PENDAHULUAN
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme
universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah
mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth
(IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia .
Berkat dia pula agenda besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ hingga
kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, proyek Pan-Islamisme Jamaluddin
Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal. Itulah antara lain
kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani
berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat.
Sudah tiba saatnya bagi cendekiawan muslim untuk meninggalkan
metode-metode asal tiru dalam reformasi pendidikan islam. Reformasi pendidikan
hendaklah islamisasi pengetahuan modern. Sebagai sebuah disiplin ilmu, maka
sains-sains sastra, sosial, dan sains alam harus disusun dan dibangun ulang,
diberikan dasar islam yang baru, dan diberikan tujuan-tujuan baru yang
konsisten dengan islam. Setiap disiplin ilmu harus dituang kembali sehingga
mewujudkan prinsip-prinsip islam di dalam metodologinya, di dalam strateginya,
di dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, problema-problemanya,
tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.
Keprihatinan Faruqi terhadap kondisi umat Islam yang tenggelam dalam
adopsi sistem pendidikan barat, maka menurutnya, tidak ada cara lain untuk
membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali
kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan barat, untuk kemudian
mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li al ‘alamin, melalui apa yang
disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem
pendidikan Islam yang integral.[1]
Dalam makalah ini akan kami sertakan biografi singkat dari Ismail
Raji Al-Faruqi sebagai gambaran tentang latarbelakang kehidupannya, kemudian
kami lengkapi dengan pemikiran-pemikirannya dalam islamisasi ilmu pengetahuan,
pan-islamisme, dan pluralitas agama.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Biografi Singkat
Ismail Raji Al Faruqi dilahirkan di daerah Jaffa ,
Palestina, pada 1 Januari 1921, sebelum wilayah ini diduduki Israel .[2]
Saat itu Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab. Al
Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres , Lebanon
sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University,
di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali
ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah
mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur
Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke
tangan Israel ,
hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun
menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang
filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master
keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The
God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan:
Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Namun apa yang dicapai ini tidak
memuaskannya, sehingga ia kemudian mendalami ilmu-ilmu keislaman di universitas
al Azhar Cairo.[3] Sementara
gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana .
Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas
Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun. Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi
mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal , Kanada pada 1959
selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi , Pakistan ,
karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan
kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago ,
dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse , New
York . Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple ,
Philadelphia ,
sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara,
seperti di Universitas Mindanao City ,
Filipina, dan di Universitas Qom , Iran .
Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago . Al Faruqi
mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di
Philadelphia.
B.
Karya-Karya Ismail Raji Al-Faruqi
Faruqi mewariskan tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku,
yang mencakup berbagai persoalan; etika, seni, sosiologi, kebudayaan,
metafisika, dan politik. Di antara karyanya yang terpenting adalah: Islamization
of Knowledge: General Principles and Workplan (1982) (diterjemahkan
kedalam bahasa indonesia dengan judul Islamisasi Pengetahuan), A Historical
Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue
of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural
Atlas of Islam (1986) (diterjemahkan dengan judul Atlas Budaya Islam;
Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang ), Islam and Culture (1980)
(Islam dan Kebudayaan), Al Tawhid; Its Implications for Thought and Life
(1982), Islamic Thought and Culture, Essays in Islamic and Comparative
Studies.[4]
C.
Pemikiran Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di
berbagai negara –Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan
Arab Saudi– ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan
(umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam
mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber
pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
Al Faruqi menegaskan tiga sumbu tauhid (kesatuan) untuk melakukan
islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, adalah kesatuan pengetahuan.
Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus mencari obyektif
yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran. Dengan demikian
tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa sains bersifat aqli (rasional)
dan beberapa sains lainnya bersifat naqli (tidak rasional): bahwa
beberapa disiplin ilmu bersifat ilmiah dan mutlak sedang disiplin lainnya
bersifat dogmatis dan relatif.
Kedua, adalah kesatuan hidup.
Berdasarkan kesatuan hidup ini segala disiplin harus menyadari dan mengabdi
kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa
beberapa disiplin sarat nilai sedang disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai
atau netral.
Ketiga, adalah kesatuan sejarah.
Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat yang ummatis
dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada
tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi
pembagian pengetahuan kedalam sains-sains yang bersifat individual dan
sains-sains yang bersifat sosial, sehingga semua disiplin tersebut bersifat
humanistis dan ummatis.[5]
Dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan
usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan
realisasi ibadah kepadaNya. Ini berbeda dengan prinsip keilmuan Barat, dimana
sejak abad 15 mereka sudah tidak berterima kasih kepada Tuhan melainkan hanya
pada dirinya sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip
teologis dan agama.[6]
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek
integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar ‘Islamisasi ilmu
pengetahuan’, itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media
lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah
ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan.
Gagasan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ tak hanya ia perjuangkan dalam
bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT
pada 1980, di Amerika Serikat, yang kemudian menerbitkan bukunya dengan judul “Islamization
of Knowledge: General Principles and Workplan” pada tahun 1982.
Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of
Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang
didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya
bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh
dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan ‘resep’ pengobatan agar kemajuan dan
pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep
Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.
Al Faruqi memandang dalam prinsip-prinsip pokok metodologi Islam.[7]
bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang
selanjutnya merupakan prasyarat untuk menghilangkan dualisme kehidupan, dan
untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi ummah, maka pengetahuan
harus diislamisasikan. Islamisasi pengetahuan harus mengamati sejumlah prinsip
yang merupakan esensi Islam. Dan untuk menuang kembali disiplin-disiplin
dibawah kerangka Islam berarti membuat teori-teori, metode-metode,
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada: 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan
alam semesta, 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) kesatuan
hidup, dan 5) Kesatuan umat manusia.
Rencana kerja islamisasi pengetahuan yang digagas oleh al Faruqi
bertujuan untuk 1) penguasaan disiplin ilmu modern, 2) penguasaan khazanah
Islam, 3) penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, 4)
pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern, dan 5)
pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola
rencana Allah Swt.[8]
Sedangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi
Pengetahuan adalah menurut Al-Faruqi ada 12 langkah,[9]
sebagai berikut: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris. 2)
Survei disiplin ilmu. 3) Penguasaan khazanah Islam: sebuah Antologi.4)
Penguasaan khazanah Islam tahap analisa. 5) Penentuan relevansi Islam yang khas
terhadap disiplin-disiplin ilmu. 6) Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu
modern: perkembangannya di masa kini. 7) Penilaian kritis terhadap khazanah
Islam: tingkata perkembangannya dewasa ini. Survei permasalahan yang dihadapi
umat islam. 9) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia. 10) Analisa
kreatif dan sintesa. 11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam
kerangka islam: buku-buku daras tingkat universitas. 12) Penyebarluasan
ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
Djakfar memandang bahwa langkah-langkah islamisasi ilmu seperti itu
intinya adalah upaya untuk mempertemukan khazanah pengetahuan modern ke dalam
kerangka Islam. Nampaknya pola pikir seperti ini yang ditantang keras oleh
Ziauddin Sardar. Dalam hal ini Sardar bertolak dari paradigma yang berbeda.
Bahwasanya bukan Islam yang perlu direlevansikan dengan ilmu pengetahuan
modern. Justru sebaliknya, Islamlah yang harus dikedepankan, dalam arti ilmu
pengetahuan modern yang dibuat relevan dengan Islam karena secara apriori Islam
bersumber dari wahyu membawa kebenaran sepanjang masa.[10]
Lebih jauh Sardar mengemukakan agar pertama sekali yang harus
dibangun adalah pandangan dunia Islam (islamic world view) atau agenda yang
pertama kali harus dikedepankan bagaimana membangun epistemologi Islam yang
berdasarkan al al-Qur’an dan hadits ditambah dengan memahami perkembangan dunia
kontemporer.
Husni Rahim lebih jauh memandang bahwa menurut al Faruqi, proyek
islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat membangun kerangka filosofis baru yang
berpusat pada konsep yang paling fundamental, yakni tawhid (keesaan Tuhan).
Dalam pandangannya, basis tawhid itu dapat mengatasi sekaligus
keterbatasan-keterbatasan, baik yang diderita oleh kerangka keilmuan modern
maupun kerangka pemikiran klasik.[11]
Sulfikar Amir dalam menanggapi gagasan-gagasan Al Faruqi berpendapat
bahwa keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara
jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau
begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban
setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang berlandaskan
nilai-nilai Islam.[12]
Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat
ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru
dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang
mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan
dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada
proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai
Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa
harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan
dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji
Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen?
Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi
manusia? Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap
kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi
lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang
mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena
lahir dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara historispun kita
bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin eksploitasi sistem
kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen sebagai ancaman
terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan
hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya
dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih
bijak.[13]
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius
untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan
nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen
yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal.
Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya
bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen
dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara
universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap
sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen
yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan
yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan
tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan
terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang
islami.
Bisa dipahami di sini bahwa Al- Faruqi pada tahap ini masih sebatas
menawarkan konsep Islamisasi Pengetahuan. Konsep-konsep tersebut kemudian
bergulir di masyarakat muslim dan menimbulkan pro-kontra terhadap ide
islamisasi pengetahuan tersebut. Di Universitas Islam Negeri Malang sendiri,
searah dengan islamisasi pengetahuan itu, telah dimunculkan konsep pohon ilmu
yang akan dikembangkan di kampus tersebut.
BAB III
PENUTUP
Gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al
Faruqi patut dicermati oleh segenap cendekiawan muslim sebagai gagasan yang timbul
karena sejarah umat islam sendiri yang mengalami pasang surut. Romantisme
sejarah seakan menjadi pemicu utama munculnya gagasan ini. Dan kemudian,
disinilah perlunya setiap muslim mengenal sejarah kebudayaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ziauddin Sardar,
Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad
Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45
Azyumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 49
M. Bashori, Islamisasi
Ilmu, (Jakarta: Harian Pelita, 1991), edisi 24 Nopember 1991
Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat
Perennial, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 113
Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu
Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang : UIN Press, 2004), h. 83
Husni Rahim, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang : UIN Press, 2004), h. 54
Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD, Department of
Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika
Rifyal Ka’bah, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks
Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 24
[1] Ziauddin Sardar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi
Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1998), h. 44-45
[2] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme
Modern hingga Post-Modernism, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 49
[3] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam… h. 49
[4] M. Bashori, Islamisasi Ilmu, (Jakarta: Harian Pelita,
1991), edisi 24 Nopember 1991
[5] Dalam pengantar buku Islamisasi Pengetahuan. ini ditulis
untuk menanggapi kenyataan sejarah umat islam yang sejak masa kemundurannya
kemudian mengadopsi paham dikotomi ilmu.
[6] Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan
Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 113
[7] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan… h. 55-96
[8] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan… h. 98
[9] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan… h. 99-116
[10] Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu
Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang : UIN Press, 2004), h. 83
[11] Husni Rahim, UIN
dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam,
(Malang : UIN Press,
2004), h. 54
[12] Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD, Department of Science
and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika
[13] Rifyal Ka’bah, Wawasan
Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar