Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 November 2015

PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA KONSEP DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN NAHDATUL ULAMA Oleh Ridwan, MA

PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
KONSEP DAN PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN NAHDATUL ULAMA

MAKALAH

Dosen Pembimbing
Pof. Dr. H. Misri A. Muchsin, MA

Disusun Oleh:


RIDWAN
Mahasiswa Pasca Sarjana
Jurusan Pendidikan Islam II
NIM. 23111303-2 


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2012

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pemikiran Islam di Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU Studies adalah perpaduan hibrid antara tradisi Aswaja, praksis kebangsaan dan keindonesiaan, dan kritik Poskolonial.
NU Studies hadir dalam konteks kampanye “perang melawan terorisme”, “benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang dilancarkan Imperium AS, di satu pihak, pasca 11 September 2001, dan dalam konteks pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik Indonesia, yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok Islam puritan di pihak lainnya.
Pasca 11 September 2001, segenap produksi pengetahuan dan juga kebenaran diarahkan pada komunitas Islam untuk mengikuti isu seksi yang didesain dari Washington. Misalnya bagaimana menjadi Islam moderat, bagaimana menjadi muslim toleran, pluralis, dan seterusnya. Dan, kalau perlu, umat Islam diharap punya andil dalam memerangi terorisme.

BAB II
PEMBAHASAN
NU Studies memberi koreksi terhadap desain global tersebut. Ini dengan menunjukkan misalnya pada posisi para kiai sebagai seorang penerjemah atau penafsir yang aktif, yang hidup di antara persilangan budaya (cross-roads of cultures). Di satu sisi, mereka berposisi sebagai penerjemah wacana ke-NU-an ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan-global. Sementara, pada sisi lain, mereka juga menerjemahkan wacana kebangsaan dan kemodernan-global ke dalam konteks ke-NU-an. Posisi para kiai yang “bi-directional”, penerjemah dua-arah ini, menimba inspirasi dari konsep polyphonic-nya Edward W. Said dari pengalaman ke-Palestina-annya dalam melakukan kritik terhadap imperialisme.
Dari posisi dua-arah ini, NU Studies merupakan hasil perjumpaan atau encounter, yang lahir dari proses ganda “abrogasi” dan “apropriasi”. Seperti cara komunitas NU memahami demokrasi yang dikaitkan dengan praktik ritual istigatsah. NU melucuti pengertian demokrasi yang dipakemkan di dunia sana (abrogasi), lalu mengisinya dengan pemahaman yang mereka miliki sendiri (apropriasi).
Strategi-strategi translasi dua arah itu yang kemudian ditunjukkan misalnya dalam paradigma-paradigma fiqih yang umum dikenal dalam tradisi NU: “ketat tapi longgar”, “sulit masuknya, mudah keluarnya”, “tasharruful imam ala ra’iyyah manuthun bi-l mashlahah”, “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah”, dan sebagainya.

A.      NU Studies, Melampaui Positivisasi Islamic Studies
NU Studies muncul dari sejumlah krisis dalam Islamic Studies. Diantaranya, Islamic Studies mengadiluhungkan Islam sebagai “universal”. Menyakini Islam sebagai agama yang didakwahkan untuk segenap umat manusia, tanpa mengenal tempat dan waktu, adalah berbeda dengan mengkaji Islam sebagai sesuatu yang “universal”. Yang pertama adalah sebuah keyakinan religius, dan dimanapun penganut agama akan meyakininya demikian. Sedangkan mengkaji Islam artinya menempatkan Islam sebagai agama, sejarah, peradaban, kebenaran, dan seterusnya, dalam standar-standar keilmuan tertentu, yang layak diobyektifikasi dan diverifikasi, sehingga menjadi sebuah displin keilmuan tersendiri.
Tentu banyak sudah kajian tentang Islamic Studies sebagai sebuah disiplin keilmuan. Tapi yang kurang ditelaah kemudian adalah soal “universalisme”-nya ini. Seorang alumnus pascasarjana UIN Jakarta misalnya menulis tentang “NU liberal”, dan ketika diterbitkan sebagai sebuah buku, judulnya menjadi “NU Liberal, dari Partikularisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam” (Mizan, 2003). Dan dimana pun, dalam kampus dan ruang-ruang akademik, Islam universal sudah menjadi bagian dari dogma, yang sudah dianggap bagian dari ajaran keagamaan. Mohammed Arkoun melacak akar-akar “universalisme” itu ke dalam nalar hegemonik, ke model nalar Eropa abad 19 yang ekspansionis ke negara-negara jajahan atas nama “misi pemberadaban” (civilizing mission).
Mengapa disebut nalar hegemonik? Arkoun menyebutnya berpretensi obyektif, dan standar bakunya dianggap normatif. Dengan kata lain, standarisasi dan obyektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Menurut Edward Said, the universal is always achieved at the expense of the native3 (yang universal selalu dicapai atas kerugian penduduk pribumi) – merujuk kepada apa yang pernah dikatakan oleh Fanon, “for the native, objectivity is always directed against him”.4 Dalam pandangan universalis dan obyektifis ini, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general application), dimana tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokus tertentu. Berbicara tentang Islam sebagai obyek kajian yang dipakemkan di Eropa, diyakini bisa juga berlaku di negeri-negeri jajahan – terlepas dari soal apakah Islam yang ada di negeri-negeri jajahan itu berbeda secara praktis dan pengalaman dari yang dipakemkan di seberang sana.
Maka, berbicara tentang nalar hegemoni dalam Islamic Studies adalah juga berarti berbicara tentang positivisasi Islamic Studies. Kalau Islam Timur Tengah di belahan Afrika bisa berlaku sama, maka, dalam logika positivisasi-universalisasi ini, hal serupa juga bisa muncul di Asia Selatan, dan juga di Asia Tenggara. Esensi maupun substansinya tetap dianggap sama, tak berubah. Misalnya doktrin H.A.R. Gibb bahwa Islam adalah “satu kesatuan antara doktrin dan peradaban”. Sehingga positivisasi selalu mengandaikan segalanya serba “Islami”, mulai dari “Islamic society”, “Islamic art”, “Islamic bank”, “Islamic economy”, hingga “Islamic food and parfum”!
Oleh karena itu, baik Arkoun maupun Edward Said kemudian menekankan pentingnya “local knowledge yang membawa Anda untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori manapun, menurut Said, muncul dari lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya. Ketika bermigrasi keluar, ia kehilangan elastisitasnya; kekuatan dan maknanya jadi melemah. Dalam bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa metode-metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh sejumlah adaptasi, konstruksi baru, intervensi, negosiasi, atau resistensi di luar dari lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya mengambil alih posisi pemikiran awal yang dicetuskan. Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal “teori traveling” atau “kritik sekuler”.
Jadi, ada dua pengertian tentang “local knowledge” ini dalam konsep “traveling theory”-nya Said ini: pertama, “local knowledge” sebagai asumsi primer bahwa semua pengetahuan dan teori terbentuk dan terbatas dalam lingkupnya masing-masing. Kedua, “local knowledge” bisa juga berarti pisau analisis-epistemik, sebagai instrumen untuk merangsamg metodologi baru, sebuah “analisis situasional”.
Kalau saya misalnya menggabungkan kedua unsur “local knowledge” ini dan berasumsi bahwa Bill Liddle, seorang “Indonesianis” asal Amerika, bukanlah intelektual universalis, tapi “intelektual” lokal dengan segenap keterbatasannya (unsur “local knowledge” pertama), maka saya sebetulnya sudah menempatkan pemikiran Liddle dalam konteks dimana ia dibatasi oleh segenap konstruk pengetahuan dan kuasa yang ada di sekitarnya. Sehingga pemikirannya tidak berlaku untuk kita sebagai ornag Indonesia, karena kita sudah punya tradisi berpikir sendiri tentang politik dan kultur bangsa kita yang kemudian dari sana kita dialogkan, kita adaptasikan, dan juga kita pakai untuk melakukan intervensi, negosiasi maupun resistensi terhadap pikiran-pikiran Liddle. Ini adalah “local knowledge” unsur kedua. “Saya menyadari betul betapa kuat pengaruh pengalaman pribadi saya sebagai warga negara Amerika dan warga kota Pittsburgh”, tulis Liddle, “Ketika itu, guru-guru saya dihantui oleh ketakutan bahwa nilai-nilai serta kehadiran Amerika di dunia ini akan dimusnahkan oleh kekuatan asing yang totaliter. Kemudian ini diteruskan di universitas ketika saya dikuliahi oleh dosen-dosen ilmu politik yang melarikan diri dari negara fasis, komunis atau kedua-duanya”.
Kalau “local knowledge” ini dipertajam ke dalam Islamic Studies, maka krisis tersebut akan tampak dengan jelas dalam konteks ini. “local knowledge” menggarisbawahi dan mencoret universalisme pada saat bersamaan. Kalau ada sesuatu yang dikatakan universal, maka tentu ada yang dianggap “tidak-universal” yang mengganggu pembakuan universalitas itu: “tradisional”, “lokal”, dan juga yang berbau “etnik” dan “komunal”. Seperti halnya studi-studi tentang transisi demokrasi di Indonesia yang begitu gagap membaca faktor etnisitas dan kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan “kedaerahan”, wacana studi-studi Islam juga mengalami kebingungan membaca faktor-faktor lokal tersebut. Bahkan terkadang analisisnya sangat miskin dalam membaca persoalan-persoalan identitas etnik serta hubungannya dengan militansi agama. Biasanya yang dibaca adalah soal potensi konflik dan disintegrasi identitas kesukuan dan kedaerahan itu. Dan kebingungan itu adalah refleksi dari sebuah krisis. Yakni, ketika solusi konflik bernuansa agama itu ditemukan melalui “local wisdom”, yakni kembali ke identitas budaya dan lokalitas, seperti pela gandong, baku-bae, dsb. Dan bukan malah melalui wacana “agama universal” atau “Islam universal”. Dengan kata lain, Islamic Studies dengan “Islam universal”-nya tidak lagi punya arti dalam konteks kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan persilangan identitas agama dan etnik; “Islam universal” hanya bermakna terbatas dalam ruang kelas, dalam teks-teks akademik.
Sementara itu, “local knowledge” sebagai pisau analisis-epistemik ditunjukkan oleh keberadaan NU Studies. Mengapa NU Studies? Bagaimana ia berhadapan dengan Islamic Studies? Dan mengapa pasca 11 September 2001? Apakah ini sebuah sektarianisme dan apologi, karena kebetulan yang menulis makalah ini adalah orang NU, yang dibesarkan dari kultur pesantren?

B.       NU Studies, Identitas Kultural, dan Komunitas Etik-Epistemik: Tradisi dan Masalah Marwah Bangsa
Kasus 11 September 2001 membangkitkan kembali sesuatu untuk kembali kepada tradisi, kepada identitas kultural “ke-NU-an”. 11 September 2001 mengarahkan umat Islam Indonesia untuk menunjukkan kepada diir mereka bahwa proyek modernisasi di kalangan umat Islam belum selesai, dan kesalahan, sekali lagi, ditimpakan kepada pikiran-pikiran umat yang belum selesai dan sempurna kemoderenannya. Mereka dianggap masih terjebak pada pikiran masa lalu yang fundamentalis atau tradisionalis. Pengulang-ulangan kata “madrasah” atau “pesantren” di kalangan Muslim kota maupun di media massa internasional, yang disebut sebagai ajang kaderisasi kelompok-kelompok teroris, mendukung satu formasi diskursif bahwa modernisasi di kalangan umat Islam belum rampung, atau, bahwa umat siap belum siap memasuki dunia modern.
Seperti ditunjukan dalam forum USINDO-TAF di Washington DC tentang Islam di Indonesia modern, 7 Februari 2002 lalu, dimana ada seruan supaya NU dan Muhammadiyah bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok Islam keras dan mendukung langkah-langkah Amerika dalam kampanye anti-terorismenya.8 Dengan demikian, dalam konteks Islam pasca 11 September ini, dalam konteks imperialisme global ini, ada keperluan untuk kembali sebuah identitas kultural untuk mengoreksi adanya sesuatu yang keliru dalam konstruk pengetahuan global tentang Islam.
Koreksi tersebut bisa dilihat dalam forum diskusi di PBNU yang digelar oleh P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Juli 2005 lalu. Topik diskusi adalah tentang “the place of tolerance in Islam”, menampilkan Prof. Khaled Abou el-Fadhl dari AS sebagai pembicara utama. Ada dua hal yang jadi fokus, “toleransi” dan “Islam”. Yang dimaksud Khaled dengan Islam dalam diskusi itu tentu bukan pengalaman umat Islam dalam menghayati agama dalam konteks kebudayaan yang beragam dan dinamis, seperti umat Islam di Mesir, tempat ia dibesarkan, atau Muslim di AS, dimana ia tinggal sekarang. Yang jadi acuan adalah Islam sebagai teks. Tepatnya, Islam sebagaimana yang ada dalam teksnya yang dipakemkan, yakni dalam al-Qur’an. Maka, dalam kerangka “Islam sebagai teks” inilah, Khaled berupaya mengotak-atik sejumlah ayat dalam al-Quran, untuk kemudian ditafsirkan sesuai dengan tafsirannya tentang toleransi. Seperti ayat “laula daf’ullahinnas .....”, dst.
Maka, ketika diskusi berlangsung, saya mengajukan kerangka yang lain dalam mendekati persoalan toleransi, agar tidak terkesan, bahwa apa yang ditunjukkan oleh umat Islam hanya sesuatu yang ideal dalam teksnya, bukan dalam pengalaman hidupnya. Saya ingin tunjukkan apa yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia, terutama di kalangan NU, dalam menghayati arti toleransi ini. Saya mengatakan, mereka tidak langsung merujuk kepada al-Quran, tapi ke kitab Fathul Mu’in. Seperti yang menyebut “daf’ dlarar ma’shumin”. Namun, ketika direspon, tak disangka, sang profesor langsung merah telinganya, emosional, dengan suara terangkat, seakan saya mendiktenya tentang apa apa arti merujuk ke kitab kunig, seakan-akan ia dikesankan tidak ngerti tentang kitab kuning. Tampak, bahwa Khaled merasa uneasy dan terganggu dengan rujukan kitab kuning itu dibanding misalnya kalau saya seandainya merujuk ke al-Quran, seperti yang ia lakukan dengan ilmiah, sebuah bidang dimana ia bisa merasa comfortable. Karena ia sedang menunjukkan sesuatu yang “berwibawa-ilmiah” dalam studi Islam.
Tapi justru di sinilah masalahnya. Saya kira, ini adalah gambaran dari konstruk tentang Islam seperti yang di Barat, yang ingin dipahami oleh Barat, dan juga sesuatu yang diinginkan oleh Barat agar Islam seperti itu. Ini pada gilirannya memberi kesan kepada umat Islam bahwa Islam seperti itulah yang mesti ditampilkan, yang dipanggungkan, dalam konteks kemodernannya. Yakni, bisa dikatakan, staging Islam in its modernness, in its textuality, and in its fixedness. Bicara tentang studi Islam, dalam konteks fiksasi ini, berarti berangkat dari asumsi dasar yang dikatakan orisinal dan otentik, dan juga universal, dan itu adalah teks asalnya pada al-Quran dan Hadis. Sementara merujuk kepada apa yang dikatakan kitab kuning, bukanlah bercirikan sesuatu yang modern, universal, otentik dan orisinal. Siapa di antara orang-orang Islam di Barat atau orang-orang Barat sendiri yang tahu apa itu kitab Fathul Mu’in misalnya. Tentu tidak akan ada. Di Arab Saudi saja, dimana ada Mekah dan Madinah, pusat ibadah umat Islam di seluruh dunia, Fathul Mu’in jarang ditemukan di toko-toko kitab sana. Apatah lagi dalam pengajian-pengajian agama di mesjid-mesji besar di Mekah dan Madinah.
Barangkali suatu saat nanti pandangan Barat akan mengarah kepada buku ini, kalau seandainya ada seorang teroris yang tertangkap dan ketahuan menyimpan buku ini di rumah kontrakannya. Maka, publik Barat pun akan segera membaca dan menelaah kitab Fathul Mu’in. Bagian-bagian mana misalnya dalam buku itu yang merupakan rujukan bagi sang teroris dalam melancarkan aksi bom bunuh dirinya itu. Selama ini, yang ditemukan dalam buku-buku kaum teroris adalah karya-karya para ulama Wahabi dan Ikhwanul Muslimin. Ini yang banyak dijadikan rujukan oleh anggota kelompok al-Qaedah maupun yang disebut-sebut dengan jaringan Jamaah Islamiyah. Kini berkembang sejumlah penerbitan dalam bahasa Inggris atas karya-karya Ibn Baz dan al-Utsaimin, ulama Wahabi, yang kemudian menggemparkan publik Barat. Meski demikian, respons atas karya itu cukup beragam, tergantung posisi seseorang berada. Ada yang menyebut karya-karya itu tidaklah mencerminkan sesuatu yang universal dari Islam. Ada pula yang melihat bahwa Islam memang agama kemunduran, seperti dibuktikan dari tulisan-tulisan ulama Wahabi itu, yang mereka lihat sebagai ikon atau tanda kemunduran. Seperti fatwa tentang haramnya perempuan mengendarai mobil sendiri.
Ini berbeda kalau yang ditemukan itu adalah al-Quran. Publik Barat akan mengangkat sekian makna dan tafsir. Sehingga memungkinkan menjinakkan berbagai bentuk apropriasi dan rekayasa makna. Misalnya, kalau ada seorang teroris atau fundamentalis Islam yang menyebut jihad dalam al-Quran sebagai pembenaran teror, maka akan segera dicap bahwa tafsirannya keliru, tidak pluralis dan tidak modern. Maka, dicarilah tafsir-tafsir yang sesuai dengan hasrat Barat itu, yaitu tafsir al-Quran yang dikatakan liberal dan modern itu. Misalnya mencari dalam Islam sesuatu modern-liberal itu, “a close friend” yang akomodatif terhadap Barat. Ini tentu tidak seperti buku-buku Wahabi atau Fathul Mu’in yang selalu dianggap problematik, unpredictable, susah dikendalikan, dan tidak cocok dengan selera Barat yang kosmopolit dan suka mengotak-atik makna.
Jadi, seperti itulah konstruk Islamic Studies tentang Islam, yang menurut Arkoun adalah kelanjutan dari nalar hegemonik Eropa abad 19, berhadapan dengan kitab kuning sebagai local knowledge di kalangan Nahdliyin.
Dengan demikian, NU Studies adalah cara orang-orang NU menulis dirinya sebagai fa’il, sebagai pelaku, sebagai subyek. NU Studies adalah praktik teoritis-metodologis dari orang-orang yang mengelak dan melawan kenecisan dan rasionalitas konsep pengetahuan dan teori, serta berteorisasi, persisnya, dari situasi diri mereka sebagai orang-orang tradisionalis, orang-orang pesantren, sebagai bangsa Indonesia dan sebagai masyarakat Dunia Ketiga. Mereka menulis dari sebuah “lokasi filosofis” (philosophical location), dimana lokasi tersebut bukan hanya geografis, tapi juga historis, politis, dan epistemologis.
NU Studies adalah sebuah peralihan subyektifitas. Ia adalah perlaihan dari subyektifitas sebuah komunitas yang selama ini menjadi obyek wacana dan penelitian, obyek advokasi dan kampanye global, menjadi subyek yang melakukan sendiri kerja-kerja tafsir dan penelitian, yang melakukan sendiri reclaiming atas isu-isu lokal, nasional, maupun global. Apa arti menulis-diri?
Menulis diri bukan hanya masalah membangun kembali harga diri atau marwah sebuah komunitas yang bernama jamaa’ah nahdliyin, yang kini mulai digerogoti atas nama “perang melawan teroris”, atas nama “toleransi, pluralisme dan liberalisme”, atau desain global “benturan peradaban”. Menulis diri adalah invensi atau penemuan kembali arti sebuah komunitas dalam konteks kehadirannya di sebuh negeri bernama Nusantara. Ia menulis-diri sesuatu yang bangkit (nahdlah), sebuah cita-cita tentang masyarakat-bangsa dimana para ulama menjadi penerang dan penunjuk arah yang lebih baik bagi masa depan mereka.
Nun jauh di sana, nahdlah itu muncul ketika sejumlah ulama Sulawesi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, berkumpul mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1932, yang difasilitasi oleh raja Bone, Andi Mappanyukki. “Jikalau semangat nasionalisme rakyat Bone masih tertidur nyenyak, maka dengan berdirnya Nahdlatul Ulama di Bone dengan pelopor utamanya para ulama, maka jiwa nasionalisme mulai berkobar-kobar. Dimana-mana di Nusantara Indonesia tumbuh berbagai organisasi kebnagsaan maupun keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) di Bone, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah abad,” demikian penuturan A.M. Hanafie, yang pernah menjadi saksi kehadiran NU di Bone.10 Kini kata-kata nasionalisme sudah terkesan peyoratif di telinga sejumlah pejabat dan sejumlah elemen masyarakat. Bahkan ia diidentikkan dengan “balkanisasi”, yang dianggap memecah-belah seperti yang terjadi di negara Yugoslavia dulu. Tapi justru di kalangan ulama-lah kata-kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat menggerakkan semangat mereka untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Sepulang dari Mekkah, Kiai Wahab Hasbullah berencana mendirikan organisasi pemuda di kalangan umat Islam yang bertujuan menggelorakan semangat nasionalisme. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya. Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah. Sejak itu Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair seperti berikut:
Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan.... Wahai bangsaku, wahai bangsaku... Cinta tanah air adalah bagian dari iman Cintailah tanah air ini wahai bangsaku Jangan kalian menjadi orang terjajah Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan harus dibuktikan dengan perbuatan...  Gelora nasionalisme ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945 saat negara Indonesia baru berdiri. Saat itu bangsa kita menghadapi tantangan akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Tentara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat rakyat dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Dengan demikian, pasca 11 September, segenap tradisi dan kepercayaan NU ditempatkan dalam sebuah mikroskop, dan dalam pengawasan ketat. Sejumlah kata-kata civilizing bersilewerang untuk membuatnya mengerti akan nilai dan harga tradisinya: liberal, pencerahan, kritik tradisi, dsb. Demikian pula, bersamaan dengan itu, muncul kata oblietring, pembusukan, kalau ternyata mereka gagal, macam-macam: konservatif, bergeser ke kanan, fundamentalis.11 Mereka ditantang untuk menunjukkan rasionalitas mereka untuk tujuan-tujuan yang sifatnya instrumental dan ulititarian. Rasionalisasi diarahkan sebagai utilisasi atau kebermanfaatan untuk hal-hal yang sifatnya kasuistis. Tradisi sebagai sebuah kesatuan antara sejarah, komunitas, kebenaran, pun terkoyak. Yang ada adalah kompartementalisasi, sekatisasi atau kotakisasi. Tradisi ditempatkan dalam test modernitas, seperti dalam dikotomi publik-privat, moderat-fundamentalis, hingga jumud-progresif.
Seperti ditunjukkan dalam buku saya, Islam Pasca Kolonial (2005), masuknya kolonialisme dan modernitas mengubah lanskap sosial komunitas tradisi(onal) NU. Dengan diperkenalkannya sekat privat dan publik, termasuk hukum privat dan hukum publik/sipil, agama mulai dipisahkan dari adat, budaya dengan politik. Demikian pula tradisi mulai dipisahkan dari masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Tradisi kemudian dimodifikasi sebagai sebuah barang: sebagai benda seni, artefak atau sebagai sesuatu yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar