BAB IV : MAKIAH DAN MADANIAH
A.
Perbedaan
Dari Segi Konteks Kalimat
Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian
yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang
mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi
mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar
surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena
ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!.
Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya
banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan
ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks
kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur!
Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa
ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain
(ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
B.
Perbedaan
Dari Segi Tema
- Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan
aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah
dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak
bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi
perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu
jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga
membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
- Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad,
hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang
menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan
mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
C.
Keguanaan Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah
satu bidang ilmu Al-Qur'an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa
manfaat.
1. Bukti ketinggian bahasa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an
Allah SWT. mengajak bicara
setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun
lembut.
2. Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut
sangat nyata dimana Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai
keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan
melaksanakan syari’at yang diturunkan.
3. Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah SWT. dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur'an dalam tata
cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling
penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
4. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang
dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan
Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan)
maka ayat Madaniyah tersebut menjadinasikh bagi ayat Makiyah karena
ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur'an
secara Berangsur-angsur dilihat dari pembagian
Al-Qur'an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur'an
turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur'an dengan cara tersebut memiliki
hikmah yang banyak, di antaranya:
1.
Pengokohan hati Nabi Saw.,
berdasarkan firman Allah SWT.:
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan
secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33).
2.
Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal,
memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur'an dibacakan
kepada mereka secara bertahap.Berdasarkan
firman Allah SWT.: “Dan
Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan
semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur'an
karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika
mereka sangat membutuhkannya.
4.
Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan
yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam
ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr
dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan
secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah
firman Allah SWT. yang
menerangkan keadaan mereka: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada
akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak
membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian
yang kedua turun firman Allah SWT.:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk
membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu
shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan
taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu
berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91).
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada
semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan
jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan
khamar pada keadaan tertentu.
BAB V : MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-qur’an ada kalanya
yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap
satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang
membacanya. Ayat-ayat Al-qur’an seperti itu dinamakan
muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum dan
samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga ayat yang
seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan
pada makna yang jelas dan tegas. maka ayat yang
demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian
banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah
pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama
ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat
mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan
konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Untuk lebih jelasnya, maka akan
saya uraikan lebih rinci mengenai muhkam wal mutasyabih sesuai pengetahuan dan
informasi yang saya peroleh.
A.
Pengertia
Muhkam wal mutasyabih berasal dari bahasa Arab محكم dan متشابه.
Secara etimologis “muhkam” berasal dari “Ihkam”yang menurut Al-Zarqaini
mempunyai berbagai konotasi namun mengacu pada satu pengertian yaitu
“Al-man’u”yang berarti mencegah. Jika diartikan dengan ayat-ayat Al-qur’an itu
disusun secara rapi dan kokoh, sedikitpun tidak ada cela untuk mengkritiknya
dari sudut mana pun karena, baik kata-kata penepatannya dalam kalimat maupun
susunan-susunan dalam kalimatnya sangat rapi dan kokoh serta tepat dan akurat.
Seperti dalam firman Allah Q.S Hud Ayat 1: Artinya :”Alif laam raa,
(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci”.
Maksudnya: diperinci atas
beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu
pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
Kata “mutasyabih”dalam bahasa Indonesia diartikan
“mirip” atau “samar-samar”. Juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya
membawa kapada ketidak pastian atau ragu (iltibas). Kondisi inilah yang
dijumpai dalam ayat Al-Qur’an. Sangking miripnya ayat yang satu dengan ayat
yang lain. Maka tidak dapat dibedakan antara masing-masing ayat tersebut karena
semuanya berbeda pada level yang sama dari segi balaqahnya. Kemukjizatannya,
kebenaran informasi yang dibawanya penempatan kata yang akurat dan susunan
kalimat yang kokoh, sehingga hal ini pun mampu menimbulkan keraguan bagi yang
membacanya. Pengertian lughawi ini terdapat dalam firman Allah surat Al Zumar
ayat 23: Artinya: “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik
(yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.
Berdasarkan pengertian secara lughawi Nampak bahwa kedua
istilah diatas saling mendukung (tidak bertentangan). Artinya ayat-ayat
al-Qur’an tersebut tersusun dengan rapi dan kokoh hingga tanpak dan terasa sekali
pada keseluruhan ayat-ayat nya tanpa kecuali, sehingga pada kesemua ayat ini
memiliki daya tarik dan I’jaz yang sama.
Pengertian Menurut Istilah,
secara istilah terdapat perbedaan yang sangat
tajam diantara keduanya. Hal ini seperti yang difirmankan dalam surat Al- Imron
ayat 7 yang artinya:”dialah Allah yang telah menurunkan kepadamu al-kitab
(Al-qur’an). Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat: itulah pokok-pokok
(isi) Al-Qur’an (Al-kitab). Dan yang lain (Ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka
mengikuti pengertian yang samar-samar dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu
dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah (kegaduhan, mala peteka dan sebagainya)
dikalangan umat dan untuk mencari-cari takwilnya;padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.
Mereka mengatakan kami mempercayai sepenuhnya bahwa semua itu datang dari tuhan
kami. Dan hanya yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat
itu) adalah mereka yang berakal.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa kedua istilah
memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah
atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan
kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang
diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut As-Suyuti, muhkam adalah
sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi muhkam
adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan
mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal,
memerlukan takwil dan sulit dipahami.
3. Menurut Mnna’ Al-Qathathan,
muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa
memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu, ia
memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa:
Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz
maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang
yang memahaminya. Sedangan
ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum
jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global)
dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga
bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui
maknanya setelah melakukan pentakwilan.
B.
Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikatagorikan menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Mutasabih dari segi lafadz, yang dibagi menjadi dua:
a. Kosakata Tunggal مفردات
Kekaburan makna pada suatu kosa kata biasanya disebabkan
kata tersebut tidak bias dipakai غريب atau lafadz itu mempunyai banyak konotasi مشترك Contoh
I kekaburan arti karena tidak biasa dipakai. Lafadz didalam ayat 31 dari surat
Abasa: وفاكهة وابا sahabat utama Rasul yakni Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat
menjelaskan maksud kata tersebut.
Contoh II, kekaburan arti disebutkan banyak-banyak konotasi:
lafadz يمين yang
menunjuk kepada “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah” dalam ayat 93
surat Al-sfakat فراغ عليهم ضربا باليمين . kata يمين dalam ayat tersebut konotasinya tidak jelas. Apakah berarti “tangan
kanan” atau “kekuatan”. Keduanya terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan
kata tersebut dengan tangan “kanan”, maka maksud ayat itu adalah “ Nabi Ibrahim
memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanannya tanpa alat”. Dan
apabila diartikan dengan “kekuatan”, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim
memukul berhala-berhala tersebut dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya
dengan tangan kanan langsung atau dengan alat-alat pemukul lainya.
Contoh lain lafal قروء dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: Kata قروء dalam bahasa Arab dapat berarti “suci” dan
dapat pula berarti “haid” mereka yang memahami lafal قروء dalam pengertian “suci” maka
akan menetapkan. Bahwa idah wanita terletak ialah tiga kali suci, sebaliknya
mereka yang meyakini kata قروء itu berkonotasi “haid” maka akan mengistinbatkan huku darinya bahwa
ialah wanita yang tertalak telah tiga kali haid. Inilah salah satu sebab yang
membuat ulama berbeda penetapan hukum.
b. Pola susunan kalimat ترتيب terbagi menjadi dua:
Mutasyabih karena terlalu “padat” nya ungkapan.
Misalnya, ayat 3 dari surat Al-Nisa’: Sepintas tidak jelas maksud
ungkapan tersebut, terutama hubungan antara berlaku adil terhadap anak yatim
dengan perintah menikahi wanita. Menurut Al-Zarqani perlu diberi penjelasan
sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
c. Susunan kata kurang berurutan.
Misal lafadz قيما
dalam ayat 1-2 dari surat Al-kahfi: Dari segi
logika pemikiran, kata tersebut seyogyanya ditempatkan setelah
lafadz الكتاب karena afal قيما merupakan “keterangan” sifat yang menjelaskan tentang keadaan الكتاب itu sendiri. Dengan
ditempatkan jauh darinya, bahkan masuk pada ayat tersebut. Dari itu bila
kata قيما itu
didekatkan dengan الكتاب maka susunanya akan menjadi: Artinya:“segala puji bagi Allah
yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab yang lurus, dan tidak pernah ada
penyimpangan didalamnya.”
Sementara kekaburan maksud sebuah ungkapan yang
dikarenakan terlalu panjang kalimat, sementara makna yang ikandungnya sedikit.
Ternyata setelah diamati bersama hal itu tidak mengakibatkan kekaburan makna.
Dalam hal ini Al- Zarqoni mengemukakkan contoh Ayat 11 dari As-syura’ : ليس كمثله شي . “tidak ada yang serupa
yang mirip dengan Allah sesuatu juapun”. Dan sudut kebebasan semata, barangkali
ungkapan كمثله tersebut memang terasa agak janggal, dan membuat konotasinya menjadi
kabur karena ك (adat
tasybih)berarti مثل jadi كمثله sama artinya dengan مثل مثله .
Sehingga dengan begitu ungkapan “ليس كمثله شي” itu sama dengan “ليس مثل مثله شي” jadi dari segi
kebahasaan ungkapan semacam itu merupakan pemborosan kata. Namun bila
direnungkan secara mendalam maka akan dirasakan bahwa ungkapan Al-Qr’an itulah
yang tepat. Karena yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini adalah menanamkan
keyakinan ke dalam hati sanubari umat manusia bahwa jangankan yang serupa
dengan-Nya. Bahkan yang serupa dengan yang semisal engan-NYa pun tidak ada.
Jadi ayat tersebut emberikan informasi yang sangat tepat dan lebih mendalam
tentang kondisi ketuhanan Allah yang dengan sangat jauh antara Dia dengan
makhluk-Nya.
2. Mutasyabih Dari Segi Makna
Terjadi tasyabuh terhadap pengertian yang terkandung
oleh suatu ayat, biasanya aat-ayat yang menginformasikan berita-berita ghoib
seperti sifat-sifat Tuhan, malaikat, kondisi akherat seumpama surge, neraka,
hari kiamat dan sebagainya. Semua itu tidak jelas bagi siapapun belum ada yang
mengalaminya, sehingga yang diinformasikan oleh Al-Qur’an tidak bias
dibayangkan secara tepat dan actual dalam benak kita.
Contoh-contoh dari pertanyaan diatas antara lain seperti
nash-nash yang engimformasikan tentang Tuhan, seperti يد الله فوق ايديهم (الفتاح 10)
“Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka.”الرحمن
علي الاعرش استوي (طه : 5) (Ar-rahman bersila
dfiatas Arasy), dan sebagainya. Pengertian semua itu samar-samar dan semua bagi
kita. Tidak ada yang tahu hakekat yang sebenarnya dibalik ungkapan
trsebut. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa semua yang diinformasikan tuhan
tentang dari –Nya dan All-Qur’an atau adist Nabi dan sebagainya adalah
symbol-simbol semu yang tidak diketahui oleh manusia hakikat sebenarnya di
balik symbol-simbol tersebut, meskipun Tuhan menyatakan secara tegas :” Dia
punya tangan, Dia bersila diatas ‘Arsy dan seterusnya, namun semua keterangan
itu tak sama dengan yang ada dalam presepsi manusia. Kondisi inilah yang
membuat pengertian ayat-ayat tersebut menjadi kabur bagi kita.
- Lafal dan Makna
Menurut Al-roaghib al-Ishfatani, kkaburan yang dilihat
dari segi makna dan lafal tersebut dapat dilihat dari lima asek, yaitu
kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya perbuatan.
Hal ini dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 189 : )dan bukanlah kebaikan itu
bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya). Kata Al-zarqani, ungkapan
itu sulit sekali dipahami. Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan
menambahkan setelah lafal “ ان كنتم محرمين
بحج او عمرة”. Dengan demikian ayat itu mengandung
pemahaman;” dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari
belakangnya jika kamu dalam keadan ihram pada waktu pelaksanaan haji atau
umrah. Meskipun telah diberi penjelasan. Namun masih tetap belu rumah. Madar
jika ihram membuat pintu (lubang) dibelakang Lalu mereka keluar dari belakang
tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat: Dari gambaran tersebut
tampak kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal
dan makna sekaligus.
C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda
berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang
berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan
para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya.
Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan
dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis
besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1)
Menerima
tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara
apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak
mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah.
Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil
tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada
Allah semata.
2)
Menerima
dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan
ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam
menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat
mutasyabihat tersebut. namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi
pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat
mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Ulama Khalaf inipun dibagi menjadi dua kelompok, yang
pertama dipelopori oleh Abu Al- Hasan al-Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat
mutasyabihat itu sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya)tanpa
diketahui maksudnya secara tegas (pasti). Kelompok dua menakwilkan ayat-ayat
mutasyabihat itu sesuai dengan makna tau sifat-sifat yang dimaklumi oleh
manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang
terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat kepada mmakna yang dipahami manusia,
tapi pantas dengan keagunggan Allah ditinjau dari segi logika dan agama.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan
contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
a) Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki
arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
b) Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki
arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
c) Qs. Al-An’am ayat 61 yang
memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas
hamba-hamba-Nya.”
d) Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang
memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
e) Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki
arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
f) Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki
arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
g) Qs. Ali imon ayat 28, yang
artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.”
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang
sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating diatas, sisi, wajah,
mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut
menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang
misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit
dipahami akan maksud yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar