SEJARAH
PERADABAN ISLAM
MASA DAULAH
ABBASYIAH
MAKALAH
Dosen Pembimbing
Prof. Dr.
H. Farij Wajdi Ibrahim, MA
Disusun Oleh:
RIDWAN
Mahasiswa Pasca Sarjana
Jurusan Pendidikan Islam II
NIM. 23111303-2
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA
ACEH
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Peradaban Islam
merupakan produk muslim yang universal, artinya kumpulan budaya-budaya lokal,
daerah, negara bahkan benua yang tercatat positif sebagai peradaban manusia
karena memiliki tatanan kepemerintahan, perkebangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Berbicara Peradaban Islam pada
masa Daulah Abbasyiahlah puncak kejayaannya. Masa pemerintahan Daulah Abbasyiah
berlangsung sangat lama, sehingga sebahagian para sejarawan memilah
pembahasannya pada lima periode, sebahagian lagi memilahnya pada tiga periode. Penulis
lebih tertarik membahasnya dalam lima periode, dengan pertimbangan tatanan
pemerintahan, perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan sangatlah berbeda.
Berdasarkan latar belakang
permasalahan di atas penulis tertarik untuk lebih lanjut membahas panjang lebar
makalah ini yang berjudul "Sejarah
Peradaban Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah"
Penulisan makalah ini
menggunakan metode penelitian perpustakaan, setelah penulis menemukan bahan
dasar, maka penulis analisis dengan metode menghubungkan atau memilah serta
memilih permasalah sesuai dengan thema atau sub judul yang dibahas.
BAB II
PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH ABBASYIAH
A.
Sejarah Berdirinya Daulah
Abbasyiah
Dinasti Abbasiyah adalah
pemerintahan Islam yang berdiri setelah Dinasti Bani Umayyah hancur. Nama Abbasiyah
diambil dari nama paman nabi Muhammad SAW, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib
sebagai penghormatan yang diberikan kepadanya dari anak dan cucu beliau yang
berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, yaitu Daulah Islamiah Abbasiyah.
Penggagas pertama berdirinya
Dinasti Abbasiyah adalah Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Abdi
Manaf bin Hasyim, walaupun belum sempat mewujudkannya karena kekuasaan Bani
Umayyah telah mengubah sistem pemerintahan Islam demokratis menjadi turun-temurun,
karena itulah keturunan Bani Hasyim paling banyak dirugikan.[1]
Menjelang keruntuhan Daulah
Bani Umayyah menghadapi tiga golongan oposisi, yaitu; Pertama Kaum Bani Abbas, kedua
Kaum Mawali dan ketiga Kaum Syi’ah.
Bani Abbas memposisikan diri sebagai oposisi yang menyebarkan propaganda anti
pemerintahan Bani Umayyah. Kaum Syi’ah yang memiliki luka mendalam dan selalu
menuntut balas atas terbunuhnya Imam Ali
di Karbala secara keji. Kaum Mawali yang menuntut hak persamaan dan keadilan
dari pemerintahan Bani Umayyah dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurasani, beliau adalah
pemimpin kharismatik kaum Mawali atau masyarakat Muslim non Arab yang ada di
kota kufah dan Khurasan.[2]
Melihat pengaruh Ibrahim bin
Muhammad yang semakin kuat, Khalifah Marwan II menangkapnya untuk diasingkan
dan dibunuh. Abu Abbas dan Abu Ja’far dibantu Abu Muslim, menuntut balas atas
kematian Ibrahim bin Muhammad dengan menangkap Khalifah Marwan II di kota Al-Askar
dan dipenggal kepalanya.
Ali bin Abdullah memulai
usahanya anti Bani Umayyah sejak masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Azis
dan mendidik 12 kader untuk menyebarkan gerakan mendukung keluarga Nabi yang
diperlakukan tidak adil. Ali bin Abdullah, Muhammad bin Ali, dan Ibrahim bin
Muhammad merupakan inspirator berdirinya Daulah Abbasiyah. Mereka menyuarakan
propaganda anti pemerintahan Umayyah. Namun, ketiganya tidak sempat menyaksikan
berdirinya Daulah Abbasiyah karena semuanya telah wafat.[3]
Semboyan yang digunakan Abu
Muslim adalah Li Ar-Rida mim Ali Muhammad (demi keridaan
keluarga Nabi Muhammad SAW). Semua
usaha yang di gunakan Abu Muslim dalam menggulingkan Dinasti Umayyah ternyata
dibalas dengan pembunuhan atas dirinya
oleh Khalifah Al-Manshur.[4]
B.
Periode I Puncak Kejayaan, Pengaruh
Persia Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M)
Para ilmuan sejarah menyatakan
periode pertama Daulah Abbasyiah merupakan masa keemasan (puncak kejayaan),
sebab secara politik para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan mampu
menguasai kancah perpolitikan dengan kekuasaan penuh dan terpusat. Masa
pemerintahan pendiri pertama misalnya, walaupun berlangsung sangat singkat
(750-754 M), tetapi Abu Al-Abbas berhasil memainkan politik kudeta terhadap
Bani Umaiyah, bahkan ia dikenal sebagai Abu Al-Abbas “Assafah” penumpah darah
atau haus darah, beliau menghancurkan sehancur-hancurnya pemerintahan Bani
Umaiyah dan membantai seluruh pengikutnya bahkan samapai kuburan Bani
Umaiyahpun dihancurkan. [5]
Keberhasilan perpolitikan
periode pertama Daulah Abbasyiah tidak terlepas dari jasa Abu Ja’far Al-Manshur
(754-775) adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan, maka
sesungguhnya periode keemasan terjadi pada masa tujuh Khalifah berikutnya.
Selain memiliki wilayah yang sangat luas, daulah ini mencapai kemajuan
peradaban diberbagai bidang, yaitu ; Ilmu pengetahuan dan filsafat, seni
budaya, ekonomi, politik, militer, dan perekonomian. Para khalifah yang
memimpin Abbasiyah pada periode ini selain ahli dalam ketatanegaraan, politik,
dan pemerintahan, mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan, peradaban, dan
dikenal dekat dengan ulama (ilmuwan). Puncak popularitas daulah ini berada pada
masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). [6]
Para Khalifah
yang memimpin Daulah Abbasiyah periode pertama 9 orang, yaitu ; Abu Abbas As-Safah(132-136
H/750-754 M), Abu Ja’far Al-Manshur (136-158 H/754-775 M), Al-Mahdi (158-169 H/775-785
M), Musa Al-Hadi (169-170 H/785-786 M), Harun Ar-Rasyid (170-193 H/786-809 M), Al-Amin
(193-198 H/ 809-813 M), Abdullah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu’tasim
Billah (218-227 H/833-842 M) dan Al-Watsiq (227-232 H/842-847 M). [7]
C. Periode II Awal Kelemahan, Pengaruh Turki Pertama (232 H/847 M-334 H/945
M)
Periode ini
berlangsung selama 99 tahun, dipimpin oleh 13 khalifah. Periode ini bisa
dikatakan sebagai awal kelemahan Dinasti Abbasiyah. Kebijakan Khalifah
Al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M) terhadap unsur Turki dalam masalah
ketentaraan, pasukan tentara terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang
profesional. Banyak pula diantara orang Turki yang diberi jabatan Gubernur dan
panglima perang. Akibatnya tentara menjadi sangat dominan dan banyak memberikan
pengaruh pada khalifah. Khalifah Al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M) dan khalifah
sesudahnya yaitu Al-Watsiq (842-847 M) mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi,
Khalifah Al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M) yang merupakan khalifah awal
periode ini merupakan khalifah yang lemah. [8]
Pada masa ini
orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil
wafat. Merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sesuai kehendak mereka.
Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Khalifah Bani Abbas,
Walaupun mereka tetap berada pada jabatan khalifah. Keberadaannya hanya sebagai
simbul belaka. Sehingga kekuasaan Daulah Bani Abbas pada periode ini menjadi
lemah. Akibatnya banyak daerah kecil yang berusaha melepaskan diri dan tidak
mampu diatasi.[9]
Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah pada periode ini, yaitu ;
Pertama Luasnya wilayah yang harus
dikendalikan sedangkan organisasi dan komunikasi rapuh/lemah, kedua Ketergantungan kepada tentara sangat tinggi, sehingga menurun semangat
rakyat dalam membela negara dan ketiga Kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat tinggi. [10]
Pada periode
pemerintahan Abbasiyah II telah menunjukkan kelemahannya, karena orang-orang Turki
berpengaruh sangat kuat sehingga mereka berhasil berkuasa setelah Khalifah
Al-Mutawakkil. Karena semakin lemahnya Dinasti Abbasiyah, maka banyak daerah
kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.[11]
Periode
Dinasti Abbasiyah II dipimpin oleh 13 orang khalifah, yaitu ; Al-Mutawakkil
(232-247 H/847-861 M), Al-Muntashir (247-248 H/861-862 M), Al-Munta’in (248-252
H/862-866 M), Al-Mu’taz (252-255 H/866-869 M), Al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M),
Al-Mu’tamid(256-279 H/870-892 M), Al-Mu’tadhid (279-289 H/892-902 M), Al-Muktafi
(289-295 H/902-908 M), Al-Muqtadi (295-320 H/908-932 M), Al-Qahir (320-322
H/932-934 M), Al-Radhi (322-329 H/934-940 M), Al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M)
dan Al-Mustakfi (333-334 H/944-945 M).[12]
D. Periode III Pengaruh
Persia Kedua; Masanya Kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam Kepemerintahan Khalifah
(334 H/945 M-447 H/1055 M)
Pada periode
ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi, yaitu para
penganut aliran Syi’ah yang berhasil mendirikan dinasti di sebelah barat laut
Iran. Ketika kekuatan mereka bertambah besar, rakyat sepenuhnya dikuasai oleh
mereka. Orang-orang terkemuka di Baghdad mempersilakan mereka ke Baghdad.
Khalifah Al-Mustakfi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sejak
diangkatnya Khalifah Al-Mu’thi (334-364 H/46-974 M), kedudukan khalifah
benar-benar hanya sebagai boneka yang dikendalikan oleh Bani Buwaihi. Karena
itu, selama satu abad periode ini berlangsung, para khalifah tidak mampu
berbuat banyak untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Meskipun
demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami
kemajuan dalam periode ini. Pada masa ini muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi,
Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih. Bidang ekonomi, pertanian, dan
perdagangan juga mengalami kemajuan. [13]
Khalifah-khalifah
yang berkuasa pada periode ini, yaitu ; Al-Mu’thi (334-363 H/946-974 M), At-Thai
(363-381 H/974-991 M), Al-Qadir (381-422 H/991-1031 M), Al-Qayyim (422-467
H/1031-1075 M) dan Al-Muqtadi (467-487 H/1075-1094 M).[14]
Dinasti yang
dibangun oleh tiga bersaudara yaitu Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi, dan
Ahmad bin Buwaihi di sebelah Barat Laut Iran pada permulaan abad ke-10. Dinasti
ini menganut aliran Syi’ah. Meskipun Dinasti Abbasiyah berada dibawah kekuasaan
Bani Buwaihi, akan tetapi ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan, begitu
juga bidang ekonomi, pertanian dan perdagangan.[15]
E. Periode IV
Pengaruh Turki Kedua; Masanya Kekuasaan Bani Saljuk dalam Kepemerintahan
Khalifah (447 H/1055 M-590 H/1194 M)
Periode ini
berlangsung sekitar 164 tahun. Jika pada periode sebelumnya kekuasaan Abbasiyah
berada dibawah kendali Bani Buwaihi, maka pada periode ini kekuasaan berada
dibawah kendali kaum saljuk dari Turki. Saljuk adalah nama keluarga penguasa
suku-suku Oghuz di Turki. Namun saljuk adalah nama suku yang diambil sebagai
penghormatan atas nenek monyang mereka bernama Saljuk bin Yakak.
Kehadiran
Bani Saljuk di Bagdad sebenarnya atas undangan khalifah untuk menghilangkan
pengaruh Bani Buwaihi. Namun pengaruh mereka akhirnya tak terkendali, setelah
para khalifah Abbasiyah menempatkan mereka pada jabatan-jabatan penting
kerajaan. Seperti panglima perang,gubernur, dan Wazir (jabatan menteri dalam
suatu pemerintahan).
Puncak
pengaruh kaum Saljuk terhadap kekhalifahan Bani Abbas dimulai tahun 510 H/1116
M sampai tahun 656 H/1258 M ketika tentara Mongol membumi hanguskan Kota Bagdad
dan segala isinya yang menandai berakhirnya Dinasti Abbasiyah. [16]
Periode
Dinasti Abbasiyah IV dipimpin oleh 10 orang khalifah, yaitu ; Al-Mustadzir (487-521
H/1094-1118 M), Al-ustarsyid (521-529 H/1118-1135 M), Al-Rasyid (529-530 H/1135-1136
M), Al-Muktafi (530-555 H/1136-1160 M), Al-Mustanjid (555-566 H/1160-1170 M), Al-Mustadhi
(566-575 H/1170-1180 M), An Nasir (575-622 H/1180-1225 M), Az-Zahir (622-623
H/1225-1226 M), Al-Mustanhir (623-640 H/1226-1242 M) dan Al-Musta’shim (640-656
H/1242-1258 M).
G. Perkembangan Peradaban/Kebudayaan Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
Masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang cukup lama antara tahun 132-656 H/750-1258 Mememberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban Islam. Pada saat
itu, telah banyak kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini, sehingga Daulah
Abbasiyah menjadi pusat perhatian dunia dalam berbagai bidang. Perkembangan
peradaban yang terjadi pada saat itu melebihi perkembangan yang pernah dicapai
oleh dinasti sebelumnya, Dinasti Umayyah. Selain karena Dinasti Abbasiyah
merupakan kelanjutan dari Dinasti Umayyah, juga karena kebijakan Daulah
Abbasiyah yang lebih berorientasi kepada pembangunan peradaban dari pada
perluasan wilayah kekuasaan.
Para pemimpin
Dinasti Abbasiyah, terutama pada periode awal, merupakan khalifah khalifah yang
kuat secara politis dan memiliki perhatian besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Periode inilah yang berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan filsaft dalam dunia Islam. Sehingga pada masa Dinasti Bani
Abbas, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada masa dinasti
inilah banyak bermunculan ilmuan-ilmuan yang berkembang pada saat itu diantaranya,
yaitu ; Ilmu hukum Islam, filsafat, qira’at, mantik, sastra, matematika,
kedokteran, astronomi, dan astrologi. [17]
Periode awal
Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh para penguasa yang kuat secara politis dan
memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan karena asimilasi antara
bangsa arab dengan bangsa lain dan maraknya gerakan penerjemah bahasa asing ke
bahasa arab.
BAB III
KESIMPULAN
Zona politik terkesan kejam
dan menggunakan apasaja serta cara apa saja untuk mencapai sebuah tujuan, pada
masa akhir pemerintahan Umaiyah misalnya
tiga golongan oposisi, yaitu; Kaum Bani Abbas, Kaum Mawali dan Kaum
Syi’ah. Bani Abbas memposisikan diri sebagai oposisi yang menyebarkan
propaganda anti pemerintahan Bani Umayyah. Kaum Syi’ah yang memiliki luka
mendalam dan selalu menuntut balas atas
terbunuhnya Imam Ali di Karbala secara keji. Kaum Mawali yang menuntut
hak persamaan dan keadilan dari pemerintahan Bani Umayyah dipimpin oleh Abu
Muslim Al-Khurasani, beliau adalah pemimpin kharismatik kaum Mawali atau
masyarakat Muslim non Arab yang ada di kota kufah dan Khurasan.
Semboyan yang digunakan Abu
Muslim adalah Li Ar-Rida mim Ali Muhammad (demi keridaan
keluarga Nabi Muhammad SAW). Semua
usaha yang di gunakan Abu Muslim dalam menggulingkan Dinasti Umayyah ternyata
dibalas dengan pembunuhan atas dirinya
oleh Khalifah Al-Manshur.
Praktik demokratis dangan
mengedepan persamaan hak dalam musyawarah sering berujung dengan sistim
turun-temurun, hal ini menjada titik permasalah yang tidak dapat di abaikan.
Praktik glamor para penguasa
juga sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan karena kehilangan kepercayaan
dari rakyat
Praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme adalah hal utama yang menyebabkan kehancuran sebuah pemerintahan dari
puncak kejayaannya.
Pilar kedailan dan
mengedepankan ilmu pengetahuan yang mengukir sejarah peradaban manusia untuk
seluruh duni.
DAFTAR PUSTAKA
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Grafindo
persada, 2004)
Ahmad Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2009)
Badru Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994)
---------------,
Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah
II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Jendela, 1998)
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka Bani Quraiys, 2004)
Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat, (Yogyakarta: Jendela, 2002)
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publusher, 2007)
M. Ira Lapidus Ira, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian I dan II,
(Jakarta: Grafindo Persada, 1999)
Musyifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana,
2003)
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007)
Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media,
2005)
[1] Badru Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), h. 51
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Pradadaban Islam,
Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007), h. 43
[4] M. Ira Lapidus Ira, Sejarah
Sosial Ummat Islam Bagian I dan II, (Jakarta: Grafindo Persada, 1999), h.
37
[7] Musyifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik… h. 73
[11] Suwito Fauzan, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 61
[13] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 72
[14] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Grafindo persada, 2004), h. 57
[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Kelasik, (Jakarta: Kencana,
2004), h. 56
[16] Hasan Ibrahim, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Jendela, 1998), h. 112
[17] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam… h. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar