Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 Desember 2015

Psikologi Pendidikan Teori Individuasi dan perkembangan I Ridwan, MA

Teori Perkembangan Individu

1. Sigmund Freud

Sigmund Freud lahir 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia, yang sekarang menjadi bagian dari Republik Cekoslowakia. Ia adalah seorang penulis yang sangat berbakat. Ia berbicara dengan fasih berbagai bahasa asing dan menguasai bahasa Jerman. Seperti halnya Karl Marx dan Einstein, Freud adalah arsitek pemikiran dunia modern. Dunia modern kita kini terbentuk lewat gagasan-gagasan mereka, baik melalui reaksi menolak atau menerimanya. Ketiganya punya keyakinan yang besar tentang fundamental dari realitas, yang dalam konteks ini merupakan suatu sikap dasar yang mampu melihat cara kerja alam, di mana manusia merupakan bagian di dalamnya, untuk membongkar rahasia-rahasia yang perlu ditemukan dan mempelajari pola serta desainnya.

Kuliah-kuliah awal freud tentang psikoanalisis merupakan konsep-konsep dasar pemikirannya. Pokok pemikiran Freud dalam penelitian itu adalah human qua human (manusia sebagai manusia), atau seperti yang dikatakan filsuf Baruch Spinoza, lewat karya-karya awalnya dalam psikoanalisis, Freud menyusun sebuah model sifat manusia untuk memahami manusia.
Memahami Freud berarti pula memahami konteks model ini dibentuk, yakni ketika semangat pemikiran materialistik abad ke-19 di mana manusia tersusun dalam sebuah mekanisme yang didorong oleh sejumlah energi seksual tetap yang disebut sebagai libido.
Libido akan menyebabkan ketegangan yang menyakitkan yang "energinya" hanya bisa dikurangi atau ditekan lewat pelepasan fisik. Upaya pelepasan inilah yang oleh Freud dijelaskan lewat konsep prinsip kesenangan, yaitu sebuah proses dinamis antara kesakitan, pelepasan dan kesenangan. Konsep ini kemudian dikontraskan dengan prinsip realitas, yang menunjukkan apa yang dicari manusia dan segala yang akan mereka hindari, dalam kehidupan nyata di dunia agar mereka bisa bertahan hidup. Prinsip realitas akan selalu bertabrakan dengan prinsip kesenangan dan keseimbangan yang terjadi akibat benturan keduanya merupakan prasyarat bagi kesehatan mental manusia. Dalam ceramah Freud tentang psikoanalisis dijelaskannya bahwa jika salah satu dari kedua prinsip tersebut mendominasi, maka akan lahir manifestasi-manifestasi neurotik-psikotis.

Freud melihat perkembangan manusia sebagai sebuah evolusi dalam bentuk perkembangan individu. Menurut Freud, dorongan utama dalam diri manusia, yaitu energi seksual, merupakan sebuah proses evolusi sejak kelahiran hingga masa puber dan dewasa dalam kehidupan masing-masing individu. Libido manusia juga mengalami perkembangan dalam berbagai tahap mulai dari tahapan mengisap dan menggigit pada masa bayi, masa pengeluaran sekresi dan saluran kencing, dan berakhir pada organ-organ genital.

Libido punya peran sama, namun berbeda pada setiap individu. Libido punya potensi yang sama, namun punya manifestasi yang berbeda-beda dan mengalami perubahan sesuai proses evolusi pada masing-masing individu. Bagi Freud, perubahan dari energi seksual menjadi energi nonseksual disebutnya sebagai sublimasi. Semakin cepat dan besar perkembangan peradaban akan semakin tinggi harkat manusia namun semakin besar pula penekanan yang dilakukan manusia terhadap dorongan-dorongan libidonya.

Lewat proses sublimasi, manusia berkembang semakin berbudaya dan bijaksana, namun sesungguhnya dalam arti tertentu, dia juga menjadi kurang bahagia bila dibandingkan dengan si manusia primitif yang bisa melampiaskan semua instingnya. Semakin besar proses sublimasi semakin besar pula dia mengalami tekanan dan mengalami gangguan mental karena frustasi.
Dua konsep kunci dalam memahami evolusi teorinya Freud adalah evolusi libido dan evolusi hubungan manusia dengan manusia lain. Freud mengasumsikan bahwa libido atau energi seksual individu selalu mengalami perkembangan dalam tahap-tahap mulai oral hingga genital. Jadi menurut Freud, individu yang sehat adalah mereka yang sudah mencapai tingkatan genital tanpa mengalami fiksasi dan kemunduran. Individu seperti inilah yang bisa menjalani kehidupan sebagai orang dewasa, bekerja dan memperoleh kepuasan seksual yang memadai hingga ia menghasilkan keturunan.


2. Erickson

Lahir di Jerman, EE bertemu dengan Freud ketika dia dipanggil untuk melukis foto seorang anak yang ternyata adalah anak Freud. Selanjutnya EE pergi ke Amerika untuk melakukan risetnya. Walau EE banyak dipengaruhi oleh pandangan2 Freud (Siapa yang tidak?) tetapi EE lebih berkonsentrasi pada pengaruh lingkungan sosial pada perkembangan kepribadian manusia, itulah sebabnya teori perkembangannya disebut psikososial. EE adalah tokoh raksasa di bidang psikologi walaupun tidak terkenal seperti Freud. Teorinya ditelan bulat-bulat oleh pemerintah Amerika dan dijadikan patokan oleh the 1950 White House Conference on Children. Conference ini menghasilkan laporan yang dijadikan pedoman policy bagi pengembangan anak dan remaja di Amerika.
Selain kehebatan teorinya, EE juga memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam berkomunikasi baik secara tertulis maupun secara lisan. Konon, kemampuan bahasa dan keluasan scopenya setanding dengan Winston Churchill. Analisanya tentang Martin Luther King dan Mahatma Gandhi menjelaskan bagaimana masa lalu ke dua orang ini, dan reaksi mereka terhadap krisis yang mereka hadapi mempersiapkan mereka untuk menjadi orang besar di kemudian hari.
Teori EE menjabarkan 8 fase perkembangan yang dilewati oleh individu. Seperti yg disebutkan sebelumnya, 8 fase perkembangan ini merupakan perkembangan setelah sang individu berhasil memecahkan konflik yang dialaminya.
Konflik2 ini akan dialami oleh setiap individu yang sedang dalam pertumbuhan ke kepribadian yang matang. Walaupun demikian, 50 % dari seluruh tahap perkembangan psikososial seseorang dialaminya pada masa kanak-kanak, sehingga teori EE ini tetap sangat relevan pada topik yang diusulkan bung Jusni yakni bagaimana ortu mengarahkan perkembangan anaknya dengan baik. Pertama-tama kita akan meliput ke 4 fase pertama ini.
Sekarang, fase krisis yang kedua

Autonomy vs Shame (Kemandirian vs Rasa Malu): Usia 2 sampai 3 tahun.
Pada usia ini, anak mencoba untuk mandiri yg secara fisik dimungkinkan oleh kemampuan mereka untuk berjalan, lari dan berkelana tanpa dibantu orang dewasa lagi. Dengan kebebasan ini, anak masuk dalam periode menjelajah/eksplorasi. Beberapa hal dapat dicapai dalam periode ini, seperti keberanian untuk menjelajah, insting untuk menentukan arah sendiri. Pokoknya pada periode inilah kemampuan anak untuk percaya diri dikembangkan. Problem yang dapat terjadi, menurut Erikson, adalah rasa malu karena mereka merasa tidak mampu "be on their own". Ini akan terjadi bila orang tua terlalu banyak ikut campur misalnya membantu atau mengkoreksi kekeliruan mereka. Karena pada usia ini anak mulai belajar bahasa, maka ortu yang terus berusaha memperbaiki anak yg sedang belajar ngomong, akan mengakibatkan anak menjadi penakut/pemalu dalam berkomunikasi.
Bagaimana sebaiknya ortu bersikap pada periode ini? Ortu harus sering bicara dengan anak, menanyakan pendapat anak, menciptakan suasana yang berwarna warni, mengarahkan dengan tidak langsung. ("Ini adalah seekor...gajah. Warna gajah ini puuuu...tih. Apa yg akan terjadi ketika serigala menghembus rumah babi kedua?) Kalau anak berusaha mengikat tali sepatunya, pujilah, dan jangan dibikin betul dengan tujuan menunjukkan kesalahannya. Pada saat ini yang dia pelajari bukanlah mengikat tali dengan benar tapi bahwa dia dihargai karena punya inisiatif untuk melakukan sesuatu yang baru, On Her/His Own. Bila Kondisi yang tercipta setelah krisis pertama terlewati adalah timbulnya Harapan, maka kondisi setelah krisis kedua ini berlalu adalah "citra diri" atau "Sense of Identity". (Istilah yg digunakan Erikson adalah Will, tapi istilah Will ini bersimpang siur interpretasinya sebab Erikson menggunakan Will ini sebagai Identitias Diri, bukan Kemauan ). Anak-anak yg tidak mengembangkan citra diri mereka ini, cenderung menjadi terlalu patuh dan penurut. Orang tua perlu terus menerus menggugah rasa percaya anak bahwa mereka bisa dan boleh menentukan hidup mereka sendiri.
Fase Krisis ke tiga: Inisiatif vs Guilt (Rasa Bersalah).
Rata-rata binatang beberapa saat setelah lahir sudah bisa mandiri. Saya pernah melihat di TV seekor bayi jerapah yg kira2 4 jam setelah lahir sudah berusaha berdiri dan lari dengan ibunya. Katanya supaya tidak jadi korban makanan harimau. Bayi reptil begitu menetas sudah bisa berenang dan berlari-lari. Semua bayi ini, biarpun sudah bisa lari tetapi mereka tetap bermain-main. Konon, masa bermain ini merupakan masa mereka berlatih, menguatkan tulang dan belajar keahlian yg mereka butuhkan untuk masa dewasa mereka kelak ketika mereka harus mandiri.
Untuk manusia, masa kanak-kanak sangat lama, dan ini disebabkan karena keahlian yang harus mereka kembangkan kelak juga jauh lebih rumit daripada sekedar mencari, menerkam dan memburu makanannya sehingga masa bermainnyapun lebih lama daripada mahluk lain. Bagi Erikson, masa usia 3 sampai 6 tahun, ini adalah fase bermain. Dalam fase inilah anak-anak belajar berfantasi, belajar mentertawakan diri, mulai belajar bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada fase ini terletak fondasi anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat penting pada fase berikut.
Pada saat yang sama, kalau pada fase sebelumnya, anak perlu menciptakan sense of identity sebagai seorang manusia dan kepercayaan untuk melakukan eksplorasi sendiri, maka pada fase ini yang harus diciptakan adalah identitas diri macam apa, terutama sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Seperti mang Jeha bilang, anak belajar menjadi lelaki atau perempuan bukan hanya dari alat kelamin tapi juga dari perlakuan sekeliling pada mereka. Fase inilah konon yg berperanan besar dalam menentukan identitas ini karena pengaruh kelamin mulai dirasakan secara psikologis: Anak lelaki menjadi lebih sayang pada ibu dan tidak begitu senang pada bapak sementara anak perempuan menjadi dekat bapak dan merasa disaingi ibu. Anak-anak kecil menjadi sayang guru TKnya. Orang tua tidak perlu khawatir dengan hal ini karena hal ini memang normal, malah kalau anak dimarahi bisa-bisa menjadi "Guilty", merasa bersalah akan identitas kelaminnya.
Apa hasil dari fase ini bila dilewati dengan sukses? "A sense of Purpose" kata Oom EE. Anak menjadi tidak terganggu dengan perasaan bersalah. Anak bisa menentukan apakah mereka mau menjadi seperti ayah/ibu (biasanya ya) tanpa perasaan bersalah dan anak tidak akan mengalami banyak kegelisahan karena merasa tidak dimengerti.
Apa yang bisa dilakukan ortu untuk merusak fase ini? banyak dan contohnya adalah dengan merampok masa bermain anak dengan menyuruh mereka belajar lebih dulu dari teman2 seumur . Anak mulai didisiplinkan untuk menghafal angka, abjad dan menulis bagus supaya lebih pandai dari yg lain. Kalau boleh jujur, seringkali sebenarnya lebih banyak ambisi membuat anak pinter ini adalah untuk gengsi ortu yang disamarkan dengan mengharapkan masa depan anak yg baik. Yang terjadi sesungguhnya adalah mengambil masa "fun" dari anak2 sehingga emosi, kesenangan dan penjelajahan yang hanya tumbuh pada masa bermain ini tidak pernah tumbuh matang.

Fase Krisis ke empat: Mastery vs Inferiority (Penguasaan vs Rendah Diri)
6 - 12 tahun.Sama seperti binatang muda, sesudah merasa tenteram dekat mamah papah, maka pada saatnya mereka mulai pergi ke alam untuk mengenalnya secara instingtif. Manusia mudapun demikian. Apabila sampai sekitar 6 tahun anak-anak masih melakukan eksplorasi tentang diri sendiri, maka selewat usia itu anak secara instingtif mulai melihat ke luar dan perkembangannya mulai berhubungan dengan dunia luar. Pada usia 6 tahun, anak mulai ke dunia di luar rumah seperti , sekolah, tetangga. Dunia luar menjadi tempat untuk tumbuh, terutama karena pada saat inilah mereka baru benar2 mulai mampu berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka mulai bisa membentuk kelompok. Pada masa-masa ini tidak ada hal relatif, yang ada hanyalah kemutlakan. Semua penjahat berbaju hitam dan berwajah kotor. Pahlawan berwajah bersih, dan bajunya terang. Kelompok saya adalah kelompok lelaki dan kami benci/tidak menerima perempuan (dan sebaliknya), orang dewasa selalu benar dan guru tahu segalanya. Pada usia ini anak-anak juga sangat tertarik untuk belajar, dan sangat sulit untuk berdiam diri. Mereka belajar segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan fisik seperti olahraga, berlari, berenang, mengumpulkan segala sesuatu dan mengembara sampai ke batas yang disetujui. Anak-anak yang melalui fase ini dengan baik akhirnya akan memperoleh ganjaran dengan mendapatkan sense of mastery, suatu keyakinan bahwa mereka mampu menguasai masalah yg mereka hadapi. Syaratnya adalah bahwa orang2 dewasa yg mereka hormati seperti Ortu harus mendukung kegiatan yg banyak ini karena dari dalam setiap anak memang ada keinginan untuk mengerti dan menguasai lingkungan mereka. Kesulitan bagi anak terjadi ketika ortu tidak mau repot dan cenderung melarang anak kemana-mana sehingga tidak terlalu merepotkannya. Ortu yg terlalu lelah karena bekerja dan ingin anaknya diam, sopan dan tenang, juga merugikan pertumbuhan anaknya. Bila ini terjadi cukup lama sehingga anak memperoleh kebiasaan untuk nonton tv daripada mempelajari hal-hal di lingkungan mereka, maka anak-anak ini kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi mereka. Pada anak ini, sense of mastery diganti oleh rasa rendah diri (inferiority) yang sangat berdampak pada masa-masa yang akan datang. Anak-anak yg penuh rendah diri ini lebih sulit merasakan adanya kemampuan mereka untuk mengembangkan Kompetensi dalam bidang yang penting. Ortu yg sangat takut akan lingkungan yang tidak aman sering mengurung anak di rumah, dan memberikan TV, atau Play Station-Sega. Hal ini sangat sayang karena pada usia inilah anak paling siap untuk belajar secara aktif. Untuk ortu semacam ini, sebaiknya membahas hal ini dengan guru anaknya karena sebenarnya pengaruh guru sangat besar pada masa-masa ini. Karena itu pula pilihan sekolah dasar sangat penting, bukan hanya karena bangunan dan fasilitasnya tapi juga harus melihat guru yg akan sangat mempengaruhi kompetensi yg tercipta.
Fase ke lima adalah: Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran) untuk masa bergolak, yakni masa remaja 12 - 18/20 tahun.
Fase ini sebenarnya adalah sumber utama Erikson sehingga dia tertarik untuk mengembangkan teori Perkembangan psikososisalnya. Tugas kita pada periode ini mungkin adalah yang terpenting, yaitu puncak dari semua yg selama ini sudah kita lalui dan yang akan kita gunakan untuk "mengarungi bahtera hidup" yakni menciptakan Identitas Diri bagi kita. Kegagalan kita akan menciptakan kerancuan identitas/peran. Apakah Identitas-diri ini? tak lain adalah mengenal siapa diri kita sesungguhnya dan bagaimana diri ini melebur dengan masyarakat di sekeliling kita. Menciptakan Identitas Diri yang benar adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang kita kumpulkan sampai saat itu, dan menggabungkan semuanya menjadi suatu citradiri yang berguna bagi masyarakat. Apakah faktor terpenting supaya tercipta Identitas Diri yang sehat dan berguna bagi masyarakat ini? Salah satu faktor penting yang akan menentukan Identitas Diri ini adalah hadirnya Role Model di dalam masyarakat di mana kita hidup, yakni seseorang yang bisa dijadikan contoh. Kehadiran Papah dan Mamah, atau Guru, yang hebat, karenanya menjadi sangat penting. Faktor penting lainnya adalah adanya kejelasan bagaimana kita melangkah meninggalkan masa anak-anak menuju kedewasaan. Di suku Indian tertentu, anak dianggap dewasa setelah dia berhasil pergi ke padang rumput dan membawa pulang bulu elang, ekor kerbau atau tengkorak hyena. Di suku-suku Afrika, sunat adalah tanda bagi remaja lelaki yang sudah dianggap dewasa; dan kebetulan katanya memang berguna secara fisik karena lebih "bersih". Remaja wanita diAfrikapun disunat, istilah modernnya adalah Female Genital Mutilation, walaupun manfaatnya bagi wanita kurang jelas. Pokoknya, yang penting ada suatu upacara yang dengan jelas menunjukkan pada umum bahwa anak sudah bukan anak lagi tetapi sudah menjadi dewasa dan dia dituntut untuk berlaku dewasa. Identitas Diri bisa menjadi ekstrim bila para orang dewasa yang mengelilingi kita menekankan bahwa tidak ada kompromi untuk suatu hal, dan kita berakhir dengan menjadi fanatik. Yang paling sering difanatikkan adalah faktor agama atau ethnik tertentu. Remaja fanatik tidak diijinkan melihat pilihan lain danidentitas dirinya dibanjiri oleh dominasi faktor ini. Harus kita ingat bahwa remaja baru saja meninggalkan stage ke 4 di mana mereka tidak melihat adanya relatifitas, yang ada hanya kemutlakan. Orang dewasa yang berhasil mempengaruhi anak2 pada usia rawan ini akan berhasil mendapatkan pengikut yang sangat setia dan membabi buta. Ini sangat berhubungan erat dengan tulisan mang Jeha tentang kelik. Omong2 Kelik berdasarkan agama dan etnis adalah yg paling kuat karena diumumkan pada publik lewat siering bahasa dan penampilan fisik antar anggota. Mereka yang berhasil memperoleh Identitas Diri yang sehat mencapai suatu keadaan yang dinamai Fidelity oleh erikson, yaitu suatu kelegaan karena kita mengenal siapa diri kita, tempat kita dalam masyarakat dan kontribusi macam apa yang kita bisa sumbangkan untuk masyarakat. Sebaliknya, mereka yang gagal memiliki suatu Identitas Diri akan gelisah karena tidak jelasnya identitas mereka. Orang2 ini bisa menjadi "drifter", si pengembara, atau si penolak (mereka bisa menolak untuk punya identitas, menolak definisi masyarakat tentang anggota masyarakat dll) dan mereka hidup sendiri bahkan ketika ada di tengah masyarakat. Lagi-lagi, dunia modern di mana orangtua sering bekerja larut malam, bercerai, bingung menghadapi perubahan kultur dan cara hidup global, merupakan tempat subur bagi pertumbuhan remaja gelisah. Tidak ada role model maupun upacara meninggalkan masa kanak2nya bagi remaja2 ini. Akhirnya, beberapa di antara mereka mencari identitas diri dengan bergabung dalam gang-gang dan dengan kagum melihat pemimpin gang sebagai Role Model. Untuk anggota gang, upacara yang ditentukan oleh gang menjadi upacara yang menentukan status mereka dan menciptakan identitas. Mereka bisa diminta membuktikan status setelah berhasil merokok atau meminum minuman keras, atau bahkan berhubungan badan dengan anggota lama yg berlainan sex. Kegiatan mereka menjadi merusak dan mengkacaukan masyarakat, tapi bagi mereka itu tidak apa daripada hidup tanpa suatu identitas. Inilah bahaya besar dari kaum remaja yang gagal melewati masa ini dengan sukses.Sehubungan dengan perkembangan dunia modern ini, kita bisa meramal bahwa akan makin banyak kelik dan group2 yang bermunculan. Parahnya adalah seringkali identitas kelik ini akan bertahan sampai kita tua karena citra diri dibangun berdasarkan definisi yang dibentuk oleh kelik.
Fase ke enam: Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Pengasingan) antara 18/19 - 30 tahun.
Pada usia ini, kita sudah bukan lagi anak-anak atau remaja, tetapi pemuda atau pemudi. Kita sudah dianggap dewasa dan kita dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan kita. Tugas kita pada periode ini adalah mengenal dan mengijinkan diri kita untuk mengenal orang lain secara sangat dekat, atau masuk ke hubungan yang intim sedang kegagalan kita akan membuat kita terisolasi atau mengisolasi diri dari sekeliling kita. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas diri yang kita miliki. Akibat dari rasa aman ini adalah mengijinkan orang lain untuk sharing dengan kita melalui hari-hari dan malam-malam kita, mengenal kelebihan dan kekurangan kita. Jadi, pada pokoknya Intimacy adalah hubungan dua orang yang sudah matang dan mengenal diri masing2 dan menciptakan suatu kesatuan yang menghasilkan karya2 yang lebih besar.
Kehidupan modern yang mewarnai kota-kota besar, seringkali tidak mengijinkan kita untuk menjalani masa pembentukan intimacy ini dengan baik. Mobilitas seperti sekolah ke luar negeri dari satu kota ke kota lain, penugasan dari kantor ke daerah2 dan perpindahan yang kita lakukan karena janji karir yang lebih baik, adalah hal-hal yang menyulitkan kita dalam menemukan orang yang tepat bagi kita untuk berintimacy. Akibatnya, sebagai ganti dari intimacy adalah hubungan yang sangat superficial, didasari bukan keinginan untuk menyatu dan menciptakan suatu hubungan yang sehat tapi untuk hanya untuk menghilangkan kesepian. Pemuda/pemudi yang sering ganti pacar tanpa merasakan kehilangan adalah korban dari kehidupan modern. Tidak heran bahwa perceraian dan "break up" terjadi di kota modern jauh lebih banyak daripada di kota kecil di mana para penghuninya cukup waktu untuk mengembangkan hubungan yang dalam, didasar penuh kepercayaan dan bertahan lama. Bagi kita yang tidak berhasil melalui periode ini dengan baik, timbul rasa keterasingan, yang seringkali dibarengi dengan amarah dan sinis terhadap roman, terhadap ungkapan kasih, terhadap sesama manusia. Orang2 yg dibesarkan oleh ortu yang sangat dominan/authoritarian dan mengurung mereka, cenderung menjadi orang2 terasing setelah ortu mereka meninggal. Bagi kita yang berhasil dengan baik, timbul kemampuan/kekuatan yang dinamai Love oleh Erikson. Love baginya bukan Eros/ Amor saja, tapi lebih pada kesediaan untuk menyadari adanya perbedaan, dan menerima perbedaan itu lewat usaha untuk terus berintim-intim antara pihak yang terkait (bisa suami/istri, atau teman)

Fase ke tujuh adalah Fase Middle Adulthood, masa Usia Dewasa di mana Krisis yang harus diresolve adalah Generativity vs Stagnation (Perluasan vs Stagnasi) berlaku untuk mereka yang berusia antara pertengahan 20-an tahun sampai 50-an, jadi cocok untuk para anggota milis psikologi ini. Tugas kita dalam fase ini adalah mengembangkan keseimbangan antara generativity dan stagnasi. Generativity adalah rasa peduli yang sudah lebih dewasa dan luas daripada intimacy karena rasa kasih ini telah men"generalize" ke kelompok lain, terutama generasi selanjutnya. Bila dengan intimacy kita terlibat dalam hubungan di mana kita mengharapkan suatu imbal balik dari partner kita, maka dengan generativity kita tidak mengharapkan balasan. Misalnya saja, sebagian sangat besar dari para otang tua tidak keberatan untuk menderita atau mati demi keturunannya, walau perkecualian pasti ada. Begitu pula dengan orang2 yg melakukan pekerjaan sukarela di Salvation Army, Word Vision, Palang Merah, Green Peace dan NGO (Non-Governmental Organization) lain bisa dikatakan termasuk mereka yang memiliki Generativity ini. Banyak psikolog melakukan riset mengapa orang melakukan karya altruistik (berderma atau menolong sesama) yang seringkali tidak menghasilkan apapun bagi mereka kecuali kerugian materi, waktu dan tenaga. Sampai kini para psikolog ini belum menemukan jawaban yang pasti dan diterima semua orang. Kalau Erikson benar, maka kita melakukan hal yang altruistik bukan karena kita menginginkan balasan tapi karena pertumbuhan psikologis kita menimbulkan kasih pada sesama. Terpikir oleh saya bahwa kita mungkin melakukan hal-hal yang altruistik karena kita mengharapkan dunia yang lebih baik di masa depan yang akan menjadi masa depan anak-anak kita. Stagnasi adalah lawan dari generativity yakni terbatasnya kepedulian kita pada diri kita, tidak ada rasa peduli pada orang lain. Orang2 yg mengalami stagnasi tidak lagi produktif untuk masyarakat karena mereka tidak bisa melihat hal lain selain apakah hal itu menguntungkan diri mereka seketika. Kita tahu banyak contoh orang yang setelah berusia setengah baya mulai menanyakan ke mana impian mereka yang lalu, apa yang telah mereka lakukan dan apakah hidup mereka ada artinya. Beberapa orang yang merasa gagal dan tidak lagi punya harapan untuk mencapai impian mereka, pada saat2 ini berusaha untuk merengkuh masa-masa yang bagi mereka terlewat sia-sia. Kita tentu pernah mendengar mereka yang meninggalkan istri dan anak2nya yang kebingungan dan kekurangan, mencari istri baru dan keluarga baru untuk membangun hidup baru. Inilah mereka yang tidak berhasil melihat peranan mereka dengan lebih luas, melainkan hanya melihat apakah hidup ini bermanfaat bagi mereka pribadi. Apakah yang diperoleh mereka yang berhasil menjalani fase ini dengan sukses? Kapasitas yang luas untuk peduli. Apabila kapasitas untuk peduli dengan partner di panggil Love oleh Erikson, maka untuk hubungan yang lebih luas disebutnya Caring. Salah satu teman saya, seorang psikolog yang mengkhususkan diri dalam konsultasi dalam bidang spiritual segera pergi ke Afrika setelah membaca tentang Aids, dan mengorbankan penghasilannya yang luarbiasa. Dia adalah contoh langsung bagi saya tentang orang2 dengan kapasitas Caring ini. Begitu pula para sukarelawan yang setelah membaca tentang Alzeimer atau Ambon segera mencari tahu apa yang mereka dapat lakukan, bukan karena ada keluarga yang terkena tetapi karena ada orang yg menderita. Kabar baiknya adalah bahwa makin banyak anak2 muda yang melakukan hal ini, dan kebanyakan dari negara yang sudah maju. Rekan-rekan milis psikolog, sorry yang terakhir ini tertunda cukup lama, jadi untuk sute Eddy :-), Debbie de el el, memang belum dikirim. Habis saya agak sangat repot. Dan saya merasa agak moody sesampai di fase ini, karena saya melihat banyak orang kurang sukses dalam fase ini termasuk my dad.
Fase terakhir Erikson adalah Usia Lanjut, atau Usia Matang.

Masa ini dimulai sekitar usia 60, ketika seseorang mulai meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk hidup lebih menyendiri. Sangat berbeda dengan rata-rata orang yang ketakutan dengan datangnya usia tua, maka bagi Erikson ini adalah masa yang sama pentingnya dengan fase-fase sebelumnya. Bahkan, masa ini mungkin masa yang paling penting karena ini adalah masa terakhir di mana kita harus bersiap untuk meninggalkan dunia ini. Tugas kita saat ini adalah mengembangkan "ego integrity", Integritas Diri, suatu rasa harga diri untuk tidak takut mati karena telah melalui hidup dengan OK. Lawan dari rasa integritas diri ini adalah Despair atau rasa putus asa. Orang-orang yang putus asa pada masa usia lanjut ini ditandai dengan meluapnya rasa jijik pada diri mereka sendiri, terhadap kegagalan mereka, cara mereka menyia-nyiakan hidup. Orang2 ini seringkali penuh amarah pada mereka yang juga gagal, menganggap itu hasil kebodohan orang2 itu sendiri. Namun juga amarah dan iri pada yang berhasil. Pokoknya, sebagian besar orang2 ini putus asa dan memandang hidup dengan negatif. Kenapa putus asa? sebab masa-masa ini memang penuh dengan hal-hal yang membuat kita bisa sengsara secara emosional. Fisik yang makin melemah membuat banyak orang lanjut usia makin tergantung pada orang lain. Celakanya ketergantungan ini dibarengi oleh berkurangnya kemampuan cari uang dan menurunnya manfaat bagi orang lain. Wanita mengalami hal khusus dengan datangnya menopause, dan banyak yg melihat datangnya meno ini sebagai masa pintu gerbang menuju masa tua yang dipenuhi oleh penyakit2 seperti kanker payudara, kanker rahim dan osteoporosis. Lelaki yang hidup dari respek orang sekeliling sebagai pencari uang kini hilang kemampuan cari uangnya padahal keinginan direspek makin besar dan menggebu-gebu. Lalu, teman dan saudara mulai menghilang: ada yang mati, ada yang pindah diboyong keluarganya ke tempat lain dan ada yang levelnya sudah ganti (jadi jauh lebih kaya atau jauh lebih miskin) sehingga tidak bisa berteman lagi. Yang paling berat, adalah memory dan regret. Sangat jarang ada orangtua yang tidak menyesali masa lalunya, masa di mana mereka seharusnya melakukan hal yang seharusnya. Rata-rata berharap mereka melakukan hal-hal yang kini berdampak buruk seperti bersekolah lebih giat, tidak berteman dengan si A, lebih sayang pada anak atau menantunya dll. Yang dahsyat dari kenangan ini adalah bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk memperbaiki sehingga ada penyesalan tapi tidak ada pengobatan. Mereka yang berhasil mengembangkan Ego Integrity, masih memiliki penyesalan tetapi mereka telah berdamai dengan masa lalu, menerima bahwa ada hal yang bisa mereka lakukan dengan lebih baik, dan ada hal yangmereka telah lakukan sebaik mungkin, dilihat dari konteks saat itu. Dan mereka ini siap apabila harus mati. Kalau mereka yang "Despair" atau putus asa ini memiliki rasa "Disdain" ataujijik pada hidup, maka mereka yang menjalani fase ini dengan tenang dan tanpa penyesalan bila harus mati memiliki "Wisdom" atau kebijaksanaan. Makin bijak seorang tua, makin baik manfaatnya bagi seluruh keluarganya karena dia bisa menerima bila mereka kalah sekali waktu dan menang sekali waktu. Mereka yang putus asa agak lain, dia kepingin keluarganya berhasil supaya tidak seperti dia. Tetapi caranya agak cenderung memaksa, memarahi dan menyesali sehingga membuat orang-orang di dekatnya kebingungan melayaninya karena salah terus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar