Ridwan/23111303-2 Pendidikan Islam
1.
Review Tesis
Proses pembelajaran yang
baik adalah mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong
sikap percaya diri siswa, dan mampu memberdayakan
peserta didik
sebagai subjek belajar, mendorong siswa
mengatualisasi diri, mengahargai diri, mengeksistensikan dirinya dalam setiap
kegiatan pembelajaran, namun kenyataannya pada MTsN Teunom pembelajaran
umumnya berpusat pada guru
(teacher centered) yang sangat berpengaruh bagi
percaya diri siswa.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana strategi pembinaan percaya diri
siswa dalam pembelajarn pada MTsN Teunom. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengkaji strategi pembinaan
percaya diri siswa dalam pembelajarn pada MTsN Teunom.
Penelitian ini bersifat field reseach (penelitian lapangan),
maka jenis data awal sebagai referensi penelitian diperlukan informasi yang berkaitan
dengan fokus masalah yang dikumpulkan dari buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah,
majalah dan sumber tertulis lainnya, kemudian penulis mengadakan penelitian di
lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data; observasi,
wawancara (Interview),
angket, dan dokumentasi.
Data penelitian tersebut dianalisis dan diuraikan dalam bentuk narasi.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa strategi
pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran dilakukan dengan cara
memaksimalkan model pembelajaran aktif dan kooperatif,
menghargai keberanian siswa mencoba pengalaman baru,
mentoleril kurang tepat jawaban siswa, menghargai siswa bertanya, menunjukkan
kasih sayang dan perhatian. Guru menilai eksistensi siswa, manaruh harapan yang
realistik terhadap diri siswa, memotivasi keberanian mereka berbicara/
mengemukakan pendapat sendiri dan guru menggunakan penilaian autentik. Menunjukkan sikap penerimaan
kelebihan dan kekuranga siswa dengan tulus, menggunakan metode pembelajaran
yang variatif, dan melibatkan seluruh siswa dalam pembelajaran.
2.
Rumusan Tujuan, Metode dan Peran Guru dalam Pendidikan
Islam ditinjau dari Perspektif Epistemologi Bayani.
a.
Pengertian Metode Bayani
Menurut
Mohammad Adib, terma bayan mengandung beragam arti, yaitu:
(1) kesinambungan (al-washl);
(2) keterampilan (al-fashl); (3) jelas dan terang (azh-zhuhur wa
al-wudhuh); dan (4) kemampuan membuat
terang dan jelas. Berdasarkan ragam arti ini, dapat disimpulkan bahwa
makna generik yang terkandung dalam terma bayan adalah keterpilahan dan
kejelasan. Sebagai sebuah episteme, keterpilahan dan kejelasan tersebut yang
mewujud dalam bayan ibarat perspektif dan metode yang sangat menentukan
pola pemikiran dalam lingkup estetika-susastra dan sekaligus dalam lingkup logik-diskursif. [1]
Menurut
Mulyadi Kartanegara, menyatakan bahwa:
Terma
bayan berubah menjadi sebuah istilah yang tidak sekedar mencakup arti
segala sesuatu yang berkaitan dengan realisasi tindakan memahamkan, tetapi juga
mencakup arti segala sesuatu yang mendasari tindakan memahami. Transformasi
episteme bayan dari wacana kebahasaan
menuju wacana diskursif. Lebih jauh, episteme bayan telah menjadi
semacam perspektif dan sistem yang melandasi pemikiran sistematis dalam
menginterpretasi wacana (fi tafsir al-khitab) dan memproduksi wacana (fi intaj al-khitab).[2]
2.1.
Rumusan Tujuan Pendidikan Islam ditinjau dari Perspektif
Epistemologi Bayani
Adapun
tujuan
pendidikan Islam
dalam perspektif epistemologi bayani dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a.
Tujuan akhir
Tujuan
ini bersifat
mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep ke-Tuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan
universal.
Menurut Ahmad D. Mariban,
menyatakan bahwa:
Tujuan pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan
rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam
sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu:
1) Menjadi hamba Allah
2) Mengantarkan subjek didik menjadi khalifah di muka bumi
3) Untuk
memperoleh kesejahteraan,
kebahagiaan hidup di
dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.[3]
b. Tujuan umum
Berbeda dengan tujuan akhir yang lebih mengutamakan pendekatan filosofik,
tujuan
umum lebih
bersifat
empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik.
Dikatakan
umum karena berlaku
bagi
siapa saja dan tanpa
dibatasi ruang dan waktu, dan menyangkut
diri peserta didik secara total.
Menurut Hasan Langgulung, tujuan
umum pendidikan Islam adalah:
1)
Untuk mengadakan
pembentukan akhlak yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu kala
sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah initi pendidikan Islam, dan bahwa mencapai
akhlak yang
sempurna adalah
tujuan
pendidikan yang sebenarnya.
2)
Persiapan untuk
kehidupan
dunia
dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada
kedua- duanya, sekali.
3)
Persiapan untuk
mencari rizki dan pemeliharaan segi manfa'at, atau yang lebih terkenal sekarang ini
dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan professional.
4)
Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan
memuaskan keinginan tahu (curiosity) dan
memungkinkan
ia mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri.
5)
Menyiapkan pelajar dari segi professional, teknikal dan pertukangan supaya dapat
menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat ia
mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian
dan keagamaan.[4]
c.
Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasionalisasi
tujuan akhir dan
tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga
dimungkinkan untuk diadakan perubahan
di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan akhir dan tujuan umum.
Menurut Ramayulis, menyatakan bahwa:
Tujuan
khusus itu menunjukan kepada suatu jarak tertentu yang
tidak dapat
dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.
Adapun tujuan-tujuan
khusus yang mungkin
dimasukkan
antara lain:
1)
Memperkenalkan
kepada
generasi
muda
akan
akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakannya
dengan betul, dengan
membiasakan
mereka berhati-hati mematuhi akidah-akidah
agama dan menjalankan
dan menghormati syiar-syiar agama.
2)
Menumbuhkan
kesadaran
yang betul pada diri pelajar terhadap agama termasuk
prinsip-prinsip dan dasar-dasar
akhlak
yang mulia.
3)
Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, dan kepada
malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab
dan
hari akhirat berdasar pada faham kesadaran dan perasaan.
4)
Menumbuhkan
minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5)
Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur'an membacanya dengan baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6)
Menumbuhkan
rasa
bangga terhadap sejarah
dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka.
7)
Menumbuhkan rasa
rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab,
menghargai
kewajiban,
tolong-menolong atau kebaikan dan taqwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memegang teguh pada
prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air dan bersiap untuk membelahnya.
8) Mendidik naluri, motivasi dan keinginan generasi muda dan menguatkannya dengan akidah dan nilai-nilai, dan
membiasakan mereka menahan motivasinya,
mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu mengajar mereka berpegang
dengan adab sopan pada
hubungan dan pergaulan mereka
baik di rumah atau
di sekolah atau di
mana-mana
sekalipun.
9) Menanamkan iman yang kuat
kepada Allah pada
diri mereka,
perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan
akhlak pada diri mereka dan menyuburkan
hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.
10) Membersihkan hati mereka
dari rasa dengki, hasad,
iri
hati, benci, kekasaran, kezaliman, egoisme, tipuan, khianat,
'nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.[5]
2.2.Metode
Pendidikan Islam dalam Kontek Bayani
Metode dalam pendidikan
Islam dalam kontek bayani dapat digunakan guru sesuai dengan kebutuhan dan situasinya, diantaranya:
1.
Metode Kisah
Metode kisah
merupakan suatu cara
dalam menyampaikan materi pelajaran dengan menuturkan
secara kronologis tentang bagaimana
terjadinya suatu hal.
Menurut Mukhtar,
menyatakan bahwa:
Metode al-Kisah adalah menyampaikan
materi pembelajaran diambil langsung
dari teks al-Qur’an dan hadits,
atau
intisari dan penjabaran
dari
keduanya,
sehingga
dikenal dengan
istilah
"Kisah
Qur’ani" dan "Kisah Nabawi". Kedua
sumber
tersebut memiliki substansi cerita yang
valid tanpa diragukan lagi kebenarannya.“Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Yusuf: 111).[6]
2. Metode Nasehat
Menurut
Abdurrahman an-Nahlawi,
"metode nasehat
ialah
penjelasan tentang kebenaran
dan
kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang
yang dinasehati
dari bahaya serta menunjukkannya
ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat".[7] “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar
kedzaliman yang besar.”
(QS Luqman: 13)
3. Metode Pembiasaan
Pembiasaan
merupakan
proses penanaman
kebiasaan. Menurut Mukhtar, menyatakan bahawa:
Kebiasaan ialah cara-cara bertindak
yang
presisten, uniform, dan hampir otomatis (tidak disadari oleh pelakunya). Dalam kaitannya dengan metode pembelajaran Islam, dapat
dikatakan bahwa pembiasaan merupakan sebuah cara
yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan agama Islam.[8]
“Dari
Abdul Malik
ibn
al-Rabi’ ibn Sirah, dari ayahnya,
dari kakeknya yang
berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ajarilah shalat kepada
anak-anak ketika
dia
berumur
tujuh tahun,
dan pukullah dia jika meninggalkan shalat saat berumur sepuluh tahun.” (HR Darimy).
4. Metode Keteladanan
Pembelajaran dengan keteladanan berarti pembelajaran dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir dan sebagainya. Menurut Raharjo, menyatakan bahwa:
Keteladanan dalam pembelajaran adalah
metode
influentif, yang sangat menentukan dalam keberhasilan dalam menyiapkan dan membentuk sikap, prilaku, moral, spiritual dan sosial anak. Hal ini
karena pendidik adalah contoh
terbaik dalam pandangan anak yang
akan ditirunya dalam segala tindakan, disadari maupun tidak. Bahkan jiwa dan perasaan seorang
anak sering menjadi suatu gambaran pendidiknya, baik
dalam ucapan maupun
perbuatan, diketahui maupun tidak
diketahui.[9]
“Sungguh telah ada
pada
(diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (al-Ahzab 21).
Pada dasarnya Allah telah memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk berdebat
dengan cara yang sebaik-baiknya, lemah lembut dan tidak menyinggung perasaan orang lain. maka dari itu,
barang siapa yang mau merenungkan cara-cara
yang diletakkan Allah untuk melakukan perdebatan, maka ia
akan
mendapatkan cara berdebat yang sangat baik,
yaitu suatu argumentasi yang jelas, kuat dan
ampuh untuk menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, yang termasuk metode ini diantaranya adalah :
1. Metode Debat
Menurut
Raharjo, menyatakan bahwa, "metode debat
merupakan bentuk
diskusi dengan bukti-bukti yang berguna untuk mematahkan alasan atau
dalih mitra diskusi dan menjadikannya
tidak dapat bertahan,
baik yang dipaparkan
itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara".[10]
2. Metode Diskusi
Diskusi pada dasarnya
adalah saling menukar
informasi,
pendapat dan
unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud
untuk
mendapat pengertian
bersama
yang
lebih jelas dan lebih
teliti tentang sesuatu,
atau untuk mempersiapkan
dan merampungkan
keputusan bersama. Oleh
karena itu, diskusi bukanlah debat, karena
debat
adalah perang
mulut, beradu argumentasi, beradu paham, dan
kemampuan persuasi untuk memenangkan pahamnya sendiri.
Menurut
Zakiah Daradjat, "metode diskusi adalah murid memecahkan berbagai masalah secara analitis dan ditinjau
dari berbagai titik pandangan.
Diskusi bukanlah suatu upaya meyakinkan orang, juga bukan suatu debat
mempertahankan masalah, tetapi upaya kelompok untuk
berpikir
bersama secara reflektif atau mendalam".[11]
3. Metode Dialog
Metode dialog
hampir sama dengan
metode diskusi. Diskusi bertujuan mencari satu kata sepakat. Diskusi yang tidak diarahkan
untuk
mengambil satu kata
sepakat atau kesimpulan maka disebut dialog, yaitu sekedar memberi tahu tentang pendirian atas
sikap masing-masing tentang suatu hal yang telah dirasakan
sebagai suatu
permasalahan,
sehingga dalam dialog ini tidak ada yang menang atau kalah, namun masing-masing tetap pada pendiriannya yang mengakui tentang adanya perbedaan.
“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui". (QS an-Nahl 43).
Pembelajaran
yang disampaikan dengan
bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk
menjinakkan
hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketenteraman
daripada pembelajaran
yang yang isinya ancaman dan kutukan- kutukan yang mengerikan. Jika sesuai tempat dan waktunya, tidak ada
jeleknya memberikan
pembelajaran yang berisikan peringatan yang keras atau tentang
hukuman-hukuman.
Metode ini bisa dikembangkan menjadi beberapa metode, antara lain:
1. Metode ceramah
Ceramah adalah penuturan
bahan pelajaran secara lisan.
Guru memberikan
uraian atau penjelasan kepada sejumlah
murid pada waktu tertentu
(waktunya terbatas) dan tempat
tertentu
pula. Dilaksanakan dengan bahasa lisan
untuk memberikan pengertian
terhadap
suatu masalah. Dalam metode ceramah ini murid duduk, melihat dan mendengarkan serta
percaya bahwa apa
yang
diceramahkan guru itu adalah benar.
Murid mengutip ikhtisar
ceramah
semampu murid
itu sendiri dan menghafalnya
tanpa ada penyelidikan
lebih lanjut oleh guru yang bersangkutan. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar- benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
(QS Ali Imran 102).
2. Metode Tanya Jawab
Metode tanya
jawab adalah metode pembelajaran yang memungkinkan
terjadinya komunikasi
langsung antara
guru dan murid. Guru bertanya dan murid menjawab, atau murid bertanya dan
guru
menjawab. Sebagai
contoh adalah dialog
yang dilakukan oleh
Malaikat Jibril
dengan
Rasulullah. Malaikat
Jibril bertanya
tentang
iman,
islam, ihsan dan tanda-tanda
hari kiamat, sekaligus dia memberi jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya sendiri kepada Rasulullah.
Dalam
komunikasi ini terlihat
adanya
hubungan
timbal balik secara langsung antar
guru dan murid. Manfaat terpenting
adalah guru dapat memperoleh gambaran sejauh mana murid dapat mengerti dan
dapat mengungkapkan apa
yang telah
diceramahkan. Metode ini juga
bisa dipakai di luar kelas.
3. Metode Ganjaran dan Hukuman
Metode ganjaran merupakan
alat pembelajaran
yang menyenangkan dan
bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi mereka. Ganjaran adalah hadiah terhadap prilaku baik dari anak didik atau prestasi dalam proses pembelajaran. Sedangkan hukuman merupakan pembelajaran kebanyakan dianggap tidak menyenangkan bagi anak didik. Ia
merupakan imbalan dari perbuatan yang tidak baik,
namun hukuman harus ditempuh sebagai jalan terakhir, itupun harus memperhatikan kondisi anak sehingga tidak menimbulkan rasa dendam pada diri anak. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia
akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia
akan
melihat (balasan)nya pula.
(QS az-Zalzalah 7-8).
2.3.Peran
Guru dalam Pendidikan dari Perspektif Bayani
Peran adalah pola tingkah laku tertentu yang
merupakan ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu, maka
peran guru adalah harus bertanggungjawab pada proses dan hasil pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan. Menurut
Muhammad Ali, "proses pembelajaran yang dirancang hendaklah menuntut semua siswa berperan aktif dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan".[12]
Menurut Atia Mahmud Hana
berpendapat bahwa:
Guru harus memahami betul peranannya dalam proses belajar
mengajar yang bersifat majemuk, agar perilaku guru berpengaruh baik terhadap
proses belajar siswa-siswanya maka guru dituntut untuk memahami dan menghayati
gaya-gaya atau teori-teori dasar kepemimpinan karena dengan hal demikian
melalui cara, metode, gaya dalam memimpin pembelajaran dapat membangkitkan
minat belajar siswa.[13]
a.
Guru
Sebagai Pengajar
Menurut Darwisy
Djamaludin,
peran dasar guru adalah:
Salah
satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah sebagai pengajar
yang memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa yang
selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi
aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses
pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru
memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya
sebagai guru.[14]
Sedangkan menurut pendapat Muhammad Ali:
Tugas
utama guru adalah pengajar. Oleh karena itu guru merupakan faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar mengajar, dan karenanya guru
harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan
diajarkan. Dengan kata lain; guru harus mampu menciptakan situasi kondisi
belajar yang sebaik-baiknya.[15]
Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis
simpulkan bahwa peran dasar guru adalah mengajar, tetapi mengajar saja tidak
cukup tanpa membimbing, melatih dan mendidik. Oleh karena itu tugas guru bukan hanya sekedar mengajarkan materi saja
kepada siswa. Peran guru tidak cukup sebagai pengajar saja, karena
dengan mengajar saja berarti hanya menggunakan
urutan kegiatan
mengajar uraian, contoh, dan
latihan. Pada dasarnya pendekatan ini banyak sekali kekurangan, karena
pada praktiknya cenderung
berpusat pada guru atau guru lebih banyak mendominasi kegiatan pembelajaran.
b.
Guru
Sebagai Pembimbing
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan
terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan
untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum terhadap sekolah, keluarga
serta masyarakat. Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor
utama. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru memegang berbagai jenis peran.
Menurut Darwisy Djamaludin, peranannya sebagai
pembimbing harus dapat melaksanakan tenggung jawabnya, antara lain:
1)
Mengumpulkan
data tentang siswa
2)
Mengamati
tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari
3)
Mengenal
para siswa yang memerlukan bantuan khusus
4)
Mengadakan
pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik
5)
Secara
individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian tentang
pendidikan anak
6)
Bekerja
sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah
siswa
7)
Membuat
catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik
8)
Menyelenggarakan
bimbingan kelompok atau individu
9)
Bekerja
sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
10) Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama
dengan petugas bimbingan lainnya
11) Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun
di luar sekolah.[16]
Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa
peran guru baik sebagai pengajar maupun sebagai pembimbing pada hakekatnya
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, kedua peran
tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus merupakan
keterpaduan.
c.
Guru
Sebagai Teladan
Karakter guru sangat berpengaruh terhadap
siswa di samping orangtua. Interaksi guru dengan orang tua sangat besar
pengaruhnya. Melalui kehadiran dan interaksi guru, siswa dan orangtua, mereka
dapat mengenal indahnya dunia pendidikan dan cerahnya harapan masa depan.
Melalui orangtua anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan bahasanya,
mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Menurut Juhana Wijaya, "seiring dengan
bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka. Dunia sekolah dan
sekaligus menjadi anggota atau kelompok sosial di sekolah, mereka mengenal
sosok figur guru yang mereka kagumi, takuti, segani yang mereka panggil sebagai
guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di sekolah".[17]
Sedangkan menurut Aunurrahman, "gurulah sebagai teladan pembinaan percaya
diri siswa, mereka harus dibina agar memahami dan mengenal realita sosial,
harus bisa menerima posisi kalah atau menang, bertentangan atau berdamai".[18]
Dari dua pendapat di atas kita asumsikan peran
guru sebagai orang tua bagi anak di sekolah dan sebagai teladan yang
berpengaruh bagi kepribadian siswa. Oleh karena itu, respon guru yang simpatik
dan berfikir positif dari karakter atau prilaku guru yang ramah dan bersahabat
akan menjadi juru kunci dalam pembelajaran. Siswa yang usianya remaja mereka
harus berhadapan dengan berbagai macam karakter teman-temannya yang lebih
bervariasi, sebahagian teman mereka baik, lembut, penyayang dan ada juga yang
kurang baik, minder dan pemarah, maka peran guru harus mampu menghilangkan
kecemasan dan ketegangan dalam proses belajar mengajar.
3.
Rumusan Tujuan, Metode dan Peran Guru dalam Pendidikan
Islam ditinjau dari Perspektif Epistemologi Bayani
a.
Pengertian
Metode Burhani
Menurut
Mulyadi Kartanegara, menyatakan bahwa:
Al-burhani
dalam khasanah kosa kata bahasa Arab secara etimologis berarti argumen yang
jelas dan tegas. Kemudian kata ini disadur sebagai salah satu terminologi yang dipakai dalam
ilmu mantik untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar
tidaknya suatu preposisi melalui cara
deduksi, yaitu melalui cara pengaitan antar proposisi yang kebenarannya
bersifat postulatif. Sistem epistemik burhani bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan
intelektual manusia, baik berupa indera, pengalaman, maupun daya rasional,
dalam upaya pemerolehan pengetahuan tentang semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif
realitas yang sistemis, valid, dan postulatif.[19]
Mujamil Qomar, menyatakan bahwa:
Prinsip penting yang melandasi epistemologi burhani
yaitu, (1) rasionalisme (al-aqlaniyyah), (2) kausalitas (as-sababiyyah),
dan (3) esensialisme (al-mahiyyah), yang dikembangkan lewat penggunaan metode
utama: deduksi dan induksi, mengingat pengetahuan ada kalanya diperoleh melalui
indera dan adakalanya diperoleh melalui rasio. Inilah alasan mengapa episteme burhani
masih “mengabdi” pada episteme bayani dan irfani, dalam
artian bahwa episteme burhani yang berkembang dalam budaya dan tradisi
pemikiran Arab-Islam belum sepenuhnya selaras dengan fungsi aslinya, yaitu
fungsi analisis (at-tahlil) dan fungsi argument (al-burhan).
Episteme burhani belum berhasil membangun formulasi yang kokoh bagi at-tafkir
fi al-‘aql (aktivitas intelektual dalam rangka [metodologis dan metafisis]
rasio).[20]
Dari
sisi yang lebih praktis Mulyadi Kartanegara menyebutkan bahwa:
Dalam ilmu-ilmu filsafat, metode unggulannya
adalah "metode demonstrative" (burhani), karena
menggunakan silogisme atau penalaran logis, dengan menggunakan premis-premis
yang "benar, p rimer, da n niscaya". Sifat pasti dari
kategori-kategori ini menyebabkan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh bersifat
niscaya, dan pengetahuannya benar dan pasti. Atas dasar inilah pembuktian
demonstratif dipandang sebagai metode pembuktian paling ilmiah.[21]
3.1.Hubungan
Guru dan Murid Sebagai Interaksi Edukatif dari Perspektif Epistemologi Burhani
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kehadiran manusia lain. Keberadaan
manusia selain diri kita menyebabkan proses hubungan timbal-balik terjadi
secara alamiah. Proses jalinan hubungan antar individu maupun kelompok terjadi
dalam rangkaian upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling membutuhkan yang
berbeda-beda jenis kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia
lain. [22]
Kecenderungan
manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang
mengandung tindakan dan perbuatan. Oleh karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi
pun terjadi. Oleh karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan
timbal balik antara dua orang atau lebih.[23]
Ilustrasi
tentang interaksi di atas adalah interaksi manusia yang lazim terjadi dalam masyarakat.
Hal itu berbeda dengan interaksi edukatif, interaksi tersebut dilakukan secara
alamiah tanpa dilandasi pedoman tujuan yang mengikat. Mereka melakukan
interaksi dengan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, interaksi antara
manusia selalu mempunyai motif-motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan
kehidupan mereka masingmasing.
Interaksi
yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi
yang bernilai edukatif”, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan
untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai
pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif”. [24]
Interaksi
edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah
pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang
bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi edukatif harus berproses dalam
ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, interaksi edukatif adalah suatu
gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung
dalam ikatan tujuan pendidikan.[25]
Proses
interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma. Semua
norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu,
wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam
penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan
antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai
dengan pengetahuan yang diterima anak didik.[26]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua
arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk
mencapai tujuan pendidikan.
3.2.Tugas
dan Kedudukan Guru dari Perspektif
Epistemologi Burhani
Dalam
lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya
maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat
dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan dan tugas
kemasyarakatan. Sebagai salah satu profesi resmi kedudukan guru memerlukan
keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
di luar bidang pekerjaannya.
Menurut
Syamrinan, menyatakan bahwa:
Tugas
guru sebagai profesi mencakup beberapa persyaratan:
a).
Menuntut adanya keterampilan yang
berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b).
Menekankan pada suatu keahlian dalam
bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c).
Menuntut adanya tingkat pendidikan yang
memadai.
d).
Adanya kepekaan terhadap dampak
kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya.
e). Memungkinkan
perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Selain
persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh
setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain yaitu:
a).
Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
b).
Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya,
guru dengan muridnya.
c).
Diakui oleh masyarakat karena memang
diperlukan jasanya di masyarakat.[27]
Guru
di satu sisi terikat secara total dan ketat dengan aturan serta tata laksana
profesinya dari struktur organisasi yang mengelola profesi pekerjaannya,
penentuan kurikulum nasional, anggaran dana dari Departemen Pendidikan serta
ketentuan-ketentuan luar yang mengikat kerja profesinya. Namun dalam
melaksanakan pekerjaannya guru juga memiliki otoritas pribadi untuk menentukan
pendekatan pengajaran, serta serangkaian kegiatan interaksi belajar mengajar di
ruang kelas sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi .[28]
Uraian
di atas menjelaskan latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik.
Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya
dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka
kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu
kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru yang tidak
menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat (homo
ludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti bila menghadapi
guru.
Manurut
Sanapiah Faisal, Guru harus memiliki tiga kemampuan penting, ketiga kemampuan
tersebut dikenal dengan sebutan “tiga kompetensi” yaitu
(1) kompetensi profesional, (2) kompetensi
personal, dan (3) kompetensi sosial. Penjelasan untuk masing-masing adalah
sebagai berikut:
a).
Kompetensi profesional, artinya bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang luas
serta mendalam tentang bidang studi yang akan diajarkan, serta penguasaan
metodologis dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih
metode yang tepat, serta mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
b.
Kompetensi personal, artinya bahwa guru harus memiliki sikap kepribadian yang
mantap, sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Arti lebih
terperinci adalah bahwa ia memiliki kepribadian yang patut diteladani
c.
Kompetensi sosial, artinya bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi
sosial, baik dengan muridmuridnya maupun dengan sesama teman guru, dengan
kepala sekolah, dengan pegawai tata usaha, dan tidak lupa dengan anggota
masyarakat di lingkungannya.[29]
Kelompok
siswa yang menjadi subyek didik juga memberi pengaruh optimalnya pembelajaran.
Dengan kondisi siswa yang berbeda, akan tercipta suasana kelas yang berbeda
pula. Respon yang berbeda antar kelompok siswa di kelas tertentu disbanding
dengan kelompok siswa di kelas lain akan mempengaruhi pendekatan pembelajaran
yang berbeda.
Anak-anak
yang oleh gurunya diharapkan bisa mencapai hasil yang lebih besar, memang bisa
menunjukkan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, tingginya pengharapan
guru tampaknya memungkinkan anak-anak bisa meningkatkan kemampuan yang cukup
tinggi pula.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam
Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, terj. Hery Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1989.
Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Bandung: Al-Ma'arif,
1980.
Atia Mahmud Hana, Bimbingan Pendidikan dan Pengajaran,
Jakarta: Bulan Bintang,1978.
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran,
Bandung: Alfabeta, 2010.
Darwisy
Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 1998.
Darwisy
Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 1998
Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 1998
Hasan Langgulung, Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam Bandung: Al-Ma'arif, 1980.
Juhana Wijaya, Psikologi Bimbingan, Bandung: Eresco
1998.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi,
Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Muhammad
Sayyid
Thanthawi, Menemukan Format Dialog dalam
Islam,
Jakarta: Azan, 2001.
Muhammad
Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000.
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan
Islam; dari Metode Rasional hingga MetodeKritik, Jakarta: Erlangga, 2005.
Mukhtar,
Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta:
Misaka Galisa, 2003.
Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius:
Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.
Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius:
Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.
Raharjo
dkk.,
Pemikiran
Pendidikan Islam:
Kajian
Tokoh
Klasik
dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan,
Surabaya: Usaha Nasional, tt.
Yahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar
Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1986.
Zakiah Daradjat, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Mohammad Adib, Filsafat
Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 69.
[2] Mulyadi
Kartanegara, Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia,
(Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 71-72.
[4] Hasan Langgulung, Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980), hlm. 59-60.
[7] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam
Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, terj. Hery Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989), hlm.
404.
[9] Raharjo
dkk.,
Pemikiran
Pendidikan Islam:
Kajian
Tokoh
Klasik
dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 66.
[10]
Muhammad Sayyid Thanthawi,
Menemukan
Format
Dialog
dalam Islam, (Jakarta: Azan, 2001), hlm. 85.
[12] Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Sinar Baru Algasindo,
2000), hlm. 60.
[14] Darwisy
Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 1998). hlm.
189.
[15] Muhammad Ali, Guru
…, hlm. 64.
[16] Darwisy
Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 1998). hlm.
190.
[18] Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta,
2010), hlm. 65.
[20] Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:
Erlangga, 2005), hlm. 20-21
[22] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha
Nasional, tt), h. 167-168
[23] Sanapiah Faisal, Sosiologi…,
hlm. 167-168
[24] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1993), hlm. 71.
[25] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), hlm. 39.
[26] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1986), hlm. 37-38.
[27] Syahminan Zaini, Prinsip…, hlm. 40-41.
[28] Syahminan Zaini, Prinsip…, hlm. 42.
[29] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan…, hlm. 170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar