Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 November 2015

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA DAULAH ABBASYIAH Oleh Ridwan, MA

SEJARAH PERADABAN ISLAM
MASA DAULAH ABBASYIAH


MAKALAH


Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Farij Wajdi Ibrahim, MA


Disusun Oleh:


RIDWAN
Mahasiswa Pasca Sarjana
Jurusan Pendidikan Islam II
NIM. 23111303-2



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Peradaban Islam merupakan produk muslim yang universal, artinya kumpulan budaya-budaya lokal, daerah, negara bahkan benua yang tercatat positif sebagai peradaban manusia karena memiliki tatanan kepemerintahan, perkebangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berbicara Peradaban Islam pada masa Daulah Abbasyiahlah puncak kejayaannya. Masa pemerintahan Daulah Abbasyiah berlangsung sangat lama, sehingga sebahagian para sejarawan memilah pembahasannya pada lima periode, sebahagian lagi memilahnya pada tiga periode. Penulis lebih tertarik membahasnya dalam lima periode, dengan pertimbangan tatanan pemerintahan, perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan sangatlah berbeda.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas penulis tertarik untuk lebih lanjut membahas panjang lebar makalah ini yang berjudul "Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah"
Penulisan makalah ini menggunakan metode penelitian perpustakaan, setelah penulis menemukan bahan dasar, maka penulis analisis dengan metode menghubungkan atau memilah serta memilih permasalah sesuai dengan thema atau sub judul yang dibahas.

BAB II
PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH ABBASYIAH

A.    Sejarah Berdirinya Daulah Abbasyiah
Dinasti Abbasiyah adalah pemerintahan Islam yang berdiri setelah Dinasti Bani Umayyah hancur. Nama Abbasiyah diambil dari nama paman nabi Muhammad SAW, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib sebagai penghormatan yang diberikan kepadanya dari anak dan cucu beliau yang berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, yaitu Daulah Islamiah Abbasiyah.
Penggagas pertama berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf bin Hasyim, walaupun belum sempat mewujudkannya karena kekuasaan Bani Umayyah telah mengubah sistem pemerintahan Islam demokratis menjadi turun-temurun, karena itulah keturunan Bani Hasyim paling banyak dirugikan.[1]
Menjelang keruntuhan Daulah Bani Umayyah menghadapi tiga golongan oposisi, yaitu; Pertama Kaum Bani Abbas, kedua Kaum Mawali dan ketiga Kaum Syi’ah. Bani Abbas memposisikan diri sebagai oposisi yang menyebarkan propaganda anti pemerintahan Bani Umayyah. Kaum Syi’ah yang memiliki luka mendalam dan selalu menuntut balas atas  terbunuhnya Imam Ali di Karbala secara keji. Kaum Mawali yang menuntut hak persamaan dan keadilan dari pemerintahan Bani Umayyah dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurasani, beliau adalah pemimpin kharismatik kaum Mawali atau masyarakat Muslim non Arab yang ada di kota kufah dan Khurasan.[2]
Melihat pengaruh Ibrahim bin Muhammad yang semakin kuat, Khalifah Marwan II menangkapnya untuk diasingkan dan dibunuh. Abu Abbas dan Abu Ja’far dibantu Abu Muslim, menuntut balas atas kematian Ibrahim bin Muhammad dengan menangkap Khalifah Marwan II di kota Al-Askar dan dipenggal kepalanya.
Ali bin Abdullah memulai usahanya anti Bani Umayyah sejak masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Azis dan mendidik 12 kader untuk menyebarkan gerakan mendukung keluarga Nabi yang diperlakukan tidak adil. Ali bin Abdullah, Muhammad bin Ali, dan Ibrahim bin Muhammad merupakan inspirator berdirinya Daulah Abbasiyah. Mereka menyuarakan propaganda anti pemerintahan Umayyah. Namun, ketiganya tidak sempat menyaksikan berdirinya Daulah Abbasiyah karena semuanya telah wafat.[3]
Semboyan yang digunakan Abu Muslim adalah  Li Ar-Rida mim Ali Muhammad (demi keridaan keluarga Nabi Muhammad SAW). Semua usaha yang di gunakan Abu Muslim dalam menggulingkan Dinasti Umayyah ternyata dibalas dengan pembunuhan  atas dirinya oleh Khalifah Al-Manshur.[4]

B.     Periode I Puncak Kejayaan, Pengaruh Persia Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M)
Para ilmuan sejarah menyatakan periode pertama Daulah Abbasyiah merupakan masa keemasan (puncak kejayaan), sebab secara politik para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan mampu menguasai kancah perpolitikan dengan kekuasaan penuh dan terpusat. Masa pemerintahan pendiri pertama misalnya, walaupun berlangsung sangat singkat (750-754 M), tetapi Abu Al-Abbas berhasil memainkan politik kudeta terhadap Bani Umaiyah, bahkan ia dikenal sebagai Abu Al-Abbas “Assafah” penumpah darah atau haus darah, beliau menghancurkan sehancur-hancurnya pemerintahan Bani Umaiyah dan membantai seluruh pengikutnya bahkan samapai kuburan Bani Umaiyahpun dihancurkan. [5]
Keberhasilan perpolitikan periode pertama Daulah Abbasyiah tidak terlepas dari jasa Abu Ja’far Al-Manshur (754-775) adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan, maka sesungguhnya periode keemasan terjadi pada masa tujuh Khalifah berikutnya. Selain memiliki wilayah yang sangat luas, daulah ini mencapai kemajuan peradaban diberbagai bidang, yaitu ; Ilmu pengetahuan dan filsafat, seni budaya, ekonomi, politik, militer, dan perekonomian. Para khalifah yang memimpin Abbasiyah pada periode ini selain ahli dalam ketatanegaraan, politik, dan pemerintahan, mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan, peradaban, dan dikenal dekat dengan ulama (ilmuwan). Puncak popularitas daulah ini berada pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). [6]
Para Khalifah yang memimpin Daulah Abbasiyah periode pertama 9 orang, yaitu ; Abu Abbas As-Safah(132-136 H/750-754 M), Abu Ja’far Al-Manshur (136-158 H/754-775 M), Al-Mahdi (158-169 H/775-785 M), Musa Al-Hadi (169-170 H/785-786 M), Harun Ar-Rasyid (170-193 H/786-809 M), Al-Amin (193-198 H/ 809-813 M), Abdullah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu’tasim Billah (218-227 H/833-842 M) dan Al-Watsiq (227-232 H/842-847 M). [7]

C. Periode II Awal Kelemahan, Pengaruh Turki Pertama (232 H/847 M-334 H/945 M)
Periode ini berlangsung selama 99 tahun, dipimpin oleh 13 khalifah. Periode ini bisa dikatakan sebagai awal kelemahan Dinasti Abbasiyah. Kebijakan Khalifah Al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M) terhadap unsur Turki dalam masalah ketentaraan, pasukan tentara terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Banyak pula diantara orang Turki yang diberi jabatan Gubernur dan panglima perang. Akibatnya tentara menjadi sangat dominan dan banyak memberikan pengaruh pada khalifah. Khalifah Al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M) dan khalifah sesudahnya yaitu Al-Watsiq (842-847 M) mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M) yang merupakan khalifah awal periode ini merupakan khalifah yang lemah. [8]
Pada masa ini orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Khalifah Bani Abbas, Walaupun mereka tetap berada pada jabatan khalifah. Keberadaannya hanya sebagai simbul belaka. Sehingga kekuasaan Daulah Bani Abbas pada periode ini menjadi lemah. Akibatnya banyak daerah kecil yang berusaha melepaskan diri dan tidak mampu diatasi.[9]
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah pada periode ini, yaitu ; Pertama Luasnya wilayah yang harus dikendalikan sedangkan organisasi dan komunikasi rapuh/lemah, kedua Ketergantungan kepada  tentara sangat tinggi, sehingga menurun semangat rakyat dalam membela negara dan ketiga Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat tinggi. [10]
Pada periode pemerintahan Abbasiyah II telah menunjukkan kelemahannya, karena orang-orang Turki berpengaruh sangat kuat sehingga mereka berhasil berkuasa setelah Khalifah Al-Mutawakkil. Karena semakin lemahnya Dinasti Abbasiyah, maka banyak daerah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.[11]
Periode Dinasti Abbasiyah II dipimpin oleh 13 orang khalifah, yaitu ; Al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M), Al-Muntashir (247-248 H/861-862 M), Al-Munta’in (248-252 H/862-866 M), Al-Mu’taz (252-255 H/866-869 M), Al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M), Al-Mu’tamid(256-279 H/870-892 M), Al-Mu’tadhid (279­­­­-289 H/892-902 M), Al-Muktafi (289-295 H/902-908 M), Al-Muqtadi (295-320 H/908-932 M), Al-Qahir (320-322 H/932-934 M), Al-Radhi (322-329 H/934-940 M), Al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M) dan Al-Mustakfi (333-334 H/944-945 M).[12]

D. Periode III Pengaruh Persia Kedua; Masanya Kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam Kepemerintahan Khalifah (334 H/945 M-447 H/1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi, yaitu para penganut aliran Syi’ah yang berhasil mendirikan dinasti di sebelah barat laut Iran. Ketika kekuatan mereka bertambah besar, rakyat sepenuhnya dikuasai oleh mereka. Orang-orang terkemuka di Baghdad mempersilakan mereka ke Baghdad. Khalifah Al-Mustakfi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sejak diangkatnya Khalifah Al-Mu’thi (334-364 H/46-974 M), kedudukan khalifah benar-benar hanya sebagai boneka yang dikendalikan oleh Bani Buwaihi. Karena itu, selama satu abad periode ini berlangsung, para khalifah tidak mampu berbuat banyak untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan dalam periode ini. Pada masa ini muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. [13]
Khalifah-khalifah yang berkuasa pada periode ini, yaitu ; Al-Mu’thi (334-363 H/946-974 M), At-Thai (363-381 H/974-991 M), Al-Qadir (381-422 H/991-1031 M), Al-Qayyim (422-467 H/1031-1075 M) dan Al-Muqtadi (467-487 H/1075-1094 M).[14]
Dinasti yang dibangun oleh tiga bersaudara yaitu Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi, dan Ahmad bin Buwaihi di sebelah Barat Laut Iran pada permulaan abad ke-10. Dinasti ini menganut aliran Syi’ah. Meskipun Dinasti Abbasiyah berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi, akan tetapi ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan, begitu juga bidang ekonomi, pertanian dan perdagangan.[15]

E. Periode IV Pengaruh Turki Kedua; Masanya Kekuasaan Bani Saljuk dalam Kepemerintahan Khalifah (447 H/1055 M-590 H/1194 M)
Periode ini berlangsung sekitar 164 tahun. Jika pada periode sebelumnya kekuasaan Abbasiyah berada dibawah kendali Bani Buwaihi, maka pada periode ini kekuasaan berada dibawah kendali kaum saljuk dari Turki. Saljuk adalah nama keluarga penguasa suku-suku Oghuz di Turki. Namun saljuk adalah nama suku yang diambil sebagai penghormatan atas nenek monyang mereka bernama Saljuk bin Yakak.
Kehadiran Bani Saljuk di Bagdad sebenarnya atas undangan khalifah untuk menghilangkan pengaruh Bani Buwaihi. Namun pengaruh mereka akhirnya tak terkendali, setelah para khalifah Abbasiyah menempatkan mereka pada jabatan-jabatan penting kerajaan. Seperti panglima perang,gubernur, dan Wazir  (jabatan menteri dalam suatu pemerintahan).
Puncak pengaruh kaum Saljuk terhadap kekhalifahan Bani Abbas dimulai tahun 510 H/1116 M sampai tahun 656 H/1258 M ketika tentara Mongol membumi hanguskan Kota Bagdad dan segala isinya yang menandai berakhirnya Dinasti Abbasiyah. [16]
Periode Dinasti Abbasiyah IV dipimpin oleh 10 orang khalifah, yaitu ; Al-Mustadzir (487-521 H/1094-1118 M), Al-ustarsyid (521-529 H/1118-1135 M), Al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M), Al-Muktafi (530-555 H/1136-1160 M), Al-Mustanjid (555-566 H/1160-1170 M), Al-Mustadhi (566-575 H/1170-1180 M), An Nasir (575-622 H/1180-1225 M), Az-Zahir (622-623 H/1225-1226 M), Al-Mustanhir (623-640 H/1226-1242 M) dan Al-Musta’shim (640-656 H/1242-1258 M).

G. Perkembangan Peradaban/Kebudayaan Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
Masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang cukup lama antara tahun 132-656 H/750-1258 Mememberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban Islam. Pada saat itu, telah banyak kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini, sehingga Daulah Abbasiyah menjadi pusat perhatian dunia dalam berbagai bidang. Perkembangan peradaban yang terjadi pada saat itu melebihi perkembangan yang pernah dicapai oleh dinasti sebelumnya, Dinasti Umayyah. Selain karena Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Umayyah, juga karena kebijakan Daulah Abbasiyah yang lebih berorientasi kepada pembangunan peradaban dari pada perluasan wilayah kekuasaan.
Para pemimpin Dinasti Abbasiyah, terutama pada periode awal, merupakan khalifah khalifah yang kuat secara politis dan memiliki perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Periode inilah yang berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsaft dalam dunia Islam. Sehingga pada masa Dinasti Bani Abbas, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada masa dinasti inilah banyak bermunculan ilmuan-ilmuan yang berkembang pada saat itu diantaranya, yaitu ; Ilmu hukum Islam, filsafat, qira’at, mantik, sastra, matematika, kedokteran, astronomi, dan astrologi. [17]
Periode awal Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh para penguasa yang kuat secara politis dan memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan karena asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa lain dan maraknya gerakan penerjemah bahasa asing ke bahasa arab.

BAB III
KESIMPULAN

Zona politik terkesan kejam dan menggunakan apasaja serta cara apa saja untuk mencapai sebuah tujuan, pada masa akhir pemerintahan Umaiyah misalnya   tiga golongan oposisi, yaitu; Kaum Bani Abbas, Kaum Mawali dan Kaum Syi’ah. Bani Abbas memposisikan diri sebagai oposisi yang menyebarkan propaganda anti pemerintahan Bani Umayyah. Kaum Syi’ah yang memiliki luka mendalam dan selalu menuntut balas atas  terbunuhnya Imam Ali di Karbala secara keji. Kaum Mawali yang menuntut hak persamaan dan keadilan dari pemerintahan Bani Umayyah dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurasani, beliau adalah pemimpin kharismatik kaum Mawali atau masyarakat Muslim non Arab yang ada di kota kufah dan Khurasan.
Semboyan yang digunakan Abu Muslim adalah  Li Ar-Rida mim Ali Muhammad (demi keridaan keluarga Nabi Muhammad SAW). Semua usaha yang di gunakan Abu Muslim dalam menggulingkan Dinasti Umayyah ternyata dibalas dengan pembunuhan  atas dirinya oleh Khalifah Al-Manshur.
Praktik demokratis dangan mengedepan persamaan hak dalam musyawarah sering berujung dengan sistim turun-temurun, hal ini menjada titik permasalah yang tidak dapat di abaikan.
Praktik glamor para penguasa juga sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan karena kehilangan kepercayaan dari rakyat
Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme adalah hal utama yang menyebabkan kehancuran sebuah pemerintahan dari puncak kejayaannya.
Pilar kedailan dan mengedepankan ilmu pengetahuan yang mengukir sejarah peradaban manusia untuk seluruh duni.   

DAFTAR PUSTAKA
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Grafindo persada, 2004)
Ahmad Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2009)
Badru Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994)
---------------, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Jendela, 1998)
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka Bani Quraiys, 2004)
Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat, (Yogyakarta: Jendela, 2002)
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007)
M. Ira Lapidus Ira, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian I dan II, (Jakarta: Grafindo Persada, 1999)
Musyifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003)
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007)
Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2005)



[1] Badru Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), h. 51
[2]  M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007), h. 43
[3] Badru Yatim, Sejarah Peradaban Islam…  h. 51
[4] M. Ira Lapidus Ira, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian I dan II, (Jakarta: Grafindo Persada, 1999), h. 37
[5] Musyifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 72
[6] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka Bani Quraiys, 2004), h. 37
[7] Musyifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik… h. 73

[8] Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat, (Yogyakarta: Jendela, 2002), h. 45
[9] Musyifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik… h. 73     
[10] Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat… h. 46
[11] Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 61

[12] Ahmad Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2009), h. 58
[13] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 72
[14] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Grafindo persada, 2004), h. 57

[15]  Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Kelasik, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 56
[16] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Jendela, 1998), h. 112
[17] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam… h. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar