Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 November 2015

Ulumul Qur'an Pengantar Oleh Ridwan, MA


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur'an mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist.
Dalam Al-Qur'an Banyak ayat-ayat yang mengandung makna untuk menyelesaikan persoalan manusia baik dalam hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah, namun sayang, semua ini belum tergali guna memberikan pencerahan kepada umat manusia.
Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al-Qur'an diperlukan perangkat-perangkat dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya   guna mewujudkan Al-Qur'an aplikatif sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman.
Memang memahami ayat-ayat Al-Qur'an dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat Al-Qur'an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secatertulis.

BAB II
ESENSI AL-QUR'AN DAN WAHYU

Wahyu merupakan sebuah hakikat dan kebenaran, karakter penting wahyu, yaitu wahyu langsung turun  ke qalbu (hati) Nabi Saw. dan dikatakan bahwa Jibril as membawa Al-Qur'an dan menyampaikan langsung ke dalam qalbu Nabi Saw. beberapa ayat Al-Qur'an menyatakan esensi wahyu dinisbahkan kepada Nabi Saw. Dala hal ini Al-Qur'an, menjelaskan esensi wahyu hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak memaparkan sedetail mungkin, seperti ayat di bawah ini, yang artinya:
“Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antaorang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 192-194)
Dalam ayat yang lain; “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembibagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 97)
Wahyu memiliki bentuk khusus dan berbeda dengan daya khayal atau ilmu biasa, karena pada mulanya hakikat-hakikat ilmu itu secalangsung masuk ke dalam hati dan jiwa Nabi Saw. dan dari sini memancar ke suluruh elemen-elemen quwwah (daya, potensi).
Pengertian qalb pada ayat di atas adalah nafs (jiwa) manusia, yang merupakan tempat berpijak dan media untuk menangkap dan memahami berbagai macam ilmu. Menggunakan gaya pengucapan seperti ini, karena wahyu dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad), dan tidak menggunakan kata ‘alaika  adalah untuk sekedar mengisyaratkan ihwal kebagaimanaan dalam memperoleh wahyu Al-Qur'an. Yakni penyampaian wahyu langsung ke dalam hati dan jiwa Nabi Saw. tanpa ada intervensi alat indera. Oleh karena itu, Nabi Saw. menyaksikan langsung malaikat dan mendengar wahyu, tanpa harus menggunakan panca inderanya. Karena kalau wahyu itu bisa dilihat dengan mata kepala dan didengar dengan telinga biasa, maka orang-orang yang hadir ketika wahyu itu turun akan menyaksikan dan mendengarkan pula suamalaikat Jibril.
Ketika wahyu turun kepada Nabi Saw., mulanya masuk ke dalam hati mulia Nabi Saw., karena beliau sangat cinta dan tenggelam serta larut di alam gaib. Lantas kemudian dari hati pindah ke pemahaman dan ke telinga Nabi Saw. Dan ini merupakan sebuah tanazzul (turun perlahan-lahan) dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih rendah dan ini juga merupakan karakter manusia-manusia khusus. Berbeda dengan kaum awam, pada mulanya dia mendengar dengan telinga kemudian masuk ke dalam pemahaman dan terakhir masuk ke dalam hatinya. Ahli suluk pun menggunakan metode seperti ini, yaitu mencari ilmu pengetahuan dari maqam paling bawah menuju ke maqam yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, wahyu merupakan sejenis ilmu yang sungguh luar biasa dan menakjubkan serta diperoleh melalui cayang tidak biasa. Penyampaiannya tidak sama dengan penyampaian yang ada pada pengajaran-pengajaran yang terjadi di masyarakat umum dan juga metode tafakkur dan struktur silogisme yang  digunakan untuk memperolehnya sangat berbeda. Bahkan merupakan refleksi lansung seluruh hakikat ilmu ke dalam hati nurani dan qalb Rasulullah Saw., dan memperolehnya merupakan sebuah kondisi perasaan atau persepsi batin yang berbeda dengan apa yang ada pada umumnya.
Ciri khas lain wahyu adalah Nabi Saw. menyaksikan malaikat dengan hati mulia, sebagaimana yang diisyaratkan ayat Al-Qur'an, yaitu; “Maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa”,  "ru’yat al fuaad" di sini dinisbahkan kepada hati dan jiwa maksudnya Rasul menyaksikan malaikat Jibril melalui perantajiwa dan hati. Kalimat-kalimat  seperti "maa yaraa" dan "wa laqad ra’aahu nazlatan ukhra" juga memiliki makna yang sama dengan kata di atas, yaitu penyaksian melalui hati dan qalbu. Demikian pula kata " bashara" dalam kalimat "maa zaagha al basharu" memiliki makna mata hati. (QS. An- Najm : 1-18).
Makna "maa kadzaba al fuaadu maa ra’aa" adalah apa yang disaksikan Nabi Saw. dengan qalbunya merupakan sebuah kebenaran dan bukan kebohongan. Tentunya, penisbahan ru’yat kepada penyaksian melalui fu’aad (hati) sudah biasa dan lumrah, karena manusia, selain memiliki persepsi melalui indelahiriah dan daya pikir serta  kemampuan berimajinasi, juga memiliki persepsi syuhudi yang bukan indelahiriah.

A.      Wahyu dalam Hadits
Harits bin Hisyam mengutarakan pertanyaan kepada Nabi Saw.: “Bagaimana wahyu itu datang kepada anda? Beliau menjawab: Terkadang dimulai dengan suayang menyerupai suagemerincing (bel), dan ini bentuk wahyu yang paling berat. Ketika suaitu terputus, apa yang telah disampaikan dan dikatakan langsung ada dalam memori saya. Terkadang juga malaikat datang kepada saya dengan menyerupai seorang laki-laki dan berkata kepadaku. Lalu saya menghafal apa yang dikatakannya."
Abdullah bin Umar berkata: Saya mengutarakan pertanyaan kepada Rasulullah Saw.: "Apakah anda merasakan wahyu itu? Beliau Saw. menjawab: Iya, saya merasakannya sama seperti suagemerincing (bel) lantas saya diam. Setiap kali wahyu datang kepadaku, karena begitu dahsyatnya, saya menginyawa dan ruhku telah melayang."
Dari kedua hadits di atas, dapat dipahami bahwa wahyu itu terjadi kadang dimulai dengan terdengar suayang menyerupai suagemerincing (bel), dan ini merupakan jenis wahyu yang paling berat. Dan kadang dalam bentuk malaikat yang menjelma sesuatu (misalnya menjelma seperti seorang pemuda) dan berbicara.

B.  Bentuk-bentuk Wahyu
Terdapat tiga bentuk wahyu dan percakapan Allah SWT. dengan Nabi Saw., sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur'an: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Syuura: 51)
1.      Wahyu berbentuk percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa penghubung
Percakapan khafii (tersembunyi) dan tanpa ada perantaantaAllah SWT. dengan Nabi Muhammad Saw. Kata yang mengisyaratkan hal ini pada ayat tersebut adalah kata "illaa wahyan." Percakapan Allah SWT.
2.       Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi
Wahyu berbentuk terukur atau terbatasi ini terlihat pada kalimat "min waraai hijaabin" pada ayat di atas. Dan kalimat "auw yursila rasuulan",
Bentuk kedua berbeda dengan bentuk pertama pada kata "illa wahyan" tidak memiliki suatu ukuran dan batasan. Dengan demikian, ia merupakan sebuah percakapan kilat dan khafii (tersembunyi) serta tanpa ada media perantara. Bentuk wahyu seperti ini kadang terjadi ketika –Nabi Saw. – sedang terjaga (terbangun), dan kadang terjadi ketika sedang tertidur.
Dari sebagian hadits dapat dipahami bahwa nubuwwah (kenabian) sebagian nabi adalah bentuknya, yaitu; ilmu, pengetahuan, dan tugas-tugasnya disampaikan dan diwahyukan dengan sangat jelas ke dalam hati mereka ketika mereka sedang dalam keadaan tidur dan mereka panabi itu menyaksikan dan mendengar seluruh hakikat dan kebenaran.
Sebagian dari panabi, pada awal mula kepengutusannya, menerima wahyu dalam bentuk bertahap, sehingga pada nantinya dia sudah siap untuk menerima wahyu dalam bentuk mustaqim (langsung).
Lebih spesifik pengelompokan model (penerimaan wahyu) panabi sebagai berikut:
1.    Mendengar suawahyu itu sama seperti suarantai besi, dan dengan wasilah ini mereka mendapatkan dan memahami makna-makna dan materi-materi pokok; sebagiannya lagi
2.    Memperoleh wahyu dalam keadaan sedang tidur, seperti Nabi Yusuf As dan Nabi Ibrahim As; sebagian lagi
3.    Memperoleh wahyu dengan melihat dan menyaksikan malaikat pembawa wahyu; kelompok keempat dan kelima adalah mereka yang seluruh hakikat ilmu pengetahuan itu disampaikan melalui hati atau telinga mereka
Yang dimaksud dengan rasul adalah orang yang didatangi oleh malaikat Jibril As dalam bentuk lahiriah dan menyaksikannya serta bercakap-cakap dengannya. Dan Nabi adalah orang yang diberi wahyu ketika sedang tidur. Seperti yang disaksikan Nabi Ibrahim As dalam tidurnya dan juga yang disaksikan Nabi Muhammad Saw. sebelum bi’tsah  sampai ketika Jibril As datang dari Allah SWT. membawa wahyu untuk beliau Saw. Ketika terjadi integrasi antamaqam kenabian dan risalah kenabian pada dirinya maka Jibril As datang kepada beliau dan berbicakepadanya. Sebagian panabi didatangi malaikat ketika sedang tidur dan berbicaserta bercakap-cakap dengan mereka tanpa menyaksikannya ketika terjaga. Adapun muhaddats adalah orang yang diajak bicadan dikatakan sesuatu (hadits) kepadanya lalu dia mendengar sesuatu tersebut, akan tetapi dia tidak menyaksikan dan melihatnya, baik ketika terjaga maupun ketika sedang tertidur."
Adapun ihwal Nabi Saw., beliau Saw. sebelum bi’tsah kadang bermimpi tentang berbagai macam hakikat dan kebenaran, yang mana kebenarannya sangat jelas dan sempurna.
Aisyah berkata: "Paling pertama dari tahap kenabian Muhammad Saw., ketika Allah SWT. menghendaki kemuliaan dia dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya adalah mimpi-mimpi baik dan benar. Beliau Saw. tidak bermimpi kecuali yang dilihat itu adalah seperti cahaya putih di pagi hari yang terang."
Wahyu yang turun kepada Nabi Saw. dimulai dengan calewat mimpi sampai pada saat beliau Saw. siap untuk menyaksikan malaikat Jibril As dan menerima wahyu darinya, karena menyaksikan Jibril As dan mendengarkan suaranya serta menerima wahyu adalah sebuah perkayang sangat sulit dan berat.
Mimpi panabi merupakan sebuah bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap berbagai macam hakikat dan kebenaran secajelas dan terang; hal tersebut memiliki kesesuaian dengan realitas luar. Padanya tidak ada jalan bagi khayalan-khayalan dan godaan-godaan setan, karena ketika mereka sedang tidur kalbu dan hatinya selalu terjaga dan sadar, meskipun mata dan telinga mereka sama seperti manusia-manusia lain ketika sedang tidur.
Rasulullah Saw. bersabda: "Mata kami tertutup dibawa tidur, namun hati-hati kami selalu terjaga dalam segala kondisi, kami bisa menyaksikan apa yang ada dibelakang sama seperti kami menyaksikan apa yang ada di depan kami."      






BAB III
AL-QUR'AN PADA MASA RASUL

Ketika Al-Qur'an diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul Saw. langsung menyuruh pasahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada papenulis wahyu. Papenulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipn artinya "(yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur'an)" (QS. Al-Bayyinah: 2).
Rasulullah Saw. mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan Al-Qur'an berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada papenulis wahyu. "Janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain Al-Qur'an hendaknya ia menghapusnya." (HR. Muslim). Rasulullah Saw. tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat Al-Qur'an karena Allah telah menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas; "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9)
Rasulullah Saw. gembidan ridha dengan Al-Qur'an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di seluruh dunia. Ketika Nabi Saw. wafat, Al-Quran secakeseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan pasahabatnya.

A.  Pengumpulan Al-Qur'an
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan  banyak sekali paqurra’/ pahuffazh (penghafal Al-Qur'an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur'an akibat wafatnya pahuffazh, maka beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur'an yang masih ada di lembaran-lembaran.
Zaid bin Tsabit berkata; "Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang korban Perang Ahlul Yamamah." Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya. Abu Bakar berkata, bahwa Umar telah datang  kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa paqurra’ (pahuffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap paqur (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar Al-Qur'an.”
Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul Saw.?” Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik." Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar. Abu Bakar berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw. sehingga engkau selalu mengikuti Al-Qur'an, maka kumpulkanlah ia.”
Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan Al-Qur'an. Zaid bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?." Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang-ulang perkataannya sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah diberikan-Nya kepada Umar.
Maka Zaid mulai menyusun Al-Qur'an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan pasahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu; "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan pahuffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah Saw. Lembaran-lembaran Al-Qur'an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah Saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat, yaitu; Pertama Harus diperoleh secatertulis dari salah seorang sahabat. Kedua Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Pengambilan akhir Surat At-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat At-Taubah ditulis di hadapan Rasululllah Saw. Kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat lain pun tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun pasahabat telah hafal seluruh ayat Al-Qur'an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan Al-Qur'an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur'an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah Saw. ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur'an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin Al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar.

B.  Penyalinan Al-Qur'an
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur'an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur'an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Qur'an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah, dan berkata: “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Khalifah, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu."
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin Al-Yaman menghadap Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani."
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur'an itu kepada Utsman. Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?” Dijawab, “Penulis Rasulullah Saw. adalah Zaid bin Tsabit.” Utsman bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?” Dijawab, “Said bin Al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan Al-Qur'an.” Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut."
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin Al-Ash dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said bin Al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh.
Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkaitu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran Al-Qur'an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut  ke dalam mushhaf, Utsman segera mengembalikannya kepada Hafshah. Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang Al-Qur'an. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan Al-Qur'an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar. Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi papembaca Al-Qur'an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya. Dengan demikian, Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah Saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya Al-Qur'an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari Al-Qur'an kecuali hal itu akan terungkap.
BAB IV
MAKIAH DAN MADANIAH

Al-Qur'an turun kepada Nabi  Saw. secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul Saw. di Mekah. Allah SWT. berfirman: “Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106).
Dilihat dari proses, bentuk, tempat dan waktu turunnya ayat, maka ayat Al-Qur'an secara umum dibagi dua, yaitu ; Pertama Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi  Saw. sebelumhijrah ke Madinah. Kedua Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi  Saw.setelah hijrah ke Madinah. Sehingga firman Allah SWT.:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi  Saw.pada haji wada’ di Arafah.

A.  Perbedaan Dari Segi Konteks Kalimat
1.      Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!.
2.      Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).

B.  Perbedaan Dari Segi Tema
  1. Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
  2. Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
C.  Keguanaan Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur'an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat.
1. Bukti ketinggian bahasa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an Allah SWT. mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
2. Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
3. Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah SWT. dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur'an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
4. Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat -syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadinasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur'an secara Berangsur-angsur dilihat dari pembagian Al-Qur'an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur'an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1.    Pengokohan hati Nabi  Saw., berdasarkan firman Allah SWT.: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33).
2.    Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur'an dibacakan kepada mereka secara bertahap.Berdasarkan firman Allah SWT.: “Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3.    Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur'an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya.
4.    Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah SWT. yang menerangkan keadaan mereka: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian yang kedua turun firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat. Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91).
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.


BAB V
NASAKH DAN MANSUKH

Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain” . Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Al-Nasakh Wa al-Mansukh secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada QS.al-Jaziyah:29.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
1.      Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
2.      Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :106
3.       Mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam Al-Qur'an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat. Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf[ (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
1.      Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam Al-Qur'an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah).
2.      Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59.
3.      Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
4.      Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan.

A.  Cara Mengetahui Al-Nasakh Wa Al-Mansukh
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1.      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2.      Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

B.  Manfaat Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dalam Kajian Hukum Islam terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
1.      Terkait status hukum Islam.
2.      Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum.
3.      Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan Al-Qur'an.
4.      Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri.
5.      Salah satu bukti bahwa Al-Qur'an bukan produk Muhammad
6.      Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.

C.  Macam Dan Jenis Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :

1.    Nasakh Al-Qur'an dengan Al-Qur'an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13

2.    Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a). Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan).
b). Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh   Menurut  jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106.
c). Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura. Artinya: dari Aisyah beliau berkata :”Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185, Artinya: “(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’i Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.

D.  Bentuk Nasakh Dalam Al-Qur'an
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat dalam Al-Qur'an ataukah mengambil bentuk yang lain. Kiranya menjawab pertanyaan tersebut al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam Al-Qur'an dalam 3 macam, yaitu :
1. Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya.
Keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam Al-Qur'an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa; Menurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’i atau khabar Muatawatir.
2. Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.
Nasakh ini adalah ayat idah selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 240
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234, Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini adalah : Pertama Bahwa Al-Qur'an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala. Kedua Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3.    Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap.
Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan : “Termasuk dari ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani (Al-Qur'an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya Al-Qur'an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.

E.  Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1.      Nasakh berpengganti
Di lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a). Nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
b). Nasakh dengan badal Mumatsil (pengganti serupa)
c). Nasakh dengan badal Atsqal (pengganti yang lebih berat).
2. Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13




BAB VI
QASASUL AL-QUR'AN

Sebuah kisah yang baik akan mudah meresap ke dalam hati orang yang membaca atau mendengarnya, serta menanamkan kesan yang demikian mendalam. Bahkan pelajaran yang disampaikan melalui pemaparan kisah (narasi) lebih banyak faedahnya.
Pengertian Al-Qashash (Kisah-kisah) Secara bahasa, al-qashash artinya menelusuri jejak. Allah berfirman: “Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula." (QS. Al-Kahfi: 64), keduanya menelusuri jejak yang tadi Firman Allah melalui lisan Ibunda Nabi Musa: “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ‘Ikutilah dia’.” (QS. Al-Qashash: 11). Artinya, ikutilah dia sampai engkau lihat siapa yang memungutnya.
Al-Qashash artinya berita yang berturut-turut. Allah berfirman: “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (QS. Ali ‘Imran: 62).  Adapun Al-Qishshah (kisah) adalah al-amr (urusan), al-khabar (berita), dan al-sya`nu (perkara) serta al-haal (keadaan).
Jadi Qashashul Qur`an adalah berita tentang keadaan umat-umat yang telah berlalu, nubuwat terdahulu dan berbagai peristiwa yang telah terjadi.
Sedangkan menurut istilah, artinya menceritakan berita tentang kejadian-kejadian yang mempunyai beberapa tahapan, di mana sebagiannya mengikuti yang lain.
Keutamaan Kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling benar/jujur, sebagaimana firman Allah: “Dan siapakah yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.” (QS. An-Nisa`: 87). Hal itu karena kesesuaiannya yang sempurna dengan kenyataan yang ada. Artinya, tidak ada perkataan yang lebih jujur dan benar daripada firman Allah.
Kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling baik, sebagaimana firman Allah: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu.” (QS. Yusuf: 3).
Karena cakupannya terhadap kesempurnaan paling tinggi dalam balaghah (keindahan bahasa) dan keagungan makna. Bahkan kisah-kisah dalam Al-Qur'an merupakan kisah yang paling bermanfaat, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111).
Karena kuatnya pengaruh kisah tersebut terhadap upaya perbaikan hati, akhlak, dan perbuatan. Jadi, kisah-kisah Qur`ani adalah kisah yang paling indah lafadznya (kalimatnya) dan paling indah pula maknanya.

A.  Beberapa Bentuk Kisah di dalam Al-Qur'an

1.      Kisah para Nabi
Kisah para Nabi mendakwakan umatnya, mu’jizat yang Allah berikan kepada mereka sebagai dukungan, sikap orang-orang yang menentang, dan tahap perkembangan dakwah serta akhir kesudahan orang-orang beriman dan orang-orang yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Musa dan Harun, serta ‘Isa dan Muhammad serta para nabi lainnya.

2.      Kisah yang berkaitan dengan berbagai peristiwa yang telah berlalu
Kisah tentang orang terdahulu atau tentang orang-orang yang tidak diketahui dengan pasti jati diri mereka. Seperti kisah ribuan orang yang keluar dari rumah-rumah mereka karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam, para pemuda penghuni gua (Ashhabul Kahfi), Dzul Qurnain, Qarun, Ashhabus Sabti (Orang-orang Yang Melanggar Larangan di hari Sabtu), Ashhabul Ukhdud (Para Pembuat Parit), Ashhabul Fiil (Tentara Bergajah), dan lain-lain.

3.      Kisah-kisah tentang berbagai peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah
Kisah model ini seperti kisah perang Badr dan Uhud dalam surat Ali ‘Imran, perang Hunain dalam surat At-Taubah, hijrah, Isra`, dan sebagainya.

B.  Manfaat Kisah-Kisah Dalam Al-Qur'an
Kisah-kisah Al-Qur'an mengandung berbagai manfaat, antaralain:

1.      Menjelaskan landasan dasar (asas) dakwah mengajak manusia kepada Allah, menerangkan tentang pokok-pokok (ushul) syariat yang dibawa masing-masing Nabi yang diutus Allah. Firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiya`: 25).
2.      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat beliau di atas ajaran (Dien) Allah, mengokohkan ketsiqahan (kepercayaan) kaum mukminin akan kemenangan al-haq dan tentaranya serta terhinanya kebatilan dan para pembelanya. Allah berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).
3.      Membenarkan para nabi sebelumnya, menghidupkan nama serta melestarikan jejak mereka.
4.      Menonjolkan kebenaran/kejujuran Nabi Muhammad dalam dakwahnya melalui berita yang beliau sampaikan tentang keadaan masa lalu seiring perjalanan masa dan generasi.
5.      Menyingkap kedustaan Ahli Kitab dengan hujjah tentang keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan serta tantangan kepada mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum diubah. Misalnya firman Allah: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’.” (QS. Ali ‘Imran: 93).
6.      Kisah itu merupakan sebagian contoh tentang adab yang harus diperhatikan dan pelajaran-pelajarannya tertanam kuat di dalam jiwa. Firman Allah: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111).
7.      Menjelaskan hikmah Allah berkaitan dengan hal-hal yang terkandung dalam kisah itu, sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran), itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (QS. Al-Qamar: 4-5).
8.      Menerangkan keadilan Allah dengan adanya hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan, sebagaimana firman Allah: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Rabbmu datang.” (QS. Hud: 101).
9.      Menerangkan karunia Allah dengan menyebutkan pahala yang dilimpahkan kepada orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah mengembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka). Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-Qamar: 34-35).
10.  Sebagai hiburan bagi Nabi n atas gangguan yang dilancarkan orang-orang yang mendustakan beliau, sebagaimana firman Allah: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (QS. Fathir: 25-26).
11.  Membangkitkan rasa antusias kaum mukminin terhadap keimanan dengan mendorong mereka agar teguh di atasnya serta meningkatkannya ketika mengetahui keberhasilan orang-orang beriman terdahulu serta kemenangan mereka yang diperintah berjihad. Sebagaimana firman Allah: “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya`: 88).
12.  Men-tahdzir (peringatan) orang-orang kafir agar tidak terus-menerus tenggelam dalam kekafirannya, sebagaimana firman Allah: “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memerhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. Muhammad: 10).
13.  Mengakui keberadaan risalah Nabi Muhammad, karena berita-berita tentang umat-umat sebelumnya tidak ada yang tahu kecuali Allah k, sebagaimana firman Allah: “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (QS. Hud: 49) Dan firman-Nya: “Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (QS. Ibrahim: 9).
14.  Di dalam kisah-kisah Qur`ani terdapat penjelasan tentang sunnatullah pada makhluk-Nya, baik secara individu, maupun kelompok. Sunnah itu berlaku pada orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian, agar dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang beriman. Oleh sebab itulah, kisah-kisah Qur`ani ini bukan semata-mata memaparkan sejarah umat manusia atau sosok tertentu. Tapi yang diuraikan adalah hal-hal yang memang dapat dijadikan pelajaran, nasihat, dan peringatan. Allah berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).


BAB VII
AQSAMUL QUR'AN

Kata al-aqsam jamak dari kata qasam. Berarti sumpah. Ungkapan sumpah dalam bahan Arab berasal dari kata kerja, uqsimu kemudian disertai huruf ba’. Jadi uqsimu billah artinya aku bersumpah atas nama Allah. Seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: 'Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati'." (QS. An-Nahl: 38).
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang, kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ba’nya saja. Kemudian huruf ba’ diganti dengan huruf wawu, seperti firman Allah, "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)." (Al-Lail: 1). Kadang-kadang digunakan huruf-huruf ta’. Firman Allah, "Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu." (Al-Anbiya': 57). Tapi, huruf wawu paling banyak dipakai.


A.  Pentingnya Sumpah
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur'an turun kepada seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah dalam Al-Qur'an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat (kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’ al-Qaththan.

B.  Macam-macam Sumpah  
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an berkisar antara tiga hal.
  1. Allah Bersumpah dengan Diri-Nya
Allah Bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur'an.
a).  Firman Allah: "Orang-orang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: 'Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. At-Taghabun: 7).
b). Firman Allah: "Katakanlah: 'Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu ...'." (QS. Saba’: 3).
c). Firman Allah: "Dan mereka menanyakan kepadamu: 'Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?' Katakanlah: 'Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)'." (QS. Yunus: 53).
d). Firman Allah: "Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut." (QS. Maryam: 68).
e). Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua." (QS. Al-Hijr: 92).
f). Firman Allah: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa’: 65).
g). Firman Allah: "Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa." (QS. Al-Ma’arij: 40).

  1. Allah bersumpah dengan makhluk-Nya.
Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur'an, seperti, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)." (QS. Asy-Syams: 1-7).
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan perempuan (3)." (QS. Al-Lail: 3-1). "Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan malam bila berlalu (4)." (QS. Al-Fajr: 1-4).
"Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8), karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang." (QS. At-Takwir: 5–15). "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2)." (At-Tin: 1-2).

  1. Satu kali Allah bersumpah dengan Nabi Muhammad saw.
Karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. "Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan Syirik." (QS. HR Ahmad).
Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur'an terkadang menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak, seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ...." (QS. Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat permintaan), seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu." (QS. Al-Hijr: 92-93).
Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, "Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit." (QS. Al-Buruj: 1-4).
Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan jawabannya, seperti firman Allah SWT, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari .... Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ...." (QS. Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun .... Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin:1-4).
BAB VIII
RASMUL QUR'AN

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah suatu pertanda diangkatnya Baginda sebagai seorang Nabi sekaligus Rasul yang mengemban amanat untuk mentablighkan tekstual dan kontekstual wahyu-wahyu tersebut kepada umat. Diharapkan umat yang bergelimang dengan dekadensi moral dan politheisme kembali ke jalan yang benar, menjadi manusia yang tidak diperbudak oleh kejumudan (stagnansi) berpikir. Baginda menginginkan kaum Quraisy menuju jalan kecerdasan dan kesempurnaan.
Setiap kali wahyu diturunkan oleh Jibril kepada Nabi maka Baginda segera mengajarkannya kepada para sahabat. Dari proses inilah kemudian muncul penulisan dan pembukuan Al-Qur'an sehingga setiap muslim di mana pun ia berada dapat memiliki dan mempelajarinya. Al-Qur'an yang ada di tangan kita sekarang bukan sekedar sebuah Kitab Suci akan tetapi bukti sejarah kecerdasan seeorang Nabi yang Ummy, kepedulian terhadap generasi dan regenerasi muslim berkualitas qur’any, dan kepekaan akan kondisi masa depan.
Bagaimana proses itu terjadi dan apa-apa saja motif yang mendorong penulisan dan pembukuan Al-Qur'an serta siapa saja tokoh-tokoh sahabat atau tabi’in yang terlibat dalam menghantarkan Al-Qur'an ke tengah peradaban dunia yang bersumber darinya. Bagaimana peran Al-Qur'an dalam merubah paradigma lama kaum Quraisy dalam sastera, sehingga ribuan bait syair yang mereka hafal berganti menjadi ribuan ayat-ayat Kalam Suci Sang Maha Suci. Bukan sekedar itu, bahkan mindsite mereka mengalami brain washing secara serta merta baik mereka sadari ataupun tidak karena Al-Qur'an memang sebuah Kitab Suci yang sempurna dan penyempurna Kitab Suci-Kitab Suci terdahulu.

A.  Pada Masa Rasululah
Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur'an dipelihara sedemikia rupa, sehingga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-Qur'an adalah dengan menghafal dan menulisnya. Rasulullah di masa hidupnya menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat menghafalnya dengan baik. Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dapat dilaksanakan dengan baik pula oleh para sahabat.
Al-Qur'an yang turun secara berangsur-angsur baik di Mekah maupun di Madinah sangat memudahkan dokumentasi yang dilakukan para sahabat. Al-Qur'an tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di toko akan tetapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Al-Qur'an diturunkan secara terpisah (perayat atau beberapa ayat) tidak persurah, maka yang diturunkan di Mekah kami tetapkan di Mekah walaupun penyempurnaannya di Madinah. Demikian juga yang diturunkan di Madinah, bahwasanya Al-Qur'an itu dipisah antara satu surah dengan surah yang lain, apabila turun Bismillahirrahmanirrahim maka mereka (para sahabat) mengetahui bahwa surah yang pertama sudah selesai dan dimulai dengan surah yang lain”.



1.                     Penulis Wahyu
Selain dari cara menghafal, Rasulullah memerintahkan agar para sahabat yang pandai menulis segera menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dihafal oleh mereka. Di antara sahabat yang diperintahkan untuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an adalah: 1). 4 sahabat terkemuka, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, 2). Muawiyah bin Abu Sofyan, 3). Zaid bin Tsabit, 4). Ubay bin Ka’ab, dan 5). Khalid bin Walid.
Mengenai para penulis Alqur’an yang disebut dengan istilah kuttab, Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i tidak menyebutkan 8 orang seperti yang dikemukakan oleh Abu Anwar, akan tetapi menurut mereka berdua bahwa para penulis wahyu itu ada 18 orang, yaitu; 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2). Umar bin Khattab, 3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Ubay bin Ka’ab bin Qais, 6). Zaid bin Tsabit, 7). Zubair bin Awwam, 8). Muawiyah bin Abu Sofyan, 9). Arqom bin Maslamah, 10). Muhammad bin Maslamah, 11. Abban bin Sa’id bin ‘Ash, 12. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, 13. Tsabit bin Qais, 14. Hanzalah bin Rabi’, 15. Khalid bin Walid, 16. Abdullah bin Arqam, 17. Al-A’la bin Utbah, dan 18. Syurahbil bin Hasanah.
Tetapi menurut Al-Hafizh Abu Qosim di dalam bukunya Tarikh Damsyiq bahwa para kuttab berjumlah 23 orang. Selain yang 18 orang yaitu: Abdullah bin Zaid bin Abdu Robbih, Mughiroh bin Syu’bah, As-Sijil, dan Arqom bin Abil Arqom.


2.    Metode dan Sarana Penulisan
Setiap kali Nabi menerima wahyu maka Baginda membacakan wahyu tersebut di hadapan para sahabat lalu diperintahkan kepada para kuttab untuk menulisnya dan kemudian menyerahkannya kepada Nabi untuk disimpan. Sehingga Al-Qur'an benar-benar terjaga dan terpelihara walaupun Bangsa Arab pada masa itu terkenal dengan kemampuan menghafal data dalam jumlah yang banyak.
Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu itu disimpan di rumah Rasul. Di samping itu mereka juga menulis untuk mereka sendiri. Di saat Rasul masih hidup Al-Qur'an belum dikumpulkan di dalam satu mushaf (buku yang berjilid).
Kondisi Bangsa Arab pada zaman Nabi belum begitu maju di bidang percetakan dan perusahaan kertas seperti di negeri Persia dan Romawi, maka alternatif yang kondisional adalah dengan menggunakan media yang ada di sekitar mereka seperti pelepah kurma, kepingan batu, kulit kayu, kulit dan tulang hewan, dan sebagainya.
Adapun tulisan Arab itu mula-mula diciptakan orang di Yaman, sebenarnya hurufnya sudah didapat dan dipakai orang sejak dari zaman dahulu kala, semasa Himyar memerintah di sana, konon kabarnya tatkala Al-Munzir mendirikan kerajaan di Hirah, tulisan Arab itu telah diajarkan dan dipelajari orang. Menurut Ridho orang-orang Arab belajar tulisan dari orang-orang Thaif yang dipelajari dari seorang laki-laki suku Hirah dan orang-orang Hirah mempelajarinya dari orang-orang Anbar. Huruf itu terpakai sampai kepada masa Sayyidina Umar memerintah di Kufah. Inilah sebabnya maka tulisan Arab itu dinamakan Huruf Kufi.
Tulisan yang dipakai pada masa Nabi Muhammad SAW adalah tulisan Kufi itu juga, dan yang membawa tulisan itu ke tanah Hijaz ialah Karb bin Umayyah, dan dengan demikian catatan-catatan ayat Al-Qur'an dalam masa Rasulullah dilakukan dengan tulisan itu.

3.    Guru Al-Qur'an dan Sarana Belajar
Al-Qur'an tidak sekedar ditulis oleh para sahabat akan tetapi lebih dari itu senantiasa dipelajari dengan seksama, apalagi Nabi ada di tengah-tengah mereka sehingga menjadi rujukan utama dalam pemahaman kontekstual Al-Qur'an. Karena pemahaman Al-Qur'an secara tekstual saja tidak cukup untuk menjalani roda kehidupan di dunia ini.
Sangat diperlukan pendalaman dan penggalian terhadap kontekstual Al-Qur'an yang bahasanya tidak sekedar tersurat bahkan banyak sekali yang tersirat, oleh karena itu pembelajaran Al-Qur'an sudah berlangsung sejak zaman Nabi. Pemahaman yang salah tidak sekedar merusak diri pribadi bahkan menodai kemurnian syariat dan menyesatkan orang lain.
Metodologi pembelajaran pada zaman Nabi menurut Prof. Dr. H. Syamsul Nizar, M.Ag ada dua macam, pertama rumah Arqam bin Arqam dan kuttab. Kuttab adalah istilah tulis baca dan istilah kuttab juga berarti penulis wahyu, biasanya Nabi mendiktekan dan para sahabat menulis ayat yang didiktekan Nabi.
Maka pembelajaran Al-Qur'an sangat digalakkan oleh Nabi terutama kepada para muallaf. Belajar Al-Qur'an sangat didorong oleh Nabi sebagaimana diceritakan oleh Ubadah bin Shamit: “Apabila ada seorang yang hijrah (masuk Islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang di antara kami untuk mengajarkannya. Di Mesjid Nabawi sering terdengar kegaduhan dalam membaca Al-Qur'an, sehingga Rasul memerintahkan kepada mereka agar jangan saling mengganggu”.
Di antara para sahabat yang terkenal sebagai guru mengajar Al-Qur'an kepada sesamanya dan kepada para tabi’in adalah: 1). Usman bin Affan,
2). Ali bin Abi Thalib, 3). Ubay bin Ka’ab, 4). Zaid bin Tsabit, 5). Ibnu Mas’ud, 6). Abu Darda’, dan 7). Abu Musa al-Asy’ari.

4.    Motivasi menghafal Al-Qur'an
Di samping motivasi belajar Al-Qur'an, Nabi juga senantiasa menganjurkan para sahabat untuk menghafalnya, apalagi Bangsa Arab terkenal dengan kemampuan menghafal dan daya ingat yang luar biasa. Tak heran kalau banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur'an 30 juz.
Motivasi itu bukan hanya dari Nabi tetapi juga dari diri mereka sendiri begitu mereka mendengar untaian-untaian Kalam Ilahy yang dibacakan Nabi. Bahasa Al-Qur'an melemahkan bait-bait syair Mu’allaqotul Asy’ar yang mereka hafal, tanpa terasa akal pikiran mereka meninggalkan syair bait demi bait dan menggantikannya dengan menghafal Al-Qur'an ayat demi ayat.
Di antara sahabat-sahabat terkemuka yang menghafal Alqur’an menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari adalah: 1). Abdullah bin Mas’ud, 2). Salim bin Mu’aqil, dia adalah Maula Abu Huzaifah, 3). Mu’az bin Jabal, 4). Ubay bin Ka’ab, 5). Zaid bin Tsabit, 6). Abu zaid bin Sukun, dan 7). Abu Darda’.
Menurut sumber Hadits Bukhari, bahwa tujuh orang tersebutlah yang bertanggung jawab mengumpulkan Al-Qur'an menurut apa yang mereka hafal itu, dan yang dihafalnya itu dikembalikan kepada Rasulullah. Jadi, melalui sanad-sanad mereka inilah Al-Qur'an sampai kepada kita seperti yang ada sekarang ini.
Berbeda dengan Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, menurut mereka berdua bahwa di antara para sahabat yang hafal Al-Qur'an keseluruhannya adalah sebagai berikut: 1). Abu Bakar As-Siddiq, 2). Umar bin Khattab, 3). Usman bin Affan, 4). Ali bin Abi Thalib, 5). Talhah, 6). Sa’ad, 7). Hudzaifah, 8). Salim, 9). Abu Hurairah, 10). Abdullah bin Mas’ud, 11). Abdullah bin Umar, 12). Abdullah bin Abbas, 13). Amr bin Ash, 14). Abdullah bin Amar bin Ash, 15). Muawiyah bin Abu Sofyan, 16). Ibnu Zubair, 17). Abdullah bin Saib, dan 18). ‘Aisyah Ummul Mukminin, 19). Hafshah Ummul Mukminin, 20). Ummu Salamah Ummul Mukminin, 21). Ubay bin Ka’ab bin Qais, 22). Mu’adz bin Jabal
23). Zaid bin Tsabit, 24. Abu Darda’, 25. Abu Zaid (Qais bin Sakan), 26. Majma’ bin Jariyah (Haritsah), 27. Anas bin Malik, 28. Ubadah bin Shamit
29. Fudhalah bin Ubaid, 30. Maslamah bin Khalid, 31. Qais bin Shasha’ah, 32. Tamim Ad-Dari, 33. Salamah bin Makhlad, 34. Abu Musa Al-Asy’ari
35. Uqbah bin Amir, dan 36. Ummu Faraqah binti abdullah bin Harits.



B. Pada masa Khalifah Abu Bakar
1. Kondisi Al-Qur'an
Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Siddiq masih tersimpan dengan rapi di dalam dada para sahabat yang hafal dan juga tertulis pada pelepah-pelepah kurma, batu-batu tipis, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan. Apa yang dihafal oleh para sahabat sesuai dengan hafalan Nabi, apa yang tertulis sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi ketika membacakan wahyu di depan para sahabat.
Kondisi istimewa ini sangat rawan dengan penurunan kualitas sebab daya hafal dan pemahaman generasi berikutnya tidaklah seistimewa generasi pertama ditambah lagi dengan mulai terjadi pembangkangan agama sebagai sinyalir melemahnya keimanan terhadap Al-Qur'an. Ada yang mengaku dirinya adalah nabi, ada pula yang dengan sengaja meruntuhkan Rukun Islam.

2.      Gagasan Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Demoralitas kaum munafikin sangat mengganggu ketentraman beragama pada masa Abu Bakar dan berpengaruh pada keimanan kaum muslimin yang lainnya. Musailamah Al-Kadzab mengaku dirinya nabi dan bukan sekedar mengaku tetapi mempengaruhi akidah kaum muslimin Bani Hanifah dari penduduk Yamamah.
Dampak negatif dari pengakuan Musailamah adalah kemurtadan dan pembangkangan dalam membayar zakat. Dari karena itu Abu Bakar mengambil inisiatif prepentif agar akidah dapat dikembalikan dan dimurnikan seperti sedia kala. Disiapkanlah pasukan perang di bawah komando militer Khalid bin Walid berangkat menuju Yamamah. Perang Yamamah ini banyak menelan korban dari pihak kaum muslimin, setidaknya gugur sekitar 70 penghafal Al-Qur'an.
Hal ini menggusarkan pikiran Umar bin Khattab khawatir lenyapnya Al-Qur'an dari muka bumi ini sebagai akibat dari gugurnya para penghafal Al-Qur'an dalam peperangan. Maka timbullah gagasan menghimpun Al-Qur'an menjadi satu mushaf dan gagasan cemerlang ini disetujui oleh Abu Bakar. Segeralah gagasan dilaksanakan dengan menyurati Zaid bin Tsabit sebagai penulis wahyu.
Ketika Abu Bakar mendengar jawaban yang memuaskan dari Zaid ia berkata: “Kamu adalah pemuda yang bijaksana, saya tidak meragukan kamu, kamu adalah penulis wahyu Rasulullah, maka telitilah Al-Qur'an itu dan kumpulkanlah”. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur'an setelah syahidnya beberapa orang penghafal Al-Qur'an di perang Yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur'an ini. Sejak itulah Al-Qur'an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya Al-Qur'an dihimpun.
3.      Pedoman Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Kepanititan diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang telah ditunjuk oleh Abu Bakar dengan anggota Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan. Sebagai pengawas adalah Abu Bakar sendiri, Umar bin Khattab dan para tokoh sahabat lainnya.
Kapabalitas Zaid memang tidak diragukan lagi dan hal itu terbukti dengan temuannya ketika mengumpulkan Al-Qur'an. Didapati ada ayat yang tidak tertulis dalam kepingan-kepingan dan ayat itu Zaid dapati ada pada seorang anshor yaitu Abu Huzaimah.
Adapun acuan yang menjadi pedoman penulisan adalah: 1). Penulisan berdasarkan kepada sumber tulisan Al-Qur'an yang pernah ditulis pada masa Rasul yang tersimpan di kediaman Rasul Saw. 2). Penulisan berdasarkan kepada sumber hafalan para sahabat penghafal Al-Qur'an. Adapun Al-Qur'an dalam bentuk mushaf disimpan pada Abu Bakar sehingga dia wafat, kemudian disimpan pada Umar bin Khattab hinggga dia wafat, kemudian disimpan pada Hafsah binti Umar.
Selain Al-Mushaf yang disimpan di rumah Abu Bakar masih ada mushaf-mushaf lain yang berada di tangan penulis masing-masing seperti Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Abu Musa Al-Asy’ari, Mushaf Miqdad bin Aswad, Mushaf Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Masing-masing mushaf itu dipakai di negeri-negeri dalam wilayah Islam seperti Kufah, Basrah, Damaskus dan Syam.

C. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
1. Kondisi Al-Qur'an
Tersebarnya Al-Qur'an di beberapa negeri ternyata berdampak negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu egosentris masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka bahwa riwayat qira’at merekalah yang paling benar dan lebih baik dari qira’at yang lain. Ironisnya adalah timbul konflik antara murid-murid yang belajar Al-Qur'an dari guru yang berbeda. Tak menghiraukan Al-Qur'an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang mengajar di antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
  1. Gagasan Pengumpulan Al-Qur'an Menjadi Mushaf
Terjadi perbedaan cara membaca (qira’at) di beberapa negara Islam. Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca Rasulullah. Dia satukan Al-Qur'an dalam satu mushaf dengan bacaan tadi dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Prilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir terhadap sesama muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi berita itu dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari ku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat prilaku kaum muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qira’at. Maka serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan dan menghentikan perselisihan qira’at.
Ketika terjadi perselisihan tentang Al-Qur'an seyogyanya tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk kepada orang yang ahli. Sebaiknya adalah menghindari terjadinya perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada hendaknya seseorang membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur'an sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-Qur'an. Jika terjadi perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur'an, lafazh-lafazh, hukum-hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu berlarut-larut hingga dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk, hendaknya mereka membubarkan diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim penulis wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang yang paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek Arabnya sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah bin Zubair.
  1. Pedoman Penyalinan Kembali Al-Qur'an
Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar. Shuhuf yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf pertama yang dijadikan sebagai pegangan. Dwi tunggal penulis wahyu itu selalu sependapat dan tidak pernah berselisih pendapat dalam melaksanakan tugas kecuali pada satu tempat dan itupun segera mereka atasi dengan mengambil qiro’ah Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dengan alasan Zaid adalah penulis wahyu.
Manakala penulisan selesai pekerjaan selanjutnya adalah menggandakan mushaf untuk didistribusikan ke negeri-negeri Islam dan menyita semua mushaf yang ada pada masyarakat kecuali beberapa mushaf yang ditulis oleh sahabat kenamaan seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab.
  1. Keistimewaan Mushaf Utsmani
Beberapa keistimewaan Mushaf Usmani yaitu: 1). Mushaf ini ditulis berdasarkan kepada riwayat yang mutawatir bukan riwayat ahad, 2). Mushaf ini meninggalkan ayat yang dinasakh bacaannya, 3). Tertib susunannya (ayat dan surat) sesuai dengan tertib ayat dan surat yang dikenal sekarang ini, 4). Penulisannya berdasarkan cara yang dapat menghimpun segi bacaan yang berbeda-beda dan huruf-hurufnya sesuai dengan diturunkannya Al-Qur'an tujuh huruf, 5). Menjauhkan segala sesuatu yang bukan Al-Qur'an, seperti tafsiran yang ditulis oleh sebagian orang (sahabat) dalam mushaf pribadinya.
Keistimewaan mushaf ini mengistimewakan Utsman sebagai pelopor atau orang yang pertama menghimpun Al-Qur'an dalam satu tulisan dan qira’at.

C.  Penyempurnaan Mushaf Utsmani
Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Al-Qur'an. Penyempurnaan dilakukan karena banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana dialek mereka berbeda dengan dialek Arab yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk mempermudah bacaan Al-Qur'an sebagai upaya menghindari terjadinya kecacatan atau kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:
1. Mu’awiyah bin Abu sofyan menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik di atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashir bin
3. Peletakkan baris atau tanda baca (i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Al-Qur'an, pemberian tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf, pangkal surah, nama surah, tempat turunnya, dan bilangan ayatnya. Upaya ini terjadi pada masa Al-Makmun.
Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur'an agar jumlah Al-Qur'an yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur'an digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
Fase-fase percetakan Al-Qur'an adalah: 1). Dicetak di Venesia (Bunduqiyah) pada tahun 1530 M. Masa ini mengalami intimidasi dari gereja, 2). Dicetak di Hamburg pada tahun 1694 M oleh Hinkelman, 3). Dicetak di Padone pada tahun 1698 M oleh Marocci, 4). Dicetak secara Islami di Saint Petersbaurg Rusia pada tahun 1873 M oleh Maulaya Usman, 5). Dicetak di Qazan, 6). Dicetak di Iran sebanyak dua kali, 7). Dicetak di Taheran pada tahun 1828 M, 8). Dicetak di Tibriz pada tahun 1833 M, 9). Dicetak oleh Flugel di Leipzig pada tahun 1834.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah, 2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Al-Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
Ali Ash-Shabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan, Amiudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Al-Farmawy, Abu al-Hayy,  AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu’iy, Terjemahan (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977).
Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990)
M. Karman, Supriana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Gramedia, 1977)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar