A. Pola Hubungan Antara Guru dengan Murid
Secara Konfensional
Hubungan guru murid hendaknya dirancang pola yang
humanistis, karena murid mempengaruhi guru dan sebaliknya guru juga
mempengaruhi belajarnya murid. Di samping itu murid juga saling mempengaruhi
antara yang satu dengan yang lain. Guru dan murid mempunyai peranan yang
berbeda dengan murid, maka pada perbedaan tersebut perlu dipadu dan dipandu
dengan baik.[1]
Guru yang baik
adalah guru yang memahami anak didiknya dan yang memperlakukan anak
didik sesuai dengan kode etik. Sedangkan murid yang baik ialah murid yang
berakhlak, sopan santun, mencintai ilmu, mendengarkan gurunya, mengikuti
pelajaran, tidak mengganggu kelas, dan lain-lain.
Para ahli sosiologi menyatakan, ada bahagian hubungan
guru dengan murid yang tak seimbang. Tiga hal yang membedakan peranan guru dan
murid tersebut, antara lain:
1).
Tingkat Kesukarelaan
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Dreegen, guru bekerja di sekolah
karena digaji, sedangkan murid masuk sekolah karena kewajiban belajarnya.
2).
Tingkat Keaktifan vs Kepasifan
Peranan murid yang baik, lebih banyak menuntut kepatuhan dan
kesabaran daripada inisiatif dan tanggung jawab diri sendiri. Menurut Moore,
guru itu memonopoli peranan aktif dan membiarkan anak-anak bersabar terhadap
tindakan guru sebagai agen.
3).
Kekuasaan dan Wewenang
Guru adalah atasannya murid karena umurnya, pendidikannya, sumber
kontrol di kelas (termasuk hadiah dan hukuman). Salah satu hal penting yang
dipelajari murid adalah bagaimana ia memahami otoritas yang tidak bersifat
pribadi.[2]
Selain hal-hal yang disebutkan di atas guru juga
mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai educator, pengajar, fasilisator,
pembimbing, pelayan, perancang, pengelola, inovator dan penilai. Selain
peran-peran di atas, guru juga mempunyai fungsi di dalam kelas yaitu sebagai
(1). Pembimbing siswa dalam memecahkan kesulitan dalam pembelajaran, (2).
Sebagai sumber yang dapat membantu memecahkan dan menjawab pertanyaan siswa,
(3). Penilai hasil belajar.[3]
Kemudian agar proses pendidikan yang merupakan interaksi
antara guru dan murid dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan,
seorang guru harus memerlukan persiapan, baik dari segi penguasaan
terhadap ilmu yang diajarkan, kemampuan penyampaian ilmu sehingga tepat sasaran
kepada obyek didik dan kepribadian atau akhlaknya.[4]
Hubungan antara guru dan murid harus terjalin hubungan
baik, jika antara guru dan murid berbeda pendapat dalam proses belajar
mengajar, guru berusaha untuk menjelaskan secara perlahan-lahan. Agar hubungan
tetap berjalan dengan baik, seorang guru tidak hanya bertindak sebagai guru
pengajar, tapi juga sebagai teman belajar dan terus memotivasi anak didik. Dan
ketika di antara muridnya ada yang mempunyai masalah, guru mengadakan
pendekatan individual sehingga murid tidak merasa sendirian.
Belajar
mengajar adalah sebuah interaksi yang bernilai normatif. Belajar mengajar
adalah suatu proses yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Tujuan adalah
sebagai pedoman ke arah mana akan dibawa proses belajar mengajar. Proses belajar
mengajar akan berhasil bila hasilnya mampu membawa perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, dan sikapsikap dalam diri anak didik.[5]
Interaksi
belajar mengajar dikatakan bernilai normatif karena di dalamnya ada sejumlah
nilai. Jadi, adalah wajar bila interaksi itu dinilai bernilai edukatif? Guru
yang dengan sadar berusaha untuk mengubah tingkah laku, sikap, dan perbuatan
anak didik menjadi lebih baik, dewasa, dan bersusila yang cakap adalah sikap
dan tingkah laku guru yang bernilai edukatif. Ada tiga bentuk komunikasi antara
guru dan anak didik dalam proses interaksi edukatif, yakni komunikasi sebagai
aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi.[6]
Komunikasi
sebagai aksi atau komunikasi satu arah menempatkan guru sebagai pemberi aksi
dan anak didik sebagai penerima aksi. Guru aktif, dan anak didik pasif.
Mengajar dipandang sebagai kegiatan menyampaikan bahan pelajaran Dalam
komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai
pemberi aksi atau penerima aksi. Demikian pula halnya anak didik, bisa sebagai
penerima aksi, bias pula sebagai pemberi aksi. Antara guru dan anak didik akan
terjadi dialog.[7]
Dalam
komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah, komunikasi tidak hanya terjadi antara guru
dan anak didik. Anak didik dituntut lebih aktif daripada guru, seperti halnya
guru, dapat berfungsi sebagai sumber balajar bagi anak didik lain.
Kegiatan
interaksi belajar mengajar sangat beraneka ragam bentuk coraknya, mulai dari
kegiatan yang didominasi oleh guru sampai kegiatan mandiri yang dilakukan oleh
anak didik. Hal ini tentu saja sangat bergantung pada keterampilan guru dalam
mengelola kegiatan interaksi belajar mengajar. Penggunaan variasi bentuk
interaksi mutlak harus dilakukan oleh guru. Hal ini dimaksudkan agar tidak
menimbulkan kebosanan, kejenuhan, serta untuk menghidupkan suasana kelas demi
keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan.[8]
Situasi
pengajaran atau proses interaksi belajar mengajar terjadi dalam berbagai pola
komunikasi, akan tetapi komunikasi sebagai transaksi yang dianggap sesuai untuk
mengaktifkan potensi siswa/murid bisa jadi sangat tergantung situasi dan
kebutuhan yang dikembangkan oleh guru, atau bisa jadi merupakan gabungan dari
banyak pola interaksi di atas.
B.
Tugas
dan Kedudukan Guru
Dalam
lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya
maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat
dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan dan tugas
kemasyarakatan.
Sebagai
salah satu profesi resmi kedudukan guru memerlukan keahlian khusus. Jenis
pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
pekerjaannya. Tugas guru sebagai profesi mencakup beberapa persyaratan:
a). Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori
ilmu pengetahuan yang mendalam.
b). Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai
dengan bidang profesinya.
c). Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai.
d). Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan
yang dilakukannya.
e). Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Selain
persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh
setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain yaitu:
a). Memiliki kode etik,
sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
b). Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan
pasiennya, guru dengan muridnya.
c). Diakui oleh masyarakat
karena memang diperlukan jasanya di masyarakat. [9]
Guru di
satu sisi terikat secara total dan ketat dengan aturan serta tata laksana
profesinya dari struktur organisasi yang mengelola profesi pekerjaannya,
penentuan kurikulum nasional, anggaran dana dari Departemen Pendidikan serta
ketentuan-ketentuan luar yang mengikat kerja profesinya. Namun dalam melaksanakan
pekerjaannya guru juga memiliki otoritas pribadi untuk menentukan pendekatan
pengajaran, serta serangkaian kegiatan interaksi belajar mengajar di ruang
kelas sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi .[10]
Uraian di
atas menjelaskan latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik.
Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya
dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka
kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu
kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru yang tidak menarik.
Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat (homo
ludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti bila menghadapi
guru.
Manurut
Sanapiah Faisal, Guru harus memiliki tiga kemampuan penting, ketiga kemampuan
tersebut dikenal dengan sebutan “tiga kompetensi” yaitu
(1) kompetensi profesional, (2)
kompetensi personal, dan (3) kompetensi sosial. Penjelasan untuk masing-masing
adalah sebagai berikut:
a).
Kompetensi profesional, artinya bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang luas
serta mendalam tentang bidang studi yang akan diajarkan, serta penguasaan
metodologis dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih
metode yang tepat, serta mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
b.
Kompetensi personal, artinya bahwa guru harus memiliki sikap kepribadian yang
mantap, sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Arti lebih
terperinci adalah bahwa ia memiliki kepribadian yang patut diteladani
c.
Kompetensi sosial, artinya bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi
sosial, baik dengan muridmuridnya maupun dengan sesama teman guru, dengan
kepala sekolah, dengan pegawai tata usaha, dan tidak lupa dengan anggota
masyarakat di lingkungannya.[11]
Kelompok
siswa yang menjadi subyek didik juga memberi pengaruh optimalnya pembelajaran.
Dengan kondisi siswa yang berbeda, akan tercipta suasana kelas yang berbeda
pula. Respon yang berbeda antar kelompok siswa di kelas tertentu disbanding dengan
kelompok siswa di kelas lain akan mempengaruhi pendekatan pembelajaran yang
berbeda.
Anak-anak
yang oleh gurunya diharapkan bisa mencapai hasil yang lebih besar, memang bisa
menunjukkan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, tingginya pengharapan
guru tampaknya memungkinkan anak-anak bisa meningkatkan kemampuan yang cukup
tinggi pula.
Untuk memperoleh
pembelajaran yang berkualitas agar menghasilkan prestasi belajar yang
berkualitas pula, maka perlu diperhatikan unsur-unsur yang secara langsung
berkaitan dengan berlangsungnya proses pembelajaran tersebut, yang penting
adalah guru, siswa, kurikulum dan sarana, serta faktor lain yang sifatnya kontekstual.
C.
Analisa
Penulis
Dalam proses
pembelajaran, guru, siswa, metode, materi, dan sarana. Saling mempengaruhi
kualitas pembelajaran, namun guru memegang peranan yang sangat penting untuk
mencapai proses dan hasil pembelajaran yang maksimal. Guru merupakan
satu-satunya unsur yang mampu mengubah unsur yang lain, sedangkan unsur yang
lain relatif tidak dapat merubah guru, maka dapat diasumsikan bahwa guru
merupakan unsur yang mempunyai peran sangat penting bagi terwujudnya
pembelajaran, menurut kualitas yang dikehendaki.
Dilihat dari
segi komponen guru, kualitas pembelajaran akan bervariasi sesuai dengan
karakter pribadi gurunya. Setiap manusia memiliki spesifikasi masing-masing,
maka guru yang profesional akan melahirkan situasi pembelajaran yang unik dan kualitas
pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi dan tujuan yang
ditetapkan.
Menurut
penulis pola hubungan guru dan murid sangat berpengaruh pada profesionalisme
guru dalam bertugas, maka perlu kiranya ditekankan tugas guru profesional
sebagai berikut:
1). Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk
mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam mendidik, mengajar dan melatih anak didik.
2). Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan
nilai-nilai hidup kepada anak didik.
3). Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik.
4). Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan
dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik.
5). Tugas guru bidang kemanusiaan berarti guru harus terlibat dengan
kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial, guru harus menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Anak didik dididik agar mempunyai
sifat kesetiakawanan sosial.
6). Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat
menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua, ia harus mampu menarik simpati
sehingga ia menjadi idola para siswanya.
7). Tugas guru dalam bidang kemasyarakatan berarti guru mempunyai
tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik,
artinya guru bertugas mencerdaskan anak bangsa secara keseluruhan.
8). Tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi tugas
guru harus menjadi sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat.
|
Pola interaksi guru (G) - murid (A) dapat diskemakan
sebagai berikut:
D. Penutup
Proses belajar-mengajar akan senantiasa merupakan proses
kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang
belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek
pokoknya.
Mengajar
didefinisikan sebagai serangkaian interaksi antara orang-orang yang berperan
selaku guru dengan orang yang berperan sebagai murid, yang tujuannya untuk
mengubah keadaan kognitif dan afektif murid, maka pembahasan sosiologi
pendidikan mengenai peran guru terhadap muridnya menitikberatkan pada makna
status guru dalam keterlibatannya dengan murid, yaitu guru memimpin murid dalam
proses belajar mereka.
Kualitas
guru selaku pemimpin, termasuk bagaimana ia mengontrol situasi kelas,
menentukan semangat dan penampilan murid. Model kepemimpinan guru mengelola
kelas pada umumnya, yaitu; pertama Kepemimpinan Otoriter, tujuan umum, kegiatan
khusus dan prosedur kerja kelompok semuanya didikte oleh pemimpin. Di dalam
kelas pemimpin tetap menjaga jarak dari anggota. Partisipasi aktif hanya
dilayani apabila menyangkut masalah tugas-tugas formal. Kedua Kepemimpinan
Demokratis, semua kebijakan, kegiatan dan prosedur kerjanya ditetapkan oleh
kelompok secara keseluruhan pemimpinnya ikut aktif dan berusaha menjadi anggota
biasa dengan semangat tanpa melakukan banyak kegiatan. Ketiga Kepemimpinan
Laissez-faire, gaya kepemimpinan ini ada kebebasan sepenuhnya bagi kelompok
maupun individu untuk menetapkan keputusan, dengan sedikit partisipasi.
DAFTAR PUSTAKA
Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya:
Usaha Nasional, t.t.)
Abdul Hadis, Psikologi Dalam Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2006)
Suparlan, Guru Sebagai Profesi, (Yogyakarta:
Hikayat Publishing, 2006)
Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu
Pendidikan Islam, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007)
Rama Yulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008)
Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1992)
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003)
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer,
(Jakarta: Amzah, 2006)
Abudin Nata, Methodologi Studi Islam,
(Jakarta: Rajawali Persada, 2003)
Abdul Hadis, Psikologi Dalam Pendidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2006)
Abu Ahmadi dan Nur
Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rinika Cipta, 2001)
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1993)
Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986)
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987)
[1] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1987), h. 63
[2] Sanapiah Faisal, Sosiologi…, h. 170
[3] Suparlan, Guru…, h. 38
[4] Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar…, h. 97
[5] Rama Yulis, Ilmu…, h.54
[8] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip…, h. 39
[9] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip…, h. 40-41
[10] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip…, h. 42
[11] Sanapiah Faisal, Sosiologi…,
h. 170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar