PEMIKIRAN
ISLAM DI INDONESIA
KONSEP DAN
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN NAHDATUL
ULAMA
MAKALAH
Dosen Pembimbing
Pof. Dr. H.
Misri A. Muchsin, MA
Disusun Oleh:
RIDWAN
Mahasiswa Pasca Sarjana
Jurusan Pendidikan Islam II
NIM. 23111303-2
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA
ACEH
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pemikiran Islam
di Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan
tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan
praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU
Studies adalah perpaduan hibrid antara tradisi Aswaja, praksis kebangsaan dan
keindonesiaan, dan kritik Poskolonial.
NU Studies hadir dalam konteks kampanye
“perang melawan terorisme”, “benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war
of ideas) yang dilancarkan Imperium AS, di satu pihak, pasca 11 September
2001, dan dalam konteks pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik
Indonesia, yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok Islam puritan di pihak
lainnya.
Pasca 11 September 2001, segenap produksi
pengetahuan dan juga kebenaran diarahkan pada komunitas Islam untuk mengikuti
isu seksi yang didesain dari Washington. Misalnya bagaimana menjadi Islam
moderat, bagaimana menjadi muslim toleran, pluralis, dan seterusnya. Dan, kalau
perlu, umat Islam diharap punya andil dalam memerangi terorisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
NU Studies memberi koreksi terhadap desain
global tersebut. Ini dengan menunjukkan misalnya pada posisi para kiai sebagai
seorang penerjemah atau penafsir yang aktif, yang hidup di antara persilangan
budaya (cross-roads of cultures). Di satu sisi, mereka berposisi sebagai
penerjemah wacana ke-NU-an ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan-global.
Sementara, pada sisi lain, mereka juga menerjemahkan wacana kebangsaan dan
kemodernan-global ke dalam konteks ke-NU-an. Posisi para kiai yang “bi-directional”,
penerjemah dua-arah ini, menimba inspirasi dari konsep polyphonic-nya
Edward W. Said dari pengalaman ke-Palestina-annya dalam melakukan kritik
terhadap imperialisme.
Dari posisi dua-arah ini, NU Studies
merupakan hasil perjumpaan atau encounter, yang lahir dari proses ganda
“abrogasi” dan “apropriasi”. Seperti cara komunitas NU memahami demokrasi yang
dikaitkan dengan praktik ritual istigatsah. NU melucuti pengertian demokrasi
yang dipakemkan di dunia sana (abrogasi), lalu mengisinya dengan pemahaman yang
mereka miliki sendiri (apropriasi).
Strategi-strategi translasi dua arah itu
yang kemudian ditunjukkan misalnya dalam paradigma-paradigma fiqih yang umum
dikenal dalam tradisi NU: “ketat tapi longgar”, “sulit masuknya, mudah
keluarnya”, “tasharruful imam ala ra’iyyah manuthun bi-l mashlahah”, “al-muhafazhah
alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah”, dan sebagainya.
A.
NU Studies, Melampaui Positivisasi Islamic Studies
NU Studies muncul dari sejumlah krisis
dalam Islamic Studies. Diantaranya, Islamic Studies
mengadiluhungkan Islam sebagai “universal”. Menyakini Islam sebagai agama yang
didakwahkan untuk segenap umat manusia, tanpa mengenal tempat dan waktu, adalah
berbeda dengan mengkaji Islam sebagai sesuatu yang “universal”. Yang pertama
adalah sebuah keyakinan religius, dan dimanapun penganut agama akan meyakininya
demikian. Sedangkan mengkaji Islam artinya menempatkan Islam sebagai agama,
sejarah, peradaban, kebenaran, dan seterusnya, dalam standar-standar keilmuan
tertentu, yang layak diobyektifikasi dan diverifikasi, sehingga menjadi sebuah
displin keilmuan tersendiri.
Tentu banyak sudah kajian tentang Islamic
Studies sebagai sebuah disiplin keilmuan. Tapi yang kurang ditelaah
kemudian adalah soal “universalisme”-nya ini. Seorang alumnus pascasarjana UIN
Jakarta misalnya menulis tentang “NU liberal”, dan ketika diterbitkan sebagai
sebuah buku, judulnya menjadi “NU Liberal, dari Partikularisme Ahlussunnah ke
Universalisme Islam” (Mizan, 2003). Dan dimana pun, dalam kampus dan
ruang-ruang akademik, Islam universal sudah menjadi bagian dari dogma, yang
sudah dianggap bagian dari ajaran keagamaan. Mohammed Arkoun melacak akar-akar
“universalisme” itu ke dalam nalar hegemonik, ke model nalar Eropa abad 19 yang
ekspansionis ke negara-negara jajahan atas nama “misi pemberadaban” (civilizing
mission).
Mengapa disebut nalar hegemonik? Arkoun
menyebutnya berpretensi obyektif, dan standar bakunya dianggap normatif. Dengan
kata lain, standarisasi dan obyektifikasi selalu mengandaikan universalisasi.
Menurut Edward Said, the universal is always achieved at the expense of the
native3 (yang universal
selalu dicapai atas kerugian penduduk pribumi) – merujuk kepada apa yang pernah
dikatakan oleh Fanon, “for the native, objectivity is always directed
against him”.4 Dalam pandangan universalis dan obyektifis ini, selalu
ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general
application), dimana tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat
atau lokus tertentu. Berbicara tentang Islam sebagai obyek kajian yang
dipakemkan di Eropa, diyakini bisa juga berlaku di negeri-negeri jajahan –
terlepas dari soal apakah Islam yang ada di negeri-negeri jajahan itu berbeda
secara praktis dan pengalaman dari yang dipakemkan di seberang sana.
Maka, berbicara tentang nalar hegemoni
dalam Islamic Studies adalah juga berarti berbicara tentang positivisasi
Islamic Studies. Kalau Islam Timur Tengah di belahan Afrika bisa berlaku
sama, maka, dalam logika positivisasi-universalisasi ini, hal serupa juga bisa
muncul di Asia Selatan, dan juga di Asia Tenggara. Esensi maupun substansinya
tetap dianggap sama, tak berubah. Misalnya doktrin H.A.R. Gibb bahwa Islam
adalah “satu kesatuan antara doktrin dan peradaban”. Sehingga positivisasi
selalu mengandaikan segalanya serba “Islami”, mulai dari “Islamic society”,
“Islamic art”, “Islamic bank”, “Islamic economy”, hingga “Islamic food and
parfum”!
Oleh karena itu, baik Arkoun maupun Edward
Said kemudian menekankan pentingnya “local knowledge” yang
membawa Anda untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang
diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau
lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori manapun, menurut Said, muncul dari
lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya. Ketika bermigrasi keluar, ia
kehilangan elastisitasnya; kekuatan dan maknanya jadi melemah. Dalam bentuknya
yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa metode-metode strategis yang
keberlakuannya dikondisikan oleh sejumlah adaptasi, konstruksi baru,
intervensi, negosiasi, atau resistensi di luar dari lokusnya semula. Sistem dan
prosedurnya mengambil alih posisi pemikiran awal yang dicetuskan. Pandangan
seperti inilah yang kemudian dikenal “teori traveling” atau “kritik sekuler”.
Jadi, ada dua pengertian tentang “local
knowledge” ini dalam konsep “traveling theory”-nya Said ini: pertama,
“local knowledge” sebagai asumsi primer bahwa semua pengetahuan dan
teori terbentuk dan terbatas dalam lingkupnya masing-masing. Kedua, “local
knowledge” bisa juga berarti pisau analisis-epistemik, sebagai instrumen
untuk merangsamg metodologi baru, sebuah “analisis situasional”.
Kalau saya misalnya menggabungkan kedua
unsur “local knowledge” ini dan berasumsi bahwa Bill Liddle, seorang
“Indonesianis” asal Amerika, bukanlah intelektual universalis, tapi
“intelektual” lokal dengan segenap keterbatasannya (unsur “local knowledge”
pertama), maka saya sebetulnya sudah menempatkan pemikiran Liddle dalam konteks
dimana ia dibatasi oleh segenap konstruk pengetahuan dan kuasa yang ada di
sekitarnya. Sehingga pemikirannya tidak berlaku untuk kita sebagai ornag
Indonesia, karena kita sudah punya tradisi berpikir sendiri tentang politik dan
kultur bangsa kita yang kemudian dari sana kita dialogkan, kita adaptasikan,
dan juga kita pakai untuk melakukan intervensi, negosiasi maupun resistensi
terhadap pikiran-pikiran Liddle. Ini adalah “local knowledge” unsur
kedua. “Saya menyadari betul betapa kuat pengaruh pengalaman pribadi saya
sebagai warga negara Amerika dan warga kota Pittsburgh”, tulis Liddle, “Ketika
itu, guru-guru saya dihantui oleh ketakutan bahwa nilai-nilai serta kehadiran
Amerika di dunia ini akan dimusnahkan oleh kekuatan asing yang totaliter.
Kemudian ini diteruskan di universitas ketika saya dikuliahi oleh dosen-dosen
ilmu politik yang melarikan diri dari negara fasis, komunis atau kedua-duanya”.
Kalau “local knowledge” ini
dipertajam ke dalam Islamic Studies, maka krisis tersebut akan tampak
dengan jelas dalam konteks ini. “local knowledge” menggarisbawahi dan
mencoret universalisme pada saat bersamaan. Kalau ada sesuatu yang dikatakan
universal, maka tentu ada yang dianggap “tidak-universal” yang mengganggu
pembakuan universalitas itu: “tradisional”, “lokal”, dan juga yang berbau
“etnik” dan “komunal”. Seperti halnya studi-studi tentang transisi demokrasi di
Indonesia yang begitu gagap membaca faktor etnisitas dan kebangkitan
kelompok-kelompok etnis dan “kedaerahan”, wacana studi-studi Islam juga
mengalami kebingungan membaca faktor-faktor lokal tersebut. Bahkan terkadang
analisisnya sangat miskin dalam membaca persoalan-persoalan identitas etnik
serta hubungannya dengan militansi agama. Biasanya yang dibaca adalah soal
potensi konflik dan disintegrasi identitas kesukuan dan kedaerahan itu. Dan
kebingungan itu adalah refleksi dari sebuah krisis. Yakni, ketika solusi
konflik bernuansa agama itu ditemukan melalui “local wisdom”, yakni
kembali ke identitas budaya dan lokalitas, seperti pela gandong, baku-bae,
dsb. Dan bukan malah melalui wacana “agama universal” atau “Islam universal”.
Dengan kata lain, Islamic Studies dengan “Islam universal”-nya tidak
lagi punya arti dalam konteks kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan
persilangan identitas agama dan etnik; “Islam universal” hanya bermakna terbatas
dalam ruang kelas, dalam teks-teks akademik.
Sementara itu, “local knowledge”
sebagai pisau analisis-epistemik ditunjukkan oleh keberadaan NU Studies.
Mengapa NU Studies? Bagaimana ia berhadapan dengan Islamic Studies? Dan
mengapa pasca 11 September 2001? Apakah ini sebuah sektarianisme dan apologi,
karena kebetulan yang menulis makalah ini adalah orang NU, yang dibesarkan dari
kultur pesantren?
B.
NU Studies, Identitas Kultural, dan Komunitas
Etik-Epistemik: Tradisi dan Masalah Marwah Bangsa
Kasus 11 September 2001 membangkitkan
kembali sesuatu untuk kembali kepada tradisi, kepada identitas kultural
“ke-NU-an”. 11 September 2001 mengarahkan umat Islam Indonesia untuk
menunjukkan kepada diir mereka bahwa proyek modernisasi di kalangan umat Islam
belum selesai, dan kesalahan, sekali lagi, ditimpakan kepada pikiran-pikiran
umat yang belum selesai dan sempurna kemoderenannya. Mereka dianggap masih
terjebak pada pikiran masa lalu yang fundamentalis atau tradisionalis.
Pengulang-ulangan kata “madrasah” atau “pesantren” di kalangan Muslim kota
maupun di media massa internasional, yang disebut sebagai ajang kaderisasi
kelompok-kelompok teroris, mendukung satu formasi diskursif bahwa modernisasi
di kalangan umat Islam belum rampung, atau, bahwa umat siap belum siap memasuki
dunia modern.
Seperti ditunjukan dalam forum USINDO-TAF
di Washington DC tentang Islam di Indonesia modern, 7 Februari 2002 lalu,
dimana ada seruan supaya NU dan Muhammadiyah bersikap tegas terhadap
kelompok-kelompok Islam keras dan mendukung langkah-langkah Amerika dalam
kampanye anti-terorismenya.8 Dengan demikian, dalam konteks Islam pasca 11 September
ini, dalam konteks imperialisme global ini, ada keperluan untuk kembali sebuah
identitas kultural untuk mengoreksi adanya sesuatu yang keliru dalam konstruk
pengetahuan global tentang Islam.
Koreksi tersebut bisa dilihat dalam forum
diskusi di PBNU yang digelar oleh P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat), Juli 2005 lalu. Topik diskusi adalah tentang “the place of
tolerance in Islam”, menampilkan Prof. Khaled Abou el-Fadhl dari AS sebagai
pembicara utama. Ada dua hal yang jadi fokus, “toleransi” dan “Islam”. Yang
dimaksud Khaled dengan Islam dalam diskusi itu tentu bukan pengalaman umat
Islam dalam menghayati agama dalam konteks kebudayaan yang beragam dan dinamis,
seperti umat Islam di Mesir, tempat ia dibesarkan, atau Muslim di AS, dimana ia
tinggal sekarang. Yang jadi acuan adalah Islam sebagai teks. Tepatnya, Islam
sebagaimana yang ada dalam teksnya yang dipakemkan, yakni dalam al-Qur’an.
Maka, dalam kerangka “Islam sebagai teks” inilah, Khaled berupaya mengotak-atik
sejumlah ayat dalam al-Quran, untuk kemudian ditafsirkan sesuai dengan
tafsirannya tentang toleransi. Seperti ayat “laula daf’ullahinnas .....”,
dst.
Maka, ketika diskusi berlangsung, saya
mengajukan kerangka yang lain dalam mendekati persoalan toleransi, agar tidak
terkesan, bahwa apa yang ditunjukkan oleh umat Islam hanya sesuatu yang ideal
dalam teksnya, bukan dalam pengalaman hidupnya. Saya ingin tunjukkan apa yang
ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia, terutama di kalangan NU, dalam
menghayati arti toleransi ini. Saya mengatakan, mereka tidak langsung merujuk
kepada al-Quran, tapi ke kitab Fathul Mu’in. Seperti yang menyebut “daf’
dlarar ma’shumin”. Namun, ketika direspon, tak disangka, sang profesor
langsung merah telinganya, emosional, dengan suara terangkat, seakan saya
mendiktenya tentang apa apa arti merujuk ke kitab kunig, seakan-akan ia
dikesankan tidak ngerti tentang kitab kuning. Tampak, bahwa Khaled
merasa uneasy dan terganggu dengan rujukan kitab kuning itu dibanding
misalnya kalau saya seandainya merujuk ke al-Quran, seperti yang ia lakukan
dengan ilmiah, sebuah bidang dimana ia bisa merasa comfortable. Karena
ia sedang menunjukkan sesuatu yang “berwibawa-ilmiah” dalam studi Islam.
Tapi justru di sinilah masalahnya. Saya
kira, ini adalah gambaran dari konstruk tentang Islam seperti yang di Barat,
yang ingin dipahami oleh Barat, dan juga sesuatu yang diinginkan oleh Barat
agar Islam seperti itu. Ini pada gilirannya memberi kesan kepada umat Islam
bahwa Islam seperti itulah yang mesti ditampilkan, yang dipanggungkan, dalam
konteks kemodernannya. Yakni, bisa dikatakan, staging Islam in its
modernness, in its textuality, and in its fixedness. Bicara tentang
studi Islam, dalam konteks fiksasi ini, berarti berangkat dari asumsi dasar
yang dikatakan orisinal dan otentik, dan juga universal, dan itu adalah teks
asalnya pada al-Quran dan Hadis. Sementara merujuk kepada apa yang dikatakan
kitab kuning, bukanlah bercirikan sesuatu yang modern, universal, otentik dan
orisinal. Siapa di antara orang-orang Islam di Barat atau orang-orang Barat sendiri
yang tahu apa itu kitab Fathul Mu’in misalnya. Tentu tidak akan ada. Di
Arab Saudi saja, dimana ada Mekah dan Madinah, pusat ibadah umat Islam di
seluruh dunia, Fathul Mu’in jarang ditemukan di toko-toko kitab sana.
Apatah lagi dalam pengajian-pengajian agama di mesjid-mesji besar di Mekah dan
Madinah.
Barangkali suatu saat nanti pandangan
Barat akan mengarah kepada buku ini, kalau seandainya ada seorang teroris yang
tertangkap dan ketahuan menyimpan buku ini di rumah kontrakannya. Maka, publik
Barat pun akan segera membaca dan menelaah kitab Fathul Mu’in.
Bagian-bagian mana misalnya dalam buku itu yang merupakan rujukan bagi sang
teroris dalam melancarkan aksi bom bunuh dirinya itu. Selama ini, yang
ditemukan dalam buku-buku kaum teroris adalah karya-karya para ulama Wahabi dan
Ikhwanul Muslimin. Ini yang banyak dijadikan rujukan oleh anggota kelompok
al-Qaedah maupun yang disebut-sebut dengan jaringan Jamaah Islamiyah. Kini
berkembang sejumlah penerbitan dalam bahasa Inggris atas karya-karya Ibn Baz dan
al-Utsaimin, ulama Wahabi, yang kemudian menggemparkan publik Barat. Meski
demikian, respons atas karya itu cukup beragam, tergantung posisi seseorang
berada. Ada yang menyebut karya-karya itu tidaklah mencerminkan sesuatu yang
universal dari Islam. Ada pula yang melihat bahwa Islam memang agama
kemunduran, seperti dibuktikan dari tulisan-tulisan ulama Wahabi itu, yang
mereka lihat sebagai ikon atau tanda kemunduran. Seperti fatwa tentang haramnya
perempuan mengendarai mobil sendiri.
Ini berbeda kalau yang ditemukan itu
adalah al-Quran. Publik Barat akan mengangkat sekian makna dan tafsir. Sehingga
memungkinkan menjinakkan berbagai bentuk apropriasi dan rekayasa makna.
Misalnya, kalau ada seorang teroris atau fundamentalis Islam yang menyebut
jihad dalam al-Quran sebagai pembenaran teror, maka akan segera dicap bahwa
tafsirannya keliru, tidak pluralis dan tidak modern. Maka, dicarilah
tafsir-tafsir yang sesuai dengan hasrat Barat itu, yaitu tafsir al-Quran yang
dikatakan liberal dan modern itu. Misalnya mencari dalam Islam sesuatu
modern-liberal itu, “a close friend” yang akomodatif terhadap Barat. Ini
tentu tidak seperti buku-buku Wahabi atau Fathul Mu’in yang selalu
dianggap problematik, unpredictable, susah dikendalikan, dan tidak cocok
dengan selera Barat yang kosmopolit dan suka mengotak-atik makna.
Jadi, seperti itulah konstruk Islamic
Studies tentang Islam, yang menurut Arkoun adalah kelanjutan dari nalar
hegemonik Eropa abad 19, berhadapan dengan kitab kuning sebagai local
knowledge di kalangan Nahdliyin.
Dengan demikian, NU Studies adalah cara
orang-orang NU menulis dirinya sebagai fa’il, sebagai pelaku, sebagai
subyek. NU Studies adalah praktik teoritis-metodologis dari orang-orang yang
mengelak dan melawan kenecisan dan rasionalitas konsep pengetahuan dan teori,
serta berteorisasi, persisnya, dari situasi diri mereka sebagai orang-orang
tradisionalis, orang-orang pesantren, sebagai bangsa Indonesia dan sebagai
masyarakat Dunia Ketiga. Mereka menulis dari sebuah “lokasi filosofis” (philosophical
location), dimana lokasi tersebut bukan hanya geografis, tapi juga
historis, politis, dan epistemologis.
NU Studies adalah sebuah peralihan
subyektifitas. Ia adalah perlaihan dari subyektifitas sebuah komunitas yang
selama ini menjadi obyek wacana dan penelitian, obyek advokasi dan kampanye
global, menjadi subyek yang melakukan sendiri kerja-kerja tafsir dan
penelitian, yang melakukan sendiri reclaiming atas isu-isu lokal,
nasional, maupun global. Apa arti menulis-diri?
Menulis diri bukan hanya masalah membangun
kembali harga diri atau marwah sebuah komunitas yang bernama jamaa’ah
nahdliyin, yang kini mulai digerogoti atas nama “perang melawan teroris”, atas
nama “toleransi, pluralisme dan liberalisme”, atau desain global “benturan
peradaban”. Menulis diri adalah invensi atau penemuan kembali arti sebuah
komunitas dalam konteks kehadirannya di sebuh negeri bernama Nusantara. Ia
menulis-diri sesuatu yang bangkit (nahdlah), sebuah cita-cita tentang
masyarakat-bangsa dimana para ulama menjadi penerang dan penunjuk arah yang
lebih baik bagi masa depan mereka.
Nun jauh di sana, nahdlah itu
muncul ketika sejumlah ulama Sulawesi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan, berkumpul mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1932, yang
difasilitasi oleh raja Bone, Andi Mappanyukki. “Jikalau semangat nasionalisme
rakyat Bone masih tertidur nyenyak, maka dengan berdirnya Nahdlatul Ulama di
Bone dengan pelopor utamanya para ulama, maka jiwa nasionalisme mulai
berkobar-kobar. Dimana-mana di Nusantara Indonesia tumbuh berbagai organisasi
kebnagsaan maupun keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) di Bone, yang maksud
dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil
mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah abad,” demikian
penuturan A.M. Hanafie, yang pernah menjadi saksi kehadiran NU di Bone.10 Kini kata-kata
nasionalisme sudah terkesan peyoratif di telinga sejumlah pejabat dan sejumlah
elemen masyarakat. Bahkan ia diidentikkan dengan “balkanisasi”, yang dianggap
memecah-belah seperti yang terjadi di negara Yugoslavia dulu. Tapi justru di
kalangan ulama-lah kata-kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat menggerakkan
semangat mereka untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Sepulang dari Mekkah,
Kiai Wahab Hasbullah berencana mendirikan organisasi pemuda di kalangan umat
Islam yang bertujuan menggelorakan semangat nasionalisme. Ia bertemu dengan KH
Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan
gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji
Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang
kemudian membantu pendanaannya. Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di
Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan
Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader
muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini
mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul
Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan
Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah. Sejak itu Nahdlatul
Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk
menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan
belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan
dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair
seperti berikut:
Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan.... Wahai bangsaku, wahai bangsaku... Cinta tanah air
adalah bagian dari iman Cintailah tanah air ini wahai bangsaku Jangan kalian menjadi
orang terjajah Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan harus dibuktikan
dengan perbuatan... Gelora nasionalisme
ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945
saat negara Indonesia baru berdiri. Saat itu bangsa kita menghadapi tantangan
akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22
Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Tentara Sekutu,
Inggris dan Belanda, telah membakar semangat rakyat dan umat Islam untuk
terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan
perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Dengan demikian, pasca 11 September,
segenap tradisi dan kepercayaan NU ditempatkan dalam sebuah mikroskop, dan
dalam pengawasan ketat. Sejumlah kata-kata civilizing bersilewerang untuk
membuatnya mengerti akan nilai dan harga tradisinya: liberal, pencerahan,
kritik tradisi, dsb. Demikian pula, bersamaan dengan itu, muncul kata oblietring,
pembusukan, kalau ternyata mereka gagal, macam-macam: konservatif, bergeser ke
kanan, fundamentalis.11 Mereka ditantang untuk menunjukkan rasionalitas mereka untuk
tujuan-tujuan yang sifatnya instrumental dan ulititarian. Rasionalisasi
diarahkan sebagai utilisasi atau kebermanfaatan untuk hal-hal yang sifatnya
kasuistis. Tradisi sebagai sebuah kesatuan antara sejarah, komunitas,
kebenaran, pun terkoyak. Yang ada adalah kompartementalisasi, sekatisasi atau
kotakisasi. Tradisi ditempatkan dalam test modernitas, seperti dalam dikotomi
publik-privat, moderat-fundamentalis, hingga jumud-progresif.
Seperti ditunjukkan dalam buku saya, Islam
Pasca Kolonial (2005), masuknya kolonialisme dan modernitas mengubah
lanskap sosial komunitas tradisi(onal) NU. Dengan diperkenalkannya sekat privat
dan publik, termasuk hukum privat dan hukum publik/sipil, agama mulai
dipisahkan dari adat, budaya dengan politik. Demikian pula tradisi mulai
dipisahkan dari masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Tradisi kemudian
dimodifikasi sebagai sebuah barang: sebagai benda seni, artefak atau sebagai
sesuatu yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar