Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

MSI Agama dan Ilmu Kemanusiaan; Ridwan, MA

Tugas Final

Nama                  : Ridwan                Mahasiswa PPs :   Pendidikan Islam II
Mata Kuliah        : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengasuh : Prof. Drs. Yusny Saby, MA.Phd          

1.    Apa yang dimaksud dengan "ilmu-ilmu Kemanusiaan" dalam konteks disiplin ilmu-ilmu yang diajarkan di pasca IAIN? Uraikan!.
2.    Sejauh mana disiplin ilmu agama dan kenanusiaan dapat diharapkan untuk memahami lebih konperensif tentang bagaimana kaitan dan relevansi antara " ilmu agama" dengan ilmu-ilmu lain?
3.    Sejauh ini agama (misalnya agama islam) dipahami dan didekati lewat kajian ilu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghah, qira'ah, dan sejenisnya. Dapatkah pendekatan ini dipertahankan terus atau ada alternative lain yang lebih dapat melengkapi, sehingga agama dapat dipahami sebagai "realitas kehidupan " atau sebagai "hal lain" di luar kehidupan nyata? Uraikan.
4.    Sejauh mana dan bagaimana seharusnya "pemahaman dan pengamalan suatu agama"dapat memberi ethos kepada si pemeluknya?Ada orang yang melandasi hidupnya pada ethos agama, ada juga pada ethos lainnya?jelaskan dan berikan contoh apapun jawabannya.
5.    Bagaimana anda jelaskan ketika ada terma: "membudayakan agama atau meng-agamakan budaya." Apa makna terma tersebut? Mana yang efektif di antara kedusnya dan apa solusi anda.

Jawaban No. 1
Kemanusiaan adalah suatu nilai hidup pada daya akal dan daya rasa manusia. Hasil daripada kegiatan berfikir dan merasa manusia dalam bentuk perbuatan yang disebut cara. Pengertian yang luas meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu dan seni falsafah yang merupakan satu cara hidup yang lahir dan menjelma daripada keimanan. Merangkap segala aspek sosial, politik, ekonomi, dan kesenian Islam. Merupakan manifestasi daripada keimanan dan ketakwaan.
Banyak gejala dan kebiasaan yang perlu kita perbaiki agar segalanya sejalan dengan acuan Islam. Kita tidak boleh memisahkan Islam dari kehidupan. Islam adalah segala-galanya, Islam adalah cara hidup! Bukan hanya Islam ketika majlis akad nikah, majlis bacaan Yaa Sin dan tahlil, ketika kematian, tetapi ia meliputi segala sistem, setiap inci dalam kehidupan dari sekecil-kecil perkara hingga ke sebesar-besarnya.
Tidak semua agama memiliki tuntunan tentang masalah Kemanusiaan. Islam jelas memiliki banyak tuntunan tentang sosial-hukum-politik-ekonomi tersebut, Cuma kadang sering diabaikan oleh orang Islam sendiri. Mengapa? Karena lebih percaya/yakin/iman pada produk-produk ilmuan sosial-politik yang bertebaran di mana-mana. Di sinilah sesungguhnya asal-muasal lahirnya ‘Pemikiran Sekuler’ dalam dunia umat Islam, yakni menolak (kafir) terhadap tuntunan sosial-hukum-politik-ekonomi Islam yang diajarkan Allah swt dan dicontohklan Nabi Muhammad saw dan lebih memilih tuntunan hasil kajian manusia. Siapa yang bisa mengoreksi penyimpangan fatal seperti itu? Mestinya Ulama dan Pemerintah, yang sadar bahwa tuntunan agama (Islam) itu terkait kehidupan sosial-politik juga, yang harus mengoreksi secara mendasar. Mana ada pemerintahan Negara yang dengan lantang akan mengevaluasi ‘kebenaran’ kandungan ilmu sosial-politik yang selama ini secara massif beredar dengan tingkat keyakinan tinggi di negerinya, dianut oleh banyak profesor, doktor, ilmuan, pakar, mahasiswa, untuk dikoreksi dengan ajaran al Qur’an dan Sunnah Nabi?
Iran diberitakan memulai rintisan ke arah itu. Atas perintah Ayatollah Ali Khameini, seorang Ulama besar, Penguasa Tertinggi Iran, maka akan dilakukan koreksi terhadap Kandungan Ilmu Sosial, antara lain: Hukum, Studi Perempuan, HAM, Manajemen, Ekonomi, Filsafat, Psikologi, dan Ilmu Politik. Ilmu-ilmu Sosial tersebut dikatakan akan ditinjau ulang kandungannya karena kajiannya didasarkan oleh budaya barat (Sekuler/ Non-Islam). Kandungan ilmu sosial tersebut akan diselaraskan dengan tuntunan Islam. Ayat al Qur’an dan Sunnah Nabi memiliki banyak tuntunan tentang masalah sosial-politik-ekonomi tersebut. Pemerintah Iran juga akan merombak kandungan kurikulum ilmu sosial yang ada di negerinya. (Lihat Republika 26 Oktober 2010).
Bagaimana Indonesia, masihkah akan memakai hasil kajian ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya yang bersumber dari ajaran Barat yang Non-Islam itu dalam praktek pembuatan kebijakan nasionalnya? Manakah Ulama Besar Islam di negeri ini yang bersikap tegas mau mengoreksi kekeliruan ilmu sosial di negerinya untuk disesuaikan dengan tuntunan Islam bidang sosial-hukum-politik-ekonomi demi kejayaan umat dan bangsa.

Jawaban No. 2
Islam sebagai agama yang universal hubungan Agama dan IPTEK adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam adalah yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS Al-al-Alaq): Dalam konsep ajaran Islam, dipahami bahwa tanpa Ilmu pengetahuan, maka seseoran tidak akan dapat memeiliki ke-imanan. Iman akan lahir dari pengenalan, pemahaman, yang kemudian menumbuhkan keyakinan. “Tidak ada Iman tanpa Ilmu. Dengan demikian kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam menempati posisi tertinggi.

Jawaban No. 3
Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview) yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada--mungkin--ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu (kalimah sawa’) dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka harus senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari kuatnya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut. Sebaliknya, ketika pamor peradaban Islam pada akhir abad pertengahan telah meredup, bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya telah mati, maka tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat salah satu faktornya ialah karena melemahnya kekuatan tauhid itu dalam kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu di dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah nilai, ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya dan sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara tegas mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran-ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat muslim, sebagaimana ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya bisa dijadikan saksi sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai kekuatan dalam peradaban umat manusia.
Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah.
Dengan mengatakan la ilaha illallah, maka yang semestinya ada dalam kesadaran seseorang adalah, bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan dan segala bentuk nilai atau kualitas yang bukan milik-Nya adalah nisbi. Dengan kata lain, tauhid menghendaki kepada setiap muslim agar menjadikan Allah semata sebagai pusat kesadaran spiritual, individual, sosial, moral, maupun intelektualnya. Kesetiaannya kepada Allah seyogyanya melampaui segala-galanya. Ketaatan, kepasrahan, cinta, pengabdian, dan kemauan yang keras semuanya dialirkan sejalan dengan kehendak dan tuntunan-Nya.
Al-Faruqi setidaknya menemukan dalam pandangan dunia tauhid itu adanya tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat manusia. Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat, surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Faruqi dengan prinsip dualitas.
Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu (al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat, membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.
Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”. Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan, kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam raya.
Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu menegaskan, bahwa penciptaan alam semesta dan pada segala sesuatu yang ada di dalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Satu di antara sekian banyak tanda-tanda itu adalah, bahwa alam semesta dalam realitasnya menampakkan adanya keterkaitan di antara unsur-unsurnya yang membentuk jaringan kesatuan dan kesimbangan melalui hukum-hukum kosmos. Jaringan kesatuan dan keseimbangan antar-anasir alam itu misalnya dapat kita saksikan dalam rotasi benda-benda angkasa yang beredar sesuai dengan orbit atau lintasannya. Bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk hidup dan tata surya lainnya masing-masing bergerak saling mengitari pusatnya sejak milyaran tahun yang lalu. Sampai saat ini mereka masih saja beredar sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya tanpa ada penyimpangan sedikitpun.
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan) tersebut, yakni Tuhan itu sendiri. Dari sini, dapat dipahami bahwa saling keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Oleh karena itu, bagi umat Islam semangat untuk menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran tawhid. Di sini, Ilmu pengetahuan diposisikan sebagai salah satu pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas Transenden, sedangkan kesadaran tawhid merupakan paradigma dari metode ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam. Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Kecuali itu, ilmu pengetahuan juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena sains merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan kesadaran tawhid dan pendekatan ilmiah itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia saat itu lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan peradaban Barat modern. Dalam hal ini Komaruddin mengingatkan bahwa filsafat Yunani dan kemajuan kajian ilmiah di Barat merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup mereka.

Jawaban No. 4
  1. Iman sebagai landasan bekerja
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan kata lain, poros dari kerja adalah tauhid. Hal ini didorong oleh firman Allah:
قل كل يعمل على شا كلته فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيلا
Dalam ayat ini terkandung perintah (amar) yang berarti bahwa hal itu hukumnya wajib dilaksanakan. Ini artinya siapa pun mereka yang secara pasif berdiam diri, tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut sedang menggali kubur kanistaan bagi dirinya sendiri. Iman kepada Allah mendasari setiap aktivitas kerja seseorang.
Landasan keimanan menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi melampaui batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan cenderung melampaui batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah melapangkan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, Padahal Allah mengatur apa yang dikehendakinya dengan ukuran-ukuran”. Oleh sebab itu, manusia harus bisa mengendalikan dirinya, antara lain dengan cara bersyukur yang berarti menyadari karunia Allah yang murah itu sehingga ia mampu bertindak rasional.

  1. Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang diperolehnya, bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan nikmat kehidupan. Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihan-kelebihan yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan dari Allah yang diberikan kepadanya. Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia diperintahkan untuk menunaikan shalat dan berkorban. Dari perspektif psikologis, perasaan bersyukur akan memberi kepuasan pada diri sendiri, selanjutnya akan menghilangkan rasa resah jika memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Islam juga mengajarkan agar manusia melihat ke bawah yaitu mereka yang kurang bernasib baik supaya jiwa mereka tenang. Pengaruh kejiwaan terbesar yang muncul dari rasa bersyukur adalah ketenangan jiwa yang tidak bisa dibeli atau dinilai dengan uang.

  1. Bekerja sebagai kewajiban
Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Bekerja bukanlah bertujuan untuk mendapatkan uang semata sehingga mampu belanja apa saja atau memaksimalkan konsumsi, akan tetapi bekerja merupakan media untuk membuktikan bahwa manusia itu adalah khalifatullah yang patuh mengikuti perintah Allah SWT. Dalam hadis disebutkan, yang artinya “Seseorang yang keluar mencari kayu bakar (lalu hasilnya dijual) untuk bersedekah dan menghindari ketergantungan kepada manusia, itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau pun ditolak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas (memberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta).” (HR Muslim).

  1. Berusaha harus halal dan baik
Dalam hadis disebutkan bahwa bekerja mencari rezeki yang halal hukumnya adalah wajib. Ini dimaksudkan agar manusia dengan berbagai unsurnya yaitu jasmani dan rohani dapat hidup secara sehat. Untuk sehat jasmani dan rohani, antara lain makanan harus thayyib dan halal. Thayyib artinya baik, bersih, dan tidak basi, masih valid, dan sebagainya. Ini syarat untuk sehat jasmani. Sementara halal, makanan yang halal adalah syarat untuk menjadi sehat rohani.

  1. Menempuh jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim)
Pada umumnya setiap manusia memiliki tujuan mulia yaitu menjadi manusia bermanfaat dan hidup secara sempurna serta berkecukupan. Banyak ayat al-Quran yang mendorong manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebenaran dengan senantiasa beramal baik menuju harapan dan cita-citanya. Dalam mewujudkan cita-cita, manusia harus tetap berpegang teguh pada jalan Allah yang merupakan jalan yang lurus. Allah berfirman yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Jalan lurus yang dimaksud adalah “Jalan yang telah diberi nikmat Allah ke atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat”.

  1. Berusaha dengan sabar
Sabar merupakan sifat terpuji yang sangat sering disebut dalam al-Quran. Dalam menjalani kehidupannya, manusia tentu akan menghadapi berbagai macam peristiwa, baik peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Di antara peristiwa yang menyedihkan seperti kesempitan rezeki, kelaparan, bencana, dan lain-lain. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, manusia diminta bersabar. Jika manusia berduka cita menghadapi kesusahan-kesusahan, Allah memerintahkan mereka untuk menunaikan shalat, berdoa kepada Allah dan bersabar. Apabila ditimpa musibah, hendaknya mengucapkan dan menghayati firman Allah: ”Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jua kami kembali”. (QS al-Baqarah: 156).

Jawaban No. 5
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencer­minkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan  dengan tidak bertanggung jawab.
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaranatau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardhi.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misal­nya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, terma­suk aliran kepercayaan.
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicia-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat  mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya. Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea). Namun nama “Is­lam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang funda­mental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan,  Perjuangan Wali Songo ”(1999)  yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan,  Perjuangan Wali Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga masyarakat, yaitu; 1). Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak. 2). Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim. 3). Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur  sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam. Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern. Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar