Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Ulumul Qur'an Makiah, Madaniah, Muhkam, Mutasyabih; Radwan, MA

BAB IV : MAKIAH DAN MADANIAH
A.  Perbedaan Dari Segi Konteks Kalimat
Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!.
Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).

B.  Perbedaan Dari Segi Tema
  1. Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
  2. Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
C.  Keguanaan Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur'an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat.
1. Bukti ketinggian bahasa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an Allah SWT. mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
2. Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
3. Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah SWT. dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur'an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
4. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadinasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur'an secara Berangsur-angsur dilihat dari pembagian Al-Qur'an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur'an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1.    Pengokohan hati Nabi  Saw., berdasarkan firman Allah SWT.: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33).
2.    Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur'an dibacakan kepada mereka secara bertahap.Berdasarkan firman Allah SWT.: “Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3.    Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur'an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya.
4.    Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah SWT. yang menerangkan keadaan mereka: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian yang kedua turun firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91).
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.

BAB V :  MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-qur’an ada kalanya yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat Al-qur’an seperti itu dinamakan muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan pada makna yang jelas dan tegas.  maka ayat yang demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Untuk lebih jelasnya, maka akan saya uraikan lebih rinci mengenai muhkam wal mutasyabih sesuai pengetahuan dan informasi yang saya peroleh.

A.      Pengertia
Muhkam wal mutasyabih berasal dari bahasa Arab محكم dan  متشابه. Secara etimologis “muhkam” berasal dari “Ihkam”yang menurut Al-Zarqaini mempunyai berbagai konotasi namun mengacu pada satu pengertian yaitu “Al-man’u”yang berarti mencegah. Jika diartikan dengan ayat-ayat Al-qur’an itu disusun secara rapi dan kokoh, sedikitpun tidak ada cela untuk mengkritiknya dari sudut mana pun karena, baik kata-kata penepatannya dalam kalimat maupun susunan-susunan dalam kalimatnya sangat rapi dan kokoh serta tepat dan akurat. Seperti dalam firman Allah Q.S Hud Ayat 1: Artinya :”Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci”.
Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
Kata “mutasyabih”dalam bahasa Indonesia diartikan “mirip” atau “samar-samar”. Juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kapada ketidak pastian atau ragu (iltibas). Kondisi inilah yang dijumpai dalam ayat Al-Qur’an. Sangking miripnya ayat yang satu dengan ayat yang lain. Maka tidak dapat dibedakan antara masing-masing ayat tersebut karena semuanya berbeda pada level yang sama dari segi balaqahnya. Kemukjizatannya, kebenaran informasi yang dibawanya penempatan kata yang akurat dan susunan kalimat yang kokoh, sehingga hal ini pun mampu menimbulkan keraguan bagi yang membacanya. Pengertian lughawi ini terdapat dalam firman Allah surat Al Zumar ayat 23: Artinya: “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.
Berdasarkan pengertian secara lughawi Nampak bahwa kedua istilah diatas saling mendukung (tidak bertentangan). Artinya ayat-ayat al-Qur’an tersebut tersusun dengan rapi dan kokoh hingga tanpak dan terasa sekali pada keseluruhan ayat-ayat nya tanpa kecuali, sehingga pada kesemua ayat ini memiliki daya tarik dan I’jaz yang sama.
Pengertian Menurut Istilah, secara istilah terdapat perbedaan yang sangat tajam diantara keduanya. Hal ini seperti yang difirmankan dalam surat Al- Imron ayat 7 yang artinya:”dialah Allah yang telah menurunkan kepadamu al-kitab (Al-qur’an). Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat: itulah pokok-pokok (isi) Al-Qur’an (Al-kitab). Dan yang lain (Ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti pengertian yang samar-samar dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah (kegaduhan, mala peteka dan sebagainya) dikalangan umat dan untuk mencari-cari takwilnya;padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mengatakan kami mempercayai sepenuhnya bahwa semua itu datang dari tuhan kami. Dan hanya yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat itu) adalah mereka yang berakal.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa kedua istilah memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut As-Suyuti, muhkam adalah sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.
3. Menurut Mnna’ Al-Qathathan, muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih  tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.Sedangan ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.

B.  Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Mutasabih dari segi lafadz, yang dibagi menjadi dua:
a. Kosakata Tunggal مفردات
Kekaburan makna pada suatu kosa kata biasanya disebabkan kata tersebut tidak bias dipakai غريب atau lafadz itu mempunyai banyak konotasi مشترك Contoh I kekaburan arti karena tidak biasa dipakai. Lafadz didalam ayat 31 dari surat Abasa: وفاكهة وابا sahabat utama Rasul yakni Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat menjelaskan maksud kata tersebut.
Contoh II, kekaburan arti disebutkan banyak-banyak konotasi: lafadz يمين yang menunjuk kepada “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah” dalam ayat 93 surat Al-sfakat فراغ عليهم ضربا باليمين . kata يمين dalam ayat tersebut konotasinya tidak jelas. Apakah berarti “tangan kanan” atau “kekuatan”. Keduanya terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan kata tersebut dengan tangan “kanan”, maka maksud ayat itu adalah “ Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanannya tanpa alat”. Dan apabila diartikan dengan “kekuatan”, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya dengan tangan kanan langsung atau dengan alat-alat pemukul lainya.
Contoh lain lafal قروء dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: Kata قروء dalam bahasa Arab dapat berarti “suci” dan dapat pula berarti “haid” mereka yang memahami lafal قروء dalam pengertian “suci” maka akan menetapkan. Bahwa idah wanita terletak ialah tiga kali suci, sebaliknya mereka yang meyakini kata قروء itu berkonotasi “haid” maka akan mengistinbatkan huku darinya bahwa ialah wanita yang tertalak telah tiga kali haid. Inilah salah satu sebab yang membuat ulama berbeda penetapan hukum.

b. Pola susunan kalimat ترتيب terbagi menjadi dua:
Mutasyabih karena terlalu “padat” nya ungkapan. Misalnya, ayat 3 dari  surat Al-Nisa’: Sepintas tidak jelas maksud ungkapan tersebut, terutama hubungan antara berlaku adil terhadap anak yatim dengan perintah menikahi wanita. Menurut Al-Zarqani perlu diberi penjelasan sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”

c. Susunan kata kurang berurutan.
Misal lafadz  قيما dalam ayat  1-2 dari surat Al-kahfi: Dari segi logika pemikiran, kata tersebut seyogyanya ditempatkan setelah lafadz  الكتاب karena afal قيما merupakan “keterangan” sifat yang menjelaskan tentang keadaan الكتاب itu sendiri. Dengan ditempatkan jauh darinya, bahkan masuk pada ayat tersebut. Dari itu bila kata قيما itu didekatkan dengan  الكتاب maka susunanya akan menjadi: Artinya:“segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab yang lurus, dan tidak pernah ada penyimpangan didalamnya.”
Sementara kekaburan maksud sebuah ungkapan yang dikarenakan terlalu panjang kalimat, sementara makna yang ikandungnya sedikit. Ternyata setelah diamati bersama hal itu tidak mengakibatkan kekaburan makna. Dalam hal ini Al- Zarqoni mengemukakkan contoh Ayat 11 dari As-syura’ : ليس كمثله شي . “tidak ada yang serupa yang mirip dengan Allah sesuatu juapun”. Dan sudut kebebasan semata, barangkali ungkapan  كمثله tersebut memang terasa agak janggal, dan membuat konotasinya menjadi kabur karena ك (adat tasybih)berarti مثل jadi كمثله sama artinya dengan مثل مثله .
Sehingga dengan begitu ungkapan “ليس كمثله شي” itu sama dengan “ليس مثل مثله شي” jadi dari segi kebahasaan ungkapan semacam itu merupakan pemborosan kata. Namun bila direnungkan secara mendalam maka akan dirasakan bahwa ungkapan Al-Qr’an itulah yang tepat. Karena yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini adalah menanamkan keyakinan ke dalam hati sanubari umat manusia bahwa jangankan yang serupa dengan-Nya. Bahkan yang serupa dengan yang semisal engan-NYa pun tidak ada. Jadi ayat tersebut emberikan informasi yang sangat tepat dan lebih mendalam tentang kondisi ketuhanan Allah yang dengan sangat jauh  antara Dia dengan makhluk-Nya.

2. Mutasyabih Dari Segi Makna
Terjadi tasyabuh terhadap pengertian yang terkandung oleh suatu ayat, biasanya aat-ayat yang menginformasikan berita-berita ghoib seperti sifat-sifat Tuhan, malaikat, kondisi akherat seumpama surge, neraka, hari kiamat dan sebagainya. Semua itu tidak jelas bagi siapapun belum ada yang mengalaminya, sehingga yang diinformasikan oleh Al-Qur’an tidak bias dibayangkan secara tepat dan actual dalam benak kita.
Contoh-contoh dari pertanyaan diatas antara lain seperti nash-nash yang engimformasikan tentang Tuhan, seperti يد الله فوق ايديهم (الفتاح 10) “Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka.”الرحمن علي الاعرش استوي (طه : 5) (Ar-rahman bersila dfiatas Arasy), dan sebagainya. Pengertian semua itu samar-samar dan semua bagi kita. Tidak ada yang  tahu hakekat yang sebenarnya dibalik ungkapan trsebut. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa semua yang diinformasikan tuhan tentang dari –Nya dan All-Qur’an atau adist Nabi dan sebagainya adalah symbol-simbol semu yang tidak diketahui oleh manusia hakikat sebenarnya di balik symbol-simbol tersebut, meskipun Tuhan menyatakan secara tegas :” Dia punya tangan, Dia bersila diatas ‘Arsy dan seterusnya, namun semua keterangan itu tak sama dengan yang ada dalam presepsi manusia. Kondisi inilah yang membuat pengertian ayat-ayat tersebut menjadi kabur bagi kita.

  1. Lafal dan Makna
Menurut Al-roaghib al-Ishfatani, kkaburan yang dilihat dari segi makna dan lafal tersebut dapat dilihat dari lima asek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya perbuatan. Hal ini dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 189 : )dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya). Kata Al-zarqani, ungkapan itu sulit sekali dipahami. Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan menambahkan setelah lafal “ ان كنتم محرمين بحج او عمرة”. Dengan demikian ayat itu mengandung pemahaman;” dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya jika kamu dalam keadan ihram pada waktu pelaksanaan haji atau umrah. Meskipun telah diberi penjelasan. Namun masih tetap belu rumah. Madar jika ihram membuat pintu (lubang) dibelakang Lalu mereka keluar dari belakang tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat: Dari gambaran tersebut tampak kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal dan makna sekaligus.

C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya.
Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1)      Menerima tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.
2)      Menerima dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Ulama Khalaf inipun dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama dipelopori oleh Abu Al- Hasan al-Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya)tanpa diketahui maksudnya secara tegas (pasti). Kelompok dua menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan makna tau sifat-sifat yang dimaklumi oleh manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat kepada mmakna yang dipahami manusia, tapi pantas dengan keagunggan Allah ditinjau dari segi logika dan agama.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
a) Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
b) Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
c) Qs. Al-An’am ayat 61 yang memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.”
d) Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
e) Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
f) Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
g) Qs. Ali imon ayat 28, yang artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.”
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating diatas, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar