Sebagaimana pengakuan al-Qur’an bahwa
wahyu merupakan sebuah hakikat dan kebenaran dan dalam beberapa ayat al-Qur’an
hal tersebut dinisbahkan kepada Nabi saw. Akan tetapi, al-Qur’an, dalam
menjelaskan esensi wahyu, hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak
memaparkan sedetail mungkin. Al-Qur’an menyatakan: “Dan sesungguhnya al-Qur’an
ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh
Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Qs. asy-Syu’araa’ ayat
192-194)
Dalam ayat lain menyatakan:
“Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril maka Jibril itu telah
menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Baqarah ayat 97)
Kedua ayat ini mengisyaratkan salah
satu karakter penting wahyu, yaitu wahyu langsung turun ke qalbu (hati)
Nabi saw dan dikatakan bahwa Jibril as membawa al-Qur’an dan menyampaikan
langsung ke dalam qalbu Nabi saw.
Merupakan perkara badihi (aksioma)
bahwa bentuk pengajaran seperti ini berbeda dengan bentuk atau sistem
pengajaran-pengajaran pada umumnya, karena ilmu husuli manusia diperoleh
melalui media panca indera. Pada mulanya dia, melalui indera ini, menjalin
hubungan dengan dunia luar, kemudian apa saja yang diperoleh dari dunia luar
masuk ke dalam indera musytarak, forma-forma yang ada dalam daya khayal serta
makna-makna yang bersifat partikular dapat ditangkap atau dipahami melalui daya
delusive (wahm), dan menyatu di dalam daya memori (haafizh). Ketika itu daya
akal, dengan argumentasi dan dengan bentuk silogisme, memperoleh ilmu-ilmu
husuli. Dan pada akhirnya masuk ke dalam hati dan jiwa (nafs).
Sementara al-Qur’an menyatakan bahwa
wahyu memiliki bentuk khusus dan berbeda, karena pada mulanya hakikat-hakikat
ilmu itu secara langsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi saw dan dari sini
memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Allamah Thabathabai Qs, dalam
menafsirkan ayat di atas, menuliskan: yang dimaksud dengan qalb adalah nafs
(jiwa) manusia, yang mana dia merupakan tempat berpijak dan media untuk
menangkap dan memahami berbagai macam ilmu. Mungkin yang diinginkan dari
menggunakan gaya pengucapan seperti ini: Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad), dan tidak menggunakan kata ‘alaika
adalah untuk sekedar mengisyaratkan ihwal kebagaimanaan dalam memperoleh
wahyu al-Qur’an. Yakni penyampaian wahyu langsung ke dalam hati dan jiwa Nabi
saw tanpa ada intervensi alat indera. Oleh karena itu, Nabi saw menyaksikan
langsung malaikat dan mendengar wahyu, tanpa harus menggunakan panca inderanya.
Karena kalau wahyu itu bisa dilihat dengan mata kepala dan didengar dengan
telinga biasa, maka orang-orang yang hadir ketika wahyu itu turun akan
menyaksikan dan mendengarkan pula suara malaikat Jibril as. Padahal tidak
demikian adanya.[1]
Dalam tafsir Ruhul Bayan, yang
dinukil dari kitab Kasyful Asrar, dinyatakan bahwa: ketika wahyu
turun kepada Nabi saw, mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi saw, karena
beliau saw sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian
dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi saw. Dan ini merupakan sebuah
tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih
rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan
kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam
pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan
metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah
menuju ke maqam yang lebih tinggi. Dan betapa sebuah perbedaan yang begitu jauh
antara keduanya.[2]
Oleh karena itu, wahyu merupakan
sejenis ilmu yang sungguh luar biasa dan menakjubkan serta diperoleh melalui
cara yang tidak biasa. Penyampaiannya tidak sama dengan penyampaian yang ada
pada pengajaran-pengajaran yang terjadi di masyarakat umum dan juga metode
tafakkur dan struktur silogisme yang digunakan untuk memperolehnya sangat
berbeda. Bahkan merupakan refleksi lansung seluruh hakikat ilmu ke dalam hati
nurani dan qalb Rasulullah saw, dan memperolehnya merupakan sebuah kondisi perasaan
atau persepsi batin yang berbeda dengan apa yang ada pada umumnya.
Allamah Thabathabai Qs menuliskan:
“Para psikolog tidak ragu bahwa manusia memiliki unsur kesadaran jiwa dan batin
yang mana nampak di sebagian pribadi-pribadi manusia dan dengan hal itu, terbukalah
pintu alam gaib baginya. Dan dalam kondisi tersebut, tersingkaplah baginya
berbagai ilmu dan pengetahuan yang mana ilmu dan pengetahuan tersebut lebih
baik dan lebih tinggi dari pengetahuan yang diperoleh dari hasil berfikir.
Sekelompok ilmuan dalam bidang ilmu jiwa dan juga para ilmuan Eropa seperti
James dari inggris serta yang lain memaparkan akan adanya aspek kesadaran
seperti ini. Oleh karena itu, wahyu yang turun kepada Nabi saw bukanlah berupa
sebuah hasil tafakkur akal”.[3]
Di tempat lain beliau juga
menuliskan: “Dari aspek ini tidak diragukan lagi bahwa wahyu merupakan sebuah
perkara yang luar biasa, sejenis persepsi dan kesadaran batin yang mana indera
kita tidak bisa mencapai hal itu, namun akal tidak bisa menafikan dan tidak
bisa memustahilkan keberadaan perkara yang luar biasa seperti
ini”.[4]
Ada satu lagi ciri khas wahyu yaitu
menyaksikan malaikat melalui hati mulia Nabi saw, sebagaimana yang diisyaratkan
ayat al-Qur’an beriktu ini:
“Maa kadzaba al fuaadu maa
ra’aa”, ru’yat al fuaad disini dinisbahkan kepada hati dan jiwa yaitu
yang dimaksud adalah menyaksikan malaikat Jibril as melalui perantara jiwa dan
hati. Kalimat-kalimat seperti maa yaraa dan wa laqad ra’aahu nazlatan
ukhra juga memiliki makna yang sama dengan kata di atas, yaitu penyaksian
melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata bashara dalam kalimat maa zaagha al
basharu memiliki makna mata hati. (Qs. An- Najm ayat 1-18)
Allamah Thabathabai, dalam
menafsirkan ayat di atas, menuliskan bahwa: “Makna maa kadzaba al fuaadu maa
ra’aa adalah apa yang disaksikan Nabi saw dengan qalbunya merupakan sebuah
kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan ru’yat kepada penyaksian
melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan lumrah, karena manusia, selain memiliki
persepsi melalui indera lahiriah dan daya pikir serta kemampuan
berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi yang mana hal itu bukan indera
lahiriah dan juga bukan indera batin. Kita dapat merasakan atau memahami dalam
diri ini terdapat hal-hal seperti mendengar, mencium, mengecap, dan meraba dan
demikian juga kita menyaksikan adanya daya khayal dan tafakkur dalam diri ini,
padahal kita tahu bahwa indera lahiriah dan batiniah kita tidak turut campur
tangan di dalam persepsi ini.
Dan begitu pula forma-forma, yang
dengan melalui daya-daya itu, bisa ditangkap dan dipahami dan kita juga
memahami tentang cara kerja persepsi tersebut, namun pemahaman dan persepsi
kita itu bukan melalui daya-daya tersebut, akan tetapi melalui perantara nafs
(jiwa) yang mana ayat yang disebutkan di atas mengistilahkannya dengan
fu’aad. [5]
Wahyu dalam Hadis
Sangat disayangkan karena kita tidak
memiliki hadits-hadits yang menjelaskan tentang esensi wahyu secara baik. Dalam
kesempatan ini kita hanya sekedar mengisyaratkan saja. Diantaranya:
Harits bin Hisyam mengutarakan
pertanyaan kepada Nabi saw: “Bagaimana wahyu itu datang kepada anda? Beliau
menjawab: Terkadang dimulai dengan suara yang menyerupai suara gemerincing
(bel), dan ini bentuk wahyu yang paling berat. Ketika suara itu terputus, apa
yang telah disampaikan dan dikatakan langsung ada dalam memori saya. Terkadang
juga malaikat datang kepada saya dengan menyerupai seorang laki-laki dan
berkata kepadaku. Lalu saya menghafal apa yang dikatakannya”.[6]
Abdullah bin Umar berkata: Saya
mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah saw: Apakah anda merasakan wahyu itu?
Beliau saw menjawab: Iya, saya merasakannya sama seperti suara gemerincing
(bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang kepadaku, karena begitu
dahsyatnya, saya mengira nyawa dan ruhku telah melayang.[7]
Dari kedua hadits ini, dapat dipahami
bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai dengan terdengar suara yang menyerupai
suara gemerincing (bel), dan ini merupakan jenis wahyu yang paling berat. Dan
kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma sesuatu (misalnya menjelma seperti
seorang pemuda) dan berbicara.
Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat tiga bentuk wahyu dan
percakapan Allah swt dengan Nabi saw, sebagaimana yang diisyaratkan al-Qur’an:
“Dan tidak mungkin bagi seorang
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Syuura ayat 51)
1. Bentuk pertama; percakapan
khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantara antara Allah swt dengan Nabi
Muhammad saw. Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata
illaa wahyan. Percakapan Allah swt pada bentuk kedua diukur atau dibatasi
dengan kalimat min waraai hijaabin pada ayat tersebut dan pada bentuk ketiga
diukur atau dibatasi oleh kalimat auw yursila rasuulan, berbeda dengan bentuk
pertama illa wahyan yang mana tidak memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan
demikian, ia merupakan sebuah percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta
tanpa ada media perantara. Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi
saw – sedang terjaga (terbangun), sebagaimana yang telah dijelaskan tadi. Dan
kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari sebagian hadits dapat dipahami
bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah bentuknya seperti berikut; yaitu
ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan diwahyukan dengan sangat
jelas ke dalam hati dan kalbu mereka ketika mereka sedang dalam keadaan tidur
dan mereka, para nabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat dan
kebenaran tersebut.
Sebagian dari para nabi, pada awal
mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk sepeti ini; yaitu secara
bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam
bentuk mustaqim (langsung). Imam Baqir As bersabda: “Bentuk (penerimaan wahyu)
para nabi itu ada lima: sebagian dari mereka (kelompok pertama) mendengar suara
wahyu itu sama seperti suara rantai besi, dan dengan wasilah ini mereka
mendapatkan dan memahami makna-makna dan materi-materi pokok; sebagiannya lagi
(kelompok kedua) memperoleh wahyu dalam keadaan sedang tidur, seperti Nabi
Yusuf As dan Nabi Ibrahim As; sebagian lagi (kelompok ketiga) memperoleh wahyu
dengan melihat dan menyaksikan malaikat pembawa wahyu; kelompok keempat dan
kelima adalah mereka yang seluruh hakikat ilmu pengetahuan itu disampaikan
melalui hati dan kalbu atau telinga mereka”. [8]
Zurarah bertanya kepada Imam Baqir
As: “Siapakah yang dimaksud rasul, nabi, dan muhaddats? Beliau As menjawab:
Yang dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As
dalam bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan
Nabi adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang
disaksikan Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi
Muhammad saw sebelum bi’tsah sampai ketika Jibril As datang dari Allah
swt membawa wahyu untuk beliau saw. Ketika terjadi integrasi antara maqam
kenabian dan risalah kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau
dan berbicara kepadanya. Sebagian para nabi didatangi malaikat ketika sedang
tidur dan berbicara serta bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya
ketika terjaga. Adapun muhaddats adalah orang yang diajak bicara dan dikatakan
sesuatu (hadits) kepadanya lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia
tidak menyaksikan dan melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang
tertidur”.[9]
Adapun ihwal Nabi saw, beliau saw
sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai macam hakikat dan kebenaran,
yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah berkata: Paling pertama dari
tahap kenabian Muhammad saw, ketika Allah swt menghendaki kemuliaan dia dan
rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau saw tidak
bermimpi kecuali yang dilihat itu adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang
terang.[10]
Halabi menuliskan: Wahyu yang turun
kepada Nabi saw dimulai dengan cara lewat mimpi sampai pada saat beliau saw
siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu darinya, karena
menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima wahyu adalah
sebuah perkara yang sangat sulit dan berat[11]. Oleh karena itu, seperti yang
dikatakan oleh Amirulmukminin Ali As: Mimpi para nabi As adalah salah satu
bentuk wahyu. [12]
Tentunya mimpi para nabi As dengan
mimpi manusia biasa memiliki perbedaan yang sangat jauh. Mimpi para nabi
merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam hakikat
dan kebenaran secara jelas dan terang; yang mana hal tersebut memiliki
kesesuaian dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan
dan godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya
selalu terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti
manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah saw bersabda: Mata kami
tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami selalu terjaga dalam segala
kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada dibelakang sama seperti kami menyaksikan
apa yang ada di depan kami”. [13]
2. Bentuk kedua; wahyu datang dari
balik tabir, yang dalam istilah al-Qur’an disebut min waraai hijaabin. Pada
bentuk wahyu ini, Allah swt berbicara dengan Nabi saw tanpa perantara malaikat.
Nabi saw pun mendengar kalam Allah swt, namun kalam Allah swt itu muncul dari
sebuah tempat khusus atau sesuatu yang khusus. Seperti yang terjadi pada Nabi
Musa as ketika berdialog dengan pohon.
Al-Qur’an mengatakan: “Maka ketika
dia (Musa) sampai ke (tempat) api itu, dia diseru dari arah pinggir sebelah
kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi, “Wahai
Musa! Sungguh, Aku adalah Allah, Tuhan seluruh alam.” (Qs. Al-Qashash
ayat 30)
Seperti yang anda saksikan pada ayat
di atas bahwa Allah swt berbicara melalui pohon tersebut. Pada dasarnya suara
itu, tanpa perantara malaikat as, bersumber dari Allah swt, akan tetapi
kedengarannya datang dari pohon tersebut.
Allamah Thabathabai (qs) menuliskan:
Pada bentuk wahyu ini terdapat sebuah perantara yang dikenal dengan istilah
hijab atau tabir, namun media ini tidak berbicara, tapi suara itu muncul dan
terdengar dari balik hijab atau tabir tersebut. Perlu dicatat bahwa yang
dimaksud di balik tabir disini bukan di belakang kita, akan tetapi yang
dimaksud adalah di luar sesuatu dan meliputi hal tersebut; sebagaimana yang
disebutkan oleh al-Qur’an: wallahu min waraaihim muhith .[14]
3. Bentuk Ketiga; bentuk wahyu yang
ketiga ini terjadi melalui perantara malaikat Jibril As, sebagaimana yang
diisyaratkan ayat auw yursila rasulan fayuuhiya bi idznihi maa yasyaau
pada awal pembahasan.
Pada bentuk wahyu ini, hubungan
antara Allah swt dengan nabi terjalin melalui perantara malaikat Jibril As.
Malaikat Jibril As datang dari sisi Tuhan membawa ilmu pengetahuan, makrifat,
serta pesan-pesan Ilahi, kemudian disampaikan ke dalam hati mulia nabi dan nabi
pun mendengarnya melalui hati.
Harits bertanya kepada Nabi saw:
Bagaimana wahyu itu turun kepada anda? Nabi saw bersabda: Kadang saya mendengar
suara seperti suara gemerincing bel, dan ini sangat berat bagi saya. Ketika
kondisi seperti ini berlalu, pesan yang disampaikan itu ada dalam hafalan saya.
Dan kadang malaikat pembawa wahyu datang kepadaku dalam bentuk seorang
laki-laki dan berdialog denganku. Dan aku merekam dan menghafal segala apa yang
disampaikannya.[15]
Imam Shadiq As berkata: Bahwa ketika
Jibril as turun kepada Nabi saw, malaikat Jibril As duduk seperti hamba ketika
berhadapan dengan beliau saw dan tidak akan masuk tanpa izin dari beliau
saw.[16]
Kadang malaikat Jibril as menyerupai
seorang manusia yang berparas tanpan ketika turun kepada beliau saw dan hal ini
paling sering terjadi dan kadang datang dalam bentuk aslinya, tapi hal ini
jarang terjadi; paling tidak dua kali atau lebih. Pertama kali hal ini terjadi
di saat wahyu pertama turun kepada Nabi saw di Goa Hira. Nabi saw melihat
malaikat Jibril as dalam sebuah bentuk yang memenuhi antara timur dan barat,
dan Nabi saw pingsan ketika menyaksikannya, lalu Jibril as menjelma menjadi
manusia biasa dan merangkul Nabi saw, kemudian Nabi pun tersadar kembali.[17]
Kedua kalinya terjadi atas permintaan
Nabi saw sendiri. Beliau saw meminta kepada Jibril as untuk menampakkan bentuk
aslinya. Jibril as berkata: Anda tidak memiliki kemampuan untuk menyaksikannya.
Beliau saw berkata: Saya senang dengan hal itu. Kemudian Nabi saw pergi ke
mesjid pada malam bulan purnama. Lalu Jibril as menampakkan diri kepada beliau
saw dalam bentuknya yang asli. Nabi saw pingsan ketika melihatnya tetapi
kemudian beliau saw sadar.[18]
Perlu dipahami bahwa malaikat Jibril
as -pada silsilah tahapan atau tingkatan nuzulul wahyu- memiliki dua maqam,
yaitu maqam tabiat (natural) dan maqam hakikat (realitas). Ilmu pengetahuan dan
makrifat yang datang dari sisi Allah swt harus melalui dan menempuh cara ini,
dan bahkan juga dalam hal wahyu yang langsung dari Allah swt. Perbedaan
tahapan-tahapan wahyu berada pada kadar tinggi dan naiknya jiwa dan nafs
Nabi saw. Kadang Nabi saw naik ke tingkat maqam malaikat wahyu, lantas beliau
saw menyaksikan malaikat Jibril as dan mendengar ucapannya. Dan kadang Nabi saw
naik ke maqam yang lebih tinggi dari itu, sehingga beliau tidak lagi
menyaksikan malaikat Jibril as dan beliau saw mendengar ucapan itu langsung
dari Allah swt. Namun demikian Jibril as tetap sebagai perantara.
Allamah Thabathabai –mengenai hal
ini– menuliskan: Wahyu dari balik tabir atau wahyu melalui perantara malaikat
Jibril as tidak memiliki pertentangan dengan percakapan langsung Allah swt.
Karena, wahyu merupakan perbuatan (fi’il) Allah swt dan sama seperti
perbuatan-perbuatan lainnya; yang mana terjadi dengan sebuah perantara.
Perbedaan pada bentuk-bentuk wahyu berkisar pada kadar perhatian dan atensi
mukhathab (lawan bicara). Kalau perhatian dan atensi Nabi saw tertuju
pada malaikat pembawa wahyu Ilahi –yakni Jibril as– maka kalam Ilahi itu
akan diperoleh dari malaikat Jibril as. Dan kalau perhatian Nabi saw tidak
tertuju pada malaikat Jibril as maka kalam Ilahi itu akan didengar secara
langsung dari Allah swt. Dan kalau perhatiannya tertuju pada sesuatu yang bukan
pembawa wahyu, seperti pada pohon (kasus) Nabi Musa as, maka beliau saw akan
mendengar wahyu itu dari balik tabir. Namun demikian, kedudukan Jibril as
sebagai perantara wahyu Ilahi tetap terjaga.[19]
Malaikat Pembawa Wahyu
Agama-agama samawi menerima dan
meyakini akan keberadaan sebuah makhluk yang bernama malaikat dan para nabi
mengetahui akan keberadaan mereka itu. Dalam sistem alam semesta ini mereka
memiliki tanggung jawab khusus masing-masing. Di dalam kitab-kitab suci samawi,
seperti al-Qur’an, Injil, dan Taurat, mengisyaratkan akan wujud dan keberadaan
mereka. Di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 88 ayat yang mengisyaratkan akan
keberadaan para malaikat tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wujud
semacam ini merupakan hal pasti dalam agama-agama samawi.
Hal yang bisa digunakan dari ayat dan
hadits antara lain adalah:
1. Telah ada sebelum Nabi Adam as.
Al-Qur’an mengatakan dalam surat al- Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
2. Sebagian dari malaikat dipilih
sebagai rasul dan utusan. Al-Qur’an mengatakan dalam surat al-Hajj ayat 75:
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya)
dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
3. Para malaikat mengitari arasy
Allah swt. Al-Qur’an menyatakan dalam surat az- Zumar ayat 75:
“Dan (pada hari itu) engkau akan
melihat malaikat beredar di sekeliling Arasy dengan bertasbih memuji Tuhan
mereka…”
4. Mentaati segala perintah Allah
swt. Al-Qur’an menyatakan dalam surat al- Anbiyaa ayat 26-27:
“Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha
Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak”, Maha suci Allah. Sebenarnya
(malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak
mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”
5. Tidak maksiat. Al-Qur’an
menyatakan dalam surat at-Tahriim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Dari hadits-hadits juga dapat
digunakan bahwa para malaikat adalah sebuah wujud nurani dan non-materi dan
non-jasmani, tidak makan, tidak minum dan tidak menikah, tidak punya
bentuk dan panjang lebar, tidak tidur, tidak lalai dan tidak lupa,
keberadaannya tidak atas dasar dilahirkan dan jauh dari segala bentuk maksiat
dan dosa. Mengenai ihwal ini, kita memiliki banyak hadits. Sebagian di
antaranya adalah:
Imam Ali as, mengenai penciptaan
malaikat, berkata:
“Para malaikat yang Engkau ciptakan
dan Engkau beri tempat tinggal di atas langit, tidak lupa, lalai dan lemah,
tidak berbuat dosa dan tidak durhaka. Mereka lebih mengenal Engkau dari pada
makhluk-makhluk lain. Dan mereka lebih takut kepada-Mu dari pada
makhluk-makhluk lain dan mereka itu paling dekat kepada Engkau dari pada
makhluk lain. Dan mereka lebih mentaati segala perintah-Mu dari pada makhluk
lain. Matanya tidak pernah terjangkiti rasa ngantuk, hati-hati mereka tidak
pernah lalai, dan badan-badan mereka tidak pernah merasa letih dan lelah.
Mereka tidak tinggal di dalam rahim ibu. Mereka tidak tercipta dari air nutfah
(mani) laki-laki”. [20]
Imam Shadiq as ditanya: Apakah
malaikat juga makan dan minum serta menikah? Beliau as menjawab: Tidak, akan
tetapi mereka hidup mengitari arasy.[21]
Oleh karena itu, malaikat merupakan
makhluk non-materi dan non-jasmani, Tidak memiliki bentuk dan rupa sehingga
bisa dilihat dan disaksikan oleh indera manusia.
Malaikat Jibril as
Salah satu malaikat terdekat Allah
swt adalah malaikat Jibril as. Jibril adalah sebuah kata dan lafaz dari bahasa
ibrani, yang berarti pemuda Ilahi, hamba Allah, dan kekuatan Ilahi.[22]
Jibril as adalah malaikat pembawa
wahyu yang diutus oleh Allah swt untuk menyampaikan pesan dan wahyu Ilahi
kepada nabi. Di dalam kitab al-Muqaddas dan kitab al-Qur’an berkali-kali
disebutkan nama malaikat Jibril as.
Dalam kitab Danial dikatakan: Saya,
Danial, bermimpi dan menginginkan makna mimpi tersebut, tiba-tiba ada seseorang
yang serupa dengan laki-laki berdiri dekat saya dan saya mendengar suara
seorang manusia dari tengah-tengah sungai dengan berkata: Wahai Jibril
beritahukanlah makna mimpi tersebut kepada laki-laki ini.[23]
Di dalam kitab itu pula tertulis:
Ketika saya masih sedang berdoa, laki-laki itu (Jibril as) yang saya lihat
dalam mimpi, terbang dengan cepat dan datang kepadaku serta berbicara dan
berkata: Wahai Danial, sekarang saya datang kepadamu untuk menganugerahimu
kecerdasan dan kepahaman.[24] Di dalam Injil Lukas tertulis bahwa:
Tiba-tiba malaikat Tuhan berdiri di arah tempat sesembahan dan dia menampakkan
diri.[25]
Dalam ayat lain disebutkan bahwa:
Malaikat ketika menjawab, berkata: Saya malaikat Jibril yang mana berdiri di
hadapan Allah swt dan diutus oleh-Nya supaya saya berbicara dengan anda dan
memberi anda ganjaran atas perkara-perkara ini.[26]
Dan pada ayat lain: Pada bulan ke
enam Jibril as diutus oleh Allah swt untuk datang ke sebuah negara yang mulia
yang bernama Naashirah.[27]
Dalam ayat lain disebutkan: Bahwa
ketika malaikat Jibril as menjawab, dia berkata: Ruhulqudus akan datang kepada
anda, dan kekuatan Allah swt akan menaungi dan membentengi anda.[28]
Di dalam al-Qur’an juga disebutkan
bahwa malaikat pembawa wahyu itu bernama Jibril as:
Katakanlah: “Barang siapa yang
menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam
hatimu dengan seizin Allah; membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Barang siapa yang menjadi musuh
Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (Qs. Al Baqarah ayat 97-98)
“Jika kamu berdua bertaubat
kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima
kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka
Sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang
mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya
pula.” (Qs. At-Tahriim ayat 4)
Di sebagian ayat-ayat, malaikat
pembawa wahyu itu diberi nama ruhul qudus:
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)
menurunkan al-Qur”an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Qs. An Nahl ayat 102)
Dan disebagian ayat lain, malaikat
pembawa wahyu itu diberi julukan ruhul amin:
“Dan Sesungguhnya al-Qur’an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ruhul
Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
(Qs. Asy Syu’araa’ ayat 192-195)
Turunnya (nuzul) Jibril as
Dari pembicaraan yang lalu, kita
dapat mengambil manfaat bahwa Jibril as merupakan malaikat pembawa wahyu yang
turun kepada nabi dan menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Dikatakan bahwa para
malaikat tersebut adalah non-fisik dan non-jasmani yang mana ketika dia turun
maka akan nampak dan kelihatan. Mereka tidak memiliki lidah dan mulut untuk
berkata-kata sehingga perkataannya bisa didengar. Lalu apa makna nuzul
(turun) dan kalam (perkataan) bagi Jibril as dan seperti apa bentuknya?
Jawabannya: dikatakan bahwa nuzul bagi Jibril as adalah turun secara non-fisik
dan non-place (tidak menggunakan tempat), akan tetapi dalam bentuk menyerupai
atau menjelma (tamatstsul ) sesuatu.
Tentang ihwal malaikat yang turun
kepada Maryam Al-Muqaddas, al-Qur’an menggunakan istilah tamatstsul
(menyerupai):
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di
dalam al-Qur’an. Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu
tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari
mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya. Maka ia menjelma di hadapannya
(dalam bentuk) manusia yang sempurna.
Maryam berkata: “Sesungguhnya aku
berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang
bertakwa”.
Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya
aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki
yang suci”. (Qs. Maryam ayat 16-19)
Di dalam beberapa hadits juga
menggunakan istilah yang sama, yaitu tamatstsul ketika menjelaskan ihwal
turunnya Jibril as.
Bahkan dalam hal lain juga terkadang
istilah tamatstsul ini digunakan, seperti tamatstsul harta,
anak-anak dan perbuatan-perbuatan manusia ketika sedang sekarat, dan seperti
tamatstsul Nabi saw dan para Imam Maksum as untuk sebagian manusia ketika
sedang menghadapi kematian. Dan seperti tamatstsul dunia yang menyerupai
seorang wanita cantik bagi Imam Ali as. Dan seperti tamatstsul malaikat
maut bagi manusia untuk mencabut ruhnya, dan seperti tamatstsul setan
bagi sebagian orang. Tamatstsul-tamatstsul seperti ini banyak ditemukan
dalam hadits-hadits, diantaranya:
Imam Ali as berkata: “Ketika manusia
menemui hari akhir baginya di dunia ini dan memasuki hari pertama pada hari
kiamat, maka harta dan amal perbuatannya akan ber-tamatstsul (menjelma sesuatu)
baginya.” [29]
Dari Imam Shadiq as dari
bapak-bapaknya dan dari Amirul mukminin Ali as, bahwa beliau berkata: “Suatu
ketika saya sedang sibuk mencangkul di sebagian tanah pertanian Fadak, yang
mana setelah itu menjadi milik sayyidah Fathimah as, tiba-tiba muncul di
depanku seorang wanita cantik. Sangat cantik dan menarik serta menawan.
Menyerupai Batsinah binti Amir Al Jumhaa, wanita tercantik kaum Quraisy. Wanita
itu berkata kepadaku: kalau kamu menikan denganku, maka aku akan membuatmu
tidak perlu bekerja lagi, dan aku akan menunjukkan kepada kamu seluruh harta
karun yang ada di dalam perut bumi ini, dan selama hidup kamu akan menjadi
penguasa. Saya berkata: kamu ini siapa sehingga saya bisa datang ke keluargamu
untuk melamar? Dia menjawab: saya adalah dunia. Saya berkata: pergilah dan
carilah calon suami selain aku! Kamu tidak layak dan tidak se-kufu’ denganku,
setelah berkata seperti ini, saya pun kembali sibuk dengan
pekerjaanku.” [30]
Dalam buku-buku sejarah dan hadits
dikisahkan bahwa Jibril as paling sering menampakkan dirinya dengan menyerupai
Dahiyah kalabi, seorang pemuda yang gagah dan tampan, dan kadang dalam bentuk
manusia-manusia lain dan turun kepada Nabi saw. Oleh karena itu, nuzul-nya
Jibril as itu harus ditafsirkan dengan penyerupaan dia itu sebagai manusia
khusus yang sesuai dengan idrak (persepsi) dan dzihni Nabi saw. Penjelmaan
Jibril as menjadi seorang manusia khusus ketika menjumpai Nabi saw tidak
bermakna bahwa hakikat kemalaikatannya itu telah hilang dan menjadi manusia
lalu turun dan menemui Nabi saw.
Allamah Thabatabai Qs, mengenai ihwal
ini, menuliskan: Makna tamatstsul malaikat ketika turun kepada hadhrat Maryam
as adalah penjelmaan dan penyerupaannya dengan rupa manusia ketika menemui
Maryam as. Dan tidak bermakna bahwa secara hakikat malaikat tersebut berubah
menjadi manusia. Jibril as –sesuai kapasitas akal dan persepsi hadhrat Maryam
as – menjelma di hadapannya dengan rupa seorang manusia, bukan dalam bentuknya
yang asli dan hakiki. Hadhrat Maryam lah yang menyaksikan Jibril as berbentuk
seperti ini, bukan Jibril as yang betul-betul berubah menjadi
manusia.” [31]
Dalam menjelaskan pokok bahasan ini,
maka dapat dikatakan bahwa Jibril as adalah sebuah maujud atau makhluk
yang memiliki nurani dan non-materi yang mana mengemban sebagian ilmu-ilmu
Ilahi dan siap untuk disebarkan dan sampaikan. Ruh suci dan penuh cahaya Nabi
saw, yang mana jauh dari kecenderungan-kecenderungan jasmani dan nafsu, juga
ketika atensinya itu ditujukan kepada alam yang lebih tinggi, maka sebagian
hakikat ilmu yang ada dalam esensi dan dzat Jibril as akan tergambar dan nampak
di dalam hati beliau saw, dan inilah yang dimaksud wahyu. Pada tahapan ini,
wahyu tidak lain adalah bermakna penuangan dan penganugerahan berbagai ilmu
pengetahuan, bukan dalam suatu bentuk dan bukan pula sebuah kalam dan
perkataan.
Bentuk atau forma dan kalam muncul
pada tahapan imajinasi dan indera musytarak. Ketika hakikat-hakikat berbagai
ilmu pengetahuan turun dari qalb (hati) dan ruh Nabi saw menuju ke arah daya
imajinasi dan indera musytarak beliau saw, maka pada ketika itu Jibril as
muncul di hadapan Nabi saw dalam bentuk seorang laki-laki gagah dan tampan dan
kemuidan berdialog dengan beliau saw. Karena tahapan imajinasi dan indera
musytarak merupakan tahapan membentuk sebuah rupa.
Nabi saw lah, yang mana sesuai dengan
kapasitas imajinasi dan akal pikirannya, yang menyaksikan Jibril as dalam
bentuk seorang manusia yang gagah dan tampan dan mendengar pembicaraannya. Akan
tetapi, orang lain yang bahkan berada bersama Nabi saw tidak memiliki
penyaksian (musyahadah) seperti ini. Kecuali orang-orang yang jiwanya berada di
bawah pengawasan Nabi saw dan dipersiapkan untuk menangkap dan memahami hal-hal
seperti ini.
Akan tetapi jangan sekali-kali anda
beranggapan kami ingin mengatakan bahwa menyaksikan dan mendengarkan ucapan dan
kalam Jibril as merupakan perkara dan nasihat kosong belaka dan bertentangan
dengan realitas, sungguh kami tidak mengatakan hal yang seperti ini, akan
tetapi yang kami katakan adalah: Sungguh Nabi saw menyaksikan malaikat itu
dalam bentuk seorang pemuda yang gagah dan tampan dan sungguh beliau saw
mendengar kalam dan perkataannya akan tetapi ini semua ada di alam yang disebut
alam mitsal.
Manifestasi Jibril as dalam bentuk
seorang manusia gagah dan tampan dan musyahadah (penyaksian) Nabi saw merupakan
sebuah realitas yang nyata, akan tetapi hal ini berada pada alam mitsal.
Tentunya penyaksian dan sense ini dengan penyaksian dan sense terhadap hal-hal
yang bersifat eksternal memiliki perbedaan yang sangat fundamental. Di sana
kita tidak bisa menyaksikan wujud eksternal itu dengan mata kepala. Akan tetapi
yang disaksikan dan diketahui secara ashalah an nafs (kesejatian jiwa) adalah
bentuk maujud dan keberadaan pada kesadaran imajinatif. Demikian pula halnya
dalam penyaksian malaikat, dengan perbedaan bahwa pada penyaksian-penyaksian
rasa (sense) bentuk maujud pada indera musytarak dan imajinasi adalah
dengan wasilah indera, berbeda dengan wahyu dan rupa Jibril as, yaitu dimana
hati Nabi saw turun ke daya imajinasi beliau saw. Akan tetapi pada kedua
kondisi tersebut ma’lum bil ashalah (kesejatian pengetahuan) adalah wujud
khiyali itulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar