Ketika
diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung menyuruh para sahabat
untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah
mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke
dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang
pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis.
Mengenai
lembaran-lembaran ini Allah SWT berfirman:
Rasuulun
minallaaHi yatluu shuhufan muthaHHarah
Artinya:
(yaitu)
seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan
(al-Qur`an) (QS.
Al-Bayyinah [98]: 2)
Rasulullah
saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an berdasarkan apa yang
beliau diktekan kepada para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda:
Laa
taktubuu ‘annii, wa man kataba ‘annii ghairal qur`aani falyamhuHu
Artinya:
Janganlah
kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain
al-Qur`an hendaknya ia menghapusnya. (HR. Muslim)
Rasulullah
saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah telah
menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:
Innaa
nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)
Rasulullah
saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat
digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di
seluruh dunia
Ketika Nabi
saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran,
tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para
sahabat ra.
* * *
PENGUMPULAN AL-QUR`AN
Di masa
pemerintahan Khalifatur Rasul Abu
Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi perang Yamamah yang
mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para huffazh (penghafal
al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa
khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an akibat wafatnya para
huffazh. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di
lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit ra
berkata:
Abu Bakar
telah mengirim berita kepadaku tentang korban Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berapa di
sisinya.
Abu Bakar ra
berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya
peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa para qurra’ (para
huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap para
qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian
akan hilanglah sebagian besar al-Qur`an.”
Abu Bakar
berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan oleh Rasul saw?”
Umar
menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik.”
Umar selalu
mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada
Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu Abu Bakar berpendapat seperti apa yang
dipandang oleh Umar.
Zaid bin
Tsabit melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan kepadaku, “Engkau
laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan
tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw
sehingga engkau selalu mengikuti al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah
seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka
sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku
mengenai pengumpulan al-Qur`an.
Aku
bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah saw?”
Umar
menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang-ulang
perkataaannya sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah
diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra.
Maka aku
mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang,
dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para sahabat, hingga aku dapatkan
akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku temukan
dari yang lainnya, yaitu ayat:
Laqad
jaaa`akum rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaiHi maa ‘anittum hariishun
‘alaikum bil mu`miniina ra`uufur rahiim
Artinya:
Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah [9]: 128)
Pengumpulan
al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para
huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di
hadapan Rasulullah saw. Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima,
kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan
Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat: 1)
Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2) Harus dihafal
oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Saking
telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena
tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat
at-Taubah tsb ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah
saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti
bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian
Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah,
walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an, namun mereka tidak
hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja.
Akhirnya,
rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat namun sangat mulia
ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan al-Qur`an untuk
ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang
telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran
al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada
pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat
Umar.
* * *
PENYALINAN AL-QUR`AN
Kemudian
datanglah masa pemerintahan Amirul
Mu`minin Utsman bin Affan ra. Di wilayah-wilayah yang baru
dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah
bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca
al-Qur`an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya
dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia
melihat penduduk Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini
adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.
Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah
pun marah. Kedua matanya merah.
Hudzaifah
berkata, “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah
membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Amirul Mu`minin,
sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu.”
Sekitar
tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul Mu`minin Utsman
bin Affan di Madinah.
Hudzaifah
berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih
tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.”
Utsman
kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan
lembaran-lembaran al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke
dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun
mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an itu kepada Utsman.
Utsman lalu
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam
untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman
bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?”
Dijawab, “Penulis
Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.”
Utsman
bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?”
Dijawab,
“Said bin al-‘Ash.
Utsman
kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan
al-Qur`an.”
Saat proses
penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni
adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”.
Seperti
diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang menuliskannya
adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said
bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya
sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah
menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim
lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam
lembaran-lembaran al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya
ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu
kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu
memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam
lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan
bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa
mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah,
mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka hanya
menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an,
dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah
mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam mushhaf, Utsman
segara mengembalikannya kepada Hafshah.
Utsman
kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam
agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan
yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan
masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah
dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman
kemudian memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang
bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar.
Pada masa
berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf
Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita
sekarang.
Adapun
pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang
warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang
terjadi di masa Khalifah Muawiyah
dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi para pembaca al-Qur`an yang
kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda
dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan
alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula
pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya.
Dengan
demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang
telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya
al-Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari
al-Qur`an kecuali hal itu akan terungkap.
Allah SWT
berfirman:
Innaa
nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Oleh karena
itu, tidak perlu kita ragu-ragu terhadap orisinalitas al-Qur`an. Tak perlu kita
terprovokasi tipu daya orang-orang liberal yang berupaya membuat kita ragu-ragu
terhadap al-Qur`an. Orang-orang liberal itu memang telah berguru kepada para
orientalis yang mempelajari al-Qur`an bukan untuk mengimaninya, bukan untuk
menerapkan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Mereka mempelajari al-Qur`an untuk
mencari-cari cara agar bisa melemahkan aqidah umat Islam. Semoga Allah
menghancurkan rencana-rencana mereka. Semoga Allah membuat sakit yang ada pada
hati mereka semakin parah dan semakin parah. Semoga Allah segera membinasakan
mereka karena sakit itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar