Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 November 2015

Ulumul Qur’an Metode Tafsir Ijmali Oleh Ridwan, MA Tugas Kuliah Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh


A. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan kesempurnaannya bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa arab tetapi juga dirasakan  oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang  mengenalnya sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.

Seseorang yang mempelajari dari aspek bahasanya akan ditemukan berbagai keindahan bahasa Al-Qur’an dari susunan kata dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan redaksi-redaksinya. Keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an dari aspek kebahasaannya ini merupakan salah satu bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan bukti kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.[1]

Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al-Qur’an dengan hidayah Aqidah dan syariat.[2]  Selain itu Allah juga akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-Quran. ( H.R. Muslim dari Umar Ibn Khattab ).

Pengakuan orang-orang kafir dan non muslim terhadap kesempurnaan Al-Qur’an tidak dapat disembunyikan, misalnya ketika Al-Walid bin Mughirah ( tokoh kaum musyrik Makkah ) mendengar  bacaan Al-Qur’an, lalu ia mengatakan : Ma hadza biqauli  basyarin    ( Ini bukan ucapan manusia ).[3] H.A.R. Gibb, dalam bukunya Mohammedanism mengungkapkan : “Tiada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti apa yang dilakukan oleh Muhammad  ( melalui Al-Qur’an )”.[4]

Al-Qur’an laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna ditelan masa, sehingga muncullah bermacam-macam tafsir dengan jenis, corak dan metode yang beraneka ragam pula. Keragaman tafsir yang ada  karena didorong oleh keadaan Al-Qur’an seperti yang dilukiskan oleh  Abdullah Darraz : “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda  dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jka anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”[5]

Upaya memahami Al-Quran melalui kegiatan tafsir  telah menjadi sesuatu yang amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pernah habisnya untuk  dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Selain itu, Al-Quran adalah kitab suci dan sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi inspirator, pemandu dan pemadu   gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah  pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.

Ditinjau dari segi metode, penafsiran terhadap Al-Quran  yang berkembang hingga saat ini dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : metode tafsir tahlili ( al-manhaj al-tahlili ), metode tafsir ijmali ( al-manhaj al-ijmali ), metode tafsir muqarin ( al-manhaj al-muqarin ) dan metode tafsir maudhu’i ( al-manhaj al-maudhu’i ).[6]

Dalam makalah  ini, akan dikemukakan salah satu metode penafsiran di atas.  yakni metode penafsiran ijmali. kelebihan dan kekurangan metode ini serta contoh-contoh penafsirannya.


B. PENGERTIAN  METODE TAFSIR IJMALI

          Sebelum memulai pembahasan tentang tafsir ijmali, penulis terlebih dahulu mengemukakan pengertian tafsir  dan metode tafsir

          Secara etimologi tafsir berasal dari akar  kata al-fasr yang berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti  menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil.[7]Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya adalah;

1.      Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :

اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ   ﻮبيان معاﻧﻴﮫ  واستخراج احكامه و حكمه.[8]

Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran )  yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

2.     Al - Jurjaniy berkata:

التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة ظاهرة.[9]

Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.

3.     Al-Kilby dalam at Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy  menyatakan:

التفسير: شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او اشارته او نجواه.[10]

Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.

Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yaknimetha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.[11]Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang ditentukan.[12]

Kata Ijmali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan.[13]Dengan demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum                 ( global ), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.[14]

Keterangan lain menyebutkan bahwa metode tafsir ijmali berarti menafsirkan ayat Al-Quran  yang dilengkapi dengan penjelasan  yang mengatakan bahwa  sistematika penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam mushaf Al-Quran dengan bahasa yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan mencakup.[15]

            Dengan demikian, metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk  menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas,  tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah dipahami oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang berpengetahuan tinggi.

          Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis  sesuai metode tafsir ijmali  adalah;

1.       Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im

2.  Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.

3.      Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.

4.     Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.

5. Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq.

6.     Fath   al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,

7.   Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.

8.     Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi.[16]

 Kitab-kitab tafsir di atas pada hakikatnya bukan saja bisa ditinjau dari segi metode penafsirannya saja sebagai bentuk tafsir dengan metode ijmali, tetapi boleh jadi jika ditijnjau dari segi jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong pada jenis dan corak tafsir yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain digolongan sebagai tafsir metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya digolongan pada jenis tafsir bil ra’yi.


C. HISTORISITAS METODE TAFSIR IJMALI

        Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau adalah sebagai  mubayyin ( pemberi penjelasan )  kepada sahabat-sahabat nabi tentang arti dan maksud dari  kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai  dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal ( mufassir  pertama ).

          Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat bertanya yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.  Selain itu mereka juga tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain.[17]

          Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut, diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[18]

Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode ini merupakan perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran sampai sekitar tahun 150 H.  Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi berikutnya, yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain  Sufyan bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin Humaid.[19] Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ), sesudah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.[20]

Bersamaan dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah jazirah arab  maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan kuno, seperti Persia,  Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin, seperti ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir  tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :

1.          Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf   

2.         al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran

3.         Imam Ar-Razi dengan karyanya  Mafatih al-Ghaib

4.         Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya  al-Bahr al-Muhith

5.         Ibn al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll. [21]

Berdasarkan  uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad  1 H –abad 4 H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru ( abad 13 H/19 M – sekarang ).[22]

Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak masa Rasul Saw, sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur,  boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang  menerapkan metode  Ijmali.  Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[23]  Misalnya tafsir Al-Quran pada masa Rasul Saw dan sahabat, yaitu ketika Rasul Saw menafsirkan  kata “  UqàÒøóyJø9$# dan  “tûüÏj9!$žÒ9$#   “  dalam surat Al-Fatihah/1 : 7 masing-masing dengan orang yahudi dan nasrani.[24] Demikian pula ketika Rasul Saw ditanya maksud kata “  ﻈﻟﻢ  “ dalam surah Al-An’am/6 : 82 oleh para sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud, Rasul Saw menjawab : “kezaliman di sini sesungguhnya adalah “syirik” ( menyekutukan Allah ).[25]  Penafsiran kata “zhulmun” dengan  “al-syirk”  tersebut didasarkan pada ayat Al-Quran yang lain dalam surah Luqman/31 :13,  yaitu :

   


 “Dan ( ingatlah )  ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “ Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, seseungguhnya mempersekutukan ( Allah ) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Contoh tafsir al-Quran pada masa sahabat sepeninggal Rasul Saw yang mengindikasikan  dasar-dasar metode tafsir Ijmali adalah ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata “ aulamastum’ dalam surah  An-Nisa/4 : 43 dengan “ jima’” ( bersetubuh ). [26] Ayat tersebut adalah :

ž bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡ys9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB[ä!$tB    (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ  ÇÍÌÈ  

 “Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ( suci )”.

Demikianlah penafsiran Rasul Saw terhadap ayat-ayat Al-Quran, demikian pula tafsir para sahabat nabi pada umumnya dijelaskan secara  mujmal ( global ) dalam arti tidak panjang-panjang, tidak secara rinci yang bisa mengakibatkan bertele-tele. Hal ini dilakukan oleh Rasul Saw dan para sahabat supaya mudah dipahami oleh orang-orang yang bertanya atau pada umumnya kaum muslimin pada saat itu. Muhammad Amin Suma menjelaskan bahwa salah satu karakteristik tafsir, khususnya  pada masa sahabat adalah lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali, dan tidak melakukannya dengan panjang lebar dan mendetail serta membatasi diri pada penjelasab makna-makna lughawi ( etimologis ) dalam ungkapan sederhana dan singkat. [27]

Dengan demikian metode tafsir ijmali secara historis muncul sejak awal perkembangan Islam, yakni  zaman Rasul Saw sampai pada masa sahabat ( abad I H ).




D. LANGKAH-LANGKAH YANG DITEMPUH DALAM METODE TAFSIR IJMALI

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Tafsir al-Ijmali merupakan metode menjelaskan dan menerangkan ayat-ayat Al-Quran secara global, tanpa uraian panjang lebar dan tidak rinci. Metode ini ditempuh dengan cara menafsirkan  ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat yang ada di dalam mushaf Usmaniy.

Seorang mufassir memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara teratur dengan penjelasan sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca dapat memahaminya, baik pembaca tersebut orang-orang yang istimewa, seperti tinggi ilmu pengetahuannya atau orang lain yang awam. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an mufassir menggunakan hadist Nabi, atsar salaf shalih, kejadian sejarah, kisah-kisah yang termaktub di dalam Al Qur'an dan juga menyebutkan sebab-sebab diturunkan ayat jika ada.[28] Tujuan asasi penafsiran dengan metode ini adalah menggunakan bahasa yang dipergunakan oleh jumhur untuk mendekatkan makna supaya dapat dipahami pembaca.

 Dengan demikian langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir  yang tergolong dalam metode ini antara lain :

1.          Menentukan ayat Al-Quran yang akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut urutan turunnya,

2.         Menjelaskan makna mufradat ( kosa kata ) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami,

3.         Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah- kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan hukum dhamir dan susunan kalimatnya.

4.         Kadangkala  juga menjelaskan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.

5.         Dalam penafsirannya dijelaskan dengan hadis, atsar para sahabat dan orang-orang shaleh terdahulu  atau pendapat penafsir sendiri. [29]


E. ANALISIS KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

        Dalam menganalisa metode tafsir ijmali, muncul  pertanyaan apa keistimewaan atau kelebihan  dan kelemahan metode tafsir ini ?

Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tafsir ijmali ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode  yang lain. Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Alqur'an memiliki beberaa kelebihan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan  ini adalah;

1.      Jelas  dan Mudah di pahami.

Sesuai dengan sebutannya, tafsir ijmali ini merupakan penafsiran yang dalam menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit, ringkas, jelas  dan mudah dipahami oleh pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini, sangat mudah ditangkap oleh pembaca.

2.         Bebas dari penafsiran Israiliyat.

Peluang masuknya penafsiran Israiliyat dalam metode penafsiran ini dapatdihindarkan, bahkan dapat dikatakan sangat jarang sekali ditemukan. Hal ini disebabkan uraiannya yang singkat hanya mengemukakan tafsir dari kata-kata dalam suatu ayat dengan ringkas dan padat.

3.         Akrab dengan bahasa Alquran

Uraiannya yang singkat dan padat mengakibatkan tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat Alquran yang keluar dari kosa kata ayat tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan, sehingga bagi pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran dan bukan membaca suatu tafsir.

          Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah;

1.          Menjadikan petunjuk Al-Quran tidak utuh.

Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al-Quran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran, menurut Subhi As-Shaleh  mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. [30]

2.         Penafsiran dangkal atau tidak mendalam.

Metode tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang mendalam dan  memuaskan pembacanya berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali ini. Akan tetapi, kelemahan yang dimaksud di sini  tidaklah bersifat negatif melainkan hanyalah merupakan karakteristik atau ciri-ciri metode penafsiran ini.


F. CONTOH PENAFSIRAN MENGGUNAKAN METODE IJMALI

Contoh dalam penafsiran Ijmaliy ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 1 dan 2, Al- Jalalain mengemukakan :  الم misalnya dia berkata : “Allah yang lebih tahu akan maksudnya”. Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah الكتاب hanya menyatakan: “yang dibaca oleh Muhammad” ;  ”لا ريب   berarti  “kebimbangan” ; “ﻔﻴﮫ maksudnya bahwa ia benar-benar dari Allah. Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek  “Kitab ini “, sedangkan kata-kata isyarat “ini” dipakai sebagai penghormatan ;     ”  ﻫدﻯ  “   maksudnya sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun ;  “    ﻠﻟﻣﺗﻘﻳﻥ     “  maksudnya orang-orang yang mengusahakan diri mereka supaya menjadi takwa dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dengan menjaga diri dari api neraka.[31]

Demikian pula ketika al-Jalalain menafsirkan ayat tentang puasa ramadhan yang terdapat dalam surat Al-Baqarah : 183.  Firman Allah “   |=ÏGä. #qãZtB#uä ûïÏ%©!$ $ygƒr'¯»tƒ  “, ia hanya menyatakan “difardhukan” ; öNà6Î=ö7s%`ÏBúïÏ%©!$# n?tã =ÏGä. $yJx.  P$uÅ_Á9$#  Nà6øn=tæ  ditafsirkannya dengan                        “ diantara umat manusia” ;  “   tbqà)­Gs? Nä3ª=yès9  “  maksudnya menjaga diri  dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung  syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi


maksiat itu”.[32]


Demikianlah salah satu contoh  tafsir al-Jalalain yang tergolong tafsir  dengan metode Ijmali. Penjelasaan-penjelasannya sangat singkat sehingga mudah dipahami terutama bagi orang-orang yang tergolong pemula dalam mempelajari tafsir Al-Quran. Keterangan-keterangannya juga pada umumnya didasarkan pada tafsiran yang bersifat muradif ( sinonim )  tetapi  dalam pemilihan kata yang sinonim terhadap makna ayat tertentu selalu diambil dari lafazh ayat Al-Quran yang lain, seperti kata :  |=ÏGä. ditafsirkannya dengan :   “ﻓﺭﺽ “ ( difardhukan ).


G. PENUTUP

        Dalam ilmu tafsir Al-Quran dikenal 4 macam metode penafsiran, yaitu : metode tafsir tahlili, ijmali, muqarin dan metode tafsir tematik. Metode tafsir Ijmali yang menjadi kajian dalam makalah ini dimaksudkan sebagai cara sistematis untuk  menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci sehingga mudah dipahami oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang berpengetahuan tinggi.

          Dalam sejarah penafsiran Al-Quran,  metode tafsir Ijmali ini memperoleh keabsahan dari  tafsir yang telah dicontohkan oleh Rasul Saw sendiri ketika beliau menerangkan ayat-ayat Al-Quran dengan penjelasan-penjelasan yang singkat, padat, dan tidak panjang lebar. Demikian juga penafsiran para sahabat tidak jauh berbeda dengan cara penafsiran Rasul Saw. Metode semacam itu dilakukan oleh Rasul Saw dan sahabat supaya pesan-pesan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dapat mudah dipahami dan tentunya untuk menghindari pemahaman-pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Quran.

          Semua jenis, metode dan corak tafsir Al-Quran memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka, metode tafsir Ijmali pasti juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya antara lain :

1.            Jelas  dan Mudah di pahami.

2.         Bebas dari penafsiran Israiliyat.

3.         Akrab dengan bahasa Alquran

Sedangkan kekurangannya antara lain :

1.          Menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial.

2.         Terlalu dangkal dan berwawasan sempit










DAFTAR PUSTAKA

         

Abdullah, Taufik,  dkk ( Ed.), Ensiklopedi  Islam , ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002  ) , jilid V,

Anwar,  Rosihan , Ilmu Tafsir, Cet.III, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 )

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998),

Baker, Anton , Metode-metode Filsafat,  (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1,

Darraz,  Abdullah, Al-Naba’ Al-Azhim, ( Mesir : Dar Al-‘Urubah, 1960 )

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, bagian Muqaddimah, ( Semarang : Toha Putra, 1989 )

al-Farmawi, Abd. Al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Cet.III,         ( Kairo : Al-Hadharah Al-Arabiyah , 1977 ), 

Gibb, H.A.R., Mohammedanism,  ( Oxford  :  Oxford Univesity Press, 1952 )

Ibn Katsir, Ismail , Tafsir Al-Quran al-Azhim, ( Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t. ), jilid I

Al-Jurjaniy, At-Ta’rifat, (  Jeddah : Ath-Thabaah wa an Nasyr wa At-Tauzi, t.t.

al Ma’iy, Zahir bin ‘Iwadh , Dirasat fi at Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim

al Mahalli,  Jalaluddin dan as Suyuthiy, Jalaluddin , Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, Cet. VI ,      ( Al-Haramain : tp,  2007 ),  jilid I

Al-Munawar, Said Agil Husin , Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, ( Jakarta : Ciputat Press, 2002 )

Al-Qattan, Manna’, Mahabits fi ‘Ulum al-Quran, ( Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973 )

Ash-Shabuniy, Muhammad Ali , At-Tibyan fi Ulum Al-Quran, ( Dimasyq : Maktabah al-Ghazali, 1981  )

As-Shalih, Subhi,  Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj.  Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.)

Shaleh,  Sa’aduddin As-Sayyid, Al-Mu’jizah wa I’jaz fi al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo : Dar Al-Ma’arif, 1993 )

as Shiddiqiy, M. Hasybiy , Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992)

Shihab, M. Quraish , Membumikan Al-Quran, ( Bandung : Mizan, 1992 )

____________,  Mukjizat Al-Qur’an,  ( Bandung : Mizan, 1998 )

Suma, Muhammad Amin , Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,  ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001 )

Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung:Pustaka Islamika, 2002), Cet ke-1

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1

al-‘Utsaimin, ASy-Syaikh  Muhammad bin Shaleh,  Ushul  fi at-Tafsir, terj. Abu Abdillah  Ibnu Rasto, ( Solo : Pustaka Ar-Rayyan, 2008 )

Al-Zarkasyi, Badr Al-Din Muhammad bin Abd.Allah,  Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran,            ( Kairo ; Al-Halaby, 1957 ), jilid I

Al-Zarqani,  M. Abdull Azhim, Manahil  Irfan fi Ulum Al-Qur’an, ( Mesir : Al-Halaby, 1980 ),






[1] Bukti kebenaran Al-Qur’an dan kemukjiatannya yang lain adalah : isyarat-isyarat ilmiahnya dan pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Lihat, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,  ( Bandung : Mizan, 1998 ), h. 111-212.

[2] Sa’aduddin As-Sayyid Shaleh, Al-Mu’jizah wa I’jaz fi al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo : Dar Al-Ma’arif, 1993 ), h. 219.

[3] Shibab, Ibid, h. 158.

[4] H.A.R. Gibb, Mohammedanism,  ( Oxford  :  Oxford Univesity Press, 1952 ), h.  18.

[5]Abdullah Darraz, Al-Naba’ Al-Azhim, ( Mesir : Dar Al-‘Urubah, 1960 ), h. 111.

[6] Abd. Al-Hayy al-Farmawi,  al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Cet.I, (Dirasat Manhajiyyat Maudhu’iyyah, 1396 H/1976 M  ),     h. 17.

[7] Manna’ Al-Qattan, Mahabits fi ‘Ulum al-Quran, ( Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973 ), h. 323.

[8] Badr Al-Din Muhammad bin Abd.Allah Al-Zarkasyi,  Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, ( Kairo ; Al-Halaby, 1957 ), jilid I,  h. 13

[9] Al-Jurjaniy, At-Ta’rifat, (  Jeddah : Ath-Thabaah wa an Nasyr wa At-Tauzi, t.t. ), h. 63.

[10] M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 178.

[11] Anton Baker, Metode-metode Filsafat,  (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1, h. 10.

[12] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 580-581.

[13] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,  ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001 ), h. 113

[14] Ibid

[15] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998), h. 13.

[16] Suma, Studi, h. 113. Lihat juga  Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, ( Jakarta : Ciputat Press, 2002 ), h. 73.

[17] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, ( Bandung : Mizan, 1992 ), h. 71.

[18] Ibid.

[19] Abdullah, Taufik,  dkk ( Ed.), Ensiklopedi  Islam , ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002  ) , jilid V,       h. 30.

[20] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, bagian Muqaddimah, ( Semarang : Toha Putra, 1989 ),  h. 32.

[21] Suma, Studi, h.42-43.

[22] Departemen Agama RI, Al-Quran, h. 28.

[23] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, At-Tibyan fi Ulum Al-Quran, ( Dimasyq : Maktabah al-Ghazali, 1981  ),           h. 63.

[24] Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim, ( Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t. ), jilid I,h. 29.

[25]  Al-Zarkasyi, Al-Burhan, h. 14.

[26] Ibnu Abi Syaibah, dalam ASy-Syaikh  Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin, Ushul  fi at-Tafsir, terj. Abu Abdillah  Ibnu Rasto, ( Solo : Pustaka Ar-Rayyan, 2008 ), h. 64.

[27] Suma, Studi, h. 37.

[28]  Zahir bin ‘Iwadh al Ma’iy, Dirasat fi at Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim, h. 17.

[29] Rosihan Anwar,  Ilmu Tafsir, Cet.III, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 ), h. 159. Lihat juga, Suma, Studi, h. 113-114. Lihat juga, Al-Munawar, Al-Quran, h. 72-73.

[30] Subhi As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj.  Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.), h.  299.

[31] Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, Cet. VI , ( Al-Haramain : tp,  2007 ),  jilid I,  h. 2.

[32] Ibid, h. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar