Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 November 2015

Insan Kamil Konsep Ketinggian Moralitas Oleh Ridwan MA Makalah Pascasarjana UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh

KHAZANAH PEMIKIRAN ISLAM
INSAN KAMIL; KONSEP KETINGGIAN MORALITAS

MAKALAH

 Dosen Pembimbing

Dr. Syamsul Rizal, MA
  
Disusun Oleh:


RIDWAN
Mahasiswa Pascasarjana
Jurusan Pendidikan Islam II
NIM. 23111303-2 



PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2012




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk utuh ciptaan Allah yang memiliki potensi beragama, ia dapat berkembang dengan potensi bawaan dan pengaruh lingkungan. Manusia sebagai makhluk utuh tersebut terdiri dari tiga pola dasar Jasmani, aqal dan rohani. Sebahagian ahli berpendapat bahwa manusia tedridiri dari lima pilar, yaitu; Pertama Jasad (bentuk lahiriah manusia), kedua Roh (daya hidup) ketiga Nafsi (jiwa) keempat aqal (daya fikir) dan kelima Qalbu (dara rasa/perasaan).[1]
Jasad manusia adalah struktur partikel yang dalam pori-pori partikel jasad berisi roh, jasad manusia akan habis terurai oleh alam ketika roh keluar. Sedangkan roh itu sendiri berada dalam jasad bersifat terikat secara muthlak, tidak bisa keluar masuk tanpa seizin atau kehendak. Roh bersifat abadi, ia tidak mengalami kematian Allah. Roh tidak bersifat seperti benda cair sehingga wujud roh itu tetap seperti wujud manusianya.
Jika roh dengan badan bersatu disebut dengan jiwa, jika ia dicabut dari badan yang tinggal adalah jasad (mayat), disebut jiwa karena ia yang mengatur badan, disebut roh keran kehalusannya. Namun berbeda halnya dengan pemahaman Muktazilah, menurut mereka konsepsi roh adalah bahagian dari jasad, ia adalah udara atau nafasyang dihembus oleh badan.[2]
Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa roh adalah wujud nurani yang tinggi, ringan, hidup dan bergerak mengalir dalam jasad bagai mengalir air dalam bunga mawar, bagai bergerak api dalam bara. Ketika roh masih dalah jasad, maka kita merasakan wujud roh bergerak beriringan dengan jasad, tetapi ketika roh terpisah dengan jasad, maka jasad akan mati.
Berdasarkan kerangka dasar pemikiran di atas penulis mebahas makalah ini yang berjudul "Insan Kamil; Konsep Ketinggian Moralitas" dengan metode analisi diskriptis, bermula dari penelitian dan penelahan bahah-bahan dasar yang dijadikan pegangan perpustakaan kemudian penulis analisa dan menentukan sebuah kesimpulan dari deduktif ke induktif.
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari dua kata, yaitu; Pertama Insan berasal dari kataAl-Insan yang berarti manusia, kedua Al-Kamil yang berarti sempurna. Jadi insan kamil dapat diartikan manusia sempurna.
Manusia sempurna itu dapat dilihat dari kepribadian Rasullullah Saw. Yang memiliki empat sifat yang wajib padanya dan empat siafat yang harus padanya serta satu sifat yang mubah padanya.   

B.      Tugas dan Fungsi Manusia
Konsep dasar tugas dan fungsi manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi, di samping itu manusia diciptakan untuk beribadahkepada Tuhan (Allah). Beranjak dari tugas dan fungsi manusia secara umum, penulis menspesifikasikan pembahasannya pada tugas dan fungsi insan kamil yang melekat pada ciri-ciri karakter manusia sempurna, seperti yang telah tergambar pada diri Rasulullah Saw.

1.      Memiliki Sifat Siddiq (Jujur)
Jujur merupakan kata yang sangat sederahana dan sering sekali kita jumpai, namun aplikasinya dalam kehidupan kadangkala sebahagian kita masih setengah-setengah.[3] Katagori pertama ciri-ciri manusia sempurna ini memiliki kejujuran dalam perkataan dan perbuatan.
  
2.      Memiliki Sifat Amanah (Terpercaya)
Amanah berarti dapat memegang dan menjalankan sesuatu yang dipercayakan atau yang diamanahkan walaupun itu sesuatu bagi kita kurang berharga.[4] Kata amanah dijadikan ciri-ciri insan kamil karena sangat bernilai tinggi peranannya dalam kehidupan, misalnya amanah anggota tujuh, yaitu; mata, lidah, hidung, telinga, tangan, kaki, dan hati. Dipergunakan pada jalan yang benar bagi si insan kamil.

3.      Memiliki Sifat Tabliqh (Menyampaikan)
Menyampaikan sesuatu yang seharusnya didengar oleh orang lain dan berguna baginya.[5] Indikasi ini jadi bahagian barometer kapasitas insan kamil tidak hanya berilmu dan beramal untuk dirinya sendiri dengan berkhalwat tanpa peduli pada orang lain, tetapi ia juga mengemban tugas menyampaikan ilmunya sesuai kapasitas penerimanya.
4.      Memiliki Sifat Fathanah (Cerdas)
Ciri insan kamil kecerdasan, intelektual, emosional dan spiritual.[6] Insan kamil adalah orang yang memiliki tiga ranah kecerdasan tersebut di atas, sifat cerdas yang seibang ini tidaklah dimiliki oleh semua orang, karena manusia biasa banyak memiliki keterbatasan. Bagus intelegensi kurang bagus ranah emosi, kadang juga bagus dua ranah namun kurang pas pada ranah spiritual, maka ia bukanlah insan kamil.

C.    Relasi Manusia dengan Tuhan
Relasi Manusia dengan Tuhan penulis bahas melalui tiga ranah, yaitu; Pertama ranah Ubudiyah (katagori biasa/manusia dengan Tuhan terpisah), kedua ranah Fana (katagori istimewa/kadang terpisah kadang menyatu) dan ranah ma'rifah (katagori paling tinggi/manusia menyatu dengan Tuhan)
1.      Ranah Ubudiyah
Pada tataran ubudiah relasi manusi dengan Tuhan pada katagori biasa (manusia dengan Tuhan terpisah). Insan kamil memiliki sifat tunduk secara sempurna, merasa hina di hadapan Allah dan mencintainya. Kesempurnaan seorang hamba ditentukan oleh ibadahnya semakin banyak ibadahnya, maka akan semakinbertambah sempurna.[7]

2.      Ranah Fana
Pada maqam fana konsep relasi manusia dengan Tuhan pada katagori istimewa (kadang terpisah kadang menyatu). Menurut Abu Yazid "Manusia pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana annafs).[8]
Fana annafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Menurut Al-Junaidi "Fana adalah hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya terus menerus sehingga tiada lagi yang dirasakan oleh inderawi.[9]
Dari beberapa pengertian di atas bahwa yang melebur itu atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan mengangkat yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusia tetap utuh dan sama sekali tidak ada gangguan, yang hilang hanyalah kesadarannya akan dirinya sebagai manusia.    

3.      Ranah Ma'rifah 
Pada tingkatan ma'rifah konsep relasi manusia dengan Tuhan pada katagori paling tinggi (manusia menyatu dengan Tuhan). Ma'rifat dari segi bahasa berarti pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan menurut istilah tasawuf ma'rifat didefenisikan pengenalan yang langsung tentang Tuhan (Allah) yang diperoleh dari hati sanubari sebagai hikmah yang langsung dari ilmu hakikat.[10]
Terkait relasi ma'rifat dengan ilmu hakikah, ma'rifah lebih mengacu pada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikah mengarah pada kualitas pengetahuan yang sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahuinya itu.
Secara umum mengenai ma'rifah, Ibnu Taimiyah berasumsi bahwa "Mengenal Allah dan mengakui penghambaan kepada sang khaliq merupakan suatu sifat yang fitri dalam watak insan, hanya saja sebahagian manusia melalaikan fitrahnya".[11]
Untuk mencapai maqam ma'rifat ini para sufi harus melakukan riyadhah rohaniah yang sungguh-sungguh sebagai tasawuf amali. Amalan riyadhah rohaniah ini disebut AlMaqamat menuju kehadirat Tuhan (Allah).[12]
Al-Halaj lebih tegas menyatakan relasi manusia dengan Tuhan pada maqam ma'rifat ini, "Manusia mempunyai dua unsur sifat, yaitu; Pertama unsur sifat ketuhanan (lauhut) dan yang kedua unsur sifat kemanusiaan (nasut). Sedangkan Tuhan (Allah) juga memiliki dua unsur sifat, yaitu; Pertama unsur sifat ilahiyah (lauhut) dan yang kedua unsur sifat insaniah (nasut)"[13]
Menurut defesini Al-Halaj tentang relasi manusia dengan Tuhan, dapat kita jabarkan bahwa, jika manusia meninggalkan unsur kemanusiaan dan senantiasa mengembangkan unsur ilahiyah yang ada dalam dirinya melalui fana, maka Tuhan (Allah) akan mengambil tempat dan menyatu pada unsur ilahiyah melalui ma'rifah dengan perantara ilmu hakikah.
Asumsi di atas dapat kita buktikan secara emperikal seperti yang dialami oleh Al-Halaj dalam ma'rifatnya ia mengalami fana rohaniyah dan merasa menyatu dengan Tuhan (Allah) disebut dengan hulul sehingga secara inderawi manusia mendengar ucapannya yang terkesan aneh dalam kapasitas syar'i, "Ana Al-Haq" (aku adalah kebenaran) sebahagian mengartikan "aku adalah Tuhan" inilah yang dianggap sesat oleh para pengkritisinya.[14]
Sangat disayangkan khazanah pemikiran Islam yang dijalani Al-Halaj melalui riyadhah rohaniah hingga ia mencapai ma'rifah, berujung pada vonis sesat dan dihukum gantung oleh para syar'iyah. Peristiwa yang sama dengan Al-Halaj juga dialami oleh Hamzah Al-Fansuri. Pada hakikatnya apapun yang terucap secara inderawi oleh penganut sufi dalam fana yang sedang mencapai ma'rifah, itu disebut Syatahat. Syatahat dalam konsep tasawuf adalah ucapan sufi yang keluar pada saat mencapai puncak mabuk spiritual.[15]
Insan kamil dalam kontek manusia sempurna, memiliki keseimbangan cinta tiada tara kepada Allah (Al-Hubbu fillah) dan segenap perhatian telah tertuju dan terhadap kepada Allah (Tawajjuh Lillah), sehingga relasinya dengan Tuhan (Allah) mencapai puncak tertinggi secara rohaniah menyatu dalam fana melalui ma'rifat.[16]

D.    Konsep Tasawuf dalam Memetakan Eksistensi Manusia
Insan kamil menurut konsep sufi adalah manusia sempurna yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi.[17] Pencapaian moralitas yang paling tinggi bagi golongan sufi adalah memperoleh hubungan langsung dengan Allah, sehingga dirasakan berada di hadirat Allah. Berada di hadirat Allah diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Berada di hadirat Allah, para sufi berbeda konsep pemahaman, sebagaian mereka mengatakan Allah sebagai puncak kecantikan dan kesempurnaan. Sebahagian lagi mengartikan sebagai iradhah dan juga disebut ilmu atau ma'rifah.[18]
Konsep insan kamil berpatokan pada diri kepribadian Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai manusia sempurna (idieal). Di Samping itu, jati diri Muhammad (al-Haqiqah Al-Muhammad) diyakini bukan semata-mata Muhammad Saw. Sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di dunia ini.[19]  
Gagasan konsep filosofi insan kamil dipopulerkan oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak Tasawuf Filosofis.[20] 
Untuk mencapai puncak prestasi ma'rifah para sufi memiliki konsep tentang jalan menuju Allah melalui latihan-latihan rohaniah (riyadhah rohaniah) yang dilakukan secara bertahap dalam menempuh berbagai fase/tingkatan-tingkatan (maqam) dengan berbagai hal ihwal.[21]
Tingkatan yang dijalani oleh para sufi menurut Imam Al-Ghazali terdiri dari; Taubat, zuhud, sabar, faqr, tawakkal, khauf, raja' dan mahabbah.[22]Menurut Ibnu Taimiah, tingkatan sufi selain yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali, beliau menambahkan; Ridha, ubudiah, fana dan ma'rifah.[23]
1). Taubat
 adalah kembali dari yang dicela syara' menuju kepada sesuatu yang dipuji syara'. Menurut Imam Al-Ghazali taubat dari dosa berarti kembali kepada tirai yang bisa menutup dosa dan kembali kepada dzat yang murni yang mengetahui alam ghaib adalah prinsip pertama salah seorang salik.[24]
Taubat secara umum diklasifikasikan dalam tiga Tingkatan, yaitu; pertama perhentian awal dari perbuatan dosa yang dilakukan jasad (anggota badan), kedua kembali pada perhentian dosa yang dilakukan jasad, juga bertitik fokus pada pangkal dosa, seperti; dengki, sombong dan ria, ketiga taubat menyangkut usaha menjauhkan diri dari bujukan syaitan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah, keempat taubat berarti penyesalan diri atas kelengahan fikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat terakhir ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan diri dari jalan Allah.

2). Zuhud
Zuhud berarti tidak mendewakan kemewahan dunia, maksudnya tidak tertarik pada dunia dan meninggalkan perhiasan dunia yang menggiyurkan dan bersifat sementara itu yang mengganggunya mencapai ridha Allah. Hal ini merupakan cirikhas orang-orang shaleh. Imam Al-Ghazali lebih ekstrem mengartikan zuhud, menurutnya zuhud adalah membenci dunia mencintai akhirat.[25]
Dilihat dari asumsi di atas tentang zuhud, secara umum dapat diklasifikasikan tiga tingkatan, yaitu; pertama menjauhkan kemewahan dunia yang melalaikan/terlena agar terhindar dari hukuman di akhirat, kedua menjauhi perburuan kemewahan dunia dengan menimbang imbalan akhirat lebih sempurna, dan ketiga mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah semata. Pemahaman sufi pada tingkatan ini menganggap segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak bernilai apa-apa, kecuali hanya Allah yang ia cari. 

3). Sabar
Dalam menempuh maqamad diperlukan kesabaran yang sangat tinggi. Sabar merupakan sifat manusia yang beriman dan bertaqwa. Imam Al-Ghazali mendefenisikan sabar dalam kontek sufi berarti kesemanyaman pembangkit ketaatan sebagai ganti bangkit hawa nafsu, karena ibadah fardhu tidak akan bisa dilaksanakan dan maksiat tidak akan bisa ditinggalkan jika seseorang tidak memiliki sifat sabar.[26]
Masih dalam kontek sufi, Imam Junaidi mendefenisikan sabar sebagai dorongan jiwa agar senantiasa bersama Allah tanpa merasa repot atau susah. Sedangkan menurut Sahl At-Tusturi sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar dari Allah). [27]
4). Faqr
Kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sifat faqr ini menjadi penting dimiliki oleh orang yang sedang menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat dengan kejahatan dan belebih-lebihan.
Menurut Ibnu Qudamah Faqr adalah orang yang berhajad kepada sesuatu. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali sifat Faqr ini senantiasa berhajad kepada Allah sebagai buah dari iman dan ma'rifat yang mendalam sehingga dalam pandangan hati si faqr bahwa ia selalu berhajad kepada Allah.[28]

5). Tawakkal
Menyerah diri kepada Allah, merupakan salah satu bentuk kearifan insan kamil. Tawakkal dilakukan dengan meposisikan diri di hadapan Allah penuh pasrah dan ikhlas.[29] Defenisi lain dijelaskan oleh Amin Syukur dalam bukunyaTasawuf Kontektual bahwa tawakkal menggantungkan diri secar rohaniah kepada Allah, merasa tenang dengan apa yang telah diberi, dan bersabar ketika terhalangi demi cinta kepada rabbnya.[30]

6). Khauf
Rasa takut kepada Allah sangat berbeda dengan rasa takut kepada makhluk Allah, karena takut kepada Allah bukanlah menghindari-Nya tetapi semakin mendekatinya. Menurut Imam Al-Ghazali, jika seseorang telah memiliki rasa takut kepada Allah dan ia semakin mendekati Allah dan Allah menguasai hatinya kemudian ia tidak menunggu hari esok untuk kembali pada Tuhannya.[31]

7). Raja'
Pengharapan hati menanti sesuatu yang dicintai atau didambakan olehnya, maka ia akan mendahulukan segala sesuatu untuk yang dicintainya yang akan didapatkan hari esok. Raja' terbagi tiga model, yaitu; Pertama Mengharapkan Allah, kedua mengharapkan keluasan rahmat dan kasih sayang Allah, dan ketiga mengharapkan pahala dari Allah.[32]

8). Mahabbah
Cinta merupakan roh tasawuf yang menjadi pilar utama Islam dan inti dari Ajaran. Cinta dalam kontek ini mencerminkan kecemerlangan insan kamil yang memiliki hati cenderung pada sesuatu kenikmatan kebahagiaan sesugguhnya yang tiada tara, sehingga ia mencurahkan segenap daya dan upaya untuk menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan yang dicintainya.[33]
Gambaran ketinggian mahabbah dapat dilihat dari syair Rabi'ah Al-Hadawiya, yaitu; "Tuhanku (Allah), jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka lemparkanlah aku kedalamnya. Jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengejar syurga-Mu, jangan engkau masukkan aku kedalamnya, tetapi jika aku menyembah-Mu karena hanya karena cintaku pada-Mu janganlah Engkau menutup wajahmu dari pandanganku".[34]  
Mahabbah adalah sekte sufi paling tinggi dalam mengenal Allah, disebut dengan ma'rifah. Al-Hub juga mempunyai pemahaman terpadunya segala kecintaan hanya untuk Allah semata sehingga adanya rasa kebersaan dengan Allah, seluroh jiwa, rasa dan segenap ekspresi hanya diisi dengan rasa cinta kepada Allah. Rasa cinta dan kerinduan yang tumbuh dalam diri manusia karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tiada motivasi yang lain kecuali kasih Allah.[35]
Fariduddin dalam bukunya Sufi Agung mengutip sya'ir produk sufi ma'rifat mahabbah yaitu; "Ya Allah, segala kesibukan dan hasratku yang penuh dengan hal-hal duniawi, adalah untuk mengingat-Mu, dan akhirat penuh dengan hal-hal akhirat adalah untuk berjumpa dengan-Mu".[36]

BAB II
KESIMPULAN

Cinta kepada Allah (mahabbatullah) dan cinta kepada Rasul-Nya merupakan seagung-agungnya keimanan yang merupakan puncak dari setiap amal perbuatan insan kamil yang memiliki dua kebahagian, baik dunia maupun akhitrat.
Cinta merupakan roh tasawuf yang menjadi pilar utama Islam dan inti dari Ajaran. Cinta dalam kontek ini mencerminkan kecemerlangan insan kamil yang memiliki hati cenderung pada sesuatu kenikmatan kebahagiaan sesugguhnya yang tiada tara, sehingga ia mencurahkan segenap daya dan upaya untuk menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan yang dicintainya.
Mahabbah adalah sekte sufi paling tinggi dalam mengenal Allah, disebut dengan ma'rifah. Al-Hub juga mempunyai pemahaman terpadunya segala kecintaan hanya untuk Allah semata sehingga adanya rasa kebersaan dengan Allah, seluroh jiwa, rasa dan segenap ekspresi hanya diisi dengan rasa cinta kepada Allah. Rasa cinta dan kerinduan yang tumbuh dalam diri manusia karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tiada motivasi yang lain kecuali kasih Allah.
Menuding dan menghukum sesat para sufi yang mengalami syatatah seharusnya tidak terjadi, karena yang dapat ditangkap dengan inderawi manusia berbeda dengan yang sedang mereka alami di dalam fana mencapai ma'rifatullah.

  
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali dan Ibnu Taimiyah,(Jakarta: Khalifa, 2005)

Ahmad Rofi'utsmani, Sufi dari Zaman Kezaman, (Bandung : Balai Pustaka, 1985)

Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiah, (Jakarta: Hikmah, 2002)

Al-Ghazali, Mutiara Ihya'ulumuddin, (Bandung: Mizan, 1998)

Amin Syukur, Tasawuf Kontektual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

A. J. Arberry, Tasawuf Versus Syari'ah, (Jakarta: Hikmah, 2000)

Fariduddin 'Athathar, Sufi Agung, (Jakarta: Pustaka Zahara, 2005)

Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Panjimas, 1998)

Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008)

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002)

Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Jakarta: Prenada Media, 2003)

Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003)

Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara. 1992)



[1]  Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara. 1992), h. l29
[2] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 227
[3] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 31
[4] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan... h. 31
[5] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan... h. 32

[6] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan... h. 32
[7] Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiah, (Jakarta: Hikmah, 2002), H. 313
[8] Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf… h. 146
[9] Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf… h. 146

[10] Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf… h. 112
[11] Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf… h. 328
[12] Ahmad Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf… h. 113
[13] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif… h. 228
[14] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif... h. 229
[15] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif… h. 230

[16] Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Panjimas, 1998), h. 237
[17] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), h.124
[18] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik… h.124
[19] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik… h.125
[20] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik… h.125
[21] Ahmad Rofi'utsmani, Sufi dari Zaman Kezaman, (Bandung : Balai Pustaka, 1985), h. 35
[22] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali dan Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Khalifa, 2005), h. 111
[23] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 112
[24] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 117

[25] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 113
[26] Al-Ghazali, Mutiara Ihya'ulumuddin, (Bandung: Mizan, 1998), h. 316
[27] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 120

[28] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003),  h. 228
[29] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 131
[30] Amin Syukur, Tasawuf  Kontektual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 23
[31] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 131
[32] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 135
[33] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-ghazali… h. 140
[34] A. J. Arberry, Tasawuf Versus Syari'ah, (Jakarta: Hikmah, 2000),  h. 54

[35] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik… h.124

[36] Fariduddin 'Athathar, Sufi Agung, (Jakarta: Pustaka Zahara, 2005),  h. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar