BAB I
PENDAHULUAN
Setiap kitab agama apapun di dunia ini pastilah ditulis
menggunakan huruf tertentu dan bahasa tertentu pula. Demikian pula dengan Al-Qur’an
yang ditulis menggunakan huruf dan bahasa Arab.
Firman Allah yang artinya:“Alif, laam, raa. Ini adalah
ayat-ayat kitab yang nyata (1). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al
Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (2). Kami menceriterakan
kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu, dan
sesungguhnya kamu sebelum-nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui
(3). (QS. Yusuf 12: 1-3)
Berdasarkan wahyu Allah di atas, terutama ayat 2, berkembanglah
berbagai pemikiran dan pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk memahami Al-Qur’an
adalah dengan menguasai bahasa Arab. Maka berbondong-bondonglah ummat Islam di
dunia ini belajar bahasa Arab, termasuk pula mempelajari kebudayaannya. Hal ini
menjadi suatu keharusan karena secara “masuk akal”, Al-Qur’an yang menggunakan
huruf dan bahasa Arab diturunkan di dalam lingkungan masyarakat yang juga
berkebudayaan Arab serta penerima wahyu (Nabi Muhammad) yang juga berbangsa
Arab. Andaikan Al-Qur’an yang berhuruf dan berbahasa Arab diturunkan kepada
golongan manusia bukan Arab tentulah tidak akan dimengerti oleh golongan ini
dan tidak akan diimani.
ولو نزلناه على بعض الأعجمين, فقرأه عليهم ما كانوا به مؤمنين
Artinya: “Dan kalau Al Qur’an itu Kami turunkan kepada salah
seorang dari golongan bukan Arab (198), lalu ia membacakannya kepada mereka;
niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (199). (QS. Asy-Syu’araa
26:198-199).
.
BAB II
ASBABUN NUZUL
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya
satu. dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu
banyak ayat yang turun didalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa.
Asbabun nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau
berupa pertanyaan yang disampaikan kepada rasulullah SAW untuk mengetahui hukm
suatu masalah, sehingga Qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau
pertanyaan tersebut. Asbabun nuzul mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Al-Qur’an diturunkan untuk memahamipetunjuk kepada
manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas
kehidupan yang didasarkan pada keimana kepada allah SWT dan risalah-Nya,
sebagian besar qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak
peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan
penjelasan hukum Allah SWT.
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang
karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal
itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas
kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat Al-Qur’an, macam-macamnya,
sight (redaksi-redaksinya), tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam
mempelajarinya.
Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat
diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan
dalam bidang ini, yaitu yang terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru
bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan
menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn
hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul
ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu
disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi
mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali
dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang
menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian
secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu
mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan
yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah
diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah
mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah
yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan
telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam
ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati
dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu
menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh
sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat
ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti
menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas
kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi)
menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan
mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia
menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi
orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.
B.
Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Aisyah pernah mendengar ketika khaulah binti sa’labah
mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh
suaminya aus bin samit katanya: “ Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa
mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku
menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah
sesunguhnya aku mengadu kepadamu, aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun
membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya allah telah mendengar perkataan perempuan
yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni aus bin samit.
“Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang
harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena tidak semua ayat qur’an
diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu
pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan
tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat allah dalam
kehidupan pribadi dan social.
Definisi asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian
ayat-ayat Al-Qur’an terhadap dua kelompok: Pertama, kelompok yang turun tanpa
sebab, dan kedua, adalah kelompok yang turun dengan sebab tertentu. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban
dari syariat agama turun tanpa asbabun nuzul.
Sahabat ali ibn mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu
ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu
diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan; Pertama,
dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian
mereka terhadap Al-Qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan
dengannya. Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar
dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar orang mengambil apa yang
mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka,
bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari
semua ayat yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para
periwayat menambah dalam periwatnya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi
untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal
ayat-ayat Al-Qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka juga melestarikan
sunah nabi, sejalan dengan itu al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa
seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang
suatu (kejadian) maka hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan
lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Asbabun Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang
gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai
kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih
dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin
jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun
nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil
nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak
selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap
riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang
kadang-kadang memerlukan Tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat) untuk
melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.
C.
Macam-Macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun
nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya
lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat
yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang
terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang
sebab turunnya satu). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau
tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau
sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab
turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan
berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan
dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya
shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya
mempunyai penguat (Murajjih) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan
keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (Murajjih). Akan tetapi, keduanya
dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat
(Murajjih) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
D.
Pengetahuan Tentang Asbabun Nuzul
Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:”
tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mangetahui
kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an”.
Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat
Al-Qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan
tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak
semua Al-Qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab
turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat
tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
melalui tiga cara:
1. Pertama
ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada
nabi.
2.
Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau
pertanyaan.
3.
Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; 1). Ayat-ayat yang sebab
turunnya harus diketahui (hukum) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar
penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. 2). Ayat-ayat yang sebab turunnya
tidak harus diketahui, (ayat yang menyangkut kisah dalam Al-Qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang
khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu
mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah Al-Qur’an tidak dapat
dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.
E.
Faedah Asbabun Nuzul
1. Membawa kepada pengetahuan
tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui
Al-Qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan
menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr
(pembatasan).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis)
hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan
adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun
ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut
sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya).
6. Diketahui ayat tertetu turun
padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada
penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang
tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal
ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang
mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
BAB III
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an ada kalanya
yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap
satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang
yang membacanya. Ayat-ayat Al-Qur’an seperti itu
dinamakan muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga
ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat
mengembalikan pada makna yang jelas dan tegas.
maka ayat yang demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian
banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah
pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama
ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat
mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan
konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Untuk lebih jelasnya, maka akan
saya uraikan lebih rinci mengenai muhkam wal mutasyabih sesuai pengetahuan dan
informasi yang saya peroleh.
A.
Pengertia
Muhkam wal mutasyabih berasal dari bahasa Arab محكم dan متشابه.
Secara etimologis “muhkam” berasal dari “Ihkam”yang menurut Al-Zarqaini
mempunyai berbagai konotasi namun mengacu pada satu pengertian yaitu
“Al-man’u”yang berarti mencegah. Jika diartikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an itu
disusun secara rapi dan kokoh, sedikitpun tidak ada cela untuk mengkritiknya
dari sudut mana pun karena, baik kata-kata penepatannya dalam kalimat maupun
susunan-susunan dalam kalimatnya sangat rapi dan kokoh serta tepat dan akurat.
Seperti dalam firman Allah Q.S Hud Ayat 1: Artinya :”Alif laam raa,
(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci”.
Maksudnya: diperinci atas
beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu
pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
Kata “mutasyabih”dalam bahasa Indonesia diartikan
“mirip” atau “samar-samar”. Juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya
membawa kapada ketidak pastian atau ragu (iltibas). Kondisi inilah yang
dijumpai dalam ayat Al-Qur’an. Sangking miripnya ayat yang satu dengan ayat
yang lain. Maka tidak dapat dibedakan antara masing-masing ayat tersebut karena
semuanya berbeda pada level yang sama dari segi balaqahnya. Kemukjizatannya,
kebenaran informasi yang dibawanya penempatan kata yang akurat dan susunan
kalimat yang kokoh, sehingga hal ini pun mampu menimbulkan keraguan bagi yang
membacanya. Pengertian lughawi ini terdapat dalam firman Allah surat Al Zumar
ayat 23: Artinya: “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik
(yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.
Berdasarkan pengertian secara lughawi Nampak bahwa kedua
istilah diatas saling mendukung (tidak bertentangan). Artinya ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut tersusun dengan rapi dan kokoh hingga tanpak dan terasa sekali pada
keseluruhan ayat-ayat nya tanpa kecuali, sehingga pada kesemua ayat ini memiliki
daya tarik dan I’jaz yang sama.
Pengertian Menurut Istilah,
secara istilah terdapat perbedaan yang sangat
tajam diantara keduanya. Hal ini seperti yang difirmankan dalam surat Al- Imron
ayat 7 yang artinya:”dialah Allah yang telah menurunkan kepadamu al-kitab (Al-Qur’an).
Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat: itulah pokok-pokok (isi) Al-Qur’an
(Al-kitab). Dan yang lain (Ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di
dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti pengertian yang
samar-samar dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu dengan tujuan untuk
menimbulkan fitnah (kegaduhan, mala peteka dan sebagainya) dikalangan umat dan
untuk mencari-cari takwilnya;padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mengatakan kami
mempercayai sepenuhnya bahwa semua itu datang dari tuhan kami. Dan hanya yang
dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat itu) adalah mereka yang
berakal.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa kedua istilah
memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah
atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan
kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang
diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut As-Suyuti, muhkam adalah
sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi muhkam
adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan
mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal,
memerlukan takwil dan sulit dipahami.
3. Menurut Mnna’ Al-Qathathan,
muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa
memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu, ia
memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa:
Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz
maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang
yang memahaminya. Sedangan
ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum
jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global)
dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga
bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui
maknanya setelah melakukan pentakwilan.
B.
Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikatagorikan menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Mutasabih dari segi lafadz, yang dibagi menjadi dua:
a. Kosakata Tunggal مفردات
Kekaburan makna pada suatu kosa kata biasanya disebabkan
kata tersebut tidak bias dipakai غريب atau lafadz itu mempunyai banyak konotasi مشترك Contoh
I kekaburan arti karena tidak biasa dipakai. Lafadz didalam ayat 31 dari surat
Abasa: وفاكهة وابا sahabat utama Rasul yakni Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat
menjelaskan maksud kata tersebut.
Contoh II, kekaburan arti disebutkan banyak-banyak konotasi:
lafadz يمين yang
menunjuk kepada “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah” dalam ayat 93
surat Al-sfakat فراغ عليهم ضربا باليمين . kata يمين dalam ayat tersebut konotasinya tidak jelas. Apakah berarti “tangan
kanan” atau “kekuatan”. Keduanya terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan
kata tersebut dengan tangan “kanan”, maka maksud ayat itu adalah “ Nabi Ibrahim
memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanannya tanpa alat”. Dan
apabila diartikan dengan “kekuatan”, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim
memukul berhala-berhala tersebut dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya
dengan tangan kanan langsung atau dengan alat-alat pemukul lainya.
Contoh lain lafal قروء dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: Kata قروء dalam bahasa Arab dapat berarti “suci” dan
dapat pula berarti “haid” mereka yang memahami lafal قروء dalam pengertian “suci” maka
akan menetapkan. Bahwa idah wanita terletak ialah tiga kali suci, sebaliknya
mereka yang meyakini kata قروء itu berkonotasi “haid” maka akan mengistinbatkan huku darinya bahwa
ialah wanita yang tertalak telah tiga kali haid. Inilah salah satu sebab yang
membuat ulama berbeda penetapan hukum.
b. Pola susunan kalimat ترتيب terbagi menjadi dua:
Mutasyabih karena terlalu “padat” nya ungkapan.
Misalnya, ayat 3 dari surat Al-Nisa’: Sepintas tidak jelas maksud
ungkapan tersebut, terutama hubungan antara berlaku adil terhadap anak yatim
dengan perintah menikahi wanita. Menurut Al-Zarqani perlu diberi penjelasan
sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
c. Susunan kata kurang berurutan.
Misal lafadz قيما
dalam ayat 1-2 dari surat Al-kahfi: Dari segi
logika pemikiran, kata tersebut seyogyanya ditempatkan setelah
lafadz الكتاب karena afal قيما merupakan “keterangan” sifat yang menjelaskan tentang keadaan الكتاب itu sendiri. Dengan
ditempatkan jauh darinya, bahkan masuk pada ayat tersebut. Dari itu bila
kata قيما itu
didekatkan dengan الكتاب maka susunanya akan menjadi: Artinya:“segala puji bagi Allah
yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab yang lurus, dan tidak pernah ada
penyimpangan didalamnya.”
Sementara kekaburan maksud sebuah ungkapan yang
dikarenakan terlalu panjang kalimat, sementara makna yang ikandungnya sedikit.
Ternyata setelah diamati bersama hal itu tidak mengakibatkan kekaburan makna.
Dalam hal ini Al- Zarqoni mengemukakkan contoh Ayat 11 dari As-syura’ : ليس كمثله شي . “tidak ada yang serupa
yang mirip dengan Allah sesuatu juapun”. Dan sudut kebebasan semata, barangkali
ungkapan كمثله tersebut memang terasa agak janggal, dan membuat konotasinya menjadi
kabur karena ك (adat
tasybih)berarti مثل jadi كمثله sama artinya dengan مثل مثله .
Sehingga dengan begitu ungkapan “ليس كمثله شي” itu sama dengan “ليس مثل مثله شي” jadi dari segi
kebahasaan ungkapan semacam itu merupakan pemborosan kata. Namun bila
direnungkan secara mendalam maka akan dirasakan bahwa ungkapan Al-Qr’an itulah
yang tepat. Karena yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini adalah menanamkan
keyakinan ke dalam hati sanubari umat manusia bahwa jangankan yang serupa
dengan-Nya. Bahkan yang serupa dengan yang semisal engan-NYa pun tidak ada.
Jadi ayat tersebut emberikan informasi yang sangat tepat dan lebih mendalam
tentang kondisi ketuhanan Allah yang dengan sangat jauh antara Dia dengan
makhluk-Nya.
2. Mutasyabih Dari Segi Makna
Terjadi tasyabuh terhadap pengertian yang terkandung
oleh suatu ayat, biasanya aat-ayat yang menginformasikan berita-berita ghoib
seperti sifat-sifat Tuhan, malaikat, kondisi akherat seumpama surge, neraka,
hari kiamat dan sebagainya. Semua itu tidak jelas bagi siapapun belum ada yang
mengalaminya, sehingga yang diinformasikan oleh Al-Qur’an tidak bias
dibayangkan secara tepat dan actual dalam benak kita.
Contoh-contoh dari pertanyaan diatas antara lain seperti
nash-nash yang engimformasikan tentang Tuhan, seperti يد الله فوق ايديهم (الفتاح 10)
“Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka.”الرحمن
علي الاعرش استوي (طه : 5) (Ar-rahman bersila
dfiatas Arasy), dan sebagainya. Pengertian semua itu samar-samar dan semua bagi
kita. Tidak ada yang tahu hakekat yang sebenarnya dibalik ungkapan
trsebut. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa semua yang diinformasikan tuhan
tentang dari –Nya dan All-Qur’an atau adist Nabi dan sebagainya adalah
symbol-simbol semu yang tidak diketahui oleh manusia hakikat sebenarnya di
balik symbol-simbol tersebut, meskipun Tuhan menyatakan secara tegas :” Dia
punya tangan, Dia bersila diatas ‘Arsy dan seterusnya, namun semua keterangan
itu tak sama dengan yang ada dalam presepsi manusia. Kondisi inilah yang
membuat pengertian ayat-ayat tersebut menjadi kabur bagi kita.
- Lafal dan Makna
Menurut Al-roaghib al-Ishfatani, kkaburan yang dilihat
dari segi makna dan lafal tersebut dapat dilihat dari lima asek, yaitu
kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya perbuatan.
Hal ini dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 189 : )dan bukanlah kebaikan itu
bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya). Kata Al-zarqani, ungkapan
itu sulit sekali dipahami. Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan
menambahkan setelah lafal “ ان كنتم محرمين
بحج او عمرة”. Dengan demikian ayat itu mengandung
pemahaman;” dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari
belakangnya jika kamu dalam keadan ihram pada waktu pelaksanaan haji atau
umrah. Meskipun telah diberi penjelasan. Namun masih tetap belu rumah. Madar
jika ihram membuat pintu (lubang) dibelakang Lalu mereka keluar dari belakang
tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat: Dari gambaran tersebut
tampak kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal
dan makna sekaligus.
C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda
berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang
berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan
para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya.
Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan
dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis
besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1)
Menerima
tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara
apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak
mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah.
Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil
tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada
Allah semata.
2)
Menerima
dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan
ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam
menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat
mutasyabihat tersebut. namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi
pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat
mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Ulama Khalaf inipun dibagi menjadi dua kelompok, yang
pertama dipelopori oleh Abu Al- Hasan al-Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat
mutasyabihat itu sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya)tanpa
diketahui maksudnya secara tegas (pasti). Kelompok dua menakwilkan ayat-ayat
mutasyabihat itu sesuai dengan makna tau sifat-sifat yang dimaklumi oleh
manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang
terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat kepada mmakna yang dipahami manusia,
tapi pantas dengan keagunggan Allah ditinjau dari segi logika dan agama.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan
contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
a) Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki
arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
b) Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki
arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
c) Qs. Al-An’am ayat 61 yang
memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas
hamba-hamba-Nya.”
d) Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang
memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
e) Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki
arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
f) Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki
arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
g) Qs. Ali imon ayat 28, yang
artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.”
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang
sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating diatas, sisi, wajah,
mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut
menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang
misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit
dipahami akan maksud yang sebenarnya.
BAB IV
QIRA'AT
Istilah qiraat yang biasa digunakan adalah dialek atau
cara pengucapan. Contoh yang paling sering adalah imaalah. Sebagian orang Arab
mengucapkan vocal ‘e’ sebagai ganti dari ‘a, pada beberapa lafadz Al-Quran.
Misalnya ucapan ‘wadh-dhuhee wallaili idza sajee. Maa wadda’aka rabuka wa maa
qolee … .
Ini adalah sebuah bentuk qiraat, di mana masing-masing
imam punya beberapa lafadz bacaan yang berbeda. Namun di dalam mushaf yang kita
pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Kecuali kalau kita
menelusuri kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya kita akan menemukan
penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafadz itu.
Sedangkan masalah perbedaan melagukan bacaan Al-Quran,
tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat ini. Khusus untuk masalah melagukan
Al-Quran, biasanya dijelaskan dalam nagham. yaitu seni melantunkan Al-Quran. Nagham
ini sendiri sebenarnya merupakan seni, bukan disiplin ilmu. Tepatnya seni
melantunkan bacaan Al-Quran. Rupanya, dari berbagai wilayah negeri Islam
berkembang seni membaca Al-Quran. Dalam pelajaran nagham, kita mengenal ada
jenis-jenisnya, seperti Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba, Rast, Jaharkah, Sika
dan lainnya. Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu
qiraat sab’ah. Semata-mata hanya seni melantunkan, tidak ada kaitannya dengan
bagaimana melafadzkan ayat Al-Quran.
Umumnya para pembaca Al-Quran dari Mesir yang membawa
seni baca Al-Quran ke negeri kita. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan
beragam variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang
seringkali diperlombakan di even musabaqah tilawatil quran . Meski bukan
satu-satunya jenis perlombaan, tetapi biasanya yang paling mencuat memang
masalah seni membaca.
Sedangkan bacaan
qiraat sab’ah justru merupakan cabang ilmu Al-Quran yang
bersifat syar’i. Bahkan dalam banyak hal, perbedaan qiraat ini pun berpengaruh
kepada perbedaan makna dan kesimpulan hukum. Sedangkan seni baca Al-Quran, sama
sekali di luar hal ini. Sebab tujuannya adalah menyuguhkan bacaan Al-Quran
seindah mungkin.
BAB V
MUHASABAH
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiapb diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Hasyr: 18)
A.
Pengertian Muhasabah
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya
menghisab atau menghitung.Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan
dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri. Dari
firman Allah di atas tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan
muhasabah supaya hari esok akan lebih baik.
B.
Urgensi Muhasabah
Hari berganti hari, demikian juga dengan bulan dan
tahun. Kalau kita memperhatian pergantian waktu ini, sesungguhnya kehidupan
dunia makin lama makin menjauh sedang pada kesempatan yang sama kehidupan
akhirat makin mendekat.
Kita perhatikan keadaan di lingkungan tempat kita kerja
dan di tengah keluarga, apakah masih tetap ? Secara jujur kita harus jawab
tidak, kemana mereka? Sebagian karena sudah meninggal, Apakah yang meninggal
hanya mereka? Jawabnya tentu tidak. Kitapun pasti akan meninggal.
Firman Allah dalam Al Qur’an : “Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati“ (Q.S. Ali Imran:185), kemudian sesudah mati
kita akan dihidupkan kembali, sebagaimana firman-Nya : Sesungguhnya kamu akn
dibangkitkan sesudah mati“ (QS. Huud: 7) Untuk apa ? Untuk mempertanggung
jawabkan semua amal perbuatan kita, baik yang burhubungan dengan ibadah maupun
amaliah.
Maka dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai
dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat
kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan
penilaiannya dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya
bukan berdasarkan keinginan diri sendiri.
Oleh karena itu melakukan muhasabah atau introspeksi
diri merupakan hal yang sangat penting untuk menilai apakah amal perbuatannya
sudah sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan
menjadi baik.
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan
berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).
C.
Aspek-aspek yang perlu dimuhasabahi
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56). Berdasarkan ayat di atas,
maka yang harus dimuhasabahi meliputi seluruh aspek kehidupan kita, baik yang Berhubungan
dengan Allah (ubudiyah) maupun hubungan dengan sesama manusia (muamalah) yang
mengandung nilai ibadah.
1.
Aspek
Ibadah yang berhubungan dengan Allah
Dalam pelaksanaan ibadah ini harus sesuai dengan
ketentuan dalam Al-Quran dan Rosul-Nya. Dalam hal ini Rasulluh SAW telah
bersabda : “Apabila ada sesuatu urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahui. Dan
apabila ada urusan agamamu, maka rujuklah kepadaku “. (HR. Ahmad)
2.
Aspek
Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek ke dua ini sering dilupakan bahkan ditinggalkan
dan ditakpedulikan. Karena aspek ini diangggap semata-mata urusan duniawi yang tidak
memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya.
3.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
‘Tidak akan bergerak telapak kaki ibnu Adam pada hari
kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya,
masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke
mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’(HR. Turmudzi)
4.
Aspek
Kehidupan Sosial
Aspek kehidupan sosial dalam artian hubungan muamalah,
akhlak dan adab dengansesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat
penting sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits,
Rasulullah saw. bersabda: ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu ?’
BAB VI
AMSAL
Dalam Al-Quran banyak kita temui ayat-ayat yang menggunakan
gaya bahasa perumpamaan. Baik yang menyangkut peringatan, kabar gembira maupun
sindiran terhadap manusia. Bahasa perumpamaan itu digunakan dalam Al-Quran,
tidak lain agar manusia selalu ingat terhadap isi pesan yang disampaikan Allah
SWT. Salah satu bahasa perumpamaan itu dapat kita temui dalam QS. Ibrahim:
24-25, ”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan
seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat.”
Kalau kita telaah dan renungkan makna perumpamaan ayat
tersebut, sungguh agung dan dalam artinya. Yakni pohon yang baik itu tidak lain
adalah pohon kurma. Akarnya teguh sebagaimana dasar tauhid yang telah terhunjam
ke dalam hati. Cabangnya menjulang tinggi, menandakan bahwa cabang iman, amal
shalih dan ihsan adalah akan naik ke atas langit. Demikian pula, laksana pohon
kurma yang daun-daunnya tidak jatuh berguguran, maka seorang mukmin diharapkan
tidak berubah imannya karena hawa nafsu.
Lebih jauh, sifat pohon kurma ini jika dicabangkan, ia
akan bercabang banyak dan tiap cabangnya itu akan berbuah. Begitu pun seorang
mukmin jika dididik, maka ia akan terdidik dengan baik. Artinya, bila
diperbaiki moral dan akhlaknya, maka ia akan terbentuk dengan baik.
Sementara itu, pohon kurma memiliki madu yang jernih dan
minumannya adalah memberi kesembuhan. Hal ini memberi perlambang bahwa seorang
mukmin hendaknya ide-idenya adalah memberi kesembuhan dan nasehat-nasehatnya
itu laksana obat. Begitu pun dengan kebaikannya terlihat segera, sementara
keburukannya begitu jarang nampak.
Akhirnya, tidak berlebihan bila Fudhail bin Iyadh
mengatakan, ”Seorang mukmin adalah sedikit bicara, banyak bekerja. Sementara
orang munafik adalah banyak bicara dan sedikit beramal.”
Firaman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bagi mereka surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.” (QS.
Al-Buruuj 85:11).
Penggambaran surga dengan sungai-sungai yang mengalir di
bawahnya tentulah penggambaran yang sangat “dirindukan” oleh bangsa Arab yang
hidup di gurun pasir dengan air dan tumbuh-tumbuhan yang terbatas.
Contoh perumpamaan/pemisalan “mitsil” mengenai surga di
atas secara implisit menjelaskan bahwa kondisi surga itu seperti suatu “tempat
yang kita rindukan” kenikmatan dan keindahannya dan tidak ada di “dunia kita”.
Itulah pelajaran yang kita dapatkan dari perumpamaan ini. Dan Allah memang
sengaja menuliskan banyak perumpamaan agar manusia mendapat pelajaran.
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam
Al Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (QS.
Az-Zumar 39:27). Pelajaran dari Al-Qur’an itu telah dibuat mudah oleh Allah.
Dan Allah telah menjaminnya dengan mengatakannya 4 kali di ayat 17, 22, 32 dan
40 surah al-Qamar.
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al- Qur’an
untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS.
Al-Qamar 54: 17, 22, 32 dan 40).
Berdasarkan contoh kasus di atas, ternyata memang mudah memahami
“mitsil” mengenai “surganya bangsa Arab”. Dan ini pun berlaku untuk
mitsil-mitsil lainnya, karena Allah telah menuliskan kata matsala (مثل), berikut
perubahan-perubahannya, di 130 ayat. Tapi, untuk memahami semua mitsil yang
terdapat di dalam Al-Qur’an, apakah memang harus selalu menggunakan “kacamata”
budaya dan bahasa Arab?.
Mitsil untuk Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat, Untuk
memahami dan menyadari kapankah saat yang tepat menggunakan metoda mitsil untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an, perhatikanlah QS. Ali Imran 3:7. “Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamaat
itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam kalbunya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran 3:7)
Pada QS. Ali Imran 3:7 ini disebutkan bahwa pokok-pokok
isi Al-Qur’an disebut “muhkamaat”, yang berasal dari kata dasar “hakama” atau
hukum. Sementara kita ketahui bersama, bahwa bahasa hukum haruslah memiliki
hanya satu arti saja. Tidak boleh ada pemahaman lain selain apa yang tertulis.
Sehingga untuk hal-hal “muhkamaat” ini tertutuplah pintu perbedaan pemahaman.
Tidak ada pintu untuk perumpamaan atau pemisalan. Semuanya telah jelas secara
tekstual. Sehingga ayat-ayat muhkamaat hanya dapat menggunakan “kacamata”
budaya dan bahasa Arab saja. Inilah inti dari penjelasan QS. Asy-Syu’araa
26:198-199 yang telah ditampilkan sebelumnya.
Sedangkan kata “mutasyabihat” berasal dari kata
“tasyabaha” atau “tasyabuh”, yang artinya mirip/sama/ seperti. Sehingga untuk
ayat-ayat “mutasyabihat” sangat terbuka perbedaan pendapat. Pendapat (takwil)
yang keluar dari kalbu yang condong kepada kesesatan dapat
menimbulkan fitnah karena tidak sesuai dengan takwil yang Allah tetapkan dan
hanya Dia yang mengetahui takwil tersebut. Manusia pun diberi ijin oleh Allah
untuk mengetahui (mengambil pelajaran) takwil ayat-ayat “mutasyabihat” ini.
Tentu saja tidak semua manusia. Hanya u’lul albaab saja, yaitu orang-orang yang
mendalam ilmunya dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Atau, menurut QS.
Ali Imran 3:191-194, yaitu orang-orang yang mengingat Allah (beribadah atau
beramal) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi serta menyadari dan mengakui
kebesaran Allah di dalam do’a dan perkataannya. Juga menyadari dan mengakui
betapa tiada berarti diri mereka dibandingkan dengan Allah sehingga mereka pun
beriman seraya memohon ampunan kepada Allah agar terbebas dari siksa neraka.
Karena itulah, untuk mengetahui ayat-ayat mutasyabihat
kita wajib menjadi u’lul albaab agar pendapat/takwil kita terhadap ayat-ayat
Allah mendapat petunjuk langsung dari Allah berupa ayat-ayat kauniah seperti
disebutkan dalam QS. Ali Imran 3:190. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi
orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran 3:190)
Atau pun berupa al-Hikmah, langsung dari Allah. “Allah
menganugrahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah
itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya u’lul
albaab yang dapat mengambil pelajaran” (QS. al-Baqarah 2:269)
Memahami Mitsil Menggunakan Bahasa Universal, Pengalaman
mengikuti beberapa seminar/ simposium/kongres ilmiah baik secara lokal,
regional ataupun internasional telah menyadarkan kami tentang adanya bahasa
universal di lingkungan ilmiah. Dan untuk selanjutnya kami sebut bahasa ilmiah (scientific
language) sebagai bahasa universal. Biasanya istilah bahasa ilmiah ini
dinisbatkan kepada ilmu Matematika. Maka dengan menggunakan ilmu matematika ini
telah banyak saudara-saudara kita sesama Muslim yang berhasil mengungkapkan
banyak informasi keilmuan dari dalam Al-Qur’an. Dan dikenallah istilah
Matematika Al-Qur’an atau Numerik Al-Qur’an.
Bahasa ilmiah yang dimaksudkan di sini tidak saya
berasal dari ilmu matematika saja, tapi juga berbagai ilmu dasar lainnya yang
sudah diakui kebenarannya di kalangan masyarakat ilmiah. Di sini kita
menggunakan pemahaman Bahasa Ilmiah untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sebagai
perumpamaan atau mitsil. Sebagai contoh, QS. Al-Hadiid 57:12 berikut ini:
“Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin
laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya.” Itulah
keberuntungan yang banyak.” (QS. Al-Hadiid 57:12)
Ayat 12 surah al-Hadiid di atas, jika dikaitkan dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita mendapatkan informasi tentang kondisi
mu’minin dan mu’minat ketika memasuki alam akherat kelak. Mereka diberi berita
gembira tentang surga yang akan mereka dapatkan adalah keuntungan yang banyak
sebagai pahala atas semua amal kebaikan mereka. Tapi tidak ada penjelasan
langsung mengenai cahaya apa yang dimaksud dalam “… sedang cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”. Apakah “cahaya mereka” itu?
Dan kenapa cahaya itu bersinar hanya di hadapan dan sebelah kanan mereka?
Apakah cahaya itu berupa sinar pelita?
Di dalam kitab Taisirul alliyatul qadir li
ikhtishari tafsir Ibnu Katsir atau Syarah Tafsir Ibnu Katsir yang ditulis
oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’i disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut.
Dikatakan oleh Ibnu Mas’ud (riwayat ini turut pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dan Ibnu Jarir) ketika menafsirkan “… sedang cahaya mereka bersinar di
hadapan mereka …”, katanya: “Sesuai dengan amal mereka, akan melintasi
jembatan. Di antara mereka ada yang cahayanya seperti gunung. Ada pula yang
seperti pohon kurma dan ada pula yang seperti seorang-orang laki normal yang
tengah berdiri tegak. Yang paling rendah adalah orang-orang yang cahayanya
terdapat pada ibu jari mereka; terkadang bercahaya dan terkadang padam.” Selanjutnya,
“… dan cahaya di sebelah kanan mereka …”, adh-Dhahak mengatakan: “Maksudnya,
di sebelah kanan mereka terdapat catatan-catatan amal mereka, sebagaimana
firman-Nya: فأمّا من ٲوتى كتٰبه بيمينه (maka bagi siapa saja yang dihadirkan kitabnya dari arah
kanannya, 84:7). Selanjutnya Allah berfirman, “… pada hari ini ada berita
gembira untukmu, surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai …”, yaitu kamu
berhak untuk digembirakan dengan surga-surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. “… yang kamu kekal di dalamnya …”, tinggal di sana untuk
selama-lamanya. “… itulah keberuntungan yang banyak.”
Pada intinya, ayat tersebut (diikuti ayat-ayat
selanjutnya sampai ke ayat 15) mengisahkan keadaan dan dialog orang-orang
beriman dan orang-orang munafik di alam akherat. Allah membimbing kaum mu’minin
menuju surga menggunakan cahaya yang hanya dapat dilihat oleh mereka, sementara
kaum munafiq tidak dapat melihat cahaya itu sehingga mereka tertinggal dan
masuk ke neraka.
BAB VII
'IJAZ Al-QUR'AN
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an
untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?. Kitab suci Al-Qur'an penuh keistimewaan dan merupakan mu’jizat yang
diberikan kepada nabi Muhammad Saw. Nabi Akhir Zaman yang pada beliau
telah sempurna agama ini dan menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat
manusia untuk menjalani kehidupan. Kita sering merasa memahami Al-Qur'an
bukanlah hal yang mudah, apalagi bahasanya yang memang berbeda dengan bahasa
Indonesia, tetapi itulah keindahannya, ketika kita tilawah kita sedang berusaha
untuk berdialog dengan Allah SWT.
Jika kita amati ayat diatas, ternyata ayat tersebut
didalam surat Al Qamar diulang sebanyak 4 kali yaitu pada ayat 17, 22, 32, dan
40. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Allah menjanjikan kemudahan bagi kita
untuk mempelajari Al-Qur'an, baik dalam mempermudah pembacaan maupun memahami
pengertian yang penuh ibarat dan tamsil (membuat pemisalan perumpamaan), serta
untuk kita jadikan pelajaran dan direnungkan.
Ibarat komunikasi, jika salah dialek saja maka orang
yang sedang berkomunikasi dengan kita bisa tidak paham apa maksud kita, salah
arti atau yang lebih fatal bisa salah makna. Al-Qur'an langsung diturunkan
sebagai firman Allah SWT.
Saat tilawah adalah saat kita berkomunikasi dengan
Allah. Agar komunikasi berjalan dua arah, perlu kita perbaiki bacaan kita,
mulai dari makharijul (cara keluar) huruf dan penggunaan tajwid
yang benar.
Sekali lagi mari kita dalami makna ayat di atas, bahwa
tak ada kesukaran ketika kita memang sungguh-sungguh memahaminya. Dan ayat
tersebut terbukti pada kemudahan dari keunikan yang ada pada Al-Qur'an cetakan
Timur Tengah atau sering disebut Al-Qur'an Utsmani atau Al-Qur'an Madinah.
Al-Qur'an Madinah merupakan Al-Qur'an standar yang
dipakai di seluruh dunia. Pada Al-Qur'an tersebut, kita dibantu untuk tidak
perlu hafal huruf dalam hukum tajwid seperti ikhfa, ’idgham
dan idzhar. Karena terdapat beberapa tanda yang mempermudah kita dalam
membacanya.
Pada Al-Qur'an Madinah, hukum idzhar dimana
dibaca jelas dan tidak ghunnah (mendengung) ditandai dengan nun
mati yang diatasnya ada tanda sukun, kemudian untuk fat-ha-tain dan kasrah-tain
kalau diperhatikan bentuk garisnya sejajar, sementara itu untuk dhammah
bentuknya seperti angka enam sembilan.
Bacaan Idzhar
Berbeda dengan ikhfa’ dibaca samar antara idgham
dan idzhar disertai ghunnah, sehingga pada Al-Qur'an Madinah
ditandai dengan nun mati yang tidak ada tanda sukun diatasnya dan
tanda fat-ha-tain serta kasrah-tain jika diperhatikan tidak
sejajar bentuknya, sementara itu untuk dhammah bentuknya seperti angka
sembilan-sembilan.
Bacaan Ikhfa'
Sementara untuk idgham yang dibagi dua: idgham
sempurna dan tidak sempurna juga memiliki ciri khas tertentu pada Al-Qur'an
Madinah. Idgham sempurna adalah memasukkan huruf setelahnya dengan sempurna
sehingga huruf pertama hilang makhraj dan sifatnya, dan idgham tidak
sempurna adalah memasukkan huruf pertama dimana masih ada sifatnya.
Idgham sempurna
ditandai dengan tanda seperti ikhfa’ tetapi setelah tanda baca bertemu
huruf yang ber-tasydid. Sedangkan yang tidak sempurna hurufnya tidak
ber-tasydid setelah tanda baca.
Bacaan Idgham
Belajar hukum tajwid memang fardhu kifayah,
tetapi hukum praktiknya adalah fardhu ‘ain. Di setiap lantunan ayat
Al-Qur'an yang kita baca, ada do’a pengharapan, ada peringatan, dan ada hikmah
yang perlu dipelajari dan direnungkan. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk
merasa sulit, tetapi kesungguhan yang diperlukan. Janji Allah yang mempermudah
kita dalam mempelajarinya terbukti dari tanda-tanda yang unik yang membuat kita
mudah untuk membacanya.
Ibnu `Abbas berkata: “Andaikata Allah tidak memudahkan
Al-Qur'an bagi lidah manusia, niscaya tidak seorang pun dari manusia yang dapat
berbicara dengan pembicaraan Allah.”
Untuk mengenal Al-Qur'an dengan lebih dekat melalui
menghafalnya, maka diperlukan perbaikkan bacaan yang tiada henti, selain itu
tak lupa untuk mengajarkan kembali apa yang sudah dipelajari. Belajar makharijul
(cara keluar) huruf hijaiyah sesuai haqnya memang sulit,
tetapi kesulitan itu akan berakhir pada kemudahan kita membacanya dengan
sempurna seperti bacaan Rasulullah shalallahu alaihi was salam.
Ibadah adalah cinta dan kesungguhan. Jadi, jangan pernah
lelah untuk meletakkan kata-kata itu dalam hati kita dan menjadikannya pelecut
ibadah dan amal. Sesungguhnya, Al-Qur'an itu mudah untuk dipelajari.
BAB VIII
METODOLOGI PENAFSIRAN
AL-QUR'AN
A. Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri
dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti,
sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan
arah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan
dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau
Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara
yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan
dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan
sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang
benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an
terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti
menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu
yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika
berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika
dalam keadaan tersusun.
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan
sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam
memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an
adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari
ayat.
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran
dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan
dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa
kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran
yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.
B.
Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
- Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang
menjelaskannya masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an
berdasarkan urutan ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga
dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang
intelek.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini
mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti,
mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan
hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode
Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan
Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts
Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir
karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.
a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh
dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada
aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak
hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih
ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat
ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas
dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang
kita baca adalah kitab tafsirnya.
b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini
mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis
dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan
bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada
permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari
kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk Al-Qur’an
bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis
yang memadai.
- Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka
atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan
bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan
makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat,
hubungan surat, asbabun nuzul,
hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir
terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily
ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf
dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat
diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a). Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian
keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai
penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1
yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi
dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan
untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir Al-Qur’an
dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat
Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b). Pendekatan bi
Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan,
qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad
yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa
diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an
atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa
yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya)
tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang
keliru dan tercela”.
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan
pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah
yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2).
Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4).
Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang
berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan
Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara
tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat
itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang
buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang
dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta
hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni
Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara
lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang
ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an
yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak
ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya
adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang
ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an
memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten karena adanya perbedaan,
akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran
yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an
sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu
adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud
al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya
al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.
- Metode Maqarin (Komparatif atau
Perbandingan)
Maqarin adalah
membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an
dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan
hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik,
yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang
berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan
hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif),
yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana
ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya
bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda
dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di
dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat.
keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat
yang dijadikan objek bahasan.
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan
wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui
berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan
kekurangan dari metode maqarin, yaitu; Tidak
cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer,
menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.
4. Metode
Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya
topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya
tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir
mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat
atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua
bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh
dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta
menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat
terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu
kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang
diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara
menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh
tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan
judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua
Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun.
Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat
tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat
tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih
berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat
Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir,
baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara
tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui
kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang
ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua
persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis,
sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu;
memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.
BAB IX
HERMENETIKA AL-QUR'AN
Penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang
biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi
pengarangnya. Yang paling menarik membedakan konsep takwil dalam tradisi
keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat.
Nasr Hamid mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam
bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk
memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu
menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi
Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan
terminologi.
Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat,
lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman
teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat
al-takwil.[1]
Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan
al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan
sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna -
al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika, Sebenarnya tidaklah
sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil
dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat. Pertama,
dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama.
Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi
hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti
pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam
kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah
keilmuan kita yang telah mapan. Kedua,
dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika
lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan
khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi
sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan
dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Al-Qur'an. Tidak ada alternatif
pemahaman selain bahwa Al-Qur'an, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari
Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada"
(loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Al-Qur'an tidak pernah
dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal: pertama Al-Qur'an sendiri
dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi.
Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan
kata-kata dari Al-Qur'an. Kedua Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di
tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Al-Qur'an tetap terjaga
seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Al-Qur'an
mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit
tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan
kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun
yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme
Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte
sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem
pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para
ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban.
Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan
kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.
Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan
cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas
realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk
dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks
dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang
jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan
mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran
kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh
otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai
pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas
keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi
keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu;
"mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai
takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan
stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam
upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil
Qur'an).
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam
yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun
telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang
melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya
sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan
suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara
bahasa, adat dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih
makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem
keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan
arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam
'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang
lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari
deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau
"gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan
untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja
hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih
dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi
dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu
dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa
batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal, Penulis setuju
dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi
keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi
patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah)
dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat
penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu
makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan
kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal
(perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan
Kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang
luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga
'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik
yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai
memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari
kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan
ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan
dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang
dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan
takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan
dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah
dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah,
2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad
XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam
Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas
Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Abu Anwar, Ulumul Qur’an.
(Pekan baru: Ambah, 2002).
Subhi As-Sholih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1990).
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta:
Pustaka belajar, 2005).
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998).
Muhdir Kathim Syanehchi, dkk. Al-Qur’an Buku yang Menyesasatkan
dan Buku yang Mencerahkan. (Jakarta: Gugus Press, 2002)
Al-Subri Soleh, Terjemah pustaka firdaus, Mabahits fi
ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar