Total Tayangan Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

Filsafat Pendidikan Mede kritik. Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dunia Islam, pemikiran yang menggunakan paradigma positivisme dan empirisme tidak mendapat tempat secara proporsional karena alur pemikiran selama ini masih berpusat pada pemikiran teologikal klasik. Pemikiran positivis-empiris sering dianggap berkonotasi negatif bagi kaum agamawan.[1] Kaum cendikiawan muslim yang berfikiran dengan pendekatan positivis selalu dicurigai sebagai agen orientalis atau bagian dari Barat yang berupaya melakukann sekulerisasi atau westrenisasi.
Bagaimana mungkin kaum cendikiawan muslim mampu membangkitkan gairah intelektual jika tidak mau menggunakan pendekatan yang positivis-empiris dan juga rasional. Walaupun kita berhak mengkritisi dua pendekatan tersebut. Bukankah dalam epistemologi Islam ada trilogi sumber penegtahuan, yaitu bayani, irfani dan burhani yang juga memasukkan pendekatan rasional dan empiris. [2]
Apapun yang selama ini selalu kita banggakan sebagai bentuk “romantisme sejarah”, gerak laju perubahan dan perkembangan pemikiran dalam Islam belum bisa mencapai proses renaisans dan aufklarung. Salah satu penyebabnya, umat Islam belum membudayakan tradisi “kritik epistemologis” (epistemological critique) dalam menalar keilmuan secara filosofis-rasional. Kaum teolog dan fuqaha Islam klasik yang masih mendominasi pemikiran Islam dengan memenangkan atas pemikiran yang filosofis menyebabkan hilangnya gairah intelektual kritis dan konstruktif. Hal ini menyebabkan umat Islam tidak mampu membedakan mana aspek yang dianggap normatif dan mana saja yang dianggap sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya masih bersifat relatif dan perlu pengujian histories, maka sangat penting Dalam makalah ini penulis mebahas Epistemologi Islam Metode Naqdi (kritik).


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Metode naqdi (kritik) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi ilmu kemudian menawarkan solusi-solusinya. Metode ini bisa dikatakan dengan washiyah atau nasehat, sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-'Ashr ayat 1-3
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya: 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

B.  Tradisi Kritik Epistemologi
Tradisi kritik epistemologi adalah model yang pada gilirannya telah membuka landscape pemikiran baru dalam perkembangan pemikiran yang bercorak empiris dan historis dalam hubungannya dengan realitas masyarakat. Upaya ini lebih mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keIslaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global.[3]
Kritik epistemologi, adalah berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Sebenarnya, langkah dan strategi Islamisasi ilmu lebih mengarah pada dehegemoni pengetahuan Barat. Dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, hal demikian sangat memungkinkan karena sesungguhnya ilmu-ilmu Barat yang selama ini sudah mapan adalah upaya Barat sendiri untuk “menguasai” pengetahuan yang lain. Dengan klaim universalitas dan obyektivitas Barat ingin “meniadakan” ruang-ruang bagi kemungkinan kebenaran ilmu dari yang di luar Barat. Ada campuran kepentingan antara penmgetahuan, ideologi, dan kekuasaan yang merupakan bagian kolonialisme Barat.[4]
Pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan yang benar. Nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilandasi dengan upaya pemahaman kritis. Krititisme adalah sebuah pendekatan kritik epistemologis yang merupakan pemikiran dari Immanuel Kant (1724-1804 M).[5] Kant menganggap aufklarung adalah sebagai “jalan keluar” untuk membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya. Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan. Inilah kritisme yang dimaksud Kant.
Pemahaman Islam layak untuk dikritisi agar maknanya bisa didekati secara rasional menurut kebutuhan masa kini.[6] Menurut tahapannya jenis pengetahuan itu ada tiga macam, yaitu : ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Keterkaitan itu akan saling memberikan makna. Ontologi akan menentukan epistemologi; epistemologi juga menentukan aksiologi. Epistemologi adalah proses utamanya.
Epistemologi kemudian terbagi menjadi tiga, yaitu : empiris, rasional, dan intuitif. Pendekatan empiris menekankan pada pencapaian ilmu melalui data dan fakta yang ada dalam wilayah empirik. Sedangkan pendekatan rasional mengambil ilmu melalui akal budi dan rasio manusia bahwa sesuatu itu bisa dinalar dan dipahami. Sedang intuitif lebih melihat pada kemampuan “rasa” diri manusia atau melalui wahyu dan intuisi di luar dirinya. Dalam Islam, epistemologi seperti ini dirangkum oleh para cendekiawan muslim, yang kemudian dikembangkan oleh M. Abed Al-Jabiry, menjadi: Bayani, ‘Irfani, dan Burhani. Bayani (deskriptif) itu mirip dengan empirik, ‘Irfani itu mirip dengan intuitif, dan Burhani itu bisa disamakan dengan rasional.[7]

C.      Kritik Al-Ghazali Terhadap Filsafat
Kritik al-ghazali terhadap filsafat tertumpu atas penyimpangan para filosof yang mempunyai pemikiran yang dapat menyesatkan.Kira-kira satu generasi setelah Ibnu Sina, tampil al-Ghazali, seorang pemikir yang dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat, khususnya Neo-platonisme al-Farabi dan Ibnu Sina. Beliau diakui sebagai salah seorang pemikir yang paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual manusia, al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern Muslim maupun bukan Muslim, adalah orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ajaran Islam.[8]
Al-Ghazali juga dikenal sebagai seorang yang mengkritik filsafat dalam karyanya Tahafuz al-Falasifah. Dengan banyak alasan, beberapa tokoh pemikir Islam menyatakan bahwa salah satu faktor kemandegan produktifitas pemikiran ummat Islam pada masa klasik adalah pengaruh dari kritik tersebut. Adalah menarik untuk mengkaji kritikan al-Ghazali terhadap filsafat. Makalah ini akan menguraikan tentang beberapa masalah yang menjadi fokus kritikan al-Ghazali terhadap filsafat.[9]

1.    Kritik Terhadap Persoalan Metafisik
Al-Ghazali menolak kompetensi “filosofik” untuk memahami kebenaran-kebenaran metafisis. Bagian yang signfikan dari pengetahuan tentang hal-hal seperti kenabian dan psikologis spritual baginya hanyalah kebenaran pinjaman yang diambil dari nabi dan orang suci.[10] Al-Ghazali berusaha membuktikan keterbatasan metode “filosofik”. Dia berpendapat bahwa ilmu-ilmu metafisis para filosof di tercemari oleh kesesatan-kesesatan dan ketidak-konsistenan.[11] Kekeliruan dan ketidak-konsistenan ini, kata al-Ghazali memperlihatkan kemustahilan mencapai keyakinan akan kebenaran-kebenaran metafisis melalui “filosofik”. Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat bertentangan dengan Islam, dan karena itu para filosof harus dinyatakan sebagai orang ateis, ialah; "Qadimnya Alam".
Para Filosof berbeda pendapat tentang eternitas (kekekalan) alam. Tetapi kebanyakan filosof, yang terdahulu maupun selanjutnya, menyetujui pendapat bahwa alam ini kekal (qadim); dan (sepakat) mengatakan bahwa alam ini selalu ada (mawjud) bersama Allah SWT serta terjadi bersamaan dengan-Nya, sebagai akibat ada-Nya,secara temporal- sebagaimana kebersamaan temporal sebab akibat, dan sebagaimana (kebersamaan) cahaya dengan Matahari. Dan keterdahuluan Allah atas alam ini, bukan secara temporal adalah keterdahuluan zat atau esensi-Nya- sebagaimana keterdahuluan sebab atas akibat.
Menurut Plato “alam ini temporal”. Tetapi beberapa (filosof) memberi interpretasi yang berbeda denga Plato, dengan menolak bahwa alam ini temporal (hadis).Dalam karya Galen, (berjudul) “Bagaimana keyakinan Galen” diterangkan bahwa Plato pada akhir hayatnya cenderung bersikap netral dalam masalah tersebut.[12] Dia beralasan, barangkali karena karakter alam ini memang mustahil dikaji- bukan karena sifat- kurang pada alam itu sendiri, melainkan lebih disebabkan rumitnya masalah, yang memang merupakan karakter khasnya, yang memusingkan pemikiran.


a.       Alasan pertama
Sesuatu yang temporal (hadis) mustahil terjadi dari suatu yang eternal, kekal (qadim). Karena, seandainya kita, misalnya mengandaikan yang eternal (al-qadim) itu sudah ada pada suatu masa, mengapa alam ini belum muncul (ada), maka alasan mengapa alam belum muncul itu harus disebabkan belum adanya faktor penentu (murajjih) bagi eksistensinya; dan karena eksistensi alam ini tidak lain hanya sekedar kemungkinan semata (artinya bisa muncul dan bisa tidak muncul). Maka, ketika alam ini terwujud, tentu kita harus memilih dua alternatif; yaitu apakah faktor penentu tersebut telah, atau belum muncul. Seandainya faktor penentu belum muncul, tentu alam ini masih dalam kemungkinan semata sebagaimana ia ada sebelumnya. Tetapi seandainya faktor penentu itu telah muncul, maka siapa yang mula-mula yang memunculkan faktor penentu itu sendiri; dan mengapa ia baru muncul sekarang, bukan sebelumnya? Nah munculnya faktor penentu itu sendiri sekarang menjadi masalah.[13]
Demi terincinya argumen di atas mari kita pertanyakan: mengapa Tuhan tidak menciptakan alam ini sebelum waktu penciptaannya? Tidak mungkin dijawab, karena Tuhan tidak mampu menciptakan alam, atau karena alam ini mustahil untuk diciptakan, sungguh jawaban ini hanya memberi arti bahwa Tuhan telah berubah dari lemah menjadi kuasa, dari yang tidak mampu menjadi mampu. Kedua jawaban itu mustahil bahkan sangat tidak mungkin untuk mengatakan bahwa “Tuhan bermaksud menciptakan alam sebelum waktunya, dan maksud tersebut baru muncul kemudian. Tidak mungkin juga mengatakan bahwa “tidak terciptanya alam ini sebelum penciptaannya secara aktual dari satu sisi, karena tidak adanya sarana, dan di sisi lain karena adanya sarana itu sendiri. Tetapi paling mudah untuk di bayangkan adalah perkataan bahwa Tuhan tidak menghendaki adanya alam ini sebelum ia ada. Masalahnya, dengan perkataan ini seseorang harus juga mengatakan bahwa “ adanya alam ini merupakan produk dari setelah Tuhan menghendaki keberadaannya, dimana sebelumnya Tuhan tidak menghendaki adanya alam ini.
Apabila alam (wujud temporal) dianggap ada karena diciptakan oleh Allah, pertanyaannya: mengapa baru sekarang dan mengapa bukan sebelumnya, apa karena tidak ada sarana, atau tidak ada kekuasaan. Jelaslah bahwa terjadinya (prosesi) wujud yang temporal (hadis) dari wujud yang kekal (qadim) adalah mustahil, kecuali terjadi perubahan pada wujud yang kekal itu, dalam ketentuan, sarana, waktu, maksudnya, tetapi itu mustahil. Dan mustahil mengandaikan wujud yang kekal berubah-ubah. Karena perubahan yang temporal sama dengan perubahan yang lainnya. Sekarang ternyata alam selalu ada, dan kenyataan temporal telah pula terbukti, yang berarti bahwa kekalnya (eternitas) alam ini tidak mustahil.

1). Jawaban al-Ghazali
Bagaimana cara anda menolak(orang) yang berkata bahwa alam ini muncul karena kehendak eternal(iradah qadimah) yaitu kehendak yang menetapkan eksistensi, wujud (alam) pada waktu diwujudkannya? Kehendak yang menetapkan ketidakwujudan alam ini berakhir sebagai yang terakhir, kehendak yang menetapkan eksistensinya alam ini berawal dimana secara aktual tercipta. Maka, berdasarkan pandangan itu, wujud alam bukan merupakan obyek dari kehendak yang kekal, sebelum alam benar-benar tercipta. Dan juga karena alam ini bukan perwujudan, tetapi hanya obyek dari kehendak kesesatan semata, ketika ia tercipta. Lalu apa yang mencegah kita dari keyakinan demikian, atau apa pula kontradiksi yang dikandungnya?
Sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak telah ada, dan kehendak pun telah ada, bahkan hubungan kehendak dengan obyeknya pun telah ada. Kehendak Tuhan tidak merupakan suatu yang temporal. Karena tiap sesuatu selalu berubah, bagaimanakah caranya obyek itu muncul sebagai sesuatu yang temporal. Apakah yang menghalagi kehendak itu untuk mencipta sebelum ia mencipta secara aktual?[14]

b.      Alasan kedua
Tuhan mendahului alam (mendahului menurut zat (pribadi), bukan waktu, seperti satu mendahului dua, berdasarkan kebiasaan, meskipun bisa saja kedua-duanya ada bersama-sama dalam wujud zamani (menurut waktu); atau Tuhan Mendahului , seperti mendahului sebab dari akibat (kausalitas), seperti mendahului gerakan seseorang dari gerakan bayangannya. Bayangan bergerak karena bergerak seseorang, meskipun kenyataannya kedua gerakan itu simultan (sekaligus waktunya), artinya sama-sama mulai atau sama-sama berhenti. Apabila yang dimaksud dengan terlebih dahulu Tuhan dari alam, maka kedua-duanya harus temporal atau kedua-duanya harus eternal. Mustahil salah satu eternal sedangkan yang lain temporal.
Apa yang dimaksud dengan perkataan ”Tuhan mendahului alam dan waktu” menurut waktu, maka sebelum adanya alam dan waktu, ada sebuah waktu ketika alam belum ada. Pada waktu (pra wujud) itu, alam harus tidak ada (‘adam), karena ketiadaan mendahului kepribadian (wujud, eksistensi). Dan oleh karena itu, Tuhan harus telah mendahului alam pada suatu masa yang terbatas. Tapi tak pernah bermula.jadi, dalam pandangan ini, harus ada sebuah waktu yang tak terhingga sebelum waktu itu ada. Tetapi ini jelas bertentangan.
Dengan perkataan lain. Sebelum terjadinya alam wujud sudah ada waktu yang tidak ada ujungnya, dan ini adalah suatu yang berlawanan, sebab kalau ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada ujungnya yang lain, begitu juga sebaliknya. Maka tidak mungkin mengatakan temporalnya alam.[15]

1). Jawaban al-Ghazali
Waktu (az-zaman) mempunyai sebuah permulaan, dan ia diciptakan. Dan sebelum ada waktu, sama sekali tidak ada waktu. Ketika ada Perkataan “Tuhan mendahului alam dan waktu” dimaksukan bahwa Tuhan ada sendirinya, sedangkan alam tidak ada (artinya terbatas pada adanya zat pencipta dan tidak zat alam), kemudian Tuhan ada dan alam ada bersama-sama dengan-Nya (artinya terbatas pada adanya dua zat itu). Dengan terlebih dahulu Tuhan dimaksudkan hanyalan zat-Nya (sebelum eksistensi alam).[16]


c.       Alasan ketiga
Setiap yang temporal/baharu pasti didahului oleh materi (bendanya), yang berada di dalamnya. Sesuatu yang temporal selalu tergantung pada materi, meskipun materi itu bukan yang temporal. Sesungguhnya Yang temporal itu hanyalah bentuk-bentuk (surah/form), aksiden-aksiden (a‘rasifat-sifat), dan kualitas-kualitas yang terjadi pada materi. Alasannya; Setiap yang temporal, sebelum menjadi temporal, harus berupa kemungkinan, atau ketidak-mungkinan,atau keniscayaan (mungkin wujud, tidak mungkin wujud, wajib wujudnya).[17] Tetapi mustahil adanya itu merupakan ketidak-mungkinan, karena ketidak-mungkinan (fi zatihi) tidak benar-benar ada. Dan mustahil adanya merupakan keniscayaan (li zatihi), karena keniscayaan tidak pernah tidak ada. Jadi, bahwa sesuatu yang temporal harus merupakan kemungkinan, karena hanya kemungkinan yang ada sebelum ia ada. Tapi kemungkinan bersifat nisbi yang tidak muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, tidak mustahil adanya substratum (mahall, tempat) yang berhubungan dengan (kemungkinan), yaitu materi, yang merupakan tempat penghubung. Yang kami maksudkan ketika kami katakan bahwa materi menerima panas dan dingin, hitam putih, gerak dan diam, yaitu dimungkinkan temporalnya terjadi perubahan-perubahan, jadi kemungkinan menjadi suatu sifat bagi materi dan materi bersifat temporal
Mustahil untuk mengatakan bahwa kemungkinan sebagai (kawnuhu) yang dikuasai, dan adanya yang qadim sebagai yang berkuasa atasnya. Sesuatu yang dikuasai hanya apabila ia berada dalam kemungkinan. Seseorang dikuasai, hal itu karena itu dia mungkin, atau apabila seseorang tidak dikuasai, karena dia tidak mungkin. Apabila mengatakan sesuatu yang mungkin, mengacu pada pernyataan ia dikuasai, maka seakan-akan mengatakan: seseorang dikuasai, karena ia dikuasai, atau seseorang tidak dikuasai, karena ia tidak dikuasai. Keputusan mengenai kemungkina adalah keputusan intelektual yang jelas, dengan mengetahui keputusan yang lain yaitu wujud merupakan obyek kekuasaan (dikuasai). Sekali lagi, tidak mungkin menerangkan masalah mungkin dengan mengacu kepada pengetahuan dari yang qadim dengan adanya sebagai mungkin( bi kawnihi mumkinan). Kerena pengetahuan membutuhkan obyek. Jadi, pengetahuan tentang kemungkinan dan kemungkinan itu sendiri merupakan obyek pengetahhuan, tentu berbeda. Lalu, sekalipun diidentifikasikan dengan pengetahuan, keungkinan tetap merupaka suatu yang relatif yang harus dihubungkan denga suatu esensi. Dan hanya meteri itu yang merupakan esensi itu., karena materi mendahului yang hadis, meskipun awalnya materi itu tidak hadis(temporal)

1). Jawaban al-Ghazali
Kemungkinan yang mereka sebutkan adalah berasal dari keputusan intelaktual. Maka tiap sesuatu yang wujudnya terandaikan oleh akal, pengandain itu mesti diterima akal, disebut mungkin, atau apabila pengandaian tidak dapat diterima akal disebut tidak mungkin. Atau apabila akal tidak dapat mengandaikan ketiadaan (‘adam) sesuatu, disebut wajib. Tetapi keputusan intelektual ini tidak memerlukan satu mawjud, sehingga hanya dijadikan sifat. Ada tiga alasan dari pernyataan tersebut; Pertama, Apabila kemungkinan memerlukan suatu muwjud kemana kemungkinan dihubungkan, dan dapat dikatakan bahwa mawjud itu adalah kemungkinanya, begitu juga ketidakmungkinan memerlukan suatu mawjud. Maka, mawjud itu adalah ketidak mungkinannya. Tetapi kenyataanya, yang tidak mungkin dengan sendirinya tidak ada. Tidak ada materi yang atasnya ketidakmungkinan terjadi dan kepadanya ketidakmungkinan dihubungkan sebagai suatu sifat. Kedua, mengenai hitam dan putih, akal memutuskan keduanya sebagai mungkin, ketika hitam dan putih belum ada. Apabila kemungkinan dihubungkan dengan suatu tubuh (benda) yang atasnya hitam dan putih terjadi( sehingga seseorang berkata; hitam putih itu dimaksudkan bahwa tubuh ini mungkin untuk menjadi hitam dan putih), maka putih maupun hitam dengan sendirinya, menjadi mungkin. Prediket kemungkinan tidak berlaku bagi hitam dan putih, karena mungkin harus berbentuk tubuh yang dihubungkan dengan hitam dan putih. Jadi bagaimanakah hitam pada kehitaman itu sendiri, apakah mungkin, ataukah wajib, atau tidak mungkin. Harus dikatakan sebagai jawaban bahwa hitam adalah mungkin. Dari sini jelas bahwa suatu keputusan intelektual tentang kemungkinan tidak memerlukan asumsi suatu esensi yang mawjud kepadanya kemungkinan dihubungkan.[18]

2.      Ilmu Tuhan terhadap hal-hal kecil
Para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun kecuali diri-Nya sendiri. Pendapat Ibnu Sina,bahwa Tuhan mengetahui dengan pengetahuan yang universal.[19] Untuk memperjelas pendapat para filosof itu al-Ghazali mejelaskan dengan suatu ilustrasi tentang gerhana Matahari. Ketika Matahari sedang terjadi gerhana kemudian terang kembali. Matahari telah mengalami tiga keadaan:
a). Keadaan ketika gerhana belum terjadi, tetapi dinantikan terjadinya, artinya gerhana akan terjadi.
b). Keadaan bahwa gerhana benar-benar terjadi, artinya gerhana sedang berlangsung
c). Ketika gerhana tidak ada, tetapi sebelumnya sudah terjadi 
Mengenai ketiga keadaan tersebut terdapat pula tiga pengetahuan yang berbeda. (1). Kita mengetahui bahwa gerhana tidak ada, dan akan terjadi. (2). Kita mengetahui bahwa gerhana sedang terjadi, dan (3). Kita mengetahui bahwa gerhana sudah terjadi dan sekarang tidak ada lagi.
Para filosof mengatakan, Tuhan tidak mempunyai keadaan yang berbeda-beda sehubungan, dengan tiga keadaan di atas, karena itu berarti perubahan. Orang yang keadaannya tidak berbeda-beda tidak dapat mengetahui ketiga aspek itu. Pengetahuan mengikuti pengetahuan. Apabila objek pengetahuan berubah, maka pengetahuan pun berubah. Dan apabila pengetahuan berubah, maka orang yang tahu juga berubah tetapi Tuhan mustahil berubah.
Para filosof juga mengemukakan bahwa Tuhan mengetahui gerhana, dan semua sifat-sifatnya serta aksidin-aksiden dengan suatu pengetahuan yang menjadi sifat-Nya sejak dari azal tidak pernah berubah, misal dia mengatakan; bahwa Matahari dan Bulan ada (karena keduanya beremanasi dari-Nya melalui intermeditasi malaikat-malaikat yang disebut para filosof akal-akal murni); bahwa Matahari dan Bulan melakukan revolusi-revolusi.; bahwa sebagai akibat dari Matahari yang sedang gerhana, -yaitu tubuh Bulan berada diantara matahari dan pengamat (orang yang menyaksikan), sehingga menghalangi Matahari dari mata pengamat.[20]
Para filosof berpendapat tentang sesuatu yang dapat dibagi-bagi ke dalam materi dan ruang, seperti manusia pribadi dan binatang-binatang. Bahwa Tuhan tidak mengetahui aksiden-aksiden Zaid atau ‘Amar atau Khalid (sebagai pribadi-pribadi); tetapi mengetahui manusia secara umum, dan aksiden-aksiden serta sifat-sifatnya- dengan suatu pengetahuan universal. Maka, ia pun mengetahuhi bahwa Manusia memiliki suatu tubuh yang terdiri dari organ yang dipergunakan untuk bejalan, atau untuk memahami, dan sebagainya. Dan ada yang tunggal sementara yang lain ada berpasangan. Dan bahwa kekuatan-kekuatan harus didistribusikan di antara anggota-anggota fisiknya, dan seterusnya hingga setiap sifat yang di luar dan di dalam manusia. Setiap hal yang termasuk perlengkapan, sifatnya dan kelazimannya. Juga tak satupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, dan Dia mengetahui segala sesuatu secara universal. Ia hanya dapat membedakan antara Zaid dengan diri ‘Amr karena indra saja, bukan karena akal.
Maka, inilah prinsip dasar yang dipercayai- dan dengan prinsip itu para filosof merancang kehancuran total syariat-syariat agama. Itu mengimplikasikan bahwa, misalnya, apakah Zaid mentaati Tuhan atau mendurhakai-Nya, Tuhan tidak mengetahui keadaannya yang baru, karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai pribadi- yakni sebagai ciri dari tindakan sebelumnya. Maka apabila Tuhan tidak mengetahui diri manusia, dan tidak mengetahui keadaan dan perbuatannya. Dia pun tidak mengetahui kekufuran dan keIslaman seseoang, karena Dia hanya mengetahui manusia secara umum, secara mutlak dan universal. Tidak melalui hubungan khusus dengan pribadi-pribadi itu. Mereka juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw., memproklamirkan kenabiannya, sedangkan Tuhan tidak mengetahui bahwa Muhammad berbuat seperti itu. [21]

1). Jawaban Al-Ghazali
Bagaimana anda menolak orang mengatakan “Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana pada suatu waktu. Sebelum gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang “akan terjajdi, pda waktu gerhana, pengetahuan tentang sedang terjadi, dan setelah terang, pengetahuan tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan-perbedaan ini merupakan relasi-relasi yang tidak menggantikan esensi pengetahuan, dan tidak menuntut suatu perubahan pada zat orang yang mengetahui. Karena perbedaan tersebut ditata sebagai relasi-relasi murni. Orang yang berubah secara teratur, maka dialah yang berubah, bukan anda. Demikian pula tetang pengatahuan Tuhan.
Kami menerima pendapat bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dengan sesuatu pengetahuan yang satu dari azal ke azal, bahwa keadaan ini tidak berubah. para filosof ini meniadakan perubahan, dan itu disepakati oleh setiap orang. Tetapi statemen mereka bahwa perubahan harus disimpulkan dari afirmasi (pengukuhan) pengetahuan tentang ‘sedang terjadi, kini dan tentang berakhirnya gerhana, maka pendapat itu tidak diperdebatkan. Dari manakah mereka mengetahui ide ini? Andaikan Allah menciptakan bagi kita pengetahuan tentang datangnya Zaid di sini besok, ketika Matahari terbit, lalu pengetahuan ini dilamakan (sehingga dia pun tidak menciptakan pengetahuan yang lain bagi kita dan kita pun tidak lupa terhadap pengetahuan ini), pastilah kita, ketika terbit matahari, mengatahui--dengan pengetahuan yang lalu,-tentang datangnya Zaid kini dan setelah itu tentang (faktanya bahwa) dia baru saja datang. Dan pengetahuan yang satu ini terus ada, akan cukup untuk menguasai “ketiga persoalan” itu.[22]

3.      Kebangkitan Jasmani
Para filosof menolak kembalinya jiwa-jiwa ke tubuh-tubuh. Setelah kematian tubuh, jiwa mengekal selama-lamanya baik dalam keadaan senang yang tak mungkin terlukiskan karena besarnya, atau dalam keadaan sengsara yang tak terlukiskan, karena begitu besarnya. Kadang-kadang, kesengsaraan itu menjadi abadi; dan kadang menghilang bersama perjalanan masa. Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan kemustahilan kembangkitan kembali tubuh-tubuh. Pengandaian kembalinya jiwa ke dalam tubuh mengandung tiga alternatif:
Pertama, dapat dikatakan (sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa mutakallimun) bahwa manusia adalah tubuh, dan kehidupan hanyalah satu aksiden; bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak ada; dan bahwa kematian berarti ketidak-berlangsungan kehidupan, atau terhalangnya pencipta dari penciptaan kehidupan. Oleh karena itu, kebangkitan kembali berarti (1) perbaikan kembali oleh Allah, terhadap tubuh yang telah lenyap (2) pengembalian eksistensi tubuh; dan (3) perbaikan kembali kehidupan yang telah lenyap. Atau, dapatlah dikatakan bahwa materi tubuh tepat sebagai tanah, dan bahwa kehidupan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun kedalam manusia, dimana kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya.
Kedua, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah kematian tubuh, tetapi yang akan dikembalikan, pada saat kebangkitan, kepada tubuh yang asli ketika semua bagian tubuh telah terkumpul 
Ketiga, bahwa jiwa akan kembali kepada suatu tubuh, baik ia tersusun dari bagian-bagian yang sama seperti tubuh yang asli, atau dari beberapa bagian yang lain. Konsekuensinya, orang yang kembali manusia itu. Materi tidak relevan disini , karena manusia bukanlah manusia karena materi, tetapi jiwa.[23]
Alternatif pertama, jelas salah, karena ketika kehidupan serta tubuh telah tiada, penciptaan kembali akan merupakan suatu penciptaan yang sama dengan atau tidak identik dengan apa yang telah ada. Tetapi kata “kembali” seperti yang kita pahami, mengimplikasikan pengandaian kebakaan (lawan fana) satu hal dan membarukan hal lain.

1). Jawaban al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, akan benar untuk mengatakan bahwa debu kembali hidup, setelah beberapa lama kehidupan telah terputus. Dan hal ini bukan merupakan pengembalian bagi manusia, atau kemunculan kembali dengan dirinya sendiri. Karena seorang manusia menjadi manusia bukan karana materinya, dan debu yang tersusun darinya. Semua bagian fisik ini, atau sebagian besar berubah karena makanan. Dan dia tetap seperti semula karena ruh dan jiwanya. Maka dalam kehidupan yang telah tiada, dan tidak masuk akal apabila sesuatu yang telah tiada kembali. Seringkali sesuatu seperti itu dapat diwujudkan. Apabila Allah menciptakan kehidupan manusawi di dalam debu yang terbentuk dalam tubuh-tubuh pepohonan, atau seekor kuda, atau tumbuh-tumbuhan, maka itu suatu permulaan penciptaan manusia. Kembalinya yang ma’dum tidak masuk akal. Entitas (zat) yang kembali adalah suatu hal yang mawjud, yakni kembali ke keadaan sebelumnya, kembali seperti semula.
Terhadap alternatif yang kedua, yakni pengandaian kebakaan jiwa, dan pengembalian ke tubuh yang asli. Apabila hal itu diperhatikan, yang cocok disebut “kambali” berarti pembukaan lagi oleh jiwa dan fungsinya untuk menuju tubuh, setelah terpisah dari kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi debu, atau dimakan ulat, burung-burung, dan berubah menjadi dara atau asap, atau udara dan bercampur dengan udara dan asap di dalam alam, sedemikian rupa sehingga tak terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain. Apabila hal tersebut diandaikan sebagai suatu ketakwaan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh tidak:
Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang ada pada saat kematian. Maka tidak boleh tidak hal itu akan mengarah kepada kebangkitan kembali dengan anggota badannya yang telah lepas, atau telinga dan hidungnya putus, atau angngota tubuhnya cacat, dalam bentuk yang sama percis seperti ketika ia hidup di dunia. Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang disurga, karena mereka diciptakan alam keadaan cacat di awal firah (penciptaan). Hal ini merupakan suatu lelucon yang sangat lucu. Oleh karena itu, ini merupakan suatu kesulitan yang muncul, apabila pengandaian pengembalian dibatasi pada penyusunan kembali bagian-bagian yang ada pada saat kematian. Ataukah bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan yang belum pernah ada dimasa seseorang masih hidup, hal ini mustahil karena:
Karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan yang terdapat di beberapa tempat tertentu, dan sering terjadi pada saat paceklik), maka kebangkitan kedua-duanya akan sulit . karena materinya akan sama, tubuh yang dimakan akan diserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak mungkin untuk mengembalikan dua jiwa dalam satu tubuh.
Karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya dikembalikan lagi sebagai liver, hati dan tangan sekaligus. Telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari sisa makanan organ yang lain. Bagian hati menyedikan makanan bagi liver, begitu juga dengan bagian-bagian yang lai. Maka apabila kita mengandaikan beberapa bagian khusus yang merupakan materi bagi semua organ, kepada organ apa yang akan dikembalikan? Bahkan seseorang tidak perlu kemustahilan sebagaimana yang disebutkan terdahulu. Terhadap alternatif ketiga, yaitu pengembalian jiwa ke dalam tubuh manusia dari materi apapun juga atau debu. Hal ini mustahi dengan dua alasan:
Materi-materi yang menerima generasi dan kehancuran (fasad) dibatasi pada jumlah bulan, yang tidak munkin adanya penambahan, dan mereka tak terbatas jumlahnya, sebaliknya jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh-tubuh tidak terbatas jumlahnya, karena materi-materi takkan dapat dijumlahkan oleh jiwa-jiwa.
Debu selama masih tetap merupakan debu tak dapat menerima arahan dari jiwa. Supaya penerimaan tersebut terjadi, tidak boleh ada unsur-unsur tertentu yang dicampur dengan yang lain. sehingga campuran itu seperti komposisi sperma yang ada dalam rahim wanita, Tuhan telah telah dapat membuat anggota-anggota badan yang bermacam-macam, berupa daging, urat saraf, tulang-tulang, lemak,dan sebaginya, kemudian mata, lidah, gigi, yang semuanya berbeda keadaan, sifat, dan fungsinya, meskipun saling berdekatan dan berhubungan satu sama lain. [24]

D.  Kritik Ibn Taimiyah Terhadap Filsafat al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”.
Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil filsafat sebagai unsur dasar dalam memperlajari suatu disiplin ilmu, karena suatu disiplin ilmu tidak akan lahir kecuali dengan adanya filsafat, dan hanya dengan filsafat-lah suatu disiplin ilmu akan dapat dipahami secara sempurna.[25]
Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.

1.      “Alam dan Jism” Al-Ghazali dalam Pandangan Ibn Taimiyyah
Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan.
Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1). Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.
2). Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana Firman-Nya:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون (يس:82)http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4642808806537409599 - _ftn8
Artinya: “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat.[26]
Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:
1). Ilmu yang didapat dari akal.
Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan.
2). Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan, Dimana ilmu ini tidak mengalami perubahan hingga sekarang. [27]

E. Telaah Filsafat Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang Filsafat dengan mempelajari filsafat Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana yang telah penulis terangakan sebelumnya bahwa ibn Taimiyyah mempelajari filsafat bukan untuk mengambil manfaatnya akan tertapi untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa filsafat merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa filsafat sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya filsafat hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang filsafat dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam.
Ibn Taimiyyah menganggap bahwa Filsafat adalah pengantar kepada kesesatan, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan dia bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dalam khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( filsafat) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan.
Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan filsafat, apa yang disangka pakar filosof tentang filsafat sebagai penentu pemahaman disiplin keilmuan adalah tidak benar. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat darinya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan. [28]
Ibn Taimiyyah juga menyerang filsafat dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu filsafat, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan filsafat, sebelum filsafat datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.




BAB III
KESIMPULAN

Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof, yaitu:
1. Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh.
2. Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah.
3. Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.
Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, Filsafat adalah sesuatu yang berasal dari luar tradisi Islam, yang tidak diajarkan oleh Rasul, para sahabat rasul, tab’in, tabi’ut tabi’in dan ulama salaf sebelumnya, sehingga dia menolak kebaradaan filsafat dalam tradisi keilmuan Islam, yang dianggapnya sebagai gerbang menuju kesesatan. Dia juga menganggap bahwa ilmu-ilmu dalam khazanah Islam telah lahir tanpa ada campur tangan filsafat, sehingga tidak membutuhkan filsafat dalam memahami ilmu tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)

Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisus, 1994)

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993)

M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemahan Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 2000)

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1994)

Nico Syukur Dister, Filsafat kebebasan, (Yogyakarta: Kanisus, 1993)

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998)

Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986)

Syamsul Ma'rif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)



[1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), h. 71

[2] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisus, 1994), h. 45

[3] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 39

[4] Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 43

[5] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 65

[6] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 32

[7] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan…, h. 37
[8] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998), h.  49

[9] M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemahan Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 62
[10] Syamsul Ma'rif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 39-40

[11] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 37-38
[12] Nico Syukur Dister, Filsafat kebebasan, (Yogyakarta: Kanisus, 1993), h. 83


[13] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan…,  h. 49-50

[14] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 84-85

[15] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 86

[16] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 87

[17] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 88
[18] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 88

[19] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 74

[20] M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan…, h. 39

[21] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 175
[22] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 177

[23]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 179
[24]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…,  h. 180
[25] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 118

[26] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 119

[27] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 118

[28] Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan…, h. 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar