7.
Muhasabah
Ai syah Radhiyallahu ‘Anha
berkata, “Apabila Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disuruh memilih di antara dua
perkara, niscaya beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama
itu tidak dosa. Adapun jika itu adalah dosa, maka beliau adalah orang yang
paling jauh dari dosa.” (Muttafaq Alaih)
Demikianlah
kebiasaan Nabi jika disuruh memilih di antara dua perkara, beliau pasti
memilih yang lebih mudah di antara keduanya. Ini adalah manhaj beliau dalam
dakwah dan pengajarannya, beliau tidak ingin mempersulit umatnya. Beliau
ingin agar umatnya mudah dan ringan dalam menjalankan syariat agamanya,
beliau ingin membuat mereka gembira dan tidak ingin membuat mereka lari
ketakutan dari ajaran Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا
تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا .
“Mudahkanlah dan jangan kalian
mempersulit. Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.” (Muttafaq Alaih)
Menurut DR. Yusuf Al-Qaradhawi, memilih
yang lebih mudah (taysir) dalam melaksanakan ajaran agama merupakan suatu
keharusan, karena hal ini merupakan sesuatu yang dituntut oleh syariat itu
sendiri. Bukan dikarenakan tuntutan realitas atau menyesuaikan dengan
zaman, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Dan, pada dasarnya
syariat Islam berdiri di atas prinsip kemudahan dan keringanan, sebagaimana
disebutkan dengan sangat jelas dalam ayat-ayat Al-Qur‘an dan Sunnah
nabawiyah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak ingin menyulitkanmu.” (Al-Baqarah: 185)
Dalam hadits pertama disebutkan, bahwa
beliau memilih yang lebih mudah di antara dua perkara, maksudnya yaitu
dalam dua perkara yang sama, bukan dalam dua perkara yang berbeda. Karena
hal ini jelas tidak mungkin. Dan jika ada dua perkara yang sama di hadapan
beliau, baik dalam urusan dunia ataupun urusan akhirat, maka beliau akan
memilih yang lebih mudah dan ringan di antara keduanya, selama hal tersebut
tidak mempunyai konsekuensi dosa atau maksiat.
Lebih jelasnya, kita ambil contoh
misalnya; memilih antara beribadah dengan memberat-beratkan diri hingga
dapat membuat badan sakit dan beribadah dengan porsi yang sedang tetapi
intens, maka beliau memilih yang terakhir. Atau jika beliau disuruh memilih
antara harus berperang atau berdamai, maka beliau akan memilih berdamai
jika memungkinkan. Atau jika disuruh memilih antara berpuasa dalam
berjalanan atau berbuka, tentu beliau memilih berbuka. Demikian dan
seterusnya.
Terhadap orang yang senang mempersulit
dan memberat-beratkan dalam melaksanakan agamanya, baik bagi dirinya
ataupun bagi orang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memperingatkan mereka,
« هَلَكَ
الْمُتَنَطِّعُونَ » . قَالَهَا ثَلاَثًا .
“Hancurlah
orang-orang yang suka memberat-beratkan!” Beliau
mengatakannya tiga kali.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud)
Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa
al-mutanaththi’un di sini, yaitu mereka yang senang mempersulit dan
memberat-beratkan diri dalam urusan agama yang tidak semestinya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar