ilmu sosial yang ada di
negerinya. (Lihat Republika 26 Oktober 2010).
Bagaimana Indonesia, masihkah akan
memakai hasil kajian ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya yang bersumber dari ajaran
Barat yang Non-Islam itu dalam praktek pembuatan kebijakan nasionalnya? Manakah Ulama Besar Islam di negeri ini yang bersikap tegas mau
mengoreksi kekeliruan ilmu sosial di negerinya untuk disesuaikan dengan
tuntunan Islam bidang sosial-hukum-politik-ekonomi demi kejayaan umat dan bangsa.
Jawaban No. 2
Islam sebagai agama yang universal hubungan Agama dan IPTEK adalah sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah dasar dan pengatur
kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah
Islam adalah yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits
menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya
dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani,
2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS Al-al-Alaq): Dalam konsep ajaran Islam, dipahami
bahwa tanpa Ilmu pengetahuan, maka seseoran tidak akan dapat memeiliki
ke-imanan. Iman akan lahir dari pengenalan, pemahaman, yang kemudian
menumbuhkan keyakinan. “Tidak ada Iman tanpa Ilmu. Dengan demikian kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam menempati posisi
tertinggi.
Jawaban No. 3
Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh
nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola
berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya
seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu
generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya
membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu
konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia
(worldview) yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan,
dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal
memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi
bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah
ada--mungkin--ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini
didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi
dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) kepada
umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam.
Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan
orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu (kalimah sawa’) dan
pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan
menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai
akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan
kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural
apapun.
Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang
paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka harus
senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur
sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan dakwah dan
kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari kuatnya semangat
mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut. Sebaliknya, ketika pamor peradaban
Islam pada akhir abad pertengahan telah meredup, bahkan sebagian orang mungkin
menganggapnya telah mati, maka tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat
salah satu faktornya ialah karena melemahnya kekuatan tauhid itu dalam
kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu di
dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah nilai,
ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya dan
sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara tegas
mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran-ajarannya
dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat muslim, sebagaimana
ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya bisa dijadikan saksi
sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai kekuatan dalam
peradaban umat manusia.
Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah.
Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah.
Dengan mengatakan la ilaha illallah, maka yang semestinya ada dalam
kesadaran seseorang adalah, bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan dan
segala bentuk nilai atau kualitas yang bukan milik-Nya adalah nisbi. Dengan
kata lain, tauhid menghendaki kepada setiap muslim agar menjadikan Allah semata
sebagai pusat kesadaran spiritual, individual, sosial, moral, maupun
intelektualnya. Kesetiaannya kepada Allah seyogyanya melampaui segala-galanya.
Ketaatan, kepasrahan, cinta, pengabdian, dan kemauan yang keras semuanya
dialirkan sejalan dengan kehendak dan tuntunan-Nya.
Al-Faruqi setidaknya menemukan dalam pandangan dunia tauhid itu
adanya tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat
manusia. Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum hanya
terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam Islam,
realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa,
Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain Tuhan yang
dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun immateri
seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat, surga dan
neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun esensinya
mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis realitas tadi
sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah mutlak berbeda,
sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi makhluk, dan
sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah dirinya menjadi atau
merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Faruqi dengan prinsip
dualitas.
Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan
yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri
manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu
(al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam
semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu
faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat,
membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan
seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.
Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang
tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang
muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah
adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada
dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya
dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut
maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya
yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau
memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula
dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”.
Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan
gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai
manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula
disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada
prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan,
kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam
raya.
Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu menegaskan, bahwa penciptaan alam
semesta dan pada segala sesuatu yang ada di dalamnya terdapat tanda-tanda
kekuasaan-Nya. Satu di antara sekian banyak tanda-tanda itu adalah, bahwa alam
semesta dalam realitasnya menampakkan adanya keterkaitan di antara
unsur-unsurnya yang membentuk jaringan kesatuan dan kesimbangan melalui
hukum-hukum kosmos. Jaringan kesatuan dan keseimbangan antar-anasir alam itu
misalnya dapat kita saksikan dalam rotasi benda-benda angkasa yang beredar
sesuai dengan orbit atau lintasannya. Bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk
hidup dan tata surya lainnya masing-masing bergerak saling mengitari pusatnya
sejak milyaran tahun yang lalu. Sampai saat ini mereka masih saja beredar
sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya tanpa ada penyimpangan
sedikitpun.
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan) tersebut, yakni Tuhan itu sendiri. Dari sini, dapat dipahami bahwa saling keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan) tersebut, yakni Tuhan itu sendiri. Dari sini, dapat dipahami bahwa saling keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Oleh karena itu, bagi umat Islam semangat untuk menemukan kebenaran
melalui ilmu pengetahuan dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kesadaran tawhid. Di sini, Ilmu pengetahuan diposisikan sebagai salah satu
pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas
Transenden, sedangkan kesadaran tawhid merupakan paradigma dari metode ilmiah
dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam. Dengan demikian, relasi
agama dan ilmu pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang
yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden,
dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang
diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Kecuali itu, ilmu pengetahuan
juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah
dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari
bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan
agama demikian juga sebaliknya, karena sains merupakan jalan untuk memahami
kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan kesadaran tawhid dan pendekatan ilmiah itu menjadikan Islam
tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani
wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana
dinyatakan Nurcholish, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama
yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik,
bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu
menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa
banyak para ilmuwan kelas dunia saat itu lahir dari dunia Islam yang
karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan peradaban
Barat modern. Dalam hal ini Komaruddin mengingatkan bahwa filsafat Yunani dan
kemajuan kajian ilmiah di Barat merupakan kontribusi penting intelektual muslim
yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki
implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat
muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat
Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame of
thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam
semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Dengan
demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis
tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting
mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu ironi
(keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera
teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan
kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah
direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu
pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan
justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah hidup mereka.
Jawaban No. 4
- Iman sebagai landasan bekerja
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan
kata lain, poros dari kerja adalah tauhid. Hal ini didorong oleh firman Allah:
قل كل يعمل على شا كلته فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيلا
Dalam ayat ini terkandung perintah (amar)
yang berarti bahwa hal itu hukumnya wajib dilaksanakan. Ini artinya siapa pun mereka yang secara pasif berdiam diri, tidak
mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar
atau tidak, sesungguhnya orang tersebut sedang menggali kubur kanistaan bagi
dirinya sendiri. Iman kepada Allah mendasari setiap aktivitas kerja seseorang.
Landasan keimanan menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi
terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya
rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan
ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi
melampaui batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan
cenderung melampaui batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah
melapangkan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, Padahal Allah mengatur apa yang dikehendakinya
dengan ukuran-ukuran”. Oleh sebab itu, manusia harus bisa mengendalikan
dirinya, antara lain dengan cara bersyukur yang berarti menyadari karunia Allah
yang murah itu sehingga ia mampu bertindak rasional.
- Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang
diperolehnya, bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan
nikmat kehidupan. Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas
kelebihan-kelebihan yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan
dari Allah yang diberikan kepadanya. Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia
diperintahkan untuk menunaikan shalat dan berkorban. Dari perspektif
psikologis, perasaan bersyukur akan memberi kepuasan pada diri sendiri,
selanjutnya akan menghilangkan rasa resah jika memperoleh sesuatu yang
dicita-citakan. Islam juga mengajarkan agar manusia melihat ke bawah yaitu
mereka yang kurang bernasib baik supaya jiwa mereka tenang. Pengaruh kejiwaan
terbesar yang muncul dari rasa bersyukur adalah ketenangan jiwa yang tidak bisa
dibeli atau dinilai dengan uang.
- Bekerja sebagai kewajiban
Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Bekerja bukanlah bertujuan
untuk mendapatkan uang semata sehingga mampu belanja apa saja atau
memaksimalkan konsumsi, akan tetapi bekerja merupakan media untuk membuktikan
bahwa manusia itu adalah khalifatullah yang patuh mengikuti perintah
Allah SWT. Dalam hadis disebutkan, yang artinya “Seseorang yang keluar mencari
kayu bakar (lalu hasilnya dijual) untuk bersedekah dan menghindari ketergantungan
kepada manusia, itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang
lain, baik diberi atau pun ditolak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas
(memberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta).” (HR Muslim).
- Berusaha harus halal dan baik
Dalam hadis disebutkan bahwa bekerja mencari rezeki yang halal
hukumnya adalah wajib. Ini dimaksudkan agar manusia dengan berbagai unsurnya
yaitu jasmani dan rohani dapat hidup secara sehat. Untuk sehat jasmani dan
rohani, antara lain makanan harus thayyib dan halal. Thayyib
artinya baik, bersih, dan tidak basi, masih valid, dan sebagainya. Ini syarat
untuk sehat jasmani. Sementara halal, makanan yang halal adalah syarat
untuk menjadi sehat rohani.
- Menempuh jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim)
Pada umumnya setiap manusia memiliki tujuan mulia yaitu menjadi
manusia bermanfaat dan hidup secara sempurna serta berkecukupan. Banyak ayat
al-Quran yang mendorong manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebenaran dengan
senantiasa beramal baik menuju harapan dan cita-citanya. Dalam mewujudkan
cita-cita, manusia harus tetap berpegang teguh pada jalan Allah yang merupakan
jalan yang lurus. Allah berfirman yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang
lurus”. Jalan lurus yang dimaksud adalah “Jalan yang telah diberi nikmat Allah
ke atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai, juga bukan jalan orang-orang
yang sesat”.
- Berusaha dengan sabar
Sabar merupakan sifat terpuji yang sangat sering disebut dalam
al-Quran. Dalam menjalani kehidupannya, manusia tentu akan menghadapi berbagai
macam peristiwa, baik peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Di
antara peristiwa yang menyedihkan seperti kesempitan rezeki, kelaparan,
bencana, dan lain-lain. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan,
manusia diminta bersabar. Jika manusia berduka cita menghadapi
kesusahan-kesusahan, Allah memerintahkan mereka untuk menunaikan shalat, berdoa
kepada Allah dan bersabar. Apabila ditimpa musibah, hendaknya mengucapkan dan
menghayati firman Allah: ”Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada
Allah jua kami kembali”. (QS al-Baqarah: 156).
Jawaban No. 5
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu
agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya
sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran
agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat
dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan
ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai
peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu
sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan
hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat
mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh
tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya dapat
menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah
suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaranatau dianggap
benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan
turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin
yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardhi.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai
ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan
ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan
pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat
beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan
kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di
dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama
budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan
revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama
Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut
juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan
natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya:
Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, termasuk aliran
kepercayaan.
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni
merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu
dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama
yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia
setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera.
Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling
tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicia-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan
agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran
serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik
kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini,
melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai
dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang
sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah
memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran
yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam
tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya
ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat
mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih
dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap
ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam”
berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh”
dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”,
berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”.
Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada
kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam
yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya
kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena
adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta
kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji
kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan
mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi
sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang
berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian
Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori
oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah,
berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi
pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat
kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme”
mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama
selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama
Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama
pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha
Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari
negerinya (Yudea). Namun nama “Islam” mengandung pengertian yang mendasar.
Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik
dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama
universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil
Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka
peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang
diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk
yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah
tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya
kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena
perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah
mua’malah dan bukanlah masalah yang fundamental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada
Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w.,
berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang
berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama
Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman,
kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama
Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang
sebelumnya.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari
sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur
dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999)
yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh
Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali
dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren
Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo
”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam
sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok,
ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya
tiga masyarakat, yaitu; 1). Orang – orang Islam yang berpakaian bersih,
hidupnya teratur dan makanannya enak-enak. 2). Orang – orang Cina yang pola
hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang
sudah muslim. 3). Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok
dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme
dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah
pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang
berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana.
Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam,
walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan
masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia
akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik
Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori
agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan
Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan
masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri
ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat
dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz
sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan
unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam. Pengejawantahan dari kelompok sosial
Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap
berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus
secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan
manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi,
yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau
gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan
berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan,
Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih
deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang
taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat
berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata
lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati.
Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai
ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam
dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga
mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri
konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah
kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik
keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi
slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka
berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini.
Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan
ritualitas konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok
orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni
mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya,
varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka
yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau
mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi
modern. Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam
berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut
bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang
dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan
priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam
bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik
merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan
adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar