Nama : Ridwan Mahasiswa PPs :
Pendidikan Islam II
Mata Kuliah : Pemikiran Islam di Indonesia
ISLAM LIBERAL
A.
Pengertian Islam Liberal
Islam moderat lebih mementingkan ijtihaj dalam
pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar
pada sumber yang utama dalam Islam Al-Qur’an dan Hadist), sementara yang Kedua lebih menekankan konsep jihad
(perang suci).
Uniknya banyak kalangan Islam modern untuk mengayitkan
konsep Islam moderat ini dengan konsep wasat yang ada dalam Qur’an. Lebih
mendunia lagi diusung bendera Islam Liberal. Sebut saja muslim modern
menunjukkan watak dasar Islam dengan tafsir kontektual sebagai agama yang
tengah-tengah medernisasi dan kemajemukan umat, yaitu Al-Baqarah 2: 143 yang
artinya “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “Wasat” (adil,
tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (Syuhada) bagi semua manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian”.
Kata wasat dalam ayat di atas, jika merujuk pada tafsir
klasik seperti Al Tabari atau Al-Radhi mempunyai tiga kemungkinan pengertian;
umat yang adil, Tengah-tengah atau terbaik. Ketiga
pengertian itu pada dasarnya saling berkaitan.
Uniknya kosep wasat dalam ayat itu dikaitkan dengan
konsep lain, yaitu “Syahadat” atau konsep kesaksian yang berarti tugas yang
dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrim yang ada pada dua
kelompok agama.
Dengan bendera liberal menyuarakan Islam merdeka, islam
pembebasan, Islam pembaharuan dan lain-lain membangaun tiga konsep pemikiran
dasar, yaitu Pertama prinsip kebebasan individu. Kedua prinsip kontrak sosial. Ketiga prinsip masyarakat pasaran bebas.
Keempat perinsip meyakini wujudnya
Pluraliti Sosio Kultural dan Politik Masyarakat.
B.
Sekilas Sejarah Islam
Liberal Dunia
Islam liberal menurut Charles Kurzman
muncul sekitar abad ke-18
ketika kerajaan Turki Utsmaniyah Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal (India) berada diambang
keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan
permurnian, kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah.
Pada saat ini muncullah tunas
fahaman liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya “Islam harus
mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan keperluan penduduknya”. Hal ini
juga terjadi di kalangan Syi'ah. Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani membuka pintu
ijtihad.
Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropah dalam pendidikan Islam.
Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran
sekular ke dalam kurikulum pendidikan Islam.
Di India muncul Sir Sayyid
Ahmad Khan (1817-1898)
yang memujuk kaum muslimin agar bekerjasama dengan penjajah Inggeris. Pada
tahun 1877 dia membuka kelas pengajian yang kemudian menjadi Universitas
Aligarh (1920).
Sementara Syed Amir Ali (1879-1928) melalui buku "The Spirit of Islam"
berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal dalam Islam sepertimana yang dipuja
di Inggeris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahawa Nabi Muhammad
adalah Pelopor Agung Rasionalisme.
Di Mesir muncullah Muhamad Abduh (1849-1905) yang banyak mengangkat pemikiran
mu'tazilah dalam menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf.
Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropah dan pelopor emansipasi wanita, penulis
buku Tahrir al-Mar'ah (Emansipasi Wanita). Lalu muncul Ali Abd Raziq (1888-1966), yang menentang sistem khilafah,
menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik kerana Muhammad hanyalah
pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahawa yang
dikehendaki oleh Al-Qur’an hanyalah sistem demokrasi dan tidak yang lain.
Di Algeria muncul Muhammed Arkoun
(lahir 1928) yang menetap
di Perancis. Dia memulai tafsiran Al-Qur’an model baru yang berdasarkan kepada
berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena
tanda), Antropologi (kajian sosio-budaya masyarakat), Falsafah (pemikiran) dan
Linguistik (bahasa). Intinya dia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu
pengetahuan Barat modern, ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam
dengan keanekaragaman pemikiran di luar Islam.
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan
menjadi pengarah di Universiti Chicago. Ia mempelopori tafsir
konstekstual, satu-satunya
model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan Al-Qur’an itu
mengandung dua aspek, yaitu; Peraturan spesifik dan idea moral.
C.
Islam Liberal di Indonesia
Di Indonesia muncul Nurcholis
Madjid (murid dari Fazlur
Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi,
Ahmad Wahid dan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur).
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan
pembaharuannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme
agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas
dasar fahaman kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan
pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah
kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama”.
Lalu sekarang muncullah apa yang
disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengusung idea-idea Nurcholis Madjid dan
para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pemikirannya.
Faham sekular dalam bermasyarakat
dan bernegara berakar dengan pola masyarakat Eropah yang meniru tokoh-tokoh
gereja, dengan moto “Render Unto The Caesar
what The Caesar's and to the God what the God's” (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada
kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan).
Kerana itu ada yang mengatakan: “Cak Nur (Nurcholis Madjid) cuma meminjam pendekatan Kristian yang
membidani lahirnya peradaban barat”. Liberalisme
adalah satu faham yang berkembang di Barat, namun dengan
adanya sekelompok manusia di Indonesia menamakan dirinya dengan Jaringan Islam
Liberal (JIL), menunjukan terdapat sekumpulan manusia yang mempunyai agenda
tersendiri.
Terkait dengan pluralisme yang diusung JIL
menurut Alwi
tentang pluralisme dapat dilihat dalam bukunya Islam Inklusif. Dijelaskan bahwa “Prinsip lain
yang digariskan oleh Al-Qur’an, adalah
pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas
beragama dan dengan begitu layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide mengenai
pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian
lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur’an, sebab
Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya”.
Gusdur ketika dilantik
sebagai Presiden, ia menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan
Israel, Negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini
mengundang kritikan keras dari beberapa komponen
Islam. Gus Dur sering pula memberikan pernyataan yang dinilai sebagian orang justru menyudutkan Islam dan membela
kelompok non Muslim, terutama kasus Ambon.
Orang-orang pembelanya mengatakan,“Gus
Dur membela Islam dengan cara tidak membela Islam”. Pernyataan tentang pluralisme juga sering dikumandangkan, pernah ia mengatakan
bahwa dirinya adalah seorang Muslim yang
juga menganut faham Mahatma Gandhi. Menurutnya semua agama itu sama.
Ketika Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang menetapkan 11 fatwa di antaranya mengharamkan faham
liberalisme, sekularisme, pluralisme dan faham Ahmadiyah. Uniknya sejumlah tokoh
masyarakat yang bergabung dalam
Aliansi Masyarakat Madani untuk kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, seperti Gus Dur, Dawam Raharjo, Ulil
Abshar Abdalla (JIL), Johan Efendi, Pendeta Winata Sairin (PGI) dan tokoh-tokoh
lainnya mendesak MUI agar mencabut fatwa yang mengharamkan
paham-paham tersebut. Mereka berargumen, fatwa semacam itu sering kali dijadikan landasan untuk melakukan
kekerasan terhadap pihak lain. Selain itu, “Indonesia bukanlah Negara Islam
tapi negara nasional, jadi ukurannya hukum nasional”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar