Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 November 2015

Ulumul Qur'an Pengantar Umum Oleh Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Setiap kitab agama apapun di dunia ini pastilah ditulis menggunakan huruf tertentu dan bahasa tertentu pula. Demikian pula dengan Al-Qur’an yang ditulis menggunakan huruf dan bahasa Arab.
Firman Allah yang artinya:“Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab yang nyata (1). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (2). Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum-nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui (3). (QS. Yusuf 12: 1-3)
Berdasarkan wahyu Allah di atas, terutama ayat 2, berkembanglah berbagai pemikiran dan pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk memahami Al-Qur’an adalah dengan menguasai bahasa Arab. Maka berbondong-bondonglah ummat Islam di dunia ini belajar bahasa Arab, termasuk pula mempelajari kebudayaannya. Hal ini menjadi suatu keharusan karena secara “masuk akal”, Al-Qur’an yang menggunakan huruf dan bahasa Arab diturunkan di dalam lingkungan masyarakat yang juga berkebudayaan Arab serta penerima wahyu (Nabi Muhammad) yang juga berbangsa Arab. Andaikan Al-Qur’an yang berhuruf dan berbahasa Arab diturunkan kepada golongan manusia bukan Arab tentulah tidak akan dimengerti oleh golongan ini dan tidak akan diimani.
ولو نزلناه على بعض الأعجمين, فقرأه عليهم ما كانوا به مؤمنين
Artinya: “Dan kalau Al Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab (198), lalu ia membacakannya kepada mereka; niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (199). (QS. Asy-Syu’araa 26:198-199).

.
BAB II
ASBABUN NUZUL

Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Asbabun nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada rasulullah SAW untuk mengetahui hukm suatu masalah, sehingga Qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Asbabun nuzul mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Al-Qur’an diturunkan untuk memahamipetunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimana kepada allah SWT dan risalah-Nya, sebagian besar qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah SWT.

A.      Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat Al-Qur’an, macam-macamnya, sight (redaksi-redaksinya), tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya.
Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.

B.  Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Aisyah pernah mendengar ketika khaulah binti sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh suaminya aus bin samit katanya: “ Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu, aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni aus bin samit.
“Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena tidak semua ayat qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat allah dalam kehidupan pribadi dan social.
Definisi asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat Al-Qur’an terhadap dua kelompok: Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab, dan kedua, adalah kelompok yang turun dengan sebab tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban dari syariat agama turun tanpa asbabun nuzul.
Sahabat ali ibn mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan; Pertama, dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya. Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka, bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari semua ayat yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para periwayat menambah dalam periwatnya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi, sejalan dengan itu al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang suatu (kejadian) maka hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Asbabun Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.

C.  Macam-Macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (Murajjih) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (Murajjih). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat (Murajjih) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.

D.  Pengetahuan Tentang Asbabun Nuzul
Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat Al-Qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua Al-Qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an melalui tiga cara:
1. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
2. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
3. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; 1). Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui (hukum) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. 2). Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, (ayat yang menyangkut kisah dalam Al-Qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah Al-Qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.


E.  Faedah Asbabun Nuzul
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui Al-Qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr (pembatasan).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya).
6. Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.


BAB III
MUHKAM DAN MUTASYABIH

Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an ada kalanya yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat Al-Qur’an seperti itu dinamakan muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan pada makna yang jelas dan tegas.  maka ayat yang demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Untuk lebih jelasnya, maka akan saya uraikan lebih rinci mengenai muhkam wal mutasyabih sesuai pengetahuan dan informasi yang saya peroleh.

A.      Pengertia
Muhkam wal mutasyabih berasal dari bahasa Arab محكم dan  متشابه. Secara etimologis “muhkam” berasal dari “Ihkam”yang menurut Al-Zarqaini mempunyai berbagai konotasi namun mengacu pada satu pengertian yaitu “Al-man’u”yang berarti mencegah. Jika diartikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an itu disusun secara rapi dan kokoh, sedikitpun tidak ada cela untuk mengkritiknya dari sudut mana pun karena, baik kata-kata penepatannya dalam kalimat maupun susunan-susunan dalam kalimatnya sangat rapi dan kokoh serta tepat dan akurat. Seperti dalam firman Allah Q.S Hud Ayat 1: Artinya :”Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci”.
Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
Kata “mutasyabih”dalam bahasa Indonesia diartikan “mirip” atau “samar-samar”. Juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kapada ketidak pastian atau ragu (iltibas). Kondisi inilah yang dijumpai dalam ayat Al-Qur’an. Sangking miripnya ayat yang satu dengan ayat yang lain. Maka tidak dapat dibedakan antara masing-masing ayat tersebut karena semuanya berbeda pada level yang sama dari segi balaqahnya. Kemukjizatannya, kebenaran informasi yang dibawanya penempatan kata yang akurat dan susunan kalimat yang kokoh, sehingga hal ini pun mampu menimbulkan keraguan bagi yang membacanya. Pengertian lughawi ini terdapat dalam firman Allah surat Al Zumar ayat 23: Artinya: “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.
Berdasarkan pengertian secara lughawi Nampak bahwa kedua istilah diatas saling mendukung (tidak bertentangan). Artinya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tersusun dengan rapi dan kokoh hingga tanpak dan terasa sekali pada keseluruhan ayat-ayat nya tanpa kecuali, sehingga pada kesemua ayat ini memiliki daya tarik dan I’jaz yang sama.
Pengertian Menurut Istilah, secara istilah terdapat perbedaan yang sangat tajam diantara keduanya. Hal ini seperti yang difirmankan dalam surat Al- Imron ayat 7 yang artinya:”dialah Allah yang telah menurunkan kepadamu al-kitab (Al-Qur’an). Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat: itulah pokok-pokok (isi) Al-Qur’an (Al-kitab). Dan yang lain (Ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti pengertian yang samar-samar dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah (kegaduhan, mala peteka dan sebagainya) dikalangan umat dan untuk mencari-cari takwilnya;padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mengatakan kami mempercayai sepenuhnya bahwa semua itu datang dari tuhan kami. Dan hanya yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat itu) adalah mereka yang berakal.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa kedua istilah memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut As-Suyuti, muhkam adalah sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.
3. Menurut Mnna’ Al-Qathathan, muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih  tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.Sedangan ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.

B.  Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Mutasabih dari segi lafadz, yang dibagi menjadi dua:
a. Kosakata Tunggal مفردات
Kekaburan makna pada suatu kosa kata biasanya disebabkan kata tersebut tidak bias dipakai غريب atau lafadz itu mempunyai banyak konotasi مشترك Contoh I kekaburan arti karena tidak biasa dipakai. Lafadz didalam ayat 31 dari surat Abasa: وفاكهة وابا sahabat utama Rasul yakni Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat menjelaskan maksud kata tersebut.
Contoh II, kekaburan arti disebutkan banyak-banyak konotasi: lafadz يمين yang menunjuk kepada “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah” dalam ayat 93 surat Al-sfakat فراغ عليهم ضربا باليمين . kata يمين dalam ayat tersebut konotasinya tidak jelas. Apakah berarti “tangan kanan” atau “kekuatan”. Keduanya terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan kata tersebut dengan tangan “kanan”, maka maksud ayat itu adalah “ Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanannya tanpa alat”. Dan apabila diartikan dengan “kekuatan”, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya dengan tangan kanan langsung atau dengan alat-alat pemukul lainya.
Contoh lain lafal قروء dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: Kata قروء dalam bahasa Arab dapat berarti “suci” dan dapat pula berarti “haid” mereka yang memahami lafal قروء dalam pengertian “suci” maka akan menetapkan. Bahwa idah wanita terletak ialah tiga kali suci, sebaliknya mereka yang meyakini kata قروء itu berkonotasi “haid” maka akan mengistinbatkan huku darinya bahwa ialah wanita yang tertalak telah tiga kali haid. Inilah salah satu sebab yang membuat ulama berbeda penetapan hukum.

b. Pola susunan kalimat ترتيب terbagi menjadi dua:
Mutasyabih karena terlalu “padat” nya ungkapan. Misalnya, ayat 3 dari  surat Al-Nisa’: Sepintas tidak jelas maksud ungkapan tersebut, terutama hubungan antara berlaku adil terhadap anak yatim dengan perintah menikahi wanita. Menurut Al-Zarqani perlu diberi penjelasan sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”

c. Susunan kata kurang berurutan.
Misal lafadz  قيما dalam ayat  1-2 dari surat Al-kahfi: Dari segi logika pemikiran, kata tersebut seyogyanya ditempatkan setelah lafadz  الكتاب karena afal قيما merupakan “keterangan” sifat yang menjelaskan tentang keadaan الكتاب itu sendiri. Dengan ditempatkan jauh darinya, bahkan masuk pada ayat tersebut. Dari itu bila kata قيما itu didekatkan dengan  الكتاب maka susunanya akan menjadi: Artinya:“segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab yang lurus, dan tidak pernah ada penyimpangan didalamnya.”
Sementara kekaburan maksud sebuah ungkapan yang dikarenakan terlalu panjang kalimat, sementara makna yang ikandungnya sedikit. Ternyata setelah diamati bersama hal itu tidak mengakibatkan kekaburan makna. Dalam hal ini Al- Zarqoni mengemukakkan contoh Ayat 11 dari As-syura’ : ليس كمثله شي . “tidak ada yang serupa yang mirip dengan Allah sesuatu juapun”. Dan sudut kebebasan semata, barangkali ungkapan  كمثله tersebut memang terasa agak janggal, dan membuat konotasinya menjadi kabur karena ك (adat tasybih)berarti مثل jadi كمثله sama artinya dengan مثل مثله .
Sehingga dengan begitu ungkapan “ليس كمثله شي” itu sama dengan “ليس مثل مثله شي” jadi dari segi kebahasaan ungkapan semacam itu merupakan pemborosan kata. Namun bila direnungkan secara mendalam maka akan dirasakan bahwa ungkapan Al-Qr’an itulah yang tepat. Karena yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini adalah menanamkan keyakinan ke dalam hati sanubari umat manusia bahwa jangankan yang serupa dengan-Nya. Bahkan yang serupa dengan yang semisal engan-NYa pun tidak ada. Jadi ayat tersebut emberikan informasi yang sangat tepat dan lebih mendalam tentang kondisi ketuhanan Allah yang dengan sangat jauh  antara Dia dengan makhluk-Nya.

2. Mutasyabih Dari Segi Makna
Terjadi tasyabuh terhadap pengertian yang terkandung oleh suatu ayat, biasanya aat-ayat yang menginformasikan berita-berita ghoib seperti sifat-sifat Tuhan, malaikat, kondisi akherat seumpama surge, neraka, hari kiamat dan sebagainya. Semua itu tidak jelas bagi siapapun belum ada yang mengalaminya, sehingga yang diinformasikan oleh Al-Qur’an tidak bias dibayangkan secara tepat dan actual dalam benak kita.
Contoh-contoh dari pertanyaan diatas antara lain seperti nash-nash yang engimformasikan tentang Tuhan, seperti يد الله فوق ايديهم (الفتاح 10) “Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka.”الرحمن علي الاعرش استوي (طه : 5) (Ar-rahman bersila dfiatas Arasy), dan sebagainya. Pengertian semua itu samar-samar dan semua bagi kita. Tidak ada yang  tahu hakekat yang sebenarnya dibalik ungkapan trsebut. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa semua yang diinformasikan tuhan tentang dari –Nya dan All-Qur’an atau adist Nabi dan sebagainya adalah symbol-simbol semu yang tidak diketahui oleh manusia hakikat sebenarnya di balik symbol-simbol tersebut, meskipun Tuhan menyatakan secara tegas :” Dia punya tangan, Dia bersila diatas ‘Arsy dan seterusnya, namun semua keterangan itu tak sama dengan yang ada dalam presepsi manusia. Kondisi inilah yang membuat pengertian ayat-ayat tersebut menjadi kabur bagi kita.

  1. Lafal dan Makna
Menurut Al-roaghib al-Ishfatani, kkaburan yang dilihat dari segi makna dan lafal tersebut dapat dilihat dari lima asek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya perbuatan. Hal ini dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 189 : )dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya). Kata Al-zarqani, ungkapan itu sulit sekali dipahami. Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan menambahkan setelah lafal “ ان كنتم محرمين بحج او عمرة”. Dengan demikian ayat itu mengandung pemahaman;” dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya jika kamu dalam keadan ihram pada waktu pelaksanaan haji atau umrah. Meskipun telah diberi penjelasan. Namun masih tetap belu rumah. Madar jika ihram membuat pintu (lubang) dibelakang Lalu mereka keluar dari belakang tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat: Dari gambaran tersebut tampak kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal dan makna sekaligus.

C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya.
Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1)      Menerima tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.
2)      Menerima dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Ulama Khalaf inipun dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama dipelopori oleh Abu Al- Hasan al-Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya)tanpa diketahui maksudnya secara tegas (pasti). Kelompok dua menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan makna tau sifat-sifat yang dimaklumi oleh manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat kepada mmakna yang dipahami manusia, tapi pantas dengan keagunggan Allah ditinjau dari segi logika dan agama.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
a) Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
b) Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
c) Qs. Al-An’am ayat 61 yang memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.”
d) Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
e) Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
f) Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
g) Qs. Ali imon ayat 28, yang artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.”
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating diatas, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya.

BAB IV
QIRA'AT

Istilah qiraat yang biasa digunakan adalah dialek atau cara pengucapan. Contoh yang paling sering adalah imaalah. Sebagian orang Arab mengucapkan vocal ‘e’ sebagai ganti dari ‘a, pada beberapa lafadz Al-Quran. Misalnya ucapan ‘wadh-dhuhee wallaili idza sajee. Maa wadda’aka rabuka wa maa qolee … .
Ini adalah sebuah bentuk qiraat, di mana masing-masing imam punya beberapa lafadz bacaan yang berbeda. Namun di dalam mushaf yang kita pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Kecuali kalau kita menelusuri kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya kita akan menemukan penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafadz itu.
Sedangkan masalah perbedaan melagukan bacaan Al-Quran, tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat ini. Khusus untuk masalah melagukan Al-Quran, biasanya dijelaskan dalam nagham. yaitu seni melantunkan Al-Quran. Nagham ini sendiri sebenarnya merupakan seni, bukan disiplin ilmu. Tepatnya seni melantunkan bacaan Al-Quran. Rupanya, dari berbagai wilayah negeri Islam berkembang seni membaca Al-Quran. Dalam pelajaran nagham, kita mengenal ada jenis-jenisnya, seperti Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba, Rast, Jaharkah, Sika dan lainnya. Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat sab’ah. Semata-mata hanya seni melantunkan, tidak ada kaitannya dengan bagaimana melafadzkan ayat Al-Quran.
Umumnya para pembaca Al-Quran dari Mesir yang membawa seni baca Al-Quran ke negeri kita. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang seringkali diperlombakan di even musabaqah tilawatil quran . Meski bukan satu-satunya jenis perlombaan, tetapi biasanya yang paling mencuat memang masalah seni membaca.
Sedangkan bacaan qiraat sab’ah justru merupakan cabang ilmu Al-Quran yang bersifat syar’i. Bahkan dalam banyak hal, perbedaan qiraat ini pun berpengaruh kepada perbedaan makna dan kesimpulan hukum. Sedangkan seni baca Al-Quran, sama sekali di luar hal ini. Sebab tujuannya adalah menyuguhkan bacaan Al-Quran seindah mungkin.


BAB V
MUHASABAH

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiapb diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hasyr: 18)

A.      Pengertian Muhasabah
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau menghitung.Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri. Dari firman Allah di atas tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan muhasabah supaya hari esok akan lebih baik.

B.       Urgensi Muhasabah
Hari berganti hari, demikian juga dengan bulan dan tahun. Kalau kita memperhatian pergantian waktu ini, sesungguhnya kehidupan dunia makin lama makin menjauh sedang pada kesempatan yang sama kehidupan akhirat makin mendekat.
Kita perhatikan keadaan di lingkungan tempat kita kerja dan di tengah keluarga, apakah masih tetap ? Secara jujur kita harus jawab tidak, kemana mereka? Sebagian karena sudah meninggal, Apakah yang meninggal hanya mereka? Jawabnya tentu tidak. Kitapun pasti akan meninggal.
Firman Allah dalam Al Qur’an : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati“ (Q.S. Ali Imran:185), kemudian sesudah mati kita akan dihidupkan kembali, sebagaimana firman-Nya : Sesungguhnya kamu akn dibangkitkan sesudah mati“ (QS. Huud: 7) Untuk apa ? Untuk mempertanggung jawabkan semua amal perbuatan kita, baik yang burhubungan dengan ibadah maupun amaliah.
Maka dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan penilaiannya dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan berdasarkan keinginan diri sendiri.
Oleh karena itu melakukan muhasabah atau introspeksi diri merupakan hal yang sangat penting untuk menilai apakah amal perbuatannya sudah sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).



C.  Aspek-aspek yang perlu dimuhasabahi
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56). Berdasarkan ayat di atas, maka yang harus dimuhasabahi meliputi seluruh aspek kehidupan kita, baik yang Berhubungan dengan Allah (ubudiyah) maupun hubungan dengan sesama manusia (muamalah) yang mengandung nilai ibadah.

1.      Aspek Ibadah yang berhubungan dengan Allah
Dalam pelaksanaan ibadah ini harus sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Rosul-Nya. Dalam hal ini Rasulluh SAW telah bersabda : “Apabila ada sesuatu urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahui. Dan apabila ada urusan agamamu, maka rujuklah kepadaku “. (HR. Ahmad)

2.      Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek ke dua ini sering dilupakan bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan. Karena aspek ini diangggap semata-mata urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya.

3.       Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
‘Tidak akan bergerak telapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’(HR. Turmudzi)

4.      Aspek Kehidupan Sosial
Aspek kehidupan sosial dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengansesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu ?’




BAB VI
AMSAL

Dalam Al-Quran banyak kita temui ayat-ayat yang menggunakan gaya bahasa perumpamaan. Baik yang menyangkut peringatan, kabar gembira maupun sindiran terhadap manusia. Bahasa perumpamaan itu digunakan dalam Al-Quran, tidak lain agar manusia selalu ingat terhadap isi pesan yang disampaikan Allah SWT. Salah satu bahasa perumpamaan itu dapat kita temui dalam QS. Ibrahim: 24-25, ”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Kalau kita telaah dan renungkan makna perumpamaan ayat tersebut, sungguh agung dan dalam artinya. Yakni pohon yang baik itu tidak lain adalah pohon kurma. Akarnya teguh sebagaimana dasar tauhid yang telah terhunjam ke dalam hati. Cabangnya menjulang tinggi, menandakan bahwa cabang iman, amal shalih dan ihsan adalah akan naik ke atas langit. Demikian pula, laksana pohon kurma yang daun-daunnya tidak jatuh berguguran, maka seorang mukmin diharapkan tidak berubah imannya karena hawa nafsu.
Lebih jauh, sifat pohon kurma ini jika dicabangkan, ia akan bercabang banyak dan tiap cabangnya itu akan berbuah. Begitu pun seorang mukmin jika dididik, maka ia akan terdidik dengan baik. Artinya, bila diperbaiki moral dan akhlaknya, maka ia akan terbentuk dengan baik.
Sementara itu, pohon kurma memiliki madu yang jernih dan minumannya adalah memberi kesembuhan. Hal ini memberi perlambang bahwa seorang mukmin hendaknya ide-idenya adalah memberi kesembuhan dan nasehat-nasehatnya itu laksana obat. Begitu pun dengan kebaikannya terlihat segera, sementara keburukannya begitu jarang nampak.
Akhirnya, tidak berlebihan bila Fudhail bin Iyadh mengatakan, ”Seorang mukmin adalah sedikit bicara, banyak bekerja. Sementara orang munafik adalah banyak bicara dan sedikit beramal.”
Firaman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Buruuj 85:11).
Penggambaran surga dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya tentulah penggambaran yang sangat “dirindukan” oleh bangsa Arab yang hidup di gurun pasir dengan air dan tumbuh-tumbuhan yang terbatas.
Contoh perumpamaan/pemisalan “mitsil” mengenai surga di atas secara implisit menjelaskan bahwa kondisi surga itu seperti suatu “tempat yang kita rindukan” kenikmatan dan keindahannya dan tidak ada di “dunia kita”. Itulah pelajaran yang kita dapatkan dari perumpamaan ini. Dan Allah memang sengaja menuliskan banyak perumpamaan agar manusia mendapat pelajaran.
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (QS. Az-Zumar 39:27). Pelajaran dari Al-Qur’an itu telah dibuat mudah oleh Allah. Dan Allah telah menjaminnya dengan mengatakannya 4 kali di ayat 17, 22, 32 dan 40 surah al-Qamar.
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al- Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar 54: 17, 22, 32 dan 40).
Berdasarkan contoh kasus di atas, ternyata memang mudah memahami “mitsil” mengenai “surganya bangsa Arab”. Dan ini pun berlaku untuk mitsil-mitsil lainnya, karena Allah telah menuliskan kata matsala (مثل), berikut perubahan-perubahannya, di 130 ayat. Tapi, untuk memahami semua mitsil yang terdapat di dalam Al-Qur’an, apakah memang harus selalu menggunakan “kacamata” budaya dan bahasa Arab?.
Mitsil untuk Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat, Untuk memahami dan menyadari kapankah saat yang tepat menggunakan metoda mitsil untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, perhatikanlah QS. Ali Imran 3:7. “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam kalbunya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran 3:7)
Pada QS. Ali Imran 3:7 ini disebutkan bahwa pokok-pokok isi Al-Qur’an disebut “muhkamaat”, yang berasal dari kata dasar “hakama” atau hukum. Sementara kita ketahui bersama, bahwa bahasa hukum haruslah memiliki hanya satu arti saja. Tidak boleh ada pemahaman lain selain apa yang tertulis. Sehingga untuk hal-hal “muhkamaat” ini tertutuplah pintu perbedaan pemahaman. Tidak ada pintu untuk perumpamaan atau pemisalan. Semuanya telah jelas secara tekstual. Sehingga ayat-ayat muhkamaat hanya dapat menggunakan “kacamata” budaya dan bahasa Arab saja. Inilah inti dari penjelasan QS. Asy-Syu’araa 26:198-199 yang telah ditampilkan sebelumnya.
Sedangkan kata “mutasyabihat” berasal dari kata “tasyabaha” atau “tasyabuh”, yang artinya mirip/sama/ seperti. Sehingga untuk ayat-ayat “mutasyabihat” sangat terbuka perbedaan pendapat. Pendapat (takwil) yang keluar dari kalbu  yang  condong kepada kesesatan dapat menimbulkan fitnah karena tidak sesuai dengan takwil yang Allah tetapkan dan hanya Dia yang mengetahui takwil tersebut. Manusia pun diberi ijin oleh Allah untuk mengetahui (mengambil pelajaran) takwil ayat-ayat “mutasyabihat” ini. Tentu saja tidak semua manusia. Hanya u’lul albaab saja, yaitu orang-orang yang mendalam ilmunya dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Atau, menurut QS. Ali Imran 3:191-194, yaitu orang-orang yang mengingat Allah (beribadah atau beramal) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi serta menyadari dan mengakui kebesaran Allah di dalam do’a dan perkataannya. Juga menyadari dan mengakui betapa tiada berarti diri mereka dibandingkan dengan Allah sehingga mereka pun beriman seraya memohon ampunan kepada Allah agar terbebas dari siksa neraka.
Karena itulah, untuk mengetahui ayat-ayat mutasyabihat kita wajib menjadi u’lul albaab agar pendapat/takwil kita terhadap ayat-ayat Allah mendapat petunjuk langsung dari Allah berupa ayat-ayat kauniah seperti disebutkan dalam QS. Ali Imran 3:190. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran 3:190)
Atau pun berupa al-Hikmah, langsung dari Allah. “Allah menganugrahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya u’lul albaab yang dapat mengambil pelajaran” (QS. al-Baqarah 2:269)
Memahami Mitsil Menggunakan Bahasa Universal, Pengalaman mengikuti beberapa seminar/ simposium/kongres ilmiah baik secara lokal, regional ataupun internasional telah menyadarkan kami tentang adanya bahasa universal di lingkungan ilmiah. Dan untuk selanjutnya kami sebut bahasa ilmiah (scientific language) sebagai bahasa universal. Biasanya istilah bahasa ilmiah ini dinisbatkan kepada ilmu Matematika. Maka dengan menggunakan ilmu matematika ini telah banyak saudara-saudara kita sesama Muslim yang berhasil mengungkapkan banyak informasi keilmuan dari dalam Al-Qur’an. Dan dikenallah istilah Matematika Al-Qur’an atau Numerik Al-Qur’an.
Bahasa ilmiah yang dimaksudkan di sini tidak saya berasal dari ilmu matematika saja, tapi juga berbagai ilmu dasar lainnya yang sudah diakui kebenarannya di kalangan masyarakat ilmiah. Di sini kita menggunakan pemahaman Bahasa Ilmiah untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sebagai perumpamaan atau mitsil. Sebagai contoh, QS. Al-Hadiid 57:12 berikut ini:
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya.” Itulah keberuntungan yang banyak.” (QS. Al-Hadiid 57:12)
Ayat 12 surah al-Hadiid di atas, jika dikaitkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita mendapatkan informasi tentang kondisi mu’minin dan mu’minat ketika memasuki alam akherat kelak. Mereka diberi berita gembira tentang surga yang akan mereka dapatkan adalah keuntungan yang banyak sebagai pahala atas semua amal kebaikan mereka. Tapi tidak ada penjelasan langsung mengenai cahaya apa yang dimaksud dalam “… sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka …”. Apakah “cahaya mereka” itu? Dan kenapa cahaya itu bersinar hanya di hadapan dan sebelah kanan mereka? Apakah cahaya itu berupa sinar pelita?
Di dalam kitab Taisirul alliyatul qadir li ikhtishari tafsir Ibnu Katsir atau Syarah Tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’i disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut. Dikatakan oleh Ibnu Mas’ud (riwayat ini turut pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir) ketika menafsirkan “… sedang cahaya mereka bersinar di hadapan mereka …”, katanya: “Sesuai dengan amal mereka, akan melintasi jembatan. Di antara mereka ada yang cahayanya seperti gunung. Ada pula yang seperti pohon kurma dan ada pula yang seperti seorang-orang laki normal yang tengah berdiri tegak. Yang paling rendah adalah orang-orang yang cahayanya terdapat pada ibu jari mereka; terkadang bercahaya dan terkadang padam.” Selanjutnya, “… dan cahaya di sebelah kanan mereka …”, adh-Dhahak mengatakan: “Maksudnya, di sebelah kanan mereka terdapat catatan-catatan amal mereka, sebagaimana firman-Nya: فأمّا من ٲوتى كتٰبه بيمينه (maka bagi siapa saja yang dihadirkan kitabnya dari arah kanannya, 84:7). Selanjutnya Allah berfirman, “… pada hari ini ada berita gembira untukmu, surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai …”, yaitu kamu berhak untuk digembirakan dengan surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. “… yang kamu kekal di dalamnya …”, tinggal di sana untuk selama-lamanya. “… itulah keberuntungan yang banyak.”
Pada intinya, ayat tersebut (diikuti ayat-ayat selanjutnya sampai ke ayat 15) mengisahkan keadaan dan dialog orang-orang beriman dan orang-orang munafik di alam akherat. Allah membimbing kaum mu’minin menuju surga menggunakan cahaya yang hanya dapat dilihat oleh mereka, sementara kaum munafiq tidak dapat melihat cahaya itu sehingga mereka tertinggal dan masuk ke neraka.

BAB VII
'IJAZ Al-QUR'AN

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?. Kitab suci Al-Qur'an penuh keistimewaan dan merupakan mu’jizat yang diberikan kepada nabi Muhammad Saw. Nabi Akhir Zaman yang pada beliau telah sempurna agama ini dan menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk menjalani kehidupan. Kita sering merasa memahami Al-Qur'an bukanlah hal yang mudah, apalagi bahasanya yang memang berbeda dengan bahasa Indonesia, tetapi itulah keindahannya, ketika kita tilawah kita sedang berusaha untuk berdialog dengan Allah SWT.
Jika kita amati ayat diatas, ternyata ayat tersebut didalam surat Al Qamar diulang sebanyak 4 kali yaitu pada ayat 17, 22, 32, dan 40. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Allah menjanjikan kemudahan bagi kita untuk mempelajari Al-Qur'an, baik dalam mempermudah pembacaan maupun memahami pengertian yang penuh ibarat dan tamsil (membuat pemisalan perumpamaan), serta untuk kita jadikan pelajaran dan direnungkan.
Ibarat komunikasi, jika salah dialek saja maka orang yang sedang berkomunikasi dengan kita bisa tidak paham apa maksud kita, salah arti atau yang lebih fatal bisa salah makna. Al-Qur'an langsung diturunkan sebagai firman Allah SWT.
Saat tilawah adalah saat kita berkomunikasi dengan Allah. Agar komunikasi berjalan dua arah, perlu kita perbaiki bacaan kita, mulai dari makharijul (cara keluar) huruf dan penggunaan tajwid yang benar.
Sekali lagi mari kita dalami makna ayat di atas, bahwa tak ada kesukaran ketika kita memang sungguh-sungguh memahaminya. Dan ayat tersebut terbukti pada kemudahan dari keunikan yang ada pada Al-Qur'an cetakan Timur Tengah atau sering disebut Al-Qur'an Utsmani atau Al-Qur'an Madinah.
Al-Qur'an Madinah merupakan Al-Qur'an standar yang dipakai di seluruh dunia. Pada Al-Qur'an tersebut, kita dibantu untuk tidak perlu hafal huruf dalam hukum tajwid seperti ikhfa, ’idgham dan idzhar. Karena terdapat beberapa tanda yang mempermudah kita dalam membacanya.
Pada Al-Qur'an Madinah, hukum idzhar dimana dibaca jelas dan tidak ghunnah (mendengung) ditandai dengan nun mati yang diatasnya ada tanda sukun, kemudian untuk fat-ha-tain dan kasrah-tain kalau diperhatikan bentuk garisnya sejajar, sementara itu untuk dhammah bentuknya seperti angka enam sembilan.
Bacaan Idzhar
Berbeda dengan ikhfa’ dibaca samar antara idgham dan idzhar disertai ghunnah, sehingga pada Al-Qur'an Madinah ditandai dengan nun mati yang tidak ada tanda sukun diatasnya dan tanda fat-ha-tain serta kasrah-tain jika diperhatikan tidak sejajar bentuknya, sementara itu untuk dhammah bentuknya seperti angka sembilan-sembilan.
Bacaan Ikhfa'
Sementara untuk idgham yang dibagi dua: idgham sempurna dan tidak sempurna juga memiliki ciri khas tertentu pada Al-Qur'an Madinah. Idgham sempurna adalah memasukkan huruf setelahnya dengan sempurna sehingga huruf pertama hilang makhraj dan sifatnya, dan idgham tidak sempurna adalah memasukkan huruf pertama dimana masih ada sifatnya.
Idgham sempurna ditandai dengan tanda seperti ikhfa’ tetapi setelah tanda baca bertemu huruf yang ber-tasydid. Sedangkan yang tidak sempurna hurufnya tidak ber-tasydid setelah tanda baca.
Bacaan Idgham

Belajar hukum tajwid memang fardhu kifayah, tetapi hukum praktiknya adalah fardhu ‘ain. Di setiap lantunan ayat Al-Qur'an yang kita baca, ada do’a pengharapan, ada peringatan, dan ada hikmah yang perlu dipelajari dan direnungkan. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk merasa sulit, tetapi kesungguhan yang diperlukan. Janji Allah yang mempermudah kita dalam mempelajarinya terbukti dari tanda-tanda yang unik yang membuat kita mudah untuk membacanya.
Ibnu `Abbas berkata: “Andaikata Allah tidak memudahkan Al-Qur'an bagi lidah manusia, niscaya tidak seorang pun dari manusia yang dapat berbicara dengan pembicaraan Allah.”
Untuk mengenal Al-Qur'an dengan lebih dekat melalui menghafalnya, maka diperlukan perbaikkan bacaan yang tiada henti, selain itu tak lupa untuk mengajarkan kembali apa yang sudah dipelajari. Belajar makharijul (cara keluar) huruf hijaiyah sesuai haqnya memang sulit, tetapi kesulitan itu akan berakhir pada kemudahan kita membacanya dengan sempurna seperti bacaan Rasulullah shalallahu alaihi was salam.
Ibadah adalah cinta dan kesungguhan. Jadi, jangan pernah lelah untuk meletakkan kata-kata itu dalam hati kita dan menjadikannya pelecut ibadah dan amal. Sesungguhnya, Al-Qur'an itu mudah untuk dipelajari.

BAB VIII
METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'AN

A.  Pengertian
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari dua (2) kata, meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah.
Dalam bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dua istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
Secara garis besar Tafsir Al-Qur’an dapat didifinisikan sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an . Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat.
Lebih rinci yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu. Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat penafsiran yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudu’i.

B.  Macam-macam Metode Penafsiran Al-Qur’an dan Pendekatannya
  1. Metode Ijmali (Global)
Tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Menurut Al-Farmawi adalah “Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan urutan  ayat dengan ringkas dan berbahasa sederhana, sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadits yang terkait.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Qur’an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina Al-Buhuts Al-Islamiyyat dan Tafsir Al-Jalalain serta tafsir Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.

a). Ciri-ciri Metode Ijmali
Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit.
Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.


b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Terkait dengan metode ijmali, tafsir dengan model ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antaralain; Praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran berbelit-belit, akrab dengan bahasa Al-Qur’an dan metode ini sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari tafsir, dan mereka yang sibuk dalam mencari kebutuhan untuk hidup. Sedangkan kelemahannya, antaralain; Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial dan tidak utuh, Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

  1. Metode Tahlili
Tahlili adalah membuka atau mendeskripsikan sesuatu, mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya. Artinya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir, ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat, hubungan surat, asbabun nuzul,  hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufassir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya.
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan. Metode ini dapat diaplikasikan dengan beberapa pendekatan.
a). Pendekatan Bi al-Matsur
Pendekatan Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan sunah nabawiyah.
Contoh Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang menjelaskan tentang “binatang ternak yang halal”. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) : 3 tentang “hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk di dalamnya binatang ternak yang haram”.Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha, Rasul menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
b).  Pendekatan bi Al-Ra’yu
Al-Ra’yu keyakinan, qiyas dan ijtihad, dengan akal (ma’qul). Ra’yu di sini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu bukanlah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan; “barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela”.
Sebagian ulama yang menerima penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu tetapi harus memenuhi beberapa syarat dan kaidah yang ketat, yaitu; (1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (3). Berakidah yang baik dan benar, (4). Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Contoh dari tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72) kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa “Setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam”. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah “buta mata”, akan tetapi “buta hati”. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas “bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati”.
Kelebihan metode tahlili dengan pendekatannya antara lain, yaitu; Ruang lingkup pembahasan luas, dapat menampung berbagai ide yang ada, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al-Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Kelemahannya adalah; Menjadikan petunjuk ayat Al-Qur’an yang ada bersifat parsial, hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten  karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip, melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif, hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.

  1. Metode Maqarin (Komparatif atau Perbandingan)
Maqarin adalah membandingkan antara dua hal, tafsir perbandingan. Artinya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Metode Maqarin diaplikasikan dengan beberapa teknik, yaitu; (1). Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (2). Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, (3). Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif), yaitu; Pertama Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip. Kedua Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama. Ketiga Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat. keempat Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.
Kelebihan metode maqarin, antara lain; Memberikan wawasan yang luas, membuka diri untuk selalu bersikap toleran, dapat mengetahui berbagai penafsiran, membuat mufasir lebih berhati-hati. Sedangkan kekurangan dari metode maqarin,  yaitu; Tidak cocok untuk pemula, Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.

4.    Metode Maudhu’i (Tematik)
Al-Mawdhu’i, artinya topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Artinya tafsir ayat Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari  yang lain-lain.
Tafsir ayat Al-Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk, yatu; Pertama Menafsirkan satu surat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua Menfasirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
Langkah yang digunakan dalam aplikasi metode Maudhu’i, yaitu; Pertama  Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Kedua Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihimpun. Ketiga Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat. Keempat Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kelima Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.
Kelebihan metode ini, yaitu; Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, lebih praktis dan sistematis, sangat dinamis, dan menafsirkannya lebih utuh. Sedangkan kekurangannya, yaitu; memenggal ayat Al-Qur’an, dan membatasi pemahaman ayat.


BAB IX
HERMENETIKA AL-QUR'AN

Penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya. Yang paling menarik membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat.
Nasr Hamid mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan terminologi.
Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat al-takwil.[1] Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna - al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika, Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat. Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.  Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Al-Qur'an. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Al-Qur'an, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada" (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Al-Qur'an tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal: pertama Al-Qur'an sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Al-Qur'an. Kedua Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Al-Qur'an tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Al-Qur'an mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan. Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu; "mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil Qur'an).
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam 'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau "gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal, Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan Kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga 'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.





DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekan Bar: Amzah, 2002).
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terjemah. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, 2010).
Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, Terjemah. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2007).
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Abu Anwar, Ulumul Qur’an. (Pekan baru: Ambah, 2002).
Subhi As-Sholih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990).
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2005).
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998).
Muhdir Kathim Syanehchi, dkk. Al-Qur’an Buku yang Menyesasatkan dan Buku yang Mencerahkan. (Jakarta: Gugus Press, 2002)
Rosihon Anwar, Ulum Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Al-Subri Soleh, Terjemah pustaka firdaus, Mabahits fi ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar