Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Khazanah pemikiran islam; ISLAMISASI MENURUT ISMAIL ALFARUQI ; Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat dia pula agenda besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal. Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat.
Sudah tiba saatnya bagi cendekiawan muslim untuk meninggalkan metode-metode asal tiru dalam reformasi pendidikan islam. Reformasi pendidikan hendaklah islamisasi pengetahuan modern. Sebagai sebuah disiplin ilmu, maka sains-sains sastra, sosial, dan sains alam harus disusun dan dibangun ulang, diberikan dasar islam yang baru, dan diberikan tujuan-tujuan baru yang konsisten dengan islam. Setiap disiplin ilmu harus dituang kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip islam di dalam metodologinya, di dalam strateginya, di dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, problema-problemanya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.
Keprihatinan Faruqi terhadap kondisi umat Islam yang tenggelam dalam adopsi sistem pendidikan barat, maka menurutnya, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan barat, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li al ‘alamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integral.[1]
Dalam makalah ini akan kami sertakan biografi singkat dari Ismail Raji Al-Faruqi sebagai gambaran tentang latarbelakang kehidupannya, kemudian kami lengkapi dengan pemikiran-pemikirannya dalam islamisasi ilmu pengetahuan, pan-islamisme, dan pluralitas agama.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Biografi Singkat
Ismail Raji Al Faruqi dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921, sebelum wilayah ini diduduki Israel.[2] Saat itu Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab. Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Namun apa yang dicapai ini tidak memuaskannya, sehingga ia kemudian mendalami ilmu-ilmu keislaman di universitas al Azhar Cairo.[3] Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana.
Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun. Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.
B. Karya-Karya Ismail Raji Al-Faruqi
Faruqi mewariskan tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan; etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan politik. Di antara karyanya yang terpenting adalah: Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982) (diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan judul Islamisasi Pengetahuan), A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (1986) (diterjemahkan dengan judul Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang ), Islam and Culture (1980) (Islam dan Kebudayaan), Al Tawhid; Its Implications for Thought and Life (1982), Islamic Thought and Culture, Essays in Islamic and Comparative Studies.[4]
C. Pemikiran Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara –Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi– ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
Al Faruqi menegaskan tiga sumbu tauhid (kesatuan) untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, adalah kesatuan pengetahuan. Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus mencari obyektif yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa sains bersifat aqli (rasional) dan beberapa sains lainnya bersifat naqli (tidak rasional): bahwa beberapa disiplin ilmu bersifat ilmiah dan mutlak sedang disiplin lainnya bersifat dogmatis dan relatif.
Kedua, adalah kesatuan hidup. Berdasarkan kesatuan hidup ini segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai atau netral.
Ketiga, adalah kesatuan sejarah. Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat yang ummatis dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan kedalam sains-sains yang bersifat individual dan sains-sains yang bersifat sosial, sehingga semua disiplin tersebut bersifat humanistis dan ummatis.[5]
Dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepadaNya. Ini berbeda dengan prinsip keilmuan Barat, dimana sejak abad 15 mereka sudah tidak berterima kasih kepada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan agama.[6]
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan.
Gagasan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat, yang kemudian menerbitkan bukunya dengan judul “Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan” pada tahun 1982.
Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan ‘resep’ pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.
Al Faruqi memandang dalam prinsip-prinsip pokok metodologi Islam.[7] bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang selanjutnya merupakan prasyarat untuk menghilangkan dualisme kehidupan, dan untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi ummah, maka pengetahuan harus diislamisasikan. Islamisasi pengetahuan harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Dan untuk menuang kembali disiplin-disiplin dibawah kerangka Islam berarti membuat teori-teori, metode-metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada: 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan alam semesta, 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) kesatuan hidup, dan 5) Kesatuan umat manusia.
Rencana kerja islamisasi pengetahuan yang digagas oleh al Faruqi bertujuan untuk 1) penguasaan disiplin ilmu modern, 2) penguasaan khazanah Islam, 3) penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, 4) pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern, dan 5) pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.[8]
Sedangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi Pengetahuan adalah menurut Al-Faruqi ada 12 langkah,[9] sebagai berikut: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris. 2) Survei disiplin ilmu. 3) Penguasaan khazanah Islam: sebuah Antologi.4) Penguasaan khazanah Islam tahap analisa. 5) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. 6) Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: perkembangannya di masa kini. 7) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkata perkembangannya dewasa ini. Survei permasalahan yang dihadapi umat islam. 9) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia. 10) Analisa kreatif dan sintesa. 11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam: buku-buku daras tingkat universitas. 12) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
Djakfar memandang bahwa langkah-langkah islamisasi ilmu seperti itu intinya adalah upaya untuk mempertemukan khazanah pengetahuan modern ke dalam kerangka Islam. Nampaknya pola pikir seperti ini yang ditantang keras oleh Ziauddin Sardar. Dalam hal ini Sardar bertolak dari paradigma yang berbeda. Bahwasanya bukan Islam yang perlu direlevansikan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru sebaliknya, Islamlah yang harus dikedepankan, dalam arti ilmu pengetahuan modern yang dibuat relevan dengan Islam karena secara apriori Islam bersumber dari wahyu membawa kebenaran sepanjang masa.[10]
Lebih jauh Sardar mengemukakan agar pertama sekali yang harus dibangun adalah pandangan dunia Islam (islamic world view) atau agenda yang pertama kali harus dikedepankan bagaimana membangun epistemologi Islam yang berdasarkan al al-Qur’an dan hadits ditambah dengan memahami perkembangan dunia kontemporer.
Husni Rahim lebih jauh memandang bahwa menurut al Faruqi, proyek islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat membangun kerangka filosofis baru yang berpusat pada konsep yang paling fundamental, yakni tawhid (keesaan Tuhan). Dalam pandangannya, basis tawhid itu dapat mengatasi sekaligus keterbatasan-keterbatasan, baik yang diderita oleh kerangka keilmuan modern maupun kerangka pemikiran klasik.[11]
Sulfikar Amir dalam menanggapi gagasan-gagasan Al Faruqi berpendapat bahwa keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban  yang berlandaskan nilai-nilai Islam.[12] Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia?  Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena lahir  dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya.  Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.[13]
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.
Bisa dipahami di sini bahwa Al- Faruqi pada tahap ini masih sebatas menawarkan konsep Islamisasi Pengetahuan. Konsep-konsep tersebut kemudian bergulir di masyarakat muslim dan menimbulkan pro-kontra terhadap ide islamisasi pengetahuan tersebut. Di Universitas Islam Negeri Malang sendiri, searah dengan islamisasi pengetahuan itu, telah dimunculkan konsep pohon ilmu yang akan dikembangkan di kampus tersebut.

BAB III
PENUTUP

Gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al Faruqi patut dicermati oleh segenap cendekiawan muslim sebagai gagasan yang timbul karena sejarah umat islam sendiri yang mengalami pasang surut. Romantisme sejarah seakan menjadi pemicu utama munculnya gagasan ini. Dan kemudian, disinilah perlunya setiap muslim mengenal sejarah kebudayaan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Ziauddin Sardar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 49

M. Bashori, Islamisasi Ilmu, (Jakarta: Harian Pelita, 1991), edisi 24 Nopember 1991

Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: UI Press, 1995),  h. 113

Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang: UIN Press, 2004), h. 83

Husni Rahim, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004),  h. 54

Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD,  Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika

Rifyal Ka’bah, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 24






[1] Ziauddin Sardar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45

[2] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 49
[3] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…  h. 49
[4] M. Bashori, Islamisasi Ilmu, (Jakarta: Harian Pelita, 1991), edisi 24 Nopember 1991
[5] Dalam pengantar buku Islamisasi Pengetahuan. ini ditulis untuk menanggapi kenyataan sejarah umat islam yang sejak masa kemundurannya kemudian mengadopsi paham dikotomi ilmu.
[6] Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: UI Press, 1995),  h. 113
[7] Ismail Raji Al Faruqi,  Islamisasi Pengetahuan… h. 55-96
[8] Ismail Raji Al Faruqi,  Islamisasi Pengetahuan… h. 98

[9] Ismail Raji Al Faruqi,  Islamisasi Pengetahuan…  h. 99-116
[10] Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang: UIN Press, 2004), h. 83
[11] Husni Rahim, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004),  h. 54
[12] Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD,  Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika
[13] Rifyal Ka’bah, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar