Al-Qur’an adalah kitab
yang agung dan sempurna. Keagungan dan kesempurnaannya bukan hanya dirasakan
oleh orang-orang yang memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa arab tetapi
juga dirasakan oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan
petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang mengenalnya sebagai kitab yang
diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Seseorang yang
mempelajari dari aspek bahasanya akan ditemukan berbagai keindahan bahasa
Al-Qur’an dari susunan kata dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan
redaksi-redaksinya. Keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an dari aspek
kebahasaannya ini merupakan salah satu bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah dan bukti kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.[1]
Keyakinan dan harapan
untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam konteks bahwa
Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al-Qur’an dengan hidayah Aqidah
dan syariat.[2] Selain itu Allah
juga akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan
Al-Quran. ( H.R. Muslim dari Umar Ibn Khattab ).
Pengakuan orang-orang
kafir dan non muslim terhadap kesempurnaan Al-Qur’an tidak dapat disembunyikan,
misalnya ketika Al-Walid bin Mughirah ( tokoh kaum musyrik Makkah )
mendengar bacaan Al-Qur’an, lalu ia mengatakan : Ma hadza biqauli
basyarin ( Ini bukan ucapan manusia ).[3] H.A.R. Gibb, dalam
bukunya Mohammedanism mengungkapkan : “Tiada seorang pun dalam
seribu lima ratus tahun ini telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian
mampu dan berani dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti
apa yang dilakukan oleh Muhammad ( melalui Al-Qur’an )”.[4]
Al-Qur’an laksana
samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna ditelan masa,
sehingga muncullah bermacam-macam tafsir dengan jenis, corak dan metode yang
beraneka ragam pula. Keragaman tafsir yang ada karena didorong oleh
keadaan Al-Qur’an seperti yang dilukiskan oleh Abdullah Darraz :
“Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda
dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jka
anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak
dari apa yang anda lihat.”[5]
Upaya memahami
Al-Quran melalui kegiatan tafsir telah menjadi sesuatu yang amat penting.
Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pernah
habisnya untuk dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Selain
itu, Al-Quran adalah kitab suci dan sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang
empat belas abad sejarah pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman
yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.
Ditinjau dari segi
metode, penafsiran terhadap Al-Quran yang berkembang hingga saat ini
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : metode tafsir tahlili ( al-manhaj
al-tahlili ), metode tafsir ijmali ( al-manhaj al-ijmali ), metode tafsir
muqarin ( al-manhaj al-muqarin ) dan metode tafsir maudhu’i ( al-manhaj
al-maudhu’i ).[6]
Dalam makalah
ini, akan dikemukakan salah satu metode penafsiran di atas. yakni
metode penafsiran ijmali. kelebihan dan kekurangan metode ini serta
contoh-contoh penafsirannya.
B. PENGERTIAN METODE TAFSIR IJMALI
Sebelum memulai pembahasan tentang tafsir ijmali, penulis terlebih dahulu
mengemukakan pengertian tafsir dan metode tafsir
Secara etimologi tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti
menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil.[7]Dan
menurut istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya
adalah;
1. Al-Zarkasy dalam Al-
Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ
ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ ﻮبيان معاﻧﻴﮫ واستخراج احكامه و حكمه.[8]
Tafsir adalah ilmu
untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) yang diturunkan kepada nabi-Nya
Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya.
2. Al - Jurjaniy berkata:
التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي
توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة
ظاهرة.[9]
Tafsir pada asalnya
adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menjelaskan makna
ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan
lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.
3. Al-Kilby dalam at
Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan:
Tafsir ialah:
Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.
Kata metode berasal dari bahasa
Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yaknimetha, yang berarti
menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan,
perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode
ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.[11]Dalam
bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa
Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai
sesuatu yang ditentukan.[12]
Kata Ijmali secara bahasa artinya
ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan.[13]Dengan
demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan
dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang
bersifat umum
( global ), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak
dilakukan secara rinci.[14]
Keterangan lain
menyebutkan bahwa metode tafsir ijmali berarti menafsirkan ayat Al-Quran
yang dilengkapi dengan penjelasan yang mengatakan bahwa sistematika
penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam mushaf Al-Quran dengan bahasa
yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan mencakup.[15]
Dengan demikian,
metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk menjelaskan atau
menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan
pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas, tanpa uraian yang
panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah dipahami oleh
semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang
berpengetahuan tinggi.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai metode tafsir
ijmali adalah;
1. Al-Tafsir al-farid li
al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
2. Marah Labid Tafsir
al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad
nawawi al-jawi al-Bantani.
3. Tafsir al Wafiz fi
Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4. Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud
Hijazi.
5. Tafsir Alquran al
Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq.
6. Fath
al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid
Shiddiq Hasan Khan,
7. Tafsir Alquran al-
Karim, oleh Jalaluddin as
Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
Kitab-kitab
tafsir di atas pada hakikatnya bukan saja bisa ditinjau dari segi metode
penafsirannya saja sebagai bentuk tafsir dengan metode ijmali, tetapi boleh
jadi jika ditijnjau dari segi jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong
pada jenis dan corak tafsir yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain
digolongan sebagai tafsir metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya
digolongan pada jenis tafsir bil ra’yi.
C. HISTORISITAS METODE TAFSIR IJMALI
Ketika Al-Quran
diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau adalah sebagai mubayyin ( pemberi penjelasan
) kepada sahabat-sahabat nabi tentang arti dan maksud dari
kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya dengan
ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam
kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal ( mufassir
pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat bertanya
yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami
Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam Ali bin
Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud. Selain itu
mereka juga tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah,
terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran
kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin
Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain.[17]
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang
memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka
tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut,
diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu
berguru kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang
berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak,
yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[18]
Ketiga golongan di
ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode ini merupakan
perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran sampai sekitar tahun 150
H. Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi berikutnya,
yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain Sufyan
bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin
Humaid.[19] Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi (
w.207 H ), sesudah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang
datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary
tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.[20]
Bersamaan dengan masa
tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah jazirah
arab maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai
daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan
kuno, seperti Persia, Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan
Afrika Selatan, sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh
kaum muslimin, seperti ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu
ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut terakhir ini berpengaruh terhadap
perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam menafsirkan Al-Quran, para ahli
tafsir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya
menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in seperti
yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada
penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada
khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat
ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi
al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :
1. Al-Zamakhsyari, dengan
karyanya Tafsir al-Kasysyaf
2. al-Qurthubi dengan
tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
3. Imam Ar-Razi dengan
karyanya Mafatih al-Ghaib
4. Abu Hayyan Muhammad
bin Yusuf al-Andalusi karyanya al-Bahr al-Muhith
Berdasarkan
uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya dibagi
menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad 1 H –abad
4 H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru (
abad 13 H/19 M – sekarang ).[22]
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak
masa Rasul Saw, sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M.
Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai
dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang menerapkan metode
Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan
Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut
Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[23]
Misalnya tafsir
Al-Quran pada masa Rasul Saw dan sahabat, yaitu ketika Rasul Saw
menafsirkan kata “ UqàÒøóyJø9$# “ dan “tûüÏj9!$Ò9$# “ dalam surat
Al-Fatihah/1 : 7 masing-masing dengan orang yahudi dan nasrani.[24] Demikian pula ketika Rasul Saw ditanya maksud kata “ ﻈﻟﻢ dalam
surah Al-Anam/6 : 82 oleh para sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
masud, Rasul Saw menjawab : kezaliman di sini sesungguhnya adalah syirik (
menyekutukan Allah ).[25] Penafsiran
kata zhulmun dengan al-syirk
tersebut didasarkan pada ayat Al-Quran yang lain dalam surah Luqman/31 :13,
yaitu :
“Dan ( ingatlah ) ketika Luqman berkata kepada
anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “ Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, seseungguhnya mempersekutukan ( Allah ) adalah
benar-benar kezaliman yang besar”.
Contoh tafsir al-Quran
pada masa sahabat sepeninggal Rasul Saw yang mengindikasikan dasar-dasar
metode tafsir Ijmali adalah ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata “ aulamastum’
dalam surah An-Nisa/4 : 43 dengan “ jima’” ( bersetubuh ). [26] Ayat tersebut adalah :
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB[ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ ÇÍÌÈ
“Dan jika kalian
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik ( suci )”.
Demikianlah penafsiran
Rasul Saw terhadap ayat-ayat Al-Quran, demikian pula tafsir para sahabat nabi
pada umumnya dijelaskan secara mujmal ( global ) dalam arti tidak
panjang-panjang, tidak secara rinci yang bisa mengakibatkan bertele-tele. Hal
ini dilakukan oleh Rasul Saw dan para sahabat supaya mudah dipahami oleh
orang-orang yang bertanya atau pada umumnya kaum muslimin pada saat itu.
Muhammad Amin Suma menjelaskan bahwa salah satu karakteristik tafsir,
khususnya pada masa sahabat adalah lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali, dan tidak
melakukannya dengan panjang lebar dan mendetail serta membatasi diri pada
penjelasab makna-makna lughawi ( etimologis ) dalam ungkapan sederhana dan
singkat. [27]
Dengan demikian metode
tafsir ijmali secara historis muncul sejak awal perkembangan Islam, yakni
zaman Rasul Saw sampai pada masa sahabat ( abad I H ).
D. LANGKAH-LANGKAH
YANG DITEMPUH DALAM METODE TAFSIR IJMALI
Sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Tafsir al-Ijmali merupakan metode
menjelaskan dan menerangkan ayat-ayat Al-Quran secara global, tanpa uraian
panjang lebar dan tidak rinci. Metode ini ditempuh dengan cara menafsirkan
ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat yang ada di dalam mushaf
Usmaniy.
Seorang mufassir
memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara teratur dengan penjelasan
sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca dapat memahaminya, baik pembaca
tersebut orang-orang yang istimewa, seperti tinggi ilmu pengetahuannya atau
orang lain yang awam. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an mufassir
menggunakan hadist Nabi, atsar salaf shalih, kejadian sejarah, kisah-kisah yang
termaktub di dalam Al Qur'an dan juga menyebutkan sebab-sebab diturunkan ayat
jika ada.[28] Tujuan asasi penafsiran dengan metode ini adalah menggunakan
bahasa yang dipergunakan oleh jumhur untuk mendekatkan makna supaya dapat
dipahami pembaca.
Dengan demikian
langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang tergolong dalam
metode ini antara lain :
1. Menentukan ayat
Al-Quran yang akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut
urutan turunnya,
2. Menjelaskan makna
mufradat ( kosa kata ) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami,
3. Menjelaskan makna
ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah- kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan
hukum dhamir dan susunan kalimatnya.
4. Kadangkala juga
menjelaskan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.
5. Dalam penafsirannya
dijelaskan dengan hadis, atsar para sahabat dan orang-orang shaleh
terdahulu atau pendapat penafsir sendiri. [29]
E. ANALISIS KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Dalam menganalisa
metode tafsir ijmali, muncul pertanyaan apa keistimewaan atau kelebihan
dan kelemahan metode tafsir ini ?
Suatu metode yang
dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan.
Demikian halnya juga dengan metode tafsir ijmali ini. Namun perlu
disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal
yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode yang lain.
Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Alqur'an memiliki beberaa
kelebihan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan
ini adalah;
1. Jelas dan Mudah
di pahami.
Sesuai dengan sebutannya, tafsir ijmali ini merupakan
penafsiran yang dalam menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit, ringkas,
jelas dan mudah dipahami oleh pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan
yang terkandung dalam tafsir ini, sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
2. Bebas dari penafsiran
Israiliyat.
Peluang masuknya penafsiran Israiliyat dalam
metode penafsiran ini dapatdihindarkan, bahkan dapat dikatakan sangat jarang
sekali ditemukan. Hal ini disebabkan uraiannya yang singkat hanya mengemukakan
tafsir dari kata-kata dalam suatu ayat dengan ringkas dan padat.
3. Akrab dengan bahasa
Alquran
Uraiannya yang singkat dan padat mengakibatkan
tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat Alquran yang keluar dari kosa kata ayat
tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan, sehingga bagi pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran
dan bukan membaca suatu tafsir.
Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah;
1. Menjadikan petunjuk
Al-Quran tidak utuh.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat
pesan Al-Quran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran,
menurut Subhi As-Shaleh mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan
cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang
memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian lain, baik yang
bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. [30]
2. Penafsiran dangkal
atau tidak mendalam.
Metode tafsir ini tidak menyediakan ruangan
untuk memberikan uraian atau pembahasan yang mendalam dan memuaskan
pembacanya berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu
kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali ini. Akan tetapi,
kelemahan yang dimaksud di sini tidaklah bersifat negatif melainkan
hanyalah merupakan karakteristik atau ciri-ciri metode penafsiran ini.
F. CONTOH PENAFSIRAN
MENGGUNAKAN METODE IJMALI
Contoh dalam
penafsiran Ijmaliy ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain karya Jalaluddin
al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat
1 dan 2, Al- Jalalain mengemukakan : “الم” misalnya dia berkata : “Allah yang lebih tahu akan maksudnya”.
Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “الكتاب” hanya menyatakan: “yang dibaca oleh Muhammad” ; ”لا ريب ” berarti “kebimbangan” ; “ﻔﻴﮫ” maksudnya bahwa ia benar-benar dari Allah. Kalimat negatif
menjadi predikat dari subyek “Kitab ini “, sedangkan kata-kata isyarat
“ini” dipakai sebagai penghormatan ; ” ﻫدﻯ “
maksudnya sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun ;
“ ﻠﻟﻣﺗﻘﻳﻥ “ maksudnya orang-orang yang
mengusahakan diri mereka supaya menjadi takwa dengan jalan mengikuti perintah
dan menjauhi larangan dengan menjaga diri dari api neraka.[31]
Demikian pula ketika
al-Jalalain menafsirkan ayat tentang puasa ramadhan yang terdapat dalam surat
Al-Baqarah : 183. Firman Allah “ |=ÏGä. #qãZtB#uä ûïÏ%©!$ $ygr'¯»t “, ia hanya menyatakan “difardhukan” ; “öNà6Î=ö7s%`ÏBúïÏ%©!$# n?tã =ÏGä. $yJx. P$uÅ_Á9$# Nà6øn=tæ “ ditafsirkannya dengan “
diantara umat manusia” ; “ tbqà)Gs? Nä3ª=yès9 “ maksudnya
menjaga diri dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung
syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi
maksiat itu”.[32]
Demikianlah salah satu
contoh tafsir al-Jalalain yang tergolong tafsir dengan metode
Ijmali. Penjelasaan-penjelasannya sangat singkat sehingga mudah dipahami
terutama bagi orang-orang yang tergolong pemula dalam mempelajari tafsir
Al-Quran. Keterangan-keterangannya juga pada umumnya didasarkan pada tafsiran
yang bersifat muradif ( sinonim ) tetapi dalam pemilihan kata yang
sinonim terhadap makna ayat tertentu selalu diambil dari lafazh ayat Al-Quran
yang lain, seperti kata : |=ÏGä. ditafsirkannya dengan : “ﻓﺭﺽ “ ( difardhukan ).
G. PENUTUP
Dalam ilmu tafsir
Al-Quran dikenal 4 macam metode penafsiran, yaitu : metode tafsir tahlili,
ijmali, muqarin dan metode tafsir tematik. Metode tafsir Ijmali yang menjadi
kajian dalam makalah ini dimaksudkan sebagai cara sistematis untuk
menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan
hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), tanpa uraian yang
panjang lebar dan tidak secara rinci sehingga mudah dipahami oleh semua orang
mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang
berpengetahuan tinggi.
Dalam sejarah penafsiran Al-Quran, metode tafsir Ijmali ini memperoleh
keabsahan dari tafsir yang telah dicontohkan oleh Rasul Saw sendiri
ketika beliau menerangkan ayat-ayat Al-Quran dengan penjelasan-penjelasan yang
singkat, padat, dan tidak panjang lebar. Demikian juga penafsiran para sahabat
tidak jauh berbeda dengan cara penafsiran Rasul Saw. Metode semacam itu
dilakukan oleh Rasul Saw dan sahabat supaya pesan-pesan ajaran Islam yang
tertuang dalam Al-Quran dapat mudah dipahami dan tentunya untuk menghindari
pemahaman-pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Semua jenis, metode dan corak tafsir Al-Quran memiliki kelebihan dan
kekurangan. Maka, metode tafsir Ijmali pasti juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Adapun kelebihannya antara lain :
1. Jelas dan Mudah
di pahami.
2. Bebas dari penafsiran
Israiliyat.
3. Akrab dengan bahasa
Alquran
Sedangkan kekurangannya antara lain :
1. Menjadikan petunjuk
Al-Quran bersifat parsial.
2. Terlalu dangkal dan
berwawasan sempit
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, dkk ( Ed.), Ensiklopedi Islam , ( Jakarta
: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002 ) , jilid V,
Anwar, Rosihan , Ilmu
Tafsir, Cet.III, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 )
Baidan, Nashruddin, Metodologi
Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998),
Baker, Anton , Metode-metode
Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1,
Darraz,
Abdullah, Al-Naba’ Al-Azhim, ( Mesir : Dar Al-‘Urubah, 1960 )
Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahnya, bagian Muqaddimah, ( Semarang : Toha Putra, 1989 )
al-Farmawi, Abd.
Al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Cet.III,
( Kairo : Al-Hadharah
Al-Arabiyah , 1977 ),
Gibb, H.A.R., Mohammedanism, ( Oxford
: Oxford Univesity Press, 1952 )
Ibn Katsir, Ismail
, Tafsir Al-Quran al-Azhim, ( Singapura : Sulaiman Mar’iy,
t.t. ), jilid I
Al-Jurjaniy, At-Ta’rifat,
( Jeddah : Ath-Thabaah wa an Nasyr wa At-Tauzi, t.t.
al Ma’iy, Zahir bin
‘Iwadh , Dirasat fi at Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim
al Mahalli,
Jalaluddin dan as Suyuthiy, Jalaluddin , Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, Cet. VI
, ( Al-Haramain : tp, 2007 ), jilid I
Al-Munawar, Said Agil
Husin , Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, ( Jakarta
: Ciputat Press, 2002 )
Al-Qattan,
Manna’, Mahabits fi ‘Ulum al-Quran, ( Mansyurat al-‘Asr
al-Hadits, 1973 )
Ash-Shabuniy, Muhammad
Ali , At-Tibyan fi Ulum Al-Quran, ( Dimasyq : Maktabah
al-Ghazali, 1981 )
As-Shalih,
Subhi, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj. Tim Pustaka
Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.)
Shaleh,
Sa’aduddin As-Sayyid, Al-Mu’jizah wa I’jaz fi al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo : Dar
Al-Ma’arif, 1993 )
as Shiddiqiy, M.
Hasybiy , Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta:
Bulan Bintang Indonesia, 1992)
Shihab, M. Quraish , Membumikan Al-Quran, ( Bandung : Mizan,
1992 )
____________, Mukjizat
Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1998 )
Suma, Muhammad Amin , Studi
Ilmu-Ilmu Al-Quran, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001 )
Supiana dan M.
Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir
(Bandung:Pustaka Islamika, 2002), Cet ke-1
Tim Penyusun, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1
al-‘Utsaimin,
ASy-Syaikh Muhammad bin Shaleh, Ushul fi at-Tafsir,
terj. Abu Abdillah Ibnu Rasto, ( Solo : Pustaka Ar-Rayyan, 2008 )
Al-Zarkasyi, Badr
Al-Din Muhammad bin Abd.Allah, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, (
Kairo ; Al-Halaby, 1957 ), jilid I
Al-Zarqani, M.
Abdull Azhim, Manahil Irfan fi Ulum Al-Qur’an, ( Mesir : Al-Halaby,
1980 ),
[1] Bukti kebenaran Al-Qur’an dan kemukjiatannya
yang lain adalah : isyarat-isyarat ilmiahnya dan pemberitaan-pemberitaan
gaibnya. Lihat, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, ( Bandung :
Mizan, 1998 ), h. 111-212.
[2] Sa’aduddin As-Sayyid Shaleh, Al-Mu’jizah wa I’jaz
fi al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo : Dar Al-Ma’arif, 1993 ), h. 219.
[6] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudhu’i, Cet.I, (Dirasat Manhajiyyat Maudhu’iyyah, 1396
H/1976 M ), h. 17.
[8] Badr Al-Din Muhammad bin Abd.Allah Al-Zarkasyi,
Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, ( Kairo ; Al-Halaby, 1957 ), jilid I, h.
13
[10] M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h.
178.
[12] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 580-581.
[15] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998),
h. 13.
[16] Suma, Studi, h. 113. Lihat
juga Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, ( Jakarta : Ciputat Press, 2002 ), h. 73.
[19] Abdullah, Taufik, dkk ( Ed.), Ensiklopedi
Islam ,
( Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002 ) , jilid
V, h. 30.
[20] Departemen Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahnya, bagian Muqaddimah, ( Semarang : Toha Putra, 1989 ), h. 32.
[23] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, At-Tibyan fi
Ulum Al-Quran, (
Dimasyq : Maktabah al-Ghazali, 1981 ),
h. 63.
[24] Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran
al-Azhim, (
Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t. ), jilid I,h. 29.
[26] Ibnu Abi Syaibah, dalam ASy-Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin, Ushul fi
at-Tafsir, terj.
Abu Abdillah Ibnu Rasto, ( Solo : Pustaka Ar-Rayyan, 2008 ), h. 64.
[29] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir,
Cet.III, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 ), h. 159. Lihat juga, Suma, Studi, h. 113-114. Lihat
juga, Al-Munawar, Al-Quran, h. 72-73.
[30] Subhi As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil
Qur’an, terj. Tim
Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.), h. 299.
[31] Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as
Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, Cet. VI , ( Al-Haramain :
tp, 2007 ), jilid I, h. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar