BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia Islam, pemikiran yang menggunakan paradigma
positivisme dan empirisme tidak mendapat tempat secara proporsional karena alur
pemikiran selama ini masih berpusat pada pemikiran teologikal klasik. Pemikiran
positivis-empiris sering dianggap berkonotasi negatif bagi kaum agamawan.[1] Kaum
cendikiawan muslim yang berfikiran dengan pendekatan positivis selalu dicurigai
sebagai agen orientalis atau bagian dari Barat yang berupaya melakukann
sekulerisasi atau westrenisasi.
Bagaimana mungkin kaum cendikiawan muslim mampu
membangkitkan gairah intelektual jika tidak mau menggunakan pendekatan yang
positivis-empiris dan juga rasional. Walaupun kita berhak mengkritisi dua
pendekatan tersebut. Bukankah dalam epistemologi Islam ada trilogi sumber
penegtahuan, yaitu bayani, irfani dan burhani yang juga memasukkan pendekatan
rasional dan empiris. [2]
Apapun yang selama ini selalu kita banggakan sebagai
bentuk “romantisme sejarah”, gerak laju perubahan dan perkembangan pemikiran
dalam Islam belum bisa mencapai proses renaisans dan aufklarung. Salah satu
penyebabnya, umat Islam belum membudayakan tradisi “kritik epistemologis”
(epistemological critique) dalam menalar keilmuan secara filosofis-rasional.
Kaum teolog dan fuqaha Islam klasik yang masih mendominasi pemikiran Islam
dengan memenangkan atas pemikiran yang filosofis menyebabkan hilangnya gairah
intelektual kritis dan konstruktif. Hal ini menyebabkan umat Islam tidak mampu
membedakan mana aspek yang dianggap normatif dan mana saja yang dianggap
sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya masih bersifat relatif dan
perlu pengujian histories, maka sangat penting Dalam
makalah ini penulis mebahas Epistemologi Islam Metode Naqdi (kritik).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode naqdi (kritik) yaitu
metode untuk menggali pengetahuan dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan
suatu konsep atau aplikasi ilmu kemudian menawarkan solusi-solusinya. Metode ini bisa dikatakan dengan washiyah atau nasehat,
sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-'Ashr ayat 1-3
ÎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 Aô£äz ÇËÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Îö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya: 1. Demi masa. 2.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
B.
Tradisi
Kritik Epistemologi
Tradisi kritik epistemologi adalah model yang pada
gilirannya telah membuka landscape pemikiran baru dalam perkembangan pemikiran
yang bercorak empiris dan historis dalam hubungannya dengan realitas
masyarakat. Upaya ini lebih mendamaikan polarisasi antara sains modern yang
didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keIslaman yang masih berada pada
titik inferioritas peradaban global.[3]
Kritik epistemologi, adalah berangkat dari proses
“obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi
Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang
kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Sebenarnya,
langkah dan strategi Islamisasi ilmu lebih mengarah pada dehegemoni pengetahuan
Barat. Dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, hal demikian sangat memungkinkan karena
sesungguhnya ilmu-ilmu Barat yang selama ini sudah mapan adalah upaya Barat
sendiri untuk “menguasai” pengetahuan yang lain. Dengan klaim universalitas dan
obyektivitas Barat ingin “meniadakan” ruang-ruang bagi kemungkinan kebenaran
ilmu dari yang di luar Barat. Ada campuran kepentingan antara penmgetahuan,
ideologi, dan kekuasaan yang merupakan bagian kolonialisme Barat.[4]
Pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan
yang benar. Nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilandasi
dengan upaya pemahaman kritis. Krititisme adalah sebuah pendekatan kritik
epistemologis yang merupakan pemikiran dari Immanuel Kant (1724-1804 M).[5] Kant
menganggap aufklarung adalah sebagai “jalan keluar” untuk membebaskan manusia
yang masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya. Kant menyatakan
bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat
kemampuan rasio agar kita bisa menentukan apa yang mungkin kita ketahui, kita
kerjakan, dan kita gantungi harapan. Inilah kritisme yang dimaksud Kant.
Pemahaman Islam layak untuk dikritisi agar maknanya bisa
didekati secara rasional menurut kebutuhan masa kini.[6] Menurut
tahapannya jenis pengetahuan itu ada tiga macam, yaitu : ontologi (apa),
epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Keterkaitan itu akan
saling memberikan makna. Ontologi akan menentukan epistemologi; epistemologi
juga menentukan aksiologi. Epistemologi adalah proses utamanya.
Epistemologi kemudian terbagi menjadi tiga, yaitu :
empiris, rasional, dan intuitif. Pendekatan empiris menekankan pada pencapaian
ilmu melalui data dan fakta yang ada dalam wilayah empirik. Sedangkan
pendekatan rasional mengambil ilmu melalui akal budi dan rasio manusia bahwa
sesuatu itu bisa dinalar dan dipahami. Sedang intuitif lebih melihat pada
kemampuan “rasa” diri manusia atau melalui wahyu dan intuisi di luar dirinya.
Dalam Islam, epistemologi seperti ini dirangkum oleh para cendekiawan muslim,
yang kemudian dikembangkan oleh M. Abed Al-Jabiry, menjadi: Bayani, ‘Irfani,
dan Burhani. Bayani (deskriptif) itu mirip dengan empirik, ‘Irfani itu mirip
dengan intuitif, dan Burhani itu bisa disamakan dengan rasional.[7]
C.
Kritik
Al-Ghazali Terhadap Filsafat
Kritik al-ghazali terhadap filsafat tertumpu atas
penyimpangan para filosof yang mempunyai pemikiran yang dapat
menyesatkan.Kira-kira satu generasi setelah Ibnu Sina, tampil al-Ghazali, seorang
pemikir yang dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat, khususnya
Neo-platonisme al-Farabi dan Ibnu Sina. Beliau diakui sebagai salah seorang
pemikir yang paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga
dalam sejarah intelektual manusia, al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern
Muslim maupun bukan Muslim, adalah orang yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan ajaran Islam.[8]
Al-Ghazali juga dikenal sebagai seorang yang mengkritik
filsafat dalam karyanya Tahafuz al-Falasifah. Dengan banyak alasan, beberapa
tokoh pemikir Islam menyatakan bahwa salah satu faktor kemandegan produktifitas
pemikiran ummat Islam pada masa klasik adalah pengaruh dari kritik tersebut.
Adalah menarik untuk mengkaji kritikan al-Ghazali terhadap filsafat. Makalah
ini akan menguraikan tentang beberapa masalah yang menjadi fokus kritikan
al-Ghazali terhadap filsafat.[9]
Al-Ghazali menolak kompetensi “filosofik” untuk memahami
kebenaran-kebenaran metafisis. Bagian yang signfikan dari pengetahuan tentang
hal-hal seperti kenabian dan psikologis spritual baginya hanyalah kebenaran
pinjaman yang diambil dari nabi dan orang suci.[10] Al-Ghazali
berusaha membuktikan keterbatasan metode “filosofik”. Dia berpendapat bahwa
ilmu-ilmu metafisis para filosof di tercemari oleh kesesatan-kesesatan dan
ketidak-konsistenan.[11]
Kekeliruan dan ketidak-konsistenan ini, kata al-Ghazali memperlihatkan
kemustahilan mencapai keyakinan akan kebenaran-kebenaran metafisis melalui
“filosofik”. Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat
bertentangan dengan Islam, dan karena itu para filosof harus dinyatakan sebagai
orang ateis, ialah; "Qadimnya Alam".
Para Filosof berbeda pendapat tentang eternitas
(kekekalan) alam. Tetapi kebanyakan filosof, yang terdahulu maupun selanjutnya,
menyetujui pendapat bahwa alam ini kekal (qadim); dan (sepakat) mengatakan
bahwa alam ini selalu ada (mawjud) bersama Allah SWT serta terjadi bersamaan
dengan-Nya, sebagai akibat ada-Nya,secara temporal- sebagaimana kebersamaan
temporal sebab akibat, dan sebagaimana (kebersamaan) cahaya dengan Matahari.
Dan keterdahuluan Allah atas alam ini, bukan secara temporal adalah keterdahuluan
zat atau esensi-Nya- sebagaimana keterdahuluan sebab atas akibat.
Menurut Plato “alam ini temporal”. Tetapi beberapa
(filosof) memberi interpretasi yang berbeda denga Plato, dengan menolak bahwa
alam ini temporal (hadis).Dalam karya Galen, (berjudul) “Bagaimana keyakinan
Galen” diterangkan bahwa Plato pada akhir hayatnya cenderung bersikap netral
dalam masalah tersebut.[12] Dia
beralasan, barangkali karena karakter alam ini memang mustahil dikaji- bukan
karena sifat- kurang pada alam itu sendiri, melainkan lebih disebabkan rumitnya
masalah, yang memang merupakan karakter khasnya, yang memusingkan pemikiran.
a.
Alasan
pertama
Sesuatu yang temporal (hadis) mustahil terjadi dari suatu
yang eternal, kekal (qadim). Karena, seandainya kita, misalnya mengandaikan
yang eternal (al-qadim) itu sudah ada pada suatu masa, mengapa alam ini belum
muncul (ada), maka alasan mengapa alam belum muncul itu harus disebabkan belum
adanya faktor penentu (murajjih) bagi eksistensinya; dan karena eksistensi alam
ini tidak lain hanya sekedar kemungkinan semata (artinya bisa muncul dan bisa
tidak muncul). Maka, ketika alam ini terwujud, tentu kita harus memilih dua
alternatif; yaitu apakah faktor penentu tersebut telah, atau belum muncul.
Seandainya faktor penentu belum muncul, tentu alam ini masih dalam kemungkinan
semata sebagaimana ia ada sebelumnya. Tetapi seandainya faktor penentu itu
telah muncul, maka siapa yang mula-mula yang memunculkan faktor penentu itu
sendiri; dan mengapa ia baru muncul sekarang, bukan sebelumnya? Nah munculnya
faktor penentu itu sendiri sekarang menjadi masalah.[13]
Demi terincinya argumen di atas mari kita pertanyakan:
mengapa Tuhan tidak menciptakan alam ini sebelum waktu penciptaannya? Tidak
mungkin dijawab, karena Tuhan tidak mampu menciptakan alam, atau karena alam
ini mustahil untuk diciptakan, sungguh jawaban ini hanya memberi arti bahwa
Tuhan telah berubah dari lemah menjadi kuasa, dari yang tidak mampu menjadi
mampu. Kedua jawaban itu mustahil bahkan sangat tidak mungkin untuk mengatakan
bahwa “Tuhan bermaksud menciptakan alam sebelum waktunya, dan maksud tersebut
baru muncul kemudian. Tidak mungkin juga mengatakan bahwa “tidak terciptanya
alam ini sebelum penciptaannya secara aktual dari satu sisi, karena tidak
adanya sarana, dan di sisi lain karena adanya sarana itu sendiri. Tetapi paling
mudah untuk di bayangkan adalah perkataan bahwa Tuhan tidak menghendaki adanya
alam ini sebelum ia ada. Masalahnya, dengan perkataan ini seseorang harus juga
mengatakan bahwa “ adanya alam ini merupakan produk dari setelah Tuhan
menghendaki keberadaannya, dimana sebelumnya Tuhan tidak menghendaki adanya
alam ini.
Apabila alam (wujud temporal) dianggap ada karena
diciptakan oleh Allah, pertanyaannya: mengapa baru sekarang dan mengapa bukan
sebelumnya, apa karena tidak ada sarana, atau tidak ada kekuasaan. Jelaslah
bahwa terjadinya (prosesi) wujud yang temporal (hadis) dari wujud yang kekal
(qadim) adalah mustahil, kecuali terjadi perubahan pada wujud yang kekal itu,
dalam ketentuan, sarana, waktu, maksudnya, tetapi itu mustahil. Dan mustahil
mengandaikan wujud yang kekal berubah-ubah. Karena perubahan yang temporal sama
dengan perubahan yang lainnya. Sekarang ternyata alam selalu ada, dan kenyataan
temporal telah pula terbukti, yang berarti bahwa kekalnya (eternitas) alam ini
tidak mustahil.
1). Jawaban al-Ghazali
Bagaimana cara anda menolak(orang) yang berkata bahwa
alam ini muncul karena kehendak eternal(iradah qadimah) yaitu kehendak yang
menetapkan eksistensi, wujud (alam) pada waktu diwujudkannya? Kehendak yang
menetapkan ketidakwujudan alam ini berakhir sebagai yang terakhir, kehendak
yang menetapkan eksistensinya alam ini berawal dimana secara aktual tercipta.
Maka, berdasarkan pandangan itu, wujud alam bukan merupakan obyek dari kehendak
yang kekal, sebelum alam benar-benar tercipta. Dan juga karena alam ini bukan
perwujudan, tetapi hanya obyek dari kehendak kesesatan semata, ketika ia
tercipta. Lalu apa yang mencegah kita dari keyakinan demikian, atau apa pula
kontradiksi yang dikandungnya?
Sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak
telah ada, dan kehendak pun telah ada, bahkan hubungan kehendak dengan obyeknya
pun telah ada. Kehendak Tuhan tidak merupakan suatu yang temporal. Karena tiap
sesuatu selalu berubah, bagaimanakah caranya obyek itu muncul sebagai sesuatu
yang temporal. Apakah yang menghalagi kehendak itu untuk mencipta sebelum ia
mencipta secara aktual?[14]
b.
Alasan
kedua
Tuhan mendahului alam (mendahului menurut zat (pribadi),
bukan waktu, seperti satu mendahului dua, berdasarkan kebiasaan, meskipun bisa
saja kedua-duanya ada bersama-sama dalam wujud zamani (menurut waktu); atau
Tuhan Mendahului , seperti mendahului sebab dari akibat (kausalitas), seperti
mendahului gerakan seseorang dari gerakan bayangannya. Bayangan bergerak karena
bergerak seseorang, meskipun kenyataannya kedua gerakan itu simultan (sekaligus
waktunya), artinya sama-sama mulai atau sama-sama berhenti. Apabila yang
dimaksud dengan terlebih dahulu Tuhan dari alam, maka kedua-duanya harus
temporal atau kedua-duanya harus eternal. Mustahil salah satu eternal sedangkan
yang lain temporal.
Apa yang dimaksud dengan perkataan ”Tuhan mendahului
alam dan waktu” menurut waktu, maka sebelum adanya alam dan waktu, ada sebuah
waktu ketika alam belum ada. Pada waktu (pra wujud) itu, alam harus tidak ada
(‘adam), karena ketiadaan mendahului kepribadian (wujud, eksistensi). Dan oleh
karena itu, Tuhan harus telah mendahului alam pada suatu masa yang terbatas.
Tapi tak pernah bermula.jadi, dalam pandangan ini, harus ada sebuah waktu yang
tak terhingga sebelum waktu itu ada. Tetapi ini jelas bertentangan.
Dengan perkataan lain. Sebelum terjadinya alam wujud
sudah ada waktu yang tidak ada ujungnya, dan ini adalah suatu yang berlawanan,
sebab kalau ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada
ujungnya yang lain, begitu juga sebaliknya. Maka tidak mungkin mengatakan
temporalnya alam.[15]
1). Jawaban al-Ghazali
Waktu (az-zaman) mempunyai sebuah permulaan, dan ia
diciptakan. Dan sebelum ada waktu, sama sekali tidak ada waktu. Ketika ada
Perkataan “Tuhan mendahului alam dan waktu” dimaksukan bahwa Tuhan ada
sendirinya, sedangkan alam tidak ada (artinya terbatas pada adanya zat pencipta
dan tidak zat alam), kemudian Tuhan ada dan alam ada bersama-sama dengan-Nya
(artinya terbatas pada adanya dua zat itu). Dengan terlebih dahulu Tuhan
dimaksudkan hanyalan zat-Nya (sebelum eksistensi alam).[16]
c.
Alasan
ketiga
Setiap yang temporal/baharu pasti didahului oleh materi
(bendanya), yang berada di dalamnya. Sesuatu yang temporal selalu tergantung
pada materi, meskipun materi itu bukan yang temporal. Sesungguhnya Yang
temporal itu hanyalah bentuk-bentuk (surah/form), aksiden-aksiden (a‘rasifat-sifat),
dan kualitas-kualitas yang terjadi pada materi. Alasannya; Setiap yang
temporal, sebelum menjadi temporal, harus berupa kemungkinan, atau
ketidak-mungkinan,atau keniscayaan (mungkin wujud, tidak mungkin wujud, wajib
wujudnya).[17]
Tetapi mustahil adanya itu merupakan ketidak-mungkinan, karena
ketidak-mungkinan (fi zatihi) tidak benar-benar ada. Dan mustahil adanya
merupakan keniscayaan (li zatihi), karena keniscayaan tidak pernah tidak ada.
Jadi, bahwa sesuatu yang temporal harus merupakan kemungkinan, karena hanya
kemungkinan yang ada sebelum ia ada. Tapi kemungkinan bersifat nisbi yang tidak
muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, tidak mustahil adanya substratum
(mahall, tempat) yang berhubungan dengan (kemungkinan), yaitu materi, yang
merupakan tempat penghubung. Yang kami maksudkan ketika kami katakan bahwa
materi menerima panas dan dingin, hitam putih, gerak dan diam, yaitu
dimungkinkan temporalnya terjadi perubahan-perubahan, jadi kemungkinan menjadi
suatu sifat bagi materi dan materi bersifat temporal
Mustahil untuk mengatakan bahwa kemungkinan sebagai
(kawnuhu) yang dikuasai, dan adanya yang qadim sebagai yang berkuasa atasnya.
Sesuatu yang dikuasai hanya apabila ia berada dalam kemungkinan. Seseorang
dikuasai, hal itu karena itu dia mungkin, atau apabila seseorang tidak
dikuasai, karena dia tidak mungkin. Apabila mengatakan sesuatu yang mungkin,
mengacu pada pernyataan ia dikuasai, maka seakan-akan mengatakan: seseorang
dikuasai, karena ia dikuasai, atau seseorang tidak dikuasai, karena ia tidak
dikuasai. Keputusan mengenai kemungkina adalah keputusan intelektual yang
jelas, dengan mengetahui keputusan yang lain yaitu wujud merupakan obyek
kekuasaan (dikuasai). Sekali lagi, tidak mungkin menerangkan masalah mungkin dengan
mengacu kepada pengetahuan dari yang qadim dengan adanya sebagai mungkin( bi
kawnihi mumkinan). Kerena pengetahuan membutuhkan obyek. Jadi, pengetahuan
tentang kemungkinan dan kemungkinan itu sendiri merupakan obyek pengetahhuan,
tentu berbeda. Lalu, sekalipun diidentifikasikan dengan pengetahuan, keungkinan
tetap merupaka suatu yang relatif yang harus dihubungkan denga suatu esensi.
Dan hanya meteri itu yang merupakan esensi itu., karena materi mendahului yang
hadis, meskipun awalnya materi itu tidak hadis(temporal)
1). Jawaban al-Ghazali
Kemungkinan yang mereka sebutkan adalah berasal dari
keputusan intelaktual. Maka tiap sesuatu yang wujudnya terandaikan oleh akal,
pengandain itu mesti diterima akal, disebut mungkin, atau apabila pengandaian
tidak dapat diterima akal disebut tidak mungkin. Atau apabila akal tidak dapat
mengandaikan ketiadaan (‘adam) sesuatu, disebut wajib. Tetapi keputusan
intelektual ini tidak memerlukan satu mawjud, sehingga hanya dijadikan sifat.
Ada tiga alasan dari pernyataan tersebut; Pertama, Apabila kemungkinan
memerlukan suatu muwjud kemana kemungkinan dihubungkan, dan dapat dikatakan
bahwa mawjud itu adalah kemungkinanya, begitu juga ketidakmungkinan memerlukan
suatu mawjud. Maka, mawjud itu adalah ketidak mungkinannya. Tetapi kenyataanya,
yang tidak mungkin dengan sendirinya tidak ada. Tidak ada materi yang atasnya
ketidakmungkinan terjadi dan kepadanya ketidakmungkinan dihubungkan sebagai
suatu sifat. Kedua, mengenai hitam dan putih, akal memutuskan keduanya
sebagai mungkin, ketika hitam dan putih belum ada. Apabila kemungkinan
dihubungkan dengan suatu tubuh (benda) yang atasnya hitam dan putih terjadi(
sehingga seseorang berkata; hitam putih itu dimaksudkan bahwa tubuh ini mungkin
untuk menjadi hitam dan putih), maka putih maupun hitam dengan sendirinya,
menjadi mungkin. Prediket kemungkinan tidak berlaku bagi hitam dan putih,
karena mungkin harus berbentuk tubuh yang dihubungkan dengan hitam dan putih.
Jadi bagaimanakah hitam pada kehitaman itu sendiri, apakah mungkin, ataukah
wajib, atau tidak mungkin. Harus dikatakan sebagai jawaban bahwa hitam adalah
mungkin. Dari sini jelas bahwa suatu keputusan intelektual tentang kemungkinan
tidak memerlukan asumsi suatu esensi yang mawjud kepadanya kemungkinan
dihubungkan.[18]
2. Ilmu Tuhan terhadap hal-hal kecil
Para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui
sesuatu pun kecuali diri-Nya sendiri. Pendapat Ibnu Sina,bahwa Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan yang universal.[19] Untuk
memperjelas pendapat para filosof itu al-Ghazali mejelaskan dengan suatu
ilustrasi tentang gerhana Matahari. Ketika Matahari sedang terjadi gerhana
kemudian terang kembali. Matahari telah mengalami tiga keadaan:
a). Keadaan ketika gerhana belum
terjadi, tetapi dinantikan terjadinya, artinya gerhana akan terjadi.
b). Keadaan bahwa gerhana
benar-benar terjadi, artinya gerhana sedang berlangsung
c). Ketika gerhana tidak ada, tetapi
sebelumnya sudah terjadi
Mengenai ketiga keadaan tersebut terdapat pula tiga
pengetahuan yang berbeda. (1). Kita mengetahui bahwa gerhana tidak ada, dan
akan terjadi. (2). Kita mengetahui bahwa gerhana sedang terjadi, dan (3). Kita
mengetahui bahwa gerhana sudah terjadi dan sekarang tidak ada lagi.
Para filosof mengatakan, Tuhan tidak mempunyai keadaan
yang berbeda-beda sehubungan, dengan tiga keadaan di atas, karena itu berarti
perubahan. Orang yang keadaannya tidak berbeda-beda tidak dapat mengetahui
ketiga aspek itu. Pengetahuan mengikuti pengetahuan. Apabila objek pengetahuan
berubah, maka pengetahuan pun berubah. Dan apabila pengetahuan berubah, maka
orang yang tahu juga berubah tetapi Tuhan mustahil berubah.
Para filosof juga mengemukakan bahwa Tuhan mengetahui
gerhana, dan semua sifat-sifatnya serta aksidin-aksiden dengan suatu
pengetahuan yang menjadi sifat-Nya sejak dari azal tidak pernah berubah, misal
dia mengatakan; bahwa Matahari dan Bulan ada (karena keduanya beremanasi
dari-Nya melalui intermeditasi malaikat-malaikat yang disebut para filosof
akal-akal murni); bahwa Matahari dan Bulan melakukan revolusi-revolusi.; bahwa
sebagai akibat dari Matahari yang sedang gerhana, -yaitu tubuh Bulan berada
diantara matahari dan pengamat (orang yang menyaksikan), sehingga menghalangi
Matahari dari mata pengamat.[20]
Para filosof berpendapat tentang sesuatu yang dapat
dibagi-bagi ke dalam materi dan ruang, seperti manusia pribadi dan
binatang-binatang. Bahwa Tuhan tidak mengetahui aksiden-aksiden Zaid atau ‘Amar
atau Khalid (sebagai pribadi-pribadi); tetapi mengetahui manusia secara umum,
dan aksiden-aksiden serta sifat-sifatnya- dengan suatu pengetahuan universal.
Maka, ia pun mengetahuhi bahwa Manusia memiliki suatu tubuh yang terdiri dari organ
yang dipergunakan untuk bejalan, atau untuk memahami, dan sebagainya. Dan ada
yang tunggal sementara yang lain ada berpasangan. Dan bahwa kekuatan-kekuatan
harus didistribusikan di antara anggota-anggota fisiknya, dan seterusnya hingga
setiap sifat yang di luar dan di dalam manusia. Setiap hal yang termasuk
perlengkapan, sifatnya dan kelazimannya. Juga tak satupun yang tersembunyi dari
pengetahuan-Nya, dan Dia mengetahui segala sesuatu secara universal. Ia hanya
dapat membedakan antara Zaid dengan diri ‘Amr karena indra saja, bukan karena
akal.
Maka, inilah prinsip dasar yang dipercayai- dan dengan
prinsip itu para filosof merancang kehancuran total syariat-syariat agama. Itu
mengimplikasikan bahwa, misalnya, apakah Zaid mentaati Tuhan atau mendurhakai-Nya,
Tuhan tidak mengetahui keadaannya yang baru, karena Dia tidak mengetahui Zaid
sebagai pribadi- yakni sebagai ciri dari tindakan sebelumnya. Maka apabila
Tuhan tidak mengetahui diri manusia, dan tidak mengetahui keadaan dan
perbuatannya. Dia pun tidak mengetahui kekufuran dan keIslaman seseoang, karena
Dia hanya mengetahui manusia secara umum, secara mutlak dan universal. Tidak
melalui hubungan khusus dengan pribadi-pribadi itu. Mereka juga mengatakan
bahwa Nabi Muhammad saw., memproklamirkan kenabiannya, sedangkan Tuhan tidak
mengetahui bahwa Muhammad berbuat seperti itu.
[21]
1). Jawaban Al-Ghazali
Bagaimana anda menolak orang mengatakan “Tuhan hanya
mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana pada suatu waktu. Sebelum gerhana,
pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang “akan terjajdi, pda waktu gerhana,
pengetahuan tentang sedang terjadi, dan setelah terang, pengetahuan tentang
berakhirnya gerhana. Semua perbedaan-perbedaan ini merupakan relasi-relasi yang
tidak menggantikan esensi pengetahuan, dan tidak menuntut suatu perubahan pada
zat orang yang mengetahui. Karena perbedaan tersebut ditata sebagai
relasi-relasi murni. Orang yang berubah secara teratur, maka dialah yang
berubah, bukan anda. Demikian pula tetang pengatahuan Tuhan.
Kami menerima pendapat bahwa Dia mengetahui segala
sesuatu dengan sesuatu pengetahuan yang satu dari azal ke azal, bahwa keadaan
ini tidak berubah. para filosof ini meniadakan perubahan, dan itu disepakati
oleh setiap orang. Tetapi statemen mereka bahwa perubahan harus disimpulkan
dari afirmasi (pengukuhan) pengetahuan tentang ‘sedang terjadi, kini dan
tentang berakhirnya gerhana, maka pendapat itu tidak diperdebatkan. Dari
manakah mereka mengetahui ide ini? Andaikan Allah menciptakan bagi kita
pengetahuan tentang datangnya Zaid di sini besok, ketika Matahari terbit, lalu
pengetahuan ini dilamakan (sehingga dia pun tidak menciptakan pengetahuan yang
lain bagi kita dan kita pun tidak lupa terhadap pengetahuan ini), pastilah
kita, ketika terbit matahari, mengatahui--dengan pengetahuan yang lalu,-tentang
datangnya Zaid kini dan setelah itu tentang (faktanya bahwa) dia baru saja
datang. Dan pengetahuan yang satu ini terus ada, akan cukup untuk menguasai
“ketiga persoalan” itu.[22]
3. Kebangkitan Jasmani
Para filosof menolak kembalinya jiwa-jiwa ke
tubuh-tubuh. Setelah kematian tubuh, jiwa mengekal selama-lamanya baik dalam
keadaan senang yang tak mungkin terlukiskan karena besarnya, atau dalam keadaan
sengsara yang tak terlukiskan, karena begitu besarnya. Kadang-kadang,
kesengsaraan itu menjadi abadi; dan kadang menghilang bersama perjalanan masa.
Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan kemustahilan
kembangkitan kembali tubuh-tubuh. Pengandaian kembalinya jiwa ke dalam tubuh
mengandung tiga alternatif:
Pertama, dapat dikatakan
(sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa mutakallimun) bahwa manusia adalah
tubuh, dan kehidupan hanyalah satu aksiden; bahwa jiwa yang diandaikan berdiri
sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak ada; dan bahwa kematian berarti
ketidak-berlangsungan kehidupan, atau terhalangnya pencipta dari penciptaan
kehidupan. Oleh karena itu, kebangkitan kembali berarti (1) perbaikan kembali
oleh Allah, terhadap tubuh yang telah lenyap (2) pengembalian eksistensi tubuh;
dan (3) perbaikan kembali kehidupan yang telah lenyap. Atau, dapatlah dikatakan
bahwa materi tubuh tepat sebagai tanah, dan bahwa kehidupan kembali (ma’ad)
berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun kedalam manusia, dimana
kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya.
Kedua, dapat dikatakan
bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah kematian tubuh, tetapi
yang akan dikembalikan, pada saat kebangkitan, kepada tubuh yang asli ketika
semua bagian tubuh telah terkumpul
Ketiga, bahwa jiwa akan
kembali kepada suatu tubuh, baik ia tersusun dari bagian-bagian yang sama
seperti tubuh yang asli, atau dari beberapa bagian yang lain. Konsekuensinya,
orang yang kembali manusia itu. Materi tidak relevan disini , karena manusia
bukanlah manusia karena materi, tetapi jiwa.[23]
Alternatif pertama, jelas salah, karena ketika kehidupan
serta tubuh telah tiada, penciptaan kembali akan merupakan suatu penciptaan
yang sama dengan atau tidak identik dengan apa yang telah ada. Tetapi kata
“kembali” seperti yang kita pahami, mengimplikasikan pengandaian kebakaan
(lawan fana) satu hal dan membarukan hal lain.
1). Jawaban al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, akan benar untuk mengatakan bahwa
debu kembali hidup, setelah beberapa lama kehidupan telah terputus. Dan hal ini
bukan merupakan pengembalian bagi manusia, atau kemunculan kembali dengan
dirinya sendiri. Karena seorang manusia menjadi manusia bukan karana materinya,
dan debu yang tersusun darinya. Semua bagian fisik ini, atau sebagian besar
berubah karena makanan. Dan dia tetap seperti semula karena ruh dan jiwanya.
Maka dalam kehidupan yang telah tiada, dan tidak masuk akal apabila sesuatu
yang telah tiada kembali. Seringkali sesuatu seperti itu dapat diwujudkan.
Apabila Allah menciptakan kehidupan manusawi di dalam debu yang terbentuk dalam
tubuh-tubuh pepohonan, atau seekor kuda, atau tumbuh-tumbuhan, maka itu suatu
permulaan penciptaan manusia. Kembalinya yang ma’dum tidak masuk akal. Entitas
(zat) yang kembali adalah suatu hal yang mawjud, yakni kembali ke keadaan
sebelumnya, kembali seperti semula.
Terhadap alternatif yang kedua, yakni pengandaian
kebakaan jiwa, dan pengembalian ke tubuh yang asli. Apabila hal itu
diperhatikan, yang cocok disebut “kambali” berarti pembukaan lagi oleh jiwa dan
fungsinya untuk menuju tubuh, setelah terpisah dari kematian. Tetapi ini
mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi debu, atau dimakan ulat, burung-burung,
dan berubah menjadi dara atau asap, atau udara dan bercampur dengan udara dan
asap di dalam alam, sedemikian rupa sehingga tak terpisahkan dan dilepaskan
satu sama lain. Apabila hal tersebut diandaikan sebagai suatu ketakwaan kepada
kekuasaan Allah, maka tidak boleh tidak:
Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan
kembali, yang ada pada saat kematian. Maka tidak boleh tidak hal itu akan
mengarah kepada kebangkitan kembali dengan anggota badannya yang telah lepas,
atau telinga dan hidungnya putus, atau angngota tubuhnya cacat, dalam bentuk
yang sama percis seperti ketika ia hidup di dunia. Tetapi ini hina, apalagi
bagi orang-orang disurga, karena mereka diciptakan alam keadaan cacat di awal
firah (penciptaan). Hal ini merupakan suatu lelucon yang sangat lucu. Oleh
karena itu, ini merupakan suatu kesulitan yang muncul, apabila pengandaian
pengembalian dibatasi pada penyusunan kembali bagian-bagian yang ada pada saat
kematian. Ataukah bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan
yang belum pernah ada dimasa seseorang masih hidup, hal ini mustahil karena:
Karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan
yang terdapat di beberapa tempat tertentu, dan sering terjadi pada saat
paceklik), maka kebangkitan kedua-duanya akan sulit . karena materinya akan
sama, tubuh yang dimakan akan diserap sebagai makanan ke dalam tubuh si
pemakan. Dan tidak mungkin untuk mengembalikan dua jiwa dalam satu tubuh.
Karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama
hendaknya dikembalikan lagi sebagai liver, hati dan tangan sekaligus. Telah
dibuktikan oleh ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh
makanan dari sisa makanan organ yang lain. Bagian hati menyedikan makanan bagi
liver, begitu juga dengan bagian-bagian yang lai. Maka apabila kita
mengandaikan beberapa bagian khusus yang merupakan materi bagi semua organ,
kepada organ apa yang akan dikembalikan? Bahkan seseorang tidak perlu
kemustahilan sebagaimana yang disebutkan terdahulu. Terhadap alternatif ketiga,
yaitu pengembalian jiwa ke dalam tubuh manusia dari materi apapun juga atau
debu. Hal ini mustahi dengan dua alasan:
Materi-materi yang menerima generasi dan kehancuran
(fasad) dibatasi pada jumlah bulan, yang tidak munkin adanya penambahan, dan
mereka tak terbatas jumlahnya, sebaliknya jiwa-jiwa yang terpisah dari
tubuh-tubuh tidak terbatas jumlahnya, karena materi-materi takkan dapat
dijumlahkan oleh jiwa-jiwa.
Debu selama masih tetap merupakan debu tak dapat
menerima arahan dari jiwa. Supaya penerimaan tersebut terjadi, tidak boleh ada
unsur-unsur tertentu yang dicampur dengan yang lain. sehingga campuran itu
seperti komposisi sperma yang ada dalam rahim wanita, Tuhan telah telah dapat
membuat anggota-anggota badan yang bermacam-macam, berupa daging, urat saraf,
tulang-tulang, lemak,dan sebaginya, kemudian mata, lidah, gigi, yang semuanya berbeda
keadaan, sifat, dan fungsinya, meskipun saling berdekatan dan berhubungan satu
sama lain. [24]
D.
Kritik Ibn Taimiyah Terhadap Filsafat
al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn
Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk
menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang
mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai
pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan
yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar
dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia
kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk
menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut
Al-Falâsifah”.
Akan tetapi pada
kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana
dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan
untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran
filsafat, bahkan kemudian ia mengambil filsafat sebagai unsur dasar dalam
memperlajari suatu disiplin ilmu, karena suatu disiplin ilmu tidak akan lahir
kecuali dengan adanya filsafat, dan hanya dengan filsafat-lah suatu disiplin
ilmu akan dapat dipahami secara sempurna.[25]
Analisa Ibn Taimiyyah
diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar
yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang
diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar
belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali,
seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an
dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan
keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang
berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan
menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.
1.
“Alam dan Jism” Al-Ghazali dalam Pandangan Ibn
Taimiyyah
Ketika Al-Ghazali
menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang
Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang
kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau
kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil
yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja
dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan
pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an
yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan.
Sebagaimana dalam
masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan
kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1).
Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para
filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka
akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.
2).
Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan
bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan
keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah
membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan
ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat
datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak
mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu,
sebagaimana Firman-Nya:
إنما أمره
إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون (يس:82)http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4642808806537409599
- _ftn8
Artinya: “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut
Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima
hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak
beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan
pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia
kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap
filsafat.[26]
Kita semua hampir
sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat
dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh
campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini,
kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut
penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh
gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini
terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada
kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan
tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang
makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup
ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana
dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi
yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu
untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan
dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak
juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir
dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini
mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran
yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan
yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah
disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya
Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan
membagi ilmu dalam dua golongan:
1). Ilmu
yang didapat dari akal.
Seperti matematika,
kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa
ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari
India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk
dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan
menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka
menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih
mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan
akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan.
2). Ilmu yang dihasilkan dari
petunjuk para Nabi dan Utusan, Dimana ilmu ini tidak mengalami perubahan hingga
sekarang. [27]
E. Telaah Filsafat Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyyah mendapatkan
pengetahuan tentang Filsafat dengan mempelajari filsafat Aristoteles (322-384
SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana yang
telah penulis terangakan sebelumnya bahwa ibn Taimiyyah mempelajari filsafat
bukan untuk mengambil manfaatnya akan tertapi untuk mencari titik kelemahan
dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap
ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan
masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam,
dengan menjelaskan bahwa filsafat merupakan barang asing bagi ranah
pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan
ilmu ini.
Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa filsafat sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran
sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya
filsafat hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia
mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang
filsafat dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan
untuk menjaga ilmu Islam.
Ibn Taimiyyah menganggap bahwa
Filsafat adalah pengantar kepada kesesatan, dan pengantar kesesatan adalah
sesat, dan dia bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang
diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat,
Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama
Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah
mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dalam khazanah keilmuan Islam: “
Sesungguhnya ini ( filsafat) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan
model baru dari kebodohan.
Dan pada dasarnya hukum
syari’at tidak membutuhkan filsafat, apa yang disangka pakar filosof tentang
filsafat sebagai penentu pemahaman disiplin keilmuan adalah tidak benar. kepada
setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu
syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami
kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu
filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia
mendalami filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat darinya, maka
sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan. [28]
Ibn Taimiyyah juga menyerang
filsafat dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada
gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun
teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil
menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu
filsafat, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli
Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan
produknya tanpa pertolongan filsafat, sebelum filsafat datang pun para ulama Islam
telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam
yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Al-Ghazali
mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof,
yaitu:
1. Bahwa materi dapat merusak
sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan
hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh.
2. Menolak klaim bahwa pengetahuan
yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah.
3. Al-Ghazali mengatakan tidak ada
satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.
Dalam pandangan Ibn Taimiyyah,
Filsafat adalah sesuatu yang berasal dari luar tradisi Islam, yang tidak
diajarkan oleh Rasul, para sahabat rasul, tab’in, tabi’ut tabi’in dan ulama
salaf sebelumnya, sehingga dia menolak kebaradaan filsafat dalam tradisi
keilmuan Islam, yang dianggapnya sebagai gerbang menuju kesesatan. Dia juga
menganggap bahwa ilmu-ilmu dalam khazanah Islam telah lahir tanpa ada campur
tangan filsafat, sehingga tidak membutuhkan filsafat dalam memahami ilmu
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D.Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)
Hamdani Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Hardono Hadi, Epistemologi
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisus, 1994)
M. Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993)
M.Arkoun, Membedah
Pemikiran Islam, terjemahan Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 2000)
M.Solly Lubis, Filsafat
Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1994)
Nico Syukur Dister, Filsafat
kebebasan, (Yogyakarta: Kanisus, 1993)
Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin,
1998)
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986)
Syamsul Ma'rif, Revitalisasi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
[1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta : Bumi Aksara, 1993), h. 71
[2] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat
Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisus, 1994), h. 45
[3] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 39
[4] Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat
Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 43
[5] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 65
[6] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan
Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 32
[7] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan
Pendidikan…, h. 37
[8] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah
Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998),
h. 49
[9] M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam,
terjemahan Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 62
[10] Syamsul Ma'rif, Revitalisasi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 39-40
[11] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 37-38
[13] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat
Pengetahuan…, h. 49-50
[14] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 84-85
[15] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 86
[16] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 87
[17] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 88
[18] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 88
[19] M. Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam…, h. 74
[20] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan
Pendidikan…, h. 39
[21] M. Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam…, h. 175
[22] M. Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam…, h. 177
[25] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 118
[26] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 119
[27] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 118
[28] Nico Syukur Dister, Filsafat
Kebebasan…, h. 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar