Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 November 2015

Metodologi Studi Keislaman, antara Kontroversi Agama Sempalan, Agama Bermodus Kekerasan, Sakral Bercampur Profan Oleh Ridwan, MA

1.    Metodologi Studi Islam telah disusun sebagai salah satu mata kuliah yang penting di pascasarjana UIN. Apa yang anda pahami tentang mata kkuliah ini?
Mata kuliah Metodologi Studi Islam adalah untuk membekali mahasiswa dengan pemahaman metodologi dalam mengkaji Islam dari berbagai aspeknya, baik sebagai ajaran, institusi, sosial maupun budaya yang memungkinkan mahasiswa Pasca Sarjana IAIN berwawasan luas dan mampu memahami dan menjelaskan Islam secara ilmiah dan toleran.
Lebih rinci mata kuliah Metodologi Studi Islam diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman tentang landasan ontologis, sejarah perkembangan Metodologi Studi Islam dan memahami beberapa metode dan pendekatan ilmiah serta mampu menggunakanya dalam pengkajian Islam. 

2.    Banyak model kajian keislaman telah dilakukan selama ini. Hasilnya pun sangat bervariasi. Bagaimana sebaiknya kajian keislaman ditata sedemikian rupa, terutama di lembaga2 pensisikan Islam, sehingga dapat mengantarkan penganutnya ke rahmatal lil'alamin. Uraikan jawaban saudara!
Menata kajian keislaman yang sebaiknya hharus memperhatikan beberapa factor, antara lain; 1). Kesesuaian dengan visi-misi, orientasi, tujuan, lengkap dengan “kecerdasan komplit” yang ingin dikembangkan.  Struktur, komposisi, jenis, jenjang, bobot isi dan waktu pembelajaran yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, orientasi dan tujuan yang ingin dicapai. 2). Seiring prinsip otonomitas dalam menyelenggaraan pendidikan bermutu, maka sebaiknya masing-masing penyelenggara perguruan tinggi merencanakan silabusnya sendiri yang sesuai dengan pandangannya terbaik dengan mempertimbangkan tantangan lokal dan global.
Melihat muatan nilai pendidikan islamisasi ilmu pengetahuan merupakan solusi alternatif-strategis. Upaya ini merupakan hal menggembirakan apabila faktor teknis dan non-teknis turut serta menyuburkan iklim tersebut. Tetapi apabila hanya bersifat euforia, tentunya sangat disesalkan. Alih-alih mencari solusi alternatif strategis kenyataannya bisa saja menjadi solusi alternatif strategis bagi golongan tertentu yang hanya mencari keuntungan dari opini publik yang memang potensinya besar. 
Cerminan kurikulum Islami harus memuat prinsip, antara lain; 1). Mengandung nilai kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat, 2). Mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam, 3). Mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual dan jasmaniah.
Implementasi kurikulum pendidikan Islami mendapatkan porsi yang strategis menjadi poros utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang berwawasan imtak dan iptek, sehingga nilai tambah yang didapatkan dalam pembelajaran yang berwawasan Islami, mengarahkan pada moral, akhlak dan prilaku yang lebih baik, dapat menumbuhkan minat dan kesadaran yang menghasilkan kecerdasan secara integrated 'kecerdasan komplit' antara kecerdasan Intelektual (IQ), kecerdasan Emosional (EQ), kecerdasan Spritiual (SQ), dan berpusat (bersumber) pada kecerdasan Religi (RQ)

3.    Minat kajian tentang Islam nampaknya telah kian meningkat dalam skala global. Apa saja alasan yang dapat dipantau tentang kecenderungan tersebut. Berikan alasan dalam jawaban saudara!
Orang menarik mengkaji ilmu keislaman disebabkan oleh berbagai mitivasi, antara lain; mempelajari Islam untuk sebuah status, kepentingan politik, social, budaya, ekonomi, misi dakwah, dipelajari untuk diamalkan, bahkan ada juga misinya misionaris dan orientalis.
Menarik bagi saya kisah dan komentar peneliti dari Universitas London, Inggris, Dr Kostas Retsikas, ia tertarik untuk meneliti konsep zakat di Indonesia yang diatur oleh Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. ”Saya tertarik karena di Indonesia masalah kedermawanan (zakat-red) ada undang-undangnya,” kata Kostas usai acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Amil zakat Nasional (Baznas) di Jakarta. Kostas —yang mengajar di Fakultas Kajian Oriental dan Afrika Universitas London— membandingkan konsep kedermawanan di Indonesia dengan Yunani negara asalnya.
”Di Yunani tidak ada undang-undang untuk kedermawanan, karena hal itu dilakukan berdasarkan asas-asas kemanusiaan,” kata dosen antropologi Asia Tenggara itu, Kalau ilmuwan tertarik pada Islam dengan segala rukunnya, memang tidak aneh, tidak luar biasa, bahkan sudah sewajarnya terjadi. Sebab, menurut Islam, siapapun yang ditakdirkan pintar maka ia akan dipahamkan agama oleh Allah SWT. Namun aneh bila orang Islam justru tidak tahu hal-hal hebat dari Islam itu sendiri dan bisa dijamin menjadi rahmat bagi seluruh alam, padahal kita disebut sebagai umat terbaik.
Perlu kita garisbawahi adalah soal zakat, bahwa Islam itu justru meninggikan unsur kemanusiaan berikut pemberdayaannya. Di sisi lain, UU Tentang zakat ini sebetulnya untuk lebih memberdayakan zakat karena selama ini banyak masjid yang tak mampu mengelola zakat secara baik dan benar.
Padahal zakat itu urusan lingkungan yang mengutamakan lingkup terbatas justru agar bisa memberdayakan umat secara global. Artinya zakat itu diutamakan untuk lingkungan terdekat, dan jika seluruh lingkungan terdekat dari tiap wilayah negeri ini terberdayakan, maka otomatis seluruh umat negeri ini teratasi kemakmurannya. Artinya zakat tetap memperhatikan talisilaturahmi atau hubungan mesra lingkungan terdekat/tetangga, peruntukannya untuk kesejahteran fakir miskin, dhuafa, dll.
 Dengan kata lain, kita berharap siapapun yang mempelajari UU tentang zakat jangan lupakan sumbernya, karena zakat bukan sekedar kewajiban yang dipaksakan seperti warga negara yang wajib mentaati undang-undang negara karena zakat berkait dengan keimanan, keislaman, dan sikap ihsan secara utuh.


4.    Ketika kita amati, penganut agama selain agama Islam nampaknya tidak lagi saling berseteru antar mereka, walaupun perbedaan begitu nyata; namun penganut Islam masih saja saling menyalahkan dan bahkan bermusuhan antara mereka, sampai hari ini. Bagaimana dapat anda jelaskan gejala ini, dimana salahnya dan bagaimana cara menyadarkannya? Uraikan dengan jelas disertai argumen!
Persatuan Islam dan perlunya umat Islam bersatu paling layak sebagai solusi. Masalah ini merupakan salah satu ide paling penting penyadaran bagi umat Islam, dua cara menuju kesuksesan dan satu-satunya jalan untuk melawan kolonialisme dan mengalahkan konspirasi musuh-musuh Islam, meskipun mazhab dan kecenderungan umat berbeda-beda. Persatuan dan kesatuan Islam merupakan satu-satunya solusi bagi berbagai masalah dan penderitaan umat Islam, dalam bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Poros inilah yang perlu ditulis dan dibicarakan di berbagai komunitas ilmiah dan non ilmiah untuk membuka mata umat Islam terhadap urusan agama yang benar.
Kita harus menyeru mereka agar berpegang teguh kepada prinsip-prinsipnya yang bersifat kebangsaan Islam dan mengikuti ajaran-ajarannya yang bijaksana, berpegang teguh kepada prinsip-prinsip agama diperlukan bagi kehidupan manusia dan merupakan tuntutan bagi kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Beragama haruslah arif dan bijaksana, karena agama adalah satu-satunya jaminan kebahagiaan manusia. Pemikiran Islam yang otentik adalah satu-satunya cara untuk mereformasi budaya, menyadarkan anak bangsa, membangkitkan mereka ke tempat yang benar, dan menanamkan prinsip-prinsip agama yang benar ke dalam pikiran mereka.
 Prinsip-prinsip beragama yang benar menumbuhkan kekuatan persatuan dan semangat berkoalisi di dalam diri umat. Umat menjadi lebih mengutamakan kemuliaan daripada kenikmatan hidup. Kekuatan tersebut mendorong mereka meraih keutamaan. Perhatikanlah sejarah bangsa Arab dan kebiadabannya sebelum Islam. Islam hadir,  namun kekuatan mereka tanpa tanding setelah Islam mencerahkan akalnya, meluruskan akhlaknya, dan membetulkan hukum-hukumnya sehingga bangsa Arab tampil sebagai pemimpin dunia pada puncak kejayaan Islam.
Berpegang teguh kepada ajaran agama dengan menghidupkan ruh kesatuan dan persatuan umat Islam, mudah-mudahan Allah mendamaikan hati kita, menyatukan barisan kita untuk membela kebenaran, memperkokoh persatuan kita, mengubah kelemahan kita menjadi kekuatan, dan perpecahan kita menjadi persatuan berkat Islam yang agung dan menyelamatkan. Semoga Allah Swt menolong kita agar tahan memikul tanggung jawab, menggenggam tangan kita untuk menyelamatkan manusia dan membawanya menuju iman, kebaikan dan keutamaan serta merealisasikan firman-Nya.

5.    Anggapan "sempalan" ada pada setiap agama. Apa yang dimaksud dengan sempalan dalam studi agama? Bagaimana sebaiknya mensikapi "sempalan" ini dalam Islam? Uraikan dengan jelas!
Istilah "gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", atau menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian", kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme.
Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu, sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap "sempalan", ternyata memang telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama. Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin'nya Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh).
Pada masa pasca era reformasi di Indonesia saat ini banyak sekali bermunculan gerakan sempalan agama. Hal ini disebabkan dari krisis kehidupan, baik dari dimensi ekonomi, politik maupun sosial. Fenomena seperti itu sering menimbulkan ketegangan-ketegangan di kalangan masyarakat, itu semua disebabkan karena sebagian masyarakat mempertanyakan dimensi spiritual baru yang dipandang oleh individu maupun kelompok tersebut memiliki kearifan bahkan melebihi arus utama (agama induknya). Apalagi hal ketegangan tersebut dibarengi dengan adanya fatwa larangan dan ajaran sesat dari lembaga keagamaan.
Sebenarnya aliran sempalan dalam agama apabila dilihat dari perspektif sejarah sudah terjadi sejak abad ke-16 hingga abad ke-19. Hanya saja faktor penyebabnya berbeda apabila dibandingkan dengan yang terjadi di masa sekarang ini. Pada masa lalu aliran sempalan terjadi karena adanya muatan politis, yaitu pembedaan antara ulama bangsawan dan ulama non bangsawan. Akibatnya ulama dari kalangan non bangsawan terpinggirkan secara politis karena kekuasaan. Dan hal inilah yang menyebabkan kelompok yang terpinggirkan ini membuat koloni baru dan akhirnya dicap oleh penguasa saat itu sebagai sempalan. Sedangkan dalam masa sekarang ini aliran sempalan lebih menafikan Nabi Muhammad SAW dengan mengubah-ngubah pakem salat, mengaku sebagia Nabi baru dan sebagainya.
Solusi menghadapi sempalan hanya dapat diminimalisir, karena gerakan ini akan terus muncul dengan motif dan gaya yang beragam, namun pola gerakan keagamaan yang mencuat saat ini mirip dengan apa yang dinamakan sebagai sekte (sempalan). Meski begitu, sesungguhnya kata sekte tak seluruhnya tepat mencerminkan pola gerakan keagamaan tersebut. Sebab sekte biasanya muncul dari sebuah tradisi agama, yang kemudian memiliki interpretasi berbeda dengan kalangan arus utama. Disinilah ketidaknyamanan penggunaan istilah sekte bagi kelompok tersebut.
Gerakan Sempalan Agama Dalam Perspektif Sejarah sedikit banyak telah memberikan gambaran kepada kita mengenai aliran-aliran keagamaan yang dinyatakan sebagai aliran sempalan pada jamannya. Kalau kita telusuri ternyata penyebab munculnya aliran-aliran tersebut bukan hanya karena keterbatasan pemahaman makna keagamaan saja, namun lebih banyak dikarenakan kesalahan sebuah sistem pemegang kendali pemerintahan pada waktu itu.
Maka dari itu sungguh terlalu dini dan kurang bijak kiranya bagi kita memaknai aliran-aliran tersebut sebagai aliran sempalan yang sesat dan menyesatkan. Masih banyak jalan untuk mewujudkan universalisme nilai-nilai Islam, penindasan dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tentunya dapat diminimalisasi sehingga tercipta kehidupan harmoni, baik inter maupun antar umat beragama dalam wadah sebuah bangsa.
Kurang arif kalau kita memberi simbol ”sesat” yang akibatnya berubah menjadi simbol kekerasan. Pembakaran tempat ibadah, merusak rumah, dan penyiksaan terhadap penganutnya adalah bentuk simbol kekerasan, yang secara perennial maupun dalam hak asasi manusia tidak dapat dibenarkan, karena aliran-aliran itu meyakini ”Yang Suci” dan ”Yang Satu”.
Gerakan ini ibarat paku yang dipalu, makin dibenci, dipukul dan dipinggirkan, mereka malah makin menusuk hati masyarakat sedalam mungkin. Makin dibabat, semakin menjalarlah ia. Juga saat mereka dilarang dan dianggap sesat. Pelarangan tersebut tidak akan sertamerta membuat komunitas splinter ini berkurang atau musnah. Termasuk di dalamnya cara-cara represif. Karenanya, penganut aliran ini membutuhkan penanganan khusus, melalui pendekatan pedagogis yang mampu menyaring apa yang melatar belakangi mereka hidup dan merasa nyaman berada dalam sekte tertentu.
Gerakan Sempalan Agama dalam Perspektif Sejarah, banyak sekali memberikan konstribusi keilmuan yang tentunya sangat bermanfaat bagi kita didalam menghadapi fenomena sekte keagamaan yang bermunculan saat ini. Diantara konstribusi keilmuan yang diberikan antara lain; 1). Menjadikan kita lebih bijak dalam mensikapi fenomena sekte keagamaan, 2). Membuka wawasan bagi kita tentang penyebab munculnya sekte agama ditinjau dari segi histori, 3). Sebagai jalan tengah pemecahan permasalahan sekte keagamaan yang selama ini komunitas mereka selalu terpinggirkan dan terdiskreditkan sebagai kaum kafir, munafik, murtad, sesat, dajjal, musuh Islam, dan calon penghuni neraka, 4). Memberikan kearifan kepada para pelaku sekte bahwa apapun alasan mereka dalam penyimpangan paham agama namun Arus utama paham agamalah yang merupakan sumber baku dalam keyakinan ”Yang Suci” dan ”Yang Satu”.

6.    Sebelum sepuluh tahun terakhir ini dunia sangat menaruh harapan pada "Indonesia Muslim" termasuk "Malaisiya Muslim" mereka merasa sudah "jenuh" melihat Muslim Timur Tengah, khususnya Arab yang, persepsi mereka, sangat tidak toleran. Namun perkembangan suasana Indonesia dalam dekade terkhir ini (dengan meningkatnya kekerasan bermotif agama) telah mengubah persepsi tersebut. Bagaimana anda dapat jelaskan gejala ini?
Persepsi umum tentang tindak kekerasan bermotif agama di Indonesia akhir-akhir ini, lebih kurang terfokus di sekitar fundamentalisme agama,  beberapa tahun terakhir terbit sejumlah buku dan tersiar berita tentang kekerasan berbendera agama di Indonesia, yang mengaitkannya dengan fundamentalisme agama.
Terkait aksi-aksi kekerasan bermotif agama, ada hal-hal yang menjadi perhatian pengamat, di antaranya, kemunculan politik Islam setelah kejatuhan Orde Baru, berkembangnya faham yang memilih cara-cara kekerasan, terjadinya kekerasan komunal seperti di Ambon dan Poso, serta munculnya beberapa kelompok radikal yang memilih cara kekerasan yang memiliki jaringan nasional, regional, dan global. Selain itu, studi-studi tentang terrorism financing juga memperkuat cara pandang itu, dengan berusaha mengerti bagaimana jaringan global terorisme saling mendukung dari sisi pembiayaan, termasuk dalam kasus Indonesia.
Cara pandang resmi pemerintah dan tindakan penyelesaiannya juga mengonfirmasi hal itu. Misalnya, dengan melihat kekerasan komunal bertameng agama di sejumlah daerah dan munculnya aksi-aksi terorisme yang bersifat transnasional. Laporan resmi polisi menyebutkan para pelaku sejumlah tindakan terorisme memiliki sejarah dalam gerakan bersenjata di Afganistan, berhubungan dengan aneka gerakan bersenjata di Filipina, dan ambil bagian dalam kekerasan di Ambon dan Poso. Penyelesaiannya pun hanya terfokus ke beberapa kelompok yang terlibat aksi teror tersebut.
Sedikit sekali perhatian terhadap aksi-aksi kekerasan berdalih agama dalam konteks lebih luas dan lebih dalam memahami munculnya kekerasan itu. Dengan pendekatan yang berlainan dengan apa yang disebut pendekatan religious violence industry dan analisis aktor oleh terrorism experts, pengamat seharusnya lebih menekankan pada konteks historis dan sosiologis dari berbagai kekerasan itu.
Bagaimanapun, munculnya tindakan teror dan kekerasan komunal di Indonesia penting dilihat dari sisi warisan politik masa lalu dan kegagalan konsolidasi demokrasi. Politik yang terbuka berjalan seiring hukum yang bobrok, rendahnya penghormatan HAM, korupsi yang merajalela, dan pemerintah yang bangkrut dan terpecah-belah, serta rumitnya problem sosial ekonomi. Semua masalah ini berakar dalam tubuh pemerintah.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengembangkan perang melawan terorisme dari pendekatan yang terfokus di masyarakat ke pendekatan yang terpusat di dalam tubuh sendiri.
Ada dua hal yang memerlukan perhatian khusus. Pertama, menelusuri praktik korupsi dengan tindakan terorisme. Sebagai contoh, di daerah konflik, dana pemerintah yang hilang melalui korupsi pejabat dan pengusaha yang menyandarkan diri ke sumber pembiayaan pemerintah mengalir melalui berbagai jalan untuk membiayai kekerasan. Di sini, tindak kekerasan terorisme harus dijelaskan sebagai buah kombinasi antara pejabat yang korup, pengusaha yang mencari untung, dan pelaku teror dengan beragam motif.
UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dapat menjadi dasar untuk melihat kaitan itu. Pemerintah seharusnya menegakkan kedua UU ini dalam kerangka kontra pembiayaan terorisme (countering the financing of terrorism). Investigasi mendalam terhadap hubungan antara terorisme dan korupsi harus dilakukan, dengan melacak sumber pembiayaan setiap tindakan kekerasan itu.
Kedua, pemerintah harus mengontrol berbagai kekuatan dalam tubuh sendiri yang mengeksploitasi cara-cara kekerasan untuk berbagai tujuan politik. Hal itu karena kegagalan aparat keamanan bertahun-tahun mengakhiri teror dan kekerasan komunal bukan saja berasal dari ketidakmampuan menghentikan kekerasan, tetapi lebih karena terpecah-belahnya kepentingan dalam tubuh pemerintah. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kelahiran sejumlah kelompok sipil bersenjata berbendera agama dan suku di Indonesia justru terkait faksi-faksi yang terlibat dalam perebutan kekuasaan. Begitu juga, jatuhnya senjata api dan amunisi ke tangan sipil, bukan saja karena merajalelanya pasar gelap yang melintasi tapal batas negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga bersumber dari stockpile milik aparat keamanan.

7.    Bagaiamana memahami perbedaan atau persamaan antara sakral dan profane dalam pengamalan agama? Uraikan dengan contoh-contoh praktik di lapangan!
Apa yang kita dapati di tengah-tengah masyarakat adalah sebuah kehidupan yang berada di antara dua wilayah yang terpisah; wilayah Yang Sakral dan wilayah Yang Profan. Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal yang dilakukan secara acak, teratur, dan sebenarnya tidak terlalu penting. Selain itu, Yang Profan merupakan tempat manusia berbuat salah. Dua hal yang akan disorot dalam hal ini, yaitu dimensi Profan dan Sakral yang dijalani oleh masyarakat kita.
Manusia, dalam sejarahnya, telah hidup bersama dengan ragam simbol dan mitos. Dua hal ini tak terkira jumlahnya, diwarisi dan diperbarui lagi sebagai suatu proses penciptaan. Pada akhirnya, manusia dibatasi oleh tanda-tanda, simbol, serta mitos tersebut. Tak terkecuali yang dialami oleh masyarakat beragama di dunia ini, bahkan sebelum modernisme menyeruak.
Masyarakat beragama yang maju dengan peradabannya sejak dekade awal Masehi memiliki banyak tradisi, baik yang berdasar pada keyakinan akan alam sekitar, atau hal yang dianggap transendental. Setiap manusia kemudian berduyun-duyun meyakini kepercayaannya, baik yang beragama sesuai keyakinan leluhur, atau mereka yang memilih agama-agama yang kemudian diakui oleh “ruling class”(kelas berkuasa). Agama yang terakhir disebut biasanya  memiliki keleluasaan untuk menikmati ritual agamanya karena mendapat fasilitas tertentu dari kelas berkuasa.
Agama-agama tersebut dalam kehidupan masyarakat hadir dengan sederet ritual, atau sebuah proses penyembahan kepada Yang Kuasa. Salah satunya adalah ritual penyambutan hari raya keagamaannya. Hingga saat ini, tradisi itu pun dilestarikan. Hanya saja, kita bisa menjamin jika terdapat banyak perbedaan dalam memaknai momen tersebut. Antara awal dekade Masehi dengan sekarang, dapat dibayangkan mitos yang digunakan pun berbeda. Mitos tersebut bisa berupa ritual, simbol, hingga atribut yang tak dipahami sepenuhnya. Orang beragama, saat ini, cenderung mengalami distorsi dalam memahami agamanya. Golongan ini biasanya lebih mengutamakan bentuk artifisial daripada pemaknaan yang dalam. Orang lebih bangga dengan menonjolkan ritus seperti tasbih, kitab, dan sebagainya, agar dia terlihat seperti orang beragam yang taat. Akan tetapi, perilakunya tak lebih taat dari yang kelihatan. Malah mungkin sebaliknya, menunjukkan diri tak lebih baik dari kaum barbar.
Disinilah kita temukan ketegangan antara idealitas merayakan dengan praktiknya dalam kehidupan. Di Indonesia, perayaan hari besar agama pun juga dilakukan, bahkan terbilang khusus. Bagi agama-agama yang diakui negara, hari raya diekspresikan secara bebas dan terhormat. Sebelum reformasi, hanya ada 5 agama yang diakui dan mendapat tempat layak dalam ruang publik. Pada saat hari raya, aktivitas dihentikan untuk menghormati perayaan tersebut. Baru setelah Gus Dur berkuasa, dimensi minoritas mulai diperhitungkan. Gus Dur menetapkan hari raya Imlek Konghucu sebagai hari libur nasional. Selain itu, Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui negara. Gebrakan ini menjadi suatu afirmasi terhadap kaum minoritas yang selama ini tidak diakui. Atas kebijakannya tersebut, Gus Dur, yang saat ini telag mangkat, kemudian dikagumi, dihargai, bahkan dihormati sebagai bapak pluralis yang membela kepentingan kaum minoritas. Namun, hal ini masih menjadi langkah panjang dalam kebebasan umat beragama, mengingat masih banyak agama-agama lokal yang tengah berjuang untuk mendapatkan “restu” dari pemerintah.
Kebebasan yang telah dimiliki oleh umat beragama saat ini , sayangnya masih memiliki cacat. Tak bisa dimungkiri jika hari raya besar agama yang menjadi simbol atau ritual cenderung diwarnai dengan pemaknaan yang dangkal. Hal ini bisa terlihat dari cara masyarakat atau golongan yang merayakannya. Idealnya, memang hari raya apapun harus dinikmati, bisa sebagai bentuk syukur, perenungan, atau pijakan menuju hal yang lebih baik.
Ada dua hal mencolok yang kemudian menjadi masalah kaum  beragama saat ini. Pertama, hari raya agama, khususnya di Indonesia menjadi hal istimewa di hati masing-masing pemeluknya. Hingga kesehariannya pun tak bisa lepas dari merayakan. Jika tidak, maka akan menjadi suatu yang janggal, aneh, bahkan cenderung asosial. Tapi, manusia saat ini, yang sebagian besar modern, menjadikannya sebagai ajang “senang-senang”. Sayangnya, hal ini cuma bisa dinikmati oleh golongan tertentu yang memiliki kapital ekonomi.  Kedua, kelomok yang mendaku sebagai kaum beragama tersebut ternyata cenderung belum bisa lepas dari penggunjingan dan kecurigaan terhadap kelompok agama lain.
Hal pertama yang akan dibahas adalah seputar kemegahan perayaan. Hal ini, terutama di Indonesia, tak bisa lepas dari yang namanya kesenjangan karena tida meratanya kapital yang dimiliki. Disini, kita dapat melihat bahwa kapital menunjukkan kelas bahkan strata dalam menikmati hari besar agama. Kesenjangan sosial, merupakan buah konkret dari sebuah tata masyarakat yang bersifat eksploitatif. Hal ini mungkin bagi kita terkesan kontraproduktif dengan proyek modernisme yang didengungkan. masyarakat modern mengutuk eskploitasi antarmanusia, dan menyesalkan kesenjangan sosial sebagai akibatnya. Sayangnya, dalam praktik, yang terjadi jauh lebih rumit.
Kita bisa melihat fenomena sederhana di sekitar kita bahwa perayaan agama yang berlebihan justru telah menjadikan kita asosial. Saat perayaan hari besar agama, seperti Lebaran atau Natal, masyarakat menjadi masyarakat konsumtif mendadak. Namun, mereka lupa, bahwa ada segolongan orang yang mungkin gigit jari dari luar toko atau mall karena tak bisa berlaku hal yang sama. Persoalan lain adalah perayaan hari besar mungkin tak terlalu berarti secara harfiah oleh para pekerja toko atau mahasiswa yang tak bisa pulang dan berkumpul bersama keluarganya. Para pekerja yang harus mburuh di toko-nya tak memiliki waktu luang untuk berlibur karena kebijakan perusahaan tempat dia bernaung mengharuskannya masuk kerja. Perjuangan untuk meliburkan hari disaat suatu kelompok agama tertentu merayakan merupakan hak asasi yang harus dipenuhi. Namun, logika modal tak berbicara demikian dan memang menjadi dilematis. Pasalnya, di hari-hari tersebut justru pekerja harus menjalani hari yang super sibuk, karena biasanya orang berbondong-bondong datang untuk berbelanja. Tak bisa dimungkiri pula mahasiswa yang tak bisa mudik atau pulang kampung karena alasan ekonomi memaknai hari raya tidak dengan hura-hura. Mereka, bahkan, hanya membekuk di kamar 3×3-nya untuk “membunuh” waktu agar hari itu cepat berlalu. Meskipun, tak dapat dimungkiri, jika secara sakral masih bisa dinikmati, yaitu hubungan batin antara kawuladan Gusti-nya. Hal ini merupakan suatu yang tidak bisa disentuh oleh individu lain.
Sedangkan hal kedua yang juga perlu perhatian bersama adalah masih kentalnya budaya curiga atau prasangka berlebihan kepada golongan lain. Anehnya, di Indonesia, hal ini susah sekali dihindari, bahkan wujudnya tak hanya berhenti pada curiga, tapi hingga aktivitas kekerasan. Meskipun sudah lebih baik, namun kerusuhan antar-agama bahkan antar-etnis masih menjadi bahaya laten. Bahkan, di hari besar agama, yang notabene sakral, masih diwarnai dengan kerusuhan, tangisan, atau umpatan. Biasanya yang menjadi sasaran atau bulan-bulanan adalah kelompok minoritas atau etnis. Hal ini tak lepas dari masih melekatnya sebuah rezim wacana yang terwarisi. Bahwa persoalan identitas menjadi suatu hal yang krusial dalam melakukan justifikasi atau pembenaran akan kekerasan. Parahnya, identitas tersebut seolah menjadi pembenaran untuk kepentingan yang sesungguhnya, terselubung, ujung-ujungnya sebuah kesenjangan ekonomi.
Lalu, untuk apa kita bergontok-gontokan atau pamer kemewahan dalam kehidupan bernuansa agama? Mungkin, inilah kekhasan manusia dari dunia Yang Profan. Kita cenderung terjebak pada pemikiran bahwa dalam rangka merasakan atau mencari Yang Sakral adalah menemukan lalu mendeskripsikannya.  Padahal bukan itu titik tekannya. Kita dapat memahami agama secara fenomenologi, dengan keindependenan atau keotonoman agama yang menurutnya tidak hanya bisa diartikan sebagai produk “realitas” yang lain. Agama tidak tergantung pada konsep ritual atau simbol artifisial, tapi dia berdiri sendiri. Sebaliknya, manusia lah yang patut memahami bahwa kita dapat mencapai Yang Sakral, dengan menjalani Yang Profan, dalam semangat kemanusiaan.

8.    Kalau agama terstruktur seperti yang kita pahami selama ini lambat laun tidak lagi mendapat kepercayaan sebagaian umat manusia, kemana arah pelampiasan spiritual akan akan tersalurkan? Jelaskan dengan rinci!.
Jarang ummat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandangan di mana masalah-masalah itu tampil di hadapan kita kadang berlainan dengan segala yang pernah kita kenal sebelumnya.
Di negeri mana saja, masyarakat telah mengalami perubahan-perubahan fundamental. Jalannya perubahan ini di mana-mana berlainan; tetapi di setiap negeri kita dapat melihat energi desak yang sama, yang tidak mengizinkan kita berhenti atau bersikap ragu-ragu.
Dunia Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Di sini kita lihat pula kebiasaan-kebiasaan dan idea-idea lama menghilang dan munculnya kebiasaan dan idea-idea baru. Kemana tujuan perkembangan baru ini? Sejauh mana pencapaiannya? Sejauh mana kesesuaiannya dengan misi kultural Islam?.
Hanya satu masalah yang paling rumit dari masalah-masalah yang menghadang kaum Muslimin sekarang, yaitu sikap yang harus kita ambil terhadap peradaban Barat, pokok masalah ini memerlukan penyelidikan luas tentang aspek-aspek dasar agama Islam, terutama berkenaan dengan prinsip Sunnah.
Segala yang dalam zaman kejayaan Islam dahulunya merupakan rahmat dan kesiapsiagaan untuk berkorban, sekarang berubah menjadi kepicikan dan kehidupan seenaknya di antara kaum Muslimin. Terdesak oleh penemuan akan kenyataan ini dan dibingungkan oleh ketidaksesuaian antara dulu dan kini.
Satu-satunya sebab kemunduran sosial dan kultural kaum Muslimin terletak dalam kenyataan bahwa mereka secara berangsur-angsur melalaikan jiwa ajaran-ajaran Islam. Islam masih ada pada mereka, tetapi tinggal jasad tanpa jiwanya. Satu-satunya unsur yang dahulu tegak mengokohkan dunia Islam sekarang menjadi sebab kelemahannya; masyarakat Islam telah dibangun sejak dari permulaannya hanya atas dasar agamawi, dan pelemahan-pelemahan unsur itu tentu melemahkan struktur kulturalnya --dan bahkan mungkin akan menyebabkan musnahnya.
Saya mengutip pemikiran muallaf "Makin saya mengerti betapa kongkrit dan betapa praktisnya ajaran-ajaran Islam, makin tebal hasrat saya bertanya mengapa kaum Muslimin telah meninggalkan penerapannya yang riil. Saya bicarakan hal ini dengan banyak pemuka-pemuka Islam, hampir pada semua negeri antara Lybia dan Pamir, antara Selat Bosporus dan Laut Arabia. Hal itu hampir mengikat persoalan saya seluruhnya yang akhirnya meliputi segala urusan-urusan intelektual saya dalam dunia Islam. Godaan pertanyaan itu terus menebal dalam jiwa saya --sehingga saya, seorang bukan-muslim berkata kepada seorang Muslim seakan-akan saya hendak membela Islam dari kekeliruan dan sikap masa bodoh mereka. Saya tidak melihat kemajuannya, hingga pada suatu hari -waktu itu musim semi tahun 1925 di pegunungan Afghanistan- seorang gubernur propinsi yang muda usia berkata kepada saya: "Tetapi anda seorang Muslim, hanya anda sendiri tidak mengetahuinya". Saya terkejut oleh kata-kata itu dan berdiam diri.

Tetapi ketika saya kembali ke Eropa lagi, saya menyadari bahwa satu-satunya konsekuensi yang logis dari sikap saya itu adalah memeluk agama Islam. Sejak saat itu berulang-ulang saya bertanya pada diri: "Mengapa engkau memeluk agama Islam?" Dan saya harus mengaku: saya tidak tahu jawabannya yang memuaskan. Bukan karena sesuatu yang khusus pada ajaran-ajarannya yang menarik saya, tetapi seluruh strukturnya yang mengagumkan, struktur ajaran moral dan program hidup yang praktis yang tak dapat dipisah-pisahkan. Bahkan hingga pada saat ini belum dapat juga saya mengatakan aspek Islam yang mana yang lebih menarik saya dibanding dengan aspek lainnya. Islam tampak pada saya sebagai suatu karya arsitektur yang sempurna. Segala bagian-bagiannya terpadu secara harmonis untuk saling mengisi dan saling menopang, tidak ada yang berlebih-lebihan dan tidak ada yang kurang, merupakan satu perimbangan yang mutlak dan satu komposisi yang padu. Barangkali perasaan bahwa segala sesuatu dalam ajaran dan rumusan Islam adalah pada "tempatnya yang tepat" telah menciptakan kesan yang paling kuat pada saya; mungkin kesan-kesan lain juga ada bersama-sama dengan kesan itu, sukar saya uraikan sekarang. Alhasil, soal cinta, dan cinta terpadu dalam berbagai unsur, dari hasrat manusia dan kesunyiannya, dari tujuan-tujuan luhur manusia dan kekurangannya, dari kekuatan-kekuatan dan kelemahan manusia. Demikianlah halnya, Islam datang dalam jiwa saya sebagai datangnya pencuri di malam hari, tetapi tidak seperti pencuri, ia datang pada saya untuk menetap selama-lamanya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar