BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur'an
mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di
Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat
ditemukan jawabannya pada Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam pertama sebelum
Hadist.
Dalam Al-Qur'an
Banyak ayat-ayat yang mengandung makna untuk menyelesaikan persoalan manusia
baik dalam hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah, namun sayang,
semua ini belum tergali guna memberikan pencerahan kepada umat manusia.
Dalam
menggali ataupun memahami ayat-ayat Al-Qur'an diperlukan perangkat-perangkat
dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab),
Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya
guna mewujudkan Al-Qur'an aplikatif sebagai pedoman dan pegangan umat
Islam yang berlaku sepanjang zaman.
Memang
memahami ayat-ayat Al-Qur'an dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat,
terdapat beberapa kosa kata pada ayat Al-Qur'an yang tidak difahami oleh
sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi,
namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita
menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat
yang masih banyak mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secatertulis.
BAB II
ESENSI AL-QUR'AN DAN WAHYU
Wahyu
merupakan sebuah hakikat dan kebenaran, karakter penting wahyu, yaitu wahyu
langsung turun ke qalbu (hati) Nabi Saw. dan dikatakan bahwa Jibril as
membawa Al-Qur'an dan menyampaikan langsung ke dalam qalbu Nabi Saw. beberapa
ayat Al-Qur'an menyatakan esensi wahyu dinisbahkan kepada Nabi Saw. Dala hal
ini Al-Qur'an, menjelaskan esensi wahyu hanya sekedar mengisyaratkan saja dan
tidak memaparkan sedetail mungkin, seperti ayat di bawah ini, yang artinya:
“Dan
sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antaorang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 192-194)
Dalam
ayat yang lain; “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah;
membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita
gembibagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 97)
Wahyu memiliki
bentuk khusus dan berbeda dengan daya khayal atau ilmu biasa, karena pada
mulanya hakikat-hakikat ilmu itu secalangsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi
Saw. dan dari sini memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Pengertian
qalb pada ayat di atas adalah nafs (jiwa) manusia, yang merupakan tempat
berpijak dan media untuk menangkap dan memahami berbagai macam ilmu. Menggunakan
gaya pengucapan seperti ini, karena wahyu dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad), dan tidak menggunakan kata ‘alaika
adalah untuk sekedar mengisyaratkan ihwal kebagaimanaan dalam memperoleh
wahyu Al-Qur'an. Yakni penyampaian wahyu langsung ke dalam hati dan jiwa Nabi Saw.
tanpa ada intervensi alat indera. Oleh karena itu, Nabi Saw. menyaksikan
langsung malaikat dan mendengar wahyu, tanpa harus menggunakan panca inderanya.
Karena kalau wahyu itu bisa dilihat dengan mata kepala dan didengar dengan telinga
biasa, maka orang-orang yang hadir ketika wahyu itu turun akan menyaksikan dan
mendengarkan pula suamalaikat Jibril.
Ketika wahyu
turun kepada Nabi Saw., mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi Saw., karena
beliau sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian
dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi Saw. Dan ini merupakan sebuah
tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih
rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan
kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam
pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan
metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah
menuju ke maqam yang lebih tinggi.
Oleh
karena itu, wahyu merupakan sejenis ilmu yang sungguh luar biasa dan
menakjubkan serta diperoleh melalui cayang tidak biasa. Penyampaiannya tidak
sama dengan penyampaian yang ada pada pengajaran-pengajaran yang terjadi di
masyarakat umum dan juga metode tafakkur dan struktur silogisme yang
digunakan untuk memperolehnya sangat berbeda. Bahkan merupakan refleksi lansung
seluruh hakikat ilmu ke dalam hati nurani dan qalb Rasulullah Saw., dan
memperolehnya merupakan sebuah kondisi perasaan atau persepsi batin yang
berbeda dengan apa yang ada pada umumnya.
Ciri khas
lain wahyu adalah Nabi Saw. menyaksikan malaikat dengan hati mulia, sebagaimana
yang diisyaratkan ayat Al-Qur'an, yaitu; “Maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa”,
"ru’yat al fuaad" di sini dinisbahkan kepada hati dan jiwa
maksudnya Rasul menyaksikan malaikat Jibril melalui perantajiwa dan hati.
Kalimat-kalimat seperti "maa yaraa" dan "wa
laqad ra’aahu nazlatan ukhra" juga memiliki makna yang sama dengan
kata di atas, yaitu penyaksian melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata "
bashara" dalam kalimat "maa zaagha al basharu"
memiliki makna mata hati. (QS. An- Najm : 1-18).
Makna "maa
kadzaba al fuaadu maa ra’aa" adalah apa yang disaksikan Nabi Saw. dengan
qalbunya merupakan sebuah kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan
ru’yat kepada penyaksian melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan
lumrah, karena manusia, selain memiliki persepsi melalui indelahiriah dan daya
pikir serta kemampuan berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi
yang bukan indelahiriah.
A.
Wahyu
dalam Hadits
Harits
bin Hisyam mengutarakan pertanyaan kepada Nabi Saw.: “Bagaimana wahyu itu
datang kepada anda? Beliau menjawab: Terkadang dimulai dengan suayang
menyerupai suagemerincing (bel), dan ini bentuk wahyu yang paling berat. Ketika
suaitu terputus, apa yang telah disampaikan dan dikatakan langsung ada dalam
memori saya. Terkadang juga malaikat datang kepada saya dengan menyerupai
seorang laki-laki dan berkata kepadaku. Lalu saya menghafal apa yang
dikatakannya."
Abdullah
bin Umar berkata: Saya mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah Saw.: "Apakah
anda merasakan wahyu itu? Beliau Saw. menjawab: Iya, saya merasakannya sama
seperti suagemerincing (bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang
kepadaku, karena begitu dahsyatnya, saya menginyawa dan ruhku telah melayang."
Dari
kedua hadits di atas, dapat dipahami bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai
dengan terdengar suayang menyerupai suagemerincing (bel), dan ini merupakan
jenis wahyu yang paling berat. Dan kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma
sesuatu (misalnya menjelma seperti seorang pemuda) dan berbicara.
B. Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat
tiga bentuk wahyu dan percakapan Allah SWT. dengan Nabi Saw., sebagaimana yang
diisyaratkan Al-Qur'an: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa
Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang
tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Syuura: 51)
1.
Wahyu
berbentuk percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa penghubung
Percakapan
khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantaantaAllah SWT. dengan Nabi Muhammad Saw.
Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata "illaa
wahyan." Percakapan Allah SWT.
2.
Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi
Wahyu berbentuk
terukur atau terbatasi ini terlihat pada kalimat "min waraai hijaabin"
pada ayat di atas. Dan kalimat "auw yursila rasuulan",
Bentuk
kedua berbeda dengan bentuk pertama pada kata "illa wahyan" tidak
memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan demikian, ia merupakan sebuah
percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta tanpa ada media perantara.
Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi Saw. – sedang terjaga
(terbangun), dan kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari
sebagian hadits dapat dipahami bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah
bentuknya, yaitu; ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan
diwahyukan dengan sangat jelas ke dalam hati mereka ketika mereka sedang dalam
keadaan tidur dan mereka panabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat
dan kebenaran.
Sebagian
dari panabi, pada awal mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk
bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam
bentuk mustaqim (langsung).
Lebih
spesifik pengelompokan model (penerimaan wahyu) panabi sebagai berikut:
1.
Mendengar suawahyu
itu sama seperti suarantai besi, dan dengan wasilah ini mereka mendapatkan dan
memahami makna-makna dan materi-materi pokok; sebagiannya lagi
2.
Memperoleh
wahyu dalam keadaan sedang tidur, seperti Nabi Yusuf As dan Nabi Ibrahim As;
sebagian lagi
3.
Memperoleh
wahyu dengan melihat dan menyaksikan malaikat pembawa wahyu; kelompok keempat
dan kelima adalah mereka yang seluruh hakikat ilmu pengetahuan itu disampaikan
melalui hati atau telinga mereka
Yang
dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As dalam
bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan Nabi
adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang disaksikan
Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi Muhammad Saw.
sebelum bi’tsah sampai ketika Jibril As datang dari Allah SWT. membawa
wahyu untuk beliau Saw. Ketika terjadi integrasi antamaqam kenabian dan risalah
kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau dan berbicakepadanya.
Sebagian panabi didatangi malaikat ketika sedang tidur dan berbicaserta
bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya ketika terjaga. Adapun
muhaddats adalah orang yang diajak bicadan dikatakan sesuatu (hadits) kepadanya
lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia tidak menyaksikan dan
melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang tertidur."
Adapun
ihwal Nabi Saw., beliau Saw. sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai
macam hakikat dan kebenaran, yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah
berkata: "Paling pertama dari tahap kenabian Muhammad Saw., ketika
Allah SWT. menghendaki kemuliaan dia dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah
mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau Saw. tidak bermimpi kecuali yang dilihat itu
adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang terang."
Wahyu
yang turun kepada Nabi Saw. dimulai dengan calewat mimpi sampai pada saat
beliau Saw. siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu
darinya, karena menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima
wahyu adalah sebuah perkayang sangat sulit dan berat.
Mimpi
panabi merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam
hakikat dan kebenaran secajelas dan terang; hal tersebut memiliki kesesuaian
dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan dan
godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya selalu
terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti
manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah
Saw. bersabda: "Mata kami tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami
selalu terjaga dalam segala kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada
dibelakang sama seperti kami menyaksikan apa yang ada di depan kami."
BAB III
AL-QUR'AN PADA MASA RASUL
Ketika Al-Qur'an diturunkan satu atau beberapa ayat,
Rasul Saw. langsung menyuruh pasahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya
di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada papenulis wahyu. Papenulis
wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun,
kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipn artinya "(yaitu)
seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang
disucikan (Al-Qur'an)" (QS. Al-Bayyinah:
2).
Rasulullah Saw. mengizinkan kaum muslimin untuk
menuliskan Al-Qur'an berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada papenulis
wahyu. "Janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah
menulis dari aku selain Al-Qur'an hendaknya ia menghapusnya." (HR. Muslim). Rasulullah Saw. tidak
khawatir dengan hilangnya ayat-ayat Al-Qur'an karena Allah telah menjamin untuk
memeliharanya berdasarkan nash yang jelas; "Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9)
Rasulullah Saw. gembidan ridha dengan Al-Qur'an sebagai
mukjizat terbesarnya yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang
Arab maupun orang-orang di seluruh dunia. Ketika Nabi Saw. wafat, Al-Quran
secakeseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah
kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan pasahabatnya.
A.
Pengumpulan Al-Qur'an
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadi perang Yamamah
yang mengakibatkan banyak sekali paqurra’/ pahuffazh (penghafal Al-Qur'an)
terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan
hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an akibat wafatnya pahuffazh, maka
beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur'an yang masih ada di
lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit berkata; "Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang
korban Perang Ahlul Yamamah." Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya. Abu Bakar
berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya
peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa paqurra’ (pahuffazh). Dan
aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap paqur (sehingga mereka
banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian
besar Al-Qur'an.”
Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul Saw.?” Umar menjawab:
“Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik." Umar selalu mengulang-ulang
kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar. Abu
Bakar berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Engkau laki-laki yang masih muda dan
cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan
engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw. sehingga engkau selalu
mengikuti Al-Qur'an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk
memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat
dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan Al-Qur'an. Zaid
bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah saw?." Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik.
Umar selalu mengulang-ulang perkataannya sampai Allah memberikan kelapangan
pada dadaku seperti yang telah diberikan-Nya kepada Umar.
Maka Zaid mulai menyusun Al-Qur'an dan mengumpulkannya
dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan
pasahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah Al-Anshari
yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu; "Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini
tidak berdasarkan hafalan pahuffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu
apa yang tertulis di hadapan Rasulullah Saw. Lembaran-lembaran Al-Qur'an
tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua
orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis
di hadapan Rasulullah Saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua
syarat, yaitu; Pertama Harus diperoleh secatertulis dari salah seorang
sahabat. Kedua Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Pengambilan akhir Surat At-Taubah sempat terhenti karena
tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat At-Taubah
ditulis di hadapan Rasululllah Saw. Kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat
lain pun tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa
Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah
sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun pasahabat telah hafal seluruh ayat
Al-Qur'an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya,
rampung sudah tugas pengumpulan Al-Qur'an yang sangat berat namun sangat mulia
ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur'an untuk
ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang
telah ditulis di hadapan Rasulullah Saw. ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur'an ini tetap terjaga bersama
Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin Al-Khaththab selama
hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar.
B.
Penyalinan Al-Qur'an
Pada masa Khalifah
Utsman bin Affan di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan,
sahabat nabi yang bernama Hudzaifah
bin Al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur'an.
Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur'an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya
dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia
melihat penduduk Irak membaca Al-Qur'an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini
adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.
Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah, dan berkata: “Penduduk Kufah
membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa.
Demi Allah jika aku bertemu dengan Khalifah, sungguh aku akan memintanya untuk
menjadikan bacaan tersebut menjadi satu."
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin Al-Yaman
menghadap Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul
Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab (Al-Qur'an)
sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani."
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar
Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ada padanya kepada Utsman
untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan
lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an itu
kepada Utsman. Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam
beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?” Dijawab,
“Penulis Rasulullah Saw. adalah Zaid bin Tsabit.” Utsman bertanya lagi, “Lalu
siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?” Dijawab, “Said bin Al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk
mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan Al-Qur'an.” Saat proses penyalinan
mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya
perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut."
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin Al-Ash
dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat.
Ketika Said bin Al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit
menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena
memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya.
Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu
tertulis di dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka
memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk
menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin
teguh.
Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis
dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an yaitu dengan Ta`
Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula Al-Qur'an
diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta`
Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari
perkaitu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada
lembaran-lembaran Al-Qur'an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut
ke dalam mushhaf, Utsman segera mengembalikannya kepada Hafshah. Utsman
kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam
agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang Al-Qur'an. Jumlah salinan
yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan
masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah
dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan Al-Qur'an yang ditulis
oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang
mutawatir tersebut untuk dibakar. Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin
mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan
bacaan yang sama hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah,
dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang
dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan
bacaan bagi papembaca Al-Qur'an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada
masa Daulah Abbasiyah,
tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di
atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah
ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas
huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf
lainnya. Dengan demikian, Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang adalah
sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah Saw. Allah SWT telah
menjamin terjaganya Al-Qur'an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu
huruf saja dari Al-Qur'an kecuali hal itu akan terungkap.
BAB IV
MAKIAH DAN MADANIAH
Al-Qur'an turun kepada Nabi Saw. secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul Saw. di Mekah. Allah SWT. berfirman: “Dan Al-Qur'an itu
telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”
(QS. Al-Israa’: 106).
Dilihat dari proses, bentuk, tempat dan waktu turunnya
ayat, maka ayat Al-Qur'an secara umum dibagi dua, yaitu ; Pertama Al-Makiyah: ayat yang diturunkan
kepada Nabi Saw. sebelumhijrah ke Madinah. Kedua Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan
kepada Nabi Saw.setelah hijrah ke Madinah. Sehingga
firman Allah SWT.:“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3), termasuk ayat
Madaniyah walaupun turun kepada Nabi
Saw.pada haji wada’ di Arafah.
A.
Perbedaan
Dari Segi Konteks Kalimat
1.
Sebagian
besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks
pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah
pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah
surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah
mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada
orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!.
2.
Sebagian
besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara
para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang
memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan
dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan
panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan
mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada
surat Al-Baqarah (ayat 282).
B.
Perbedaan
Dari Segi Tema
- Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan
aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah
dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak
bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi
perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu
jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga
membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
- Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad,
hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang
menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan
mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
C.
Keguanaan Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah
satu bidang ilmu Al-Qur'an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa
manfaat.
1. Bukti ketinggian bahasa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an
Allah SWT. mengajak bicara
setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun
lembut.
2. Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut
sangat nyata dimana Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai
keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan
melaksanakan syari’at yang diturunkan.
3. Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah SWT. dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur'an dalam tata
cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling
penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
4. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang
dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan
Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan)
maka ayat Madaniyah tersebut menjadinasikh bagi ayat Makiyah karena
ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur'an
secara Berangsur-angsur dilihat dari pembagian
Al-Qur'an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur'an
turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur'an dengan cara tersebut memiliki
hikmah yang banyak, di antaranya:
1.
Pengokohan hati Nabi Saw.,
berdasarkan firman Allah SWT.:
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan
secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar
dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33).
2.
Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal,
memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur'an dibacakan
kepada mereka secara bertahap.Berdasarkan
firman Allah SWT.: “Dan
Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan
semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur'an
karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika
mereka sangat membutuhkannya.
4.
Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada
tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat
dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan
khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka
diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama
kali turunlah firman Allah SWT.
yang menerangkan keadaan mereka: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa
manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’”
(QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada
akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak
membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian
yang kedua turun firman Allah SWT.:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk
membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu
shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu
berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91).
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada
semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan
jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan
khamar pada keadaan tertentu.
BAB V
NASAKH DAN MANSUKH
Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam
kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan
memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam
ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain” . Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain” . Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Al-Nasakh Wa al-Mansukh secara etimologi Nasakh dapat
diartikan menghapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan
menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh
dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada
dialek orang Arab yang sering berkata نسحت
الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan
bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang
lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada QS.al-Jaziyah:29.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan
dengan beberapa pengertian antara lain:
1.
Hukum
Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan
menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
2.
Nasakh
adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’
hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan
al-Baqorah :106
3.
Mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah
atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada
dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang
tertuang dalam Al-Qur'an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak
adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang
dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan
denganالحكم المرتفع Hukum
yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang
wasiat. Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf[ (Ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’
yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan
dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Dengan
demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara
bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh
mensyaratkan beberapa hal antara lain :
1.
Hukum yang
di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau
buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang
dalam Al-Qur'an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa
perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah).
2.
Dalil yang
menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59.
3.
Dalil/ayat
yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
4.
Terdapat
kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua
sehingga tidak bisa dikompromikan.
A.
Cara
Mengetahui Al-Nasakh Wa Al-Mansukh
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh
diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk
mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa
Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1.
Terdapat
keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2.
Terdapat
kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya,
jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam
kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan
hal tersebut.
3.
Di ketahui
dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS.
Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika
menghadap Rasul.
B.
Manfaat
Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dalam Kajian Hukum Islam terdapat alasan yang mendasar
mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya
terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
1.
Terkait
status hukum Islam.
2.
Sering
kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait
dalam proses istinbath Hukum.
3.
Sebagai
antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan Al-Qur'an.
4.
Terungkapnya
Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri.
5.
Salah satu
bukti bahwa Al-Qur'an bukan produk Muhammad
6.
Solusi
atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
C.
Macam
Dan Jenis Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4
bagian :
1.
Nasakh Al-Qur'an
dengan Al-Qur'an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas
kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Contoh :
Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang
terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13
2.
Nasakh
Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a). Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak
diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan
Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala
sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih
bersifat dugaan (Dzan).
b). Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh Menurut jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya
adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang
terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak
jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an.
Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106.
c). Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal
ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban
puasa pada bulan as-Syura. Artinya: dari Aisyah beliau berkata :”Hari as-Syura
itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha,
maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah:185, Artinya: “(beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’i Nasakh jenis ini
tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan
beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i
adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an.
Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan
adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui
keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
D.
Bentuk
Nasakh Dalam Al-Qur'an
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah
jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat dalam Al-Qur'an ataukah mengambil
bentuk yang lain. Kiranya menjawab pertanyaan tersebut al-Qattan dalam bukunya
Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam Al-Qur'an dalam 3 macam, yaitu :
1. Nasakh Tilawah (bacaan) beserta
Hukumnya.
Keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga
tidak dapat kita jumpai lagi dalam Al-Qur'an. Jenis Nasakh ini menjadi
debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya
keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis
Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam
literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat
Muslim yang menyatakan bahwa; Menurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini
tidak dapat diterima, sebab keberadaan jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar
Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa penetapan Nasakh dan penetapan
sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Artinya dalam
penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an
harus dengan dalil qot’i atau khabar Muatawatir.
2. Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.
Nasakh ini adalah ayat idah selama satu tahun yang di
Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:
240
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234, Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234, Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis
Nasakh ini adalah : Pertama Bahwa Al-Qur'an sebagai Kalamullah, ia bukan
hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk
mendapatkan pahala. Kedua Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat
Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3.
Nasakh
tilawah sedangkan hukum tetap.
Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar
Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan : “Termasuk dari ayat Al-Qur'an
yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua
perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai
mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari
lafalnya dalam Mushaf Usmani (Al-Qur'an) tentu kita tidak akan menemukannnya,
sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi
orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini
tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak
dibenarkan memastikan turunnya Al-Qur'an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
E.
Nasakh
Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1.
Nasakh
berpengganti
Di lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini
terdapat 3 macam yaitu :
a). Nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih
ringan)
b). Nasakh dengan badal Mumatsil (pengganti serupa)
c). Nasakh dengan badal Atsqal (pengganti yang lebih
berat).
2. Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang
terdapat dalam penghapusan kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap Rasul
sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13
BAB VI
QASASUL AL-QUR'AN
Sebuah kisah yang baik akan mudah meresap ke dalam hati orang yang membaca
atau mendengarnya, serta menanamkan kesan yang demikian mendalam. Bahkan
pelajaran yang disampaikan melalui pemaparan kisah (narasi) lebih banyak
faedahnya.
Pengertian Al-Qashash
(Kisah-kisah) Secara bahasa, al-qashash artinya menelusuri jejak. Allah
berfirman: “Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula."
(QS. Al-Kahfi: 64), keduanya menelusuri jejak yang tadi Firman Allah melalui
lisan Ibunda Nabi Musa: “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang
perempuan: ‘Ikutilah dia’.” (QS. Al-Qashash: 11). Artinya, ikutilah dia
sampai engkau lihat siapa yang memungutnya.
Al-Qashash artinya
berita yang berturut-turut. Allah berfirman: “Sesungguhnya ini adalah kisah
yang benar.” (QS. Ali ‘Imran: 62). Adapun
Al-Qishshah (kisah) adalah al-amr (urusan), al-khabar (berita), dan al-sya`nu
(perkara) serta al-haal (keadaan).
Jadi Qashashul Qur`an
adalah berita tentang keadaan umat-umat yang telah berlalu, nubuwat terdahulu
dan berbagai peristiwa yang telah terjadi.
Sedangkan menurut
istilah, artinya menceritakan berita tentang kejadian-kejadian yang mempunyai
beberapa tahapan, di mana sebagiannya mengikuti yang lain.
Keutamaan Kisah-kisah
Qur`ani adalah kisah yang paling benar/jujur, sebagaimana firman Allah: “Dan
siapakah yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.” (QS. An-Nisa`:
87). Hal itu karena kesesuaiannya yang sempurna dengan kenyataan yang ada.
Artinya, tidak ada perkataan yang lebih jujur dan benar daripada firman Allah.
Kisah-kisah Qur`ani
adalah kisah yang paling baik, sebagaimana firman Allah: “Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu.”
(QS. Yusuf: 3).
Karena cakupannya
terhadap kesempurnaan paling tinggi dalam balaghah (keindahan bahasa) dan
keagungan makna. Bahkan kisah-kisah dalam Al-Qur'an merupakan kisah yang paling
bermanfaat, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf:
111).
Karena kuatnya
pengaruh kisah tersebut terhadap upaya perbaikan hati, akhlak, dan perbuatan.
Jadi, kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling indah lafadznya (kalimatnya)
dan paling indah pula maknanya.
A. Beberapa
Bentuk Kisah di dalam Al-Qur'an
1. Kisah para
Nabi
Kisah para Nabi mendakwakan
umatnya, mu’jizat yang Allah berikan kepada mereka sebagai dukungan, sikap
orang-orang yang menentang, dan tahap perkembangan dakwah serta akhir kesudahan
orang-orang beriman dan orang-orang yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh,
Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Musa dan Harun, serta ‘Isa dan Muhammad serta para
nabi lainnya.
2. Kisah yang
berkaitan dengan berbagai peristiwa yang telah berlalu
Kisah tentang orang
terdahulu atau tentang orang-orang yang tidak diketahui dengan pasti jati diri
mereka. Seperti kisah ribuan orang yang keluar dari rumah-rumah mereka karena
takut mati, kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam, para pemuda penghuni gua
(Ashhabul Kahfi), Dzul Qurnain, Qarun, Ashhabus Sabti (Orang-orang Yang
Melanggar Larangan di hari Sabtu), Ashhabul Ukhdud (Para Pembuat Parit), Ashhabul
Fiil (Tentara Bergajah), dan lain-lain.
3. Kisah-kisah
tentang berbagai peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah
Kisah model ini seperti
kisah perang Badr dan Uhud dalam surat Ali ‘Imran, perang Hunain dalam surat
At-Taubah, hijrah, Isra`, dan sebagainya.
B. Manfaat
Kisah-Kisah Dalam Al-Qur'an
Kisah-kisah Al-Qur'an
mengandung berbagai manfaat, antaralain:
1. Menjelaskan
landasan dasar (asas) dakwah mengajak manusia kepada Allah, menerangkan tentang
pokok-pokok (ushul) syariat yang dibawa masing-masing Nabi yang diutus Allah.
Firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiya`:
25).
2. Meneguhkan
hati Rasulullah dan hati umat beliau di atas ajaran (Dien) Allah, mengokohkan
ketsiqahan (kepercayaan) kaum mukminin akan kemenangan al-haq dan tentaranya
serta terhinanya kebatilan dan para pembelanya. Allah berfirman: “Dan semua
kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Hud: 120).
3. Membenarkan
para nabi sebelumnya, menghidupkan nama serta melestarikan jejak mereka.
4. Menonjolkan
kebenaran/kejujuran
Nabi Muhammad dalam dakwahnya melalui berita yang beliau sampaikan tentang
keadaan masa lalu seiring perjalanan masa dan generasi.
5. Menyingkap
kedustaan Ahli Kitab dengan hujjah tentang keterangan dan petunjuk yang mereka
sembunyikan serta tantangan kepada mereka dengan isi kitab mereka sendiri
sebelum diubah. Misalnya firman Allah: “Semua makanan adalah halal bagi Bani
Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya
sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada
makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu
bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’.” (QS. Ali ‘Imran: 93).
6. Kisah itu
merupakan sebagian contoh tentang adab yang harus diperhatikan dan
pelajaran-pelajarannya tertanam kuat di dalam jiwa. Firman Allah: “Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal.” (QS. Yusuf: 111).
7. Menjelaskan
hikmah Allah berkaitan dengan hal-hal yang terkandung dalam kisah itu,
sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran), itulah suatu
hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi
mereka).” (QS. Al-Qamar: 4-5).
8. Menerangkan
keadilan Allah dengan adanya hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang yang
mendustakan, sebagaimana firman Allah: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka,
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah
bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah,
di waktu adzab Rabbmu datang.” (QS. Hud: 101).
9. Menerangkan
karunia Allah dengan menyebutkan pahala yang dilimpahkan kepada orang yang
beriman, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah mengembuskan
kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka). Kecuali
keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing,
sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur.” (QS. Al-Qamar: 34-35).
10. Sebagai
hiburan bagi Nabi n atas gangguan yang dilancarkan orang-orang yang mendustakan
beliau, sebagaimana firman Allah: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka
sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan
(rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa
mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.
Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya)
akibat kemurkaan-Ku.” (QS. Fathir: 25-26).
11. Membangkitkan
rasa antusias kaum mukminin terhadap keimanan dengan mendorong mereka agar
teguh di atasnya serta meningkatkannya ketika mengetahui keberhasilan
orang-orang beriman terdahulu serta kemenangan mereka yang diperintah berjihad.
Sebagaimana firman Allah: “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan
menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang
yang beriman.” (QS. Al-Anbiya`: 88).
12. Men-tahdzir
(peringatan) orang-orang kafir agar tidak terus-menerus tenggelam dalam
kekafirannya, sebagaimana firman Allah: “Maka apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memerhatikan bagaimana kesudahan
orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka
dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. Muhammad:
10).
13. Mengakui
keberadaan risalah Nabi Muhammad, karena berita-berita tentang umat-umat
sebelumnya tidak ada yang tahu kecuali Allah k, sebagaimana firman Allah: “Itu
adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu
sebelum ini.” (QS. Hud: 49) Dan firman-Nya: “Belumkah sampai kepadamu
berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang
sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (QS. Ibrahim:
9).
14. Di dalam
kisah-kisah Qur`ani terdapat penjelasan tentang sunnatullah pada makhluk-Nya,
baik secara individu, maupun kelompok. Sunnah itu berlaku pada orang-orang
terdahulu dan yang datang kemudian, agar dijadikan pelajaran oleh orang-orang
yang beriman. Oleh sebab itulah, kisah-kisah Qur`ani ini bukan semata-mata
memaparkan sejarah umat manusia atau sosok tertentu. Tapi yang diuraikan adalah
hal-hal yang memang dapat dijadikan pelajaran, nasihat, dan peringatan. Allah
berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Hud: 120).
BAB VII
AQSAMUL QUR'AN
Kata al-aqsam jamak dari kata qasam.
Berarti sumpah. Ungkapan sumpah dalam bahan Arab berasal dari kata kerja, uqsimu
kemudian disertai huruf ba’. Jadi uqsimu billah artinya aku
bersumpah atas nama Allah. Seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: 'Allah tidak
akan membangkitkan orang yang mati'." (QS. An-Nahl: 38).
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang, kata kerja
sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ba’nya saja.
Kemudian huruf ba’ diganti dengan huruf wawu, seperti firman
Allah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)."
(Al-Lail: 1). Kadang-kadang digunakan huruf-huruf ta’. Firman Allah, "Demi
Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu." (Al-Anbiya': 57). Tapi, huruf wawu
paling banyak dipakai.
A.
Pentingnya Sumpah
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk
tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah
untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang
dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi
lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang
terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur'an turun kepada
seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang
ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah
dalam Al-Qur'an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat
(kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta
menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’
al-Qaththan.
B.
Macam-macam
Sumpah
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an
berkisar antara tiga hal.
- Allah Bersumpah dengan Diri-Nya
Allah Bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan
kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur'an.
a). Firman Allah: "Orang-orang
kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah:
'Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian
akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah." (QS. At-Taghabun:
7).
b). Firman
Allah: "Katakanlah: 'Pasti datang, demi
Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang
kepadamu ...'." (QS. Saba’: 3).
c).
Firman Allah: "Dan mereka menanyakan
kepadamu: 'Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?' Katakanlah: 'Ya, demi Tuhanku,
sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput
(daripadanya)'." (QS. Yunus: 53).
d).
Firman Allah: "Demi Tuhanmu, sesungguhnya
akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan
mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut." (QS. Maryam: 68).
e).
Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, Kami
pasti akan menanyai mereka semua." (QS. Al-Hijr: 92).
f).
Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (QS. An-Nisa’: 65).
g).
Firman Allah: "Maka Aku bersumpah dengan
Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang;
sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa." (QS. Al-Ma’arij: 40).
- Allah bersumpah dengan
makhluk-Nya.
Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur'an, seperti, "Demi
matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan
siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit
serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya)." (QS. Asy-Syams: 1-7).
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)
(1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan
perempuan (3)." (QS. Al-Lail: 3-1). "Demi
fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan
malam bila berlalu (4)." (QS. Al-Fajr: 1-4).
"Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan
(5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan
tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8),
karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan
manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka
Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa
akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan
bintang-bintang." (QS. At-Takwir: 5–15). "Demi
(buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2)." (At-Tin:
1-2).
- Satu kali Allah bersumpah dengan
Nabi Muhammad saw.
Karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu
Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah
tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. "Barang
siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan
Syirik." (QS. HR Ahmad).
Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur'an terkadang
menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak,
seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhan langit dan bumi,
sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ...."
(QS. Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat
permintaan), seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti
akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu."
(QS. Al-Hijr: 92-93).
Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib
seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti
sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang
disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, "Demi
langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang
menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang
membuat parit." (QS. Al-Buruj: 1-4).
Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan
jawabannya, seperti firman Allah SWT, "Demi matahari dan cahayanya di
pagi hari .... Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ...."
(QS. Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, "Demi (buah) Tin dan
(buah) Zaitun .... Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin:1-4).
BAB VIII
RASMUL QUR'AN
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah
suatu pertanda diangkatnya Baginda sebagai seorang Nabi sekaligus Rasul yang mengemban
amanat untuk mentablighkan tekstual dan kontekstual wahyu-wahyu tersebut kepada
umat. Diharapkan umat yang bergelimang dengan dekadensi moral dan politheisme
kembali ke jalan yang benar, menjadi manusia yang tidak diperbudak oleh
kejumudan (stagnansi) berpikir. Baginda menginginkan kaum Quraisy menuju jalan
kecerdasan dan kesempurnaan.
Setiap kali wahyu diturunkan oleh Jibril kepada Nabi
maka Baginda segera mengajarkannya kepada para sahabat. Dari proses inilah
kemudian muncul penulisan dan pembukuan Al-Qur'an sehingga setiap muslim di
mana pun ia berada dapat memiliki dan mempelajarinya. Al-Qur'an yang ada di
tangan kita sekarang bukan sekedar sebuah Kitab Suci akan tetapi bukti sejarah
kecerdasan seeorang Nabi yang Ummy, kepedulian terhadap generasi dan regenerasi
muslim berkualitas qur’any, dan kepekaan akan kondisi masa depan.
Bagaimana proses itu terjadi dan apa-apa saja motif yang
mendorong penulisan dan pembukuan Al-Qur'an serta siapa saja tokoh-tokoh
sahabat atau tabi’in yang terlibat dalam menghantarkan Al-Qur'an ke tengah
peradaban dunia yang bersumber darinya. Bagaimana peran Al-Qur'an dalam merubah
paradigma lama kaum Quraisy dalam sastera, sehingga ribuan bait syair yang
mereka hafal berganti menjadi ribuan ayat-ayat Kalam Suci Sang Maha Suci. Bukan
sekedar itu, bahkan mindsite mereka mengalami brain washing secara serta merta
baik mereka sadari ataupun tidak karena Al-Qur'an memang sebuah Kitab Suci yang
sempurna dan penyempurna Kitab Suci-Kitab Suci terdahulu.
A.
Pada
Masa Rasululah
Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur'an dipelihara
sedemikia rupa, sehingga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-Qur'an
adalah dengan menghafal dan menulisnya. Rasulullah di masa hidupnya
menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat
menghafalnya dengan baik. Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dapat
dilaksanakan dengan baik pula oleh para sahabat.
Al-Qur'an yang turun secara berangsur-angsur baik di
Mekah maupun di Madinah sangat memudahkan dokumentasi yang dilakukan para sahabat.
Al-Qur'an tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di toko akan tetapi
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Al-Qur'an
diturunkan secara terpisah (perayat atau beberapa ayat) tidak persurah, maka
yang diturunkan di Mekah kami tetapkan di Mekah walaupun penyempurnaannya di
Madinah. Demikian juga yang diturunkan di Madinah, bahwasanya Al-Qur'an itu
dipisah antara satu surah dengan surah yang lain, apabila turun
Bismillahirrahmanirrahim maka mereka (para sahabat) mengetahui bahwa surah yang
pertama sudah selesai dan dimulai dengan surah yang lain”.
1.
Penulis
Wahyu
Selain dari cara menghafal, Rasulullah memerintahkan
agar para sahabat yang pandai menulis segera menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an yang
telah dihafal oleh mereka. Di antara sahabat yang diperintahkan untuk menulis
ayat-ayat Al-Qur'an adalah: 1). 4 sahabat terkemuka, yaitu Abu Bakar, Umar,
Usman, dan Ali, 2). Muawiyah bin Abu Sofyan, 3). Zaid bin Tsabit, 4). Ubay bin
Ka’ab, dan 5). Khalid bin Walid.
Mengenai para penulis Alqur’an yang disebut dengan
istilah kuttab, Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i tidak menyebutkan 8 orang
seperti yang dikemukakan oleh Abu Anwar, akan tetapi menurut mereka berdua
bahwa para penulis wahyu itu ada 18 orang, yaitu; 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2).
Umar bin Khattab, 3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Ubay bin
Ka’ab bin Qais, 6). Zaid bin Tsabit, 7). Zubair bin Awwam, 8). Muawiyah bin Abu
Sofyan, 9). Arqom bin Maslamah, 10). Muhammad bin Maslamah, 11. Abban bin Sa’id
bin ‘Ash, 12. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, 13. Tsabit bin Qais, 14. Hanzalah bin
Rabi’, 15. Khalid bin Walid, 16. Abdullah bin Arqam, 17. Al-A’la bin Utbah, dan
18. Syurahbil bin Hasanah.
Tetapi menurut Al-Hafizh Abu Qosim di dalam bukunya Tarikh
Damsyiq bahwa para kuttab berjumlah 23 orang. Selain yang 18 orang yaitu:
Abdullah bin Zaid bin Abdu Robbih, Mughiroh bin Syu’bah, As-Sijil, dan Arqom
bin Abil Arqom.
2.
Metode dan
Sarana Penulisan
Setiap kali Nabi menerima wahyu maka Baginda membacakan
wahyu tersebut di hadapan para sahabat lalu diperintahkan kepada para kuttab
untuk menulisnya dan kemudian menyerahkannya kepada Nabi untuk disimpan.
Sehingga Al-Qur'an benar-benar terjaga dan terpelihara walaupun Bangsa Arab
pada masa itu terkenal dengan kemampuan menghafal data dalam jumlah yang
banyak.
Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu itu
disimpan di rumah Rasul. Di samping itu mereka juga menulis untuk mereka
sendiri. Di saat Rasul masih hidup Al-Qur'an belum dikumpulkan di dalam satu mushaf
(buku yang berjilid).
Kondisi Bangsa Arab pada zaman Nabi belum begitu maju di
bidang percetakan dan perusahaan kertas seperti di negeri Persia dan Romawi,
maka alternatif yang kondisional adalah dengan menggunakan media yang ada di
sekitar mereka seperti pelepah kurma, kepingan batu, kulit kayu, kulit dan
tulang hewan, dan sebagainya.
Adapun tulisan Arab itu mula-mula diciptakan orang di
Yaman, sebenarnya hurufnya sudah didapat dan dipakai orang sejak dari zaman
dahulu kala, semasa Himyar memerintah di sana, konon kabarnya tatkala Al-Munzir
mendirikan kerajaan di Hirah, tulisan Arab itu telah diajarkan dan dipelajari
orang. Menurut Ridho orang-orang Arab belajar tulisan dari orang-orang Thaif
yang dipelajari dari seorang laki-laki suku Hirah dan orang-orang Hirah
mempelajarinya dari orang-orang Anbar. Huruf itu terpakai sampai kepada masa
Sayyidina Umar memerintah di Kufah. Inilah sebabnya maka tulisan Arab itu
dinamakan Huruf Kufi.
Tulisan yang dipakai pada masa Nabi Muhammad SAW adalah
tulisan Kufi itu juga, dan yang membawa tulisan itu ke tanah Hijaz ialah Karb
bin Umayyah, dan dengan demikian catatan-catatan ayat Al-Qur'an dalam masa
Rasulullah dilakukan dengan tulisan itu.
3.
Guru Al-Qur'an
dan Sarana Belajar
Al-Qur'an tidak sekedar ditulis oleh para sahabat akan
tetapi lebih dari itu senantiasa dipelajari dengan seksama, apalagi Nabi ada di
tengah-tengah mereka sehingga menjadi rujukan utama dalam pemahaman kontekstual
Al-Qur'an. Karena pemahaman Al-Qur'an secara tekstual saja tidak cukup untuk
menjalani roda kehidupan di dunia ini.
Sangat diperlukan pendalaman dan penggalian terhadap
kontekstual Al-Qur'an yang bahasanya tidak sekedar tersurat bahkan banyak
sekali yang tersirat, oleh karena itu pembelajaran Al-Qur'an sudah berlangsung
sejak zaman Nabi. Pemahaman yang salah tidak sekedar merusak diri pribadi
bahkan menodai kemurnian syariat dan menyesatkan orang lain.
Metodologi pembelajaran pada zaman Nabi menurut Prof.
Dr. H. Syamsul Nizar, M.Ag ada dua macam, pertama rumah Arqam bin Arqam dan
kuttab. Kuttab adalah istilah tulis baca dan istilah kuttab juga berarti
penulis wahyu, biasanya Nabi mendiktekan dan para sahabat menulis ayat yang
didiktekan Nabi.
Maka pembelajaran Al-Qur'an sangat digalakkan oleh Nabi
terutama kepada para muallaf. Belajar Al-Qur'an sangat didorong oleh Nabi
sebagaimana diceritakan oleh Ubadah bin Shamit: “Apabila ada seorang yang
hijrah (masuk Islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang di antara kami
untuk mengajarkannya. Di Mesjid Nabawi sering terdengar kegaduhan dalam membaca
Al-Qur'an, sehingga Rasul memerintahkan kepada mereka agar jangan saling
mengganggu”.
Di antara para sahabat yang terkenal sebagai guru
mengajar Al-Qur'an kepada sesamanya dan kepada para tabi’in adalah: 1).
Usman bin Affan,
2). Ali bin Abi Thalib, 3). Ubay bin Ka’ab, 4). Zaid bin Tsabit, 5). Ibnu Mas’ud, 6). Abu Darda’, dan 7). Abu Musa al-Asy’ari.
2). Ali bin Abi Thalib, 3). Ubay bin Ka’ab, 4). Zaid bin Tsabit, 5). Ibnu Mas’ud, 6). Abu Darda’, dan 7). Abu Musa al-Asy’ari.
4.
Motivasi
menghafal Al-Qur'an
Di samping motivasi belajar Al-Qur'an, Nabi juga
senantiasa menganjurkan para sahabat untuk menghafalnya, apalagi Bangsa Arab
terkenal dengan kemampuan menghafal dan daya ingat yang luar biasa. Tak heran
kalau banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur'an 30 juz.
Motivasi itu bukan hanya dari Nabi tetapi juga dari diri
mereka sendiri begitu mereka mendengar untaian-untaian Kalam Ilahy yang
dibacakan Nabi. Bahasa Al-Qur'an melemahkan bait-bait syair Mu’allaqotul Asy’ar
yang mereka hafal, tanpa terasa akal pikiran mereka meninggalkan syair bait
demi bait dan menggantikannya dengan menghafal Al-Qur'an ayat demi ayat.
Di antara sahabat-sahabat terkemuka yang menghafal
Alqur’an menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari adalah: 1). Abdullah bin
Mas’ud, 2). Salim bin Mu’aqil, dia adalah Maula Abu Huzaifah, 3). Mu’az bin
Jabal, 4). Ubay bin Ka’ab, 5). Zaid bin Tsabit, 6). Abu zaid bin Sukun, dan 7).
Abu Darda’.
Menurut sumber Hadits Bukhari, bahwa tujuh orang
tersebutlah yang bertanggung jawab mengumpulkan Al-Qur'an menurut apa yang
mereka hafal itu, dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Rasulullah. Jadi,
melalui sanad-sanad mereka inilah Al-Qur'an sampai kepada kita seperti yang ada
sekarang ini.
Berbeda dengan Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, menurut
mereka berdua bahwa di antara para sahabat yang hafal Al-Qur'an keseluruhannya
adalah sebagai berikut: 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2). Umar bin Khattab, 3).
Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Talhah, 6). Sa’ad, 7). Hudzaifah, 8).
Salim, 9). Abu Hurairah, 10). Abdullah bin Mas’ud, 11). Abdullah bin Umar, 12).
Abdullah bin Abbas, 13). Amr bin Ash, 14). Abdullah bin Amar bin Ash, 15).
Muawiyah bin Abu Sofyan, 16). Ibnu Zubair, 17). Abdullah bin Saib, dan 18).
‘Aisyah Ummul Mukminin, 19). Hafshah Ummul Mukminin, 20). Ummu Salamah Ummul
Mukminin, 21). Ubay bin Ka’ab bin Qais, 22). Mu’adz bin Jabal
23). Zaid bin Tsabit, 24. Abu Darda’, 25. Abu Zaid (Qais bin Sakan), 26. Majma’ bin Jariyah (Haritsah), 27. Anas bin Malik, 28. Ubadah bin Shamit
29. Fudhalah bin Ubaid, 30. Maslamah bin Khalid, 31. Qais bin Shasha’ah, 32. Tamim Ad-Dari, 33. Salamah bin Makhlad, 34. Abu Musa Al-Asy’ari
35. Uqbah bin Amir, dan 36. Ummu Faraqah binti abdullah bin Harits.
23). Zaid bin Tsabit, 24. Abu Darda’, 25. Abu Zaid (Qais bin Sakan), 26. Majma’ bin Jariyah (Haritsah), 27. Anas bin Malik, 28. Ubadah bin Shamit
29. Fudhalah bin Ubaid, 30. Maslamah bin Khalid, 31. Qais bin Shasha’ah, 32. Tamim Ad-Dari, 33. Salamah bin Makhlad, 34. Abu Musa Al-Asy’ari
35. Uqbah bin Amir, dan 36. Ummu Faraqah binti abdullah bin Harits.
B. Pada masa Khalifah Abu Bakar
1. Kondisi Al-Qur'an
Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
masih tersimpan dengan rapi di dalam dada para sahabat yang hafal dan juga
tertulis pada pelepah-pelepah kurma, batu-batu tipis, kulit-kulit kayu dan
tulang-tulang hewan. Apa yang dihafal oleh para sahabat sesuai dengan hafalan
Nabi, apa yang tertulis sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi ketika
membacakan wahyu di depan para sahabat.
Kondisi istimewa ini sangat rawan dengan penurunan
kualitas sebab daya hafal dan pemahaman generasi berikutnya tidaklah seistimewa
generasi pertama ditambah lagi dengan mulai terjadi pembangkangan agama sebagai
sinyalir melemahnya keimanan terhadap Al-Qur'an. Ada yang mengaku dirinya
adalah nabi, ada pula yang dengan sengaja meruntuhkan Rukun Islam.
2.
Gagasan Pengumpulan
Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Demoralitas kaum munafikin sangat mengganggu ketentraman
beragama pada masa Abu Bakar dan berpengaruh pada keimanan kaum muslimin yang
lainnya. Musailamah Al-Kadzab mengaku dirinya nabi dan bukan sekedar mengaku
tetapi mempengaruhi akidah kaum muslimin Bani Hanifah dari penduduk Yamamah.
Dampak negatif dari pengakuan Musailamah adalah
kemurtadan dan pembangkangan dalam membayar zakat. Dari karena itu Abu Bakar
mengambil inisiatif prepentif agar akidah dapat dikembalikan dan dimurnikan
seperti sedia kala. Disiapkanlah pasukan perang di bawah komando militer Khalid
bin Walid berangkat menuju Yamamah. Perang Yamamah ini banyak menelan korban
dari pihak kaum muslimin, setidaknya gugur sekitar 70 penghafal Al-Qur'an.
Hal ini menggusarkan pikiran Umar bin Khattab khawatir
lenyapnya Al-Qur'an dari muka bumi ini sebagai akibat dari gugurnya para
penghafal Al-Qur'an dalam peperangan. Maka timbullah gagasan menghimpun Al-Qur'an
menjadi satu mushaf dan gagasan cemerlang ini disetujui oleh Abu Bakar.
Segeralah gagasan dilaksanakan dengan menyurati Zaid bin Tsabit sebagai penulis
wahyu.
Ketika Abu Bakar mendengar jawaban yang memuaskan dari
Zaid ia berkata: “Kamu adalah pemuda yang bijaksana, saya tidak meragukan kamu,
kamu adalah penulis wahyu Rasulullah, maka telitilah Al-Qur'an itu dan
kumpulkanlah”. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur'an
setelah syahidnya beberapa orang penghafal Al-Qur'an di perang Yamamah. Umarlah
yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur'an ini. Sejak itulah Al-Qur'an
dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya Al-Qur'an dihimpun.
3.
Pedoman Penyalinan
Kembali Al-Qur'an
Kepanititan diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang telah
ditunjuk oleh Abu Bakar dengan anggota Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan
Usman bin Affan. Sebagai pengawas adalah Abu Bakar sendiri, Umar bin Khattab
dan para tokoh sahabat lainnya.
Kapabalitas Zaid memang tidak diragukan lagi dan hal itu
terbukti dengan temuannya ketika mengumpulkan Al-Qur'an. Didapati ada ayat yang
tidak tertulis dalam kepingan-kepingan dan ayat itu Zaid dapati ada pada
seorang anshor yaitu Abu Huzaimah.
Adapun acuan yang menjadi pedoman penulisan adalah: 1).
Penulisan berdasarkan kepada sumber tulisan Al-Qur'an yang pernah ditulis pada
masa Rasul yang tersimpan di kediaman Rasul Saw. 2). Penulisan berdasarkan
kepada sumber hafalan para sahabat penghafal Al-Qur'an. Adapun Al-Qur'an
dalam bentuk mushaf disimpan pada Abu Bakar sehingga dia wafat, kemudian
disimpan pada Umar bin Khattab hinggga dia wafat, kemudian disimpan pada Hafsah
binti Umar.
Selain Al-Mushaf yang disimpan di rumah Abu Bakar masih
ada mushaf-mushaf lain yang berada di tangan penulis masing-masing seperti
Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Abu Musa Al-Asy’ari, Mushaf Miqdad bin Aswad, Mushaf
Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Masing-masing mushaf itu dipakai di negeri-negeri
dalam wilayah Islam seperti Kufah, Basrah, Damaskus dan Syam.
C. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
1. Kondisi Al-Qur'an
Tersebarnya Al-Qur'an di beberapa negeri ternyata
berdampak negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah
memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu egosentris
masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka bahwa riwayat qira’at
merekalah yang paling benar dan lebih baik dari qira’at yang lain. Ironisnya adalah
timbul konflik antara murid-murid yang belajar Al-Qur'an dari guru yang
berbeda. Tak menghiraukan Al-Qur'an lagi dan tak menghormati guru (sahabat)
yang mengajar di antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
- Gagasan Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Terjadi perbedaan cara membaca (qira’at) di beberapa
negara Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca
Rasulullah. Dia satukan Al-Qur'an dalam satu mushaf dengan bacaan tadi dan
memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras Utsmani merupakan
bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Prilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir
terhadap sesama muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita
tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi berita itu
dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda
pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari ku pasti
lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat
prilaku kaum muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum
muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qira’at. Maka
serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan dan menghentikan
perselisihan qira’at.
Ketika terjadi perselisihan tentang Al-Qur'an seyogyanya
tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk kepada orang yang ahli. Sebaiknya
adalah menghindari terjadinya perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada
hendaknya seseorang membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur'an
sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-Qur'an. Jika
terjadi perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur'an, lafazh-lafazh,
hukum-hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu berlarut-larut hingga
dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk, hendaknya mereka membubarkan
diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim
penulis wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang
yang paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit
Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek Arabnya
sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah bin Zubair.
- Pedoman Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap
shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar. Shuhuf
yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf pertama yang dijadikan sebagai
pegangan. Dwi tunggal penulis wahyu itu selalu sependapat dan tidak pernah
berselisih pendapat dalam melaksanakan tugas kecuali pada satu tempat dan
itupun segera mereka atasi dengan mengambil qiro’ah Zaid bin Tsabit sebagai
pedoman dengan alasan Zaid adalah penulis wahyu.
Manakala penulisan selesai pekerjaan selanjutnya adalah
menggandakan mushaf untuk didistribusikan ke negeri-negeri Islam dan menyita
semua mushaf yang ada pada masyarakat kecuali beberapa mushaf yang ditulis oleh
sahabat kenamaan seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin
Ka’ab.
- Keistimewaan Mushaf Utsmani
Beberapa keistimewaan Mushaf Usmani yaitu: 1).
Mushaf ini ditulis berdasarkan kepada riwayat yang mutawatir bukan riwayat ahad,
2). Mushaf ini meninggalkan ayat yang dinasakh bacaannya, 3). Tertib susunannya
(ayat dan surat) sesuai dengan tertib ayat dan surat yang dikenal sekarang ini,
4). Penulisannya berdasarkan cara yang dapat menghimpun segi bacaan yang
berbeda-beda dan huruf-hurufnya sesuai dengan diturunkannya Al-Qur'an tujuh
huruf, 5). Menjauhkan segala sesuatu yang bukan Al-Qur'an, seperti tafsiran
yang ditulis oleh sebagian orang (sahabat) dalam mushaf pribadinya.
Keistimewaan mushaf ini mengistimewakan Utsman sebagai
pelopor atau orang yang pertama menghimpun Al-Qur'an dalam satu tulisan dan qira’at.
C.
Penyempurnaan
Mushaf Utsmani
Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Al-Qur'an.
Penyempurnaan dilakukan karena banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana
dialek mereka berbeda dengan dialek Arab yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk
mempermudah bacaan Al-Qur'an sebagai upaya menghindari terjadinya kecacatan
atau kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:
1. Mu’awiyah bin Abu sofyan
menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap
kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2. Abdul Malik bin Marwan
menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara
satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik
di atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan
kepada Nashir bin
3. Peletakkan baris atau tanda baca
(i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti cara pemberian
baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Al-Qur'an,
pemberian tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf, pangkal surah, nama surah,
tempat turunnya, dan bilangan ayatnya. Upaya ini terjadi pada masa Al-Makmun.
Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur'an agar jumlah Al-Qur'an yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur'an digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur'an agar jumlah Al-Qur'an yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur'an digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
Fase-fase percetakan Al-Qur'an adalah: 1). Dicetak di
Venesia (Bunduqiyah) pada tahun 1530 M. Masa ini mengalami intimidasi dari
gereja, 2). Dicetak di Hamburg pada tahun 1694 M oleh Hinkelman, 3). Dicetak di
Padone pada tahun 1698 M oleh Marocci, 4). Dicetak secara Islami di Saint
Petersbaurg Rusia pada tahun 1873 M oleh Maulaya Usman, 5). Dicetak di Qazan, 6).
Dicetak di Iran sebanyak dua kali, 7). Dicetak di Taheran pada tahun 1828 M, 8).
Dicetak di Tibriz pada tahun 1833 M, 9). Dicetak oleh Flugel di Leipzig pada
tahun 1834.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah,
2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad
XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam
Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas
Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Al-Aridh,
Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers,
1992).
Ali
Ash-Shabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan,
Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Al-Farmawy, Abu al-Hayy, AL Bidayah Fi ala Tafsir
al-maudhu’iy, Terjemahan
(Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977).
Baidan,
Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002).
Jalal,
Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia,
1990)
M. Karman,
Supriana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2002).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Gramedia,
1977)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar