Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 November 2015

Tujuan Pendidikan Islam di tinjau dari epistemologi bayani dan burhani Oleh Ridwan MA

Tugas Ujian Komprehensif Pascasarjana UIN Ar-Raniry
Ridwan/23111303-2 Pendidikan Islam

1.      Review Tesis 
Proses pembelajaran yang baik adalah mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong sikap percaya diri siswa, dan mampu memberdayakan peserta didik sebagai subjek belajar, mendorong siswa mengatualisasi diri, mengahargai diri, mengeksistensikan dirinya dalam setiap kegiatan pembelajaran, namun kenyataannya pada MTsN Teunom pembelajaran umumnya berpusat pada guru (teacher centered) yang sangat berpengaruh bagi percaya diri siswa.
Adapun rumusan  masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajarn pada MTsN Teunom. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengkaji strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajarn pada MTsN Teunom.
Penelitian ini bersifat field reseach (penelitian lapangan), maka jenis data awal sebagai referensi penelitian diperlukan informasi yang berkaitan dengan fokus masalah yang dikumpulkan dari buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, majalah dan sumber tertulis lainnya, kemudian penulis mengadakan penelitian di lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data; observasi, wawancara (Interview), angket, dan dokumentasi. Data penelitian tersebut dianalisis dan diuraikan dalam bentuk narasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran dilakukan dengan cara memaksimalkan model pembelajaran aktif dan kooperatif, menghargai keberanian siswa mencoba pengalaman baru, mentoleril kurang tepat jawaban siswa, menghargai siswa bertanya, menunjukkan kasih sayang dan perhatian. Guru menilai eksistensi siswa, manaruh harapan yang realistik terhadap diri siswa, memotivasi keberanian mereka berbicara/ mengemukakan pendapat sendiri dan guru menggunakan penilaian autentik. Menunjukkan sikap penerimaan kelebihan dan kekuranga siswa dengan tulus, menggunakan metode pembelajaran yang variatif, dan melibatkan seluruh siswa dalam pembelajaran.

2.      Rumusan Tujuan, Metode dan Peran Guru dalam Pendidikan Islam ditinjau dari Perspektif Epistemologi Bayani.

a.  Pengertian Metode Bayani
Menurut Mohammad Adib, terma bayan mengandung beragam arti, yaitu:
(1) kesinambungan (al-washl); (2) keterampilan (al-fashl); (3) jelas dan terang (azh-zhuhur wa al-wudhuh); dan (4) kemampuan membuat  terang dan jelas. Berdasarkan ragam arti ini, dapat disimpulkan bahwa makna generik yang terkandung dalam terma bayan adalah keterpilahan dan kejelasan. Sebagai sebuah episteme, keterpilahan dan kejelasan tersebut yang mewujud dalam bayan ibarat perspektif dan metode yang sangat menentukan pola pemikiran dalam lingkup estetika-susastra dan  sekaligus dalam lingkup logik-diskursif. [1]

Menurut Mulyadi Kartanegara, menyatakan bahwa:
Terma bayan berubah menjadi sebuah istilah yang tidak sekedar mencakup arti segala sesuatu yang berkaitan dengan realisasi tindakan memahamkan, tetapi juga mencakup arti segala sesuatu yang mendasari tindakan memahami. Transformasi episteme bayan dari wacana kebahasaan  menuju wacana diskursif. Lebih jauh, episteme bayan telah menjadi semacam perspektif dan sistem yang melandasi pemikiran sistematis dalam menginterpretasi wacana (fi tafsir al-khitab) dan memproduksi  wacana (fi intaj al-khitab).[2]

2.1.   Rumusan Tujuan Pendidikan Islam ditinjau dari Perspektif Epistemologi Bayani

Adapun tujuan pendidikan Islam dalam perspektif epistemologi bayani dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Tujuan akhir
Tujuan  ini bersifat  mutlak,  tidamengalami  perubahan  dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep ke-Tuhanan yang mengandung kebenaran  mutlak  dan  universal.
Menurut Ahma D. Mariban, menyatakan bahwa:
Tujuan pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu:
1)  Menjadi hamba Allah
2)  Mengantarkan subjek didik menjadi khalifah di muka bumi
3) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.[3]

b.   Tujuan umum
Berbeda dengan tujuan akhir yang lebih mengutamakan pendekatan filosofik,  tujuan  umum  lebih  bersifat  empirik  dan  realistik.  Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya  dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik. Dikatakan  umum  karena  berlaku  bagi  siapa  saja  dan  tanpa  dibatasi ruang dan waktu, dan menyangkut diri peserta didik secara total.
Menurut Hasan Langgulung, tujuan umum pendidikan Islam adalah:
1) Untuk mengadakan  pembentukan  akhlak yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah initi pendidikan Islam, dan bahwa mencapai  akhlak  yang  sempurna  adalah  tujuan  pendidikan yang sebenarnya.
2) Persiapan  untuk  kehidupan  dunia  dan  kehidupan  akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua- duanya, sekali.
3) Persiapa untuk   mencari   rizk da pemeliharaan    segi manfa'at, atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan professional.
4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan  tahu  (curiosity)  dan  memungkinkan  ia  mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
5) Menyiapkan pelajar dari segi professional, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat ia mencari rezeki dalam  hidup  di  samping  memelihara  segi  kerohanian  dan keagamaan.[4]

c.       Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan akhir dan tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga  dimungkinkan  untuk  diadakan  perubahan  di  mana  perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan akhir dan tujuan umum.
Menurut Ramayulis, menyatakan bahwa:
Tujuan khusus itu menunjukan  kepada suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Adapun tujuan-tujuan   khusus  yang  mungkin  dimasukkan antara lain:
1) Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakannya dengan betul, dengan  membiasakan mereka berhati-hati mematuhi akidah-akidah agama damenjalankan  dan menghormati syiar-syiar agama.
2) Menumbuhkan kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap agama  termasuk  prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.
3) Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, dan kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhirat berdasar pada faham kesadaran dan perasaan.
4) Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5) Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur'an membacanya dengan baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6) Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka.
7) Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab,  menghargai kewajiban, tolong-menolong atau kebaikan dan taqwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air dan bersiap untuk membelahnya.
8) Mendidik naluri, motivasi dan keinginan generasi muda dan menguatkannya dengan akidah dan nilai-nilai, dan membiasakan mereka menahan motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu mengajar mereka berpegang dengan adab sopan pada hubungan dan pergaulan mereka baik di rumah atau di sekolah atau di mana-mana sekalipun.
9) Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka, perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka dan menyuburkan  hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.
10) Membersihkan  hati  mereka  dari  rasa  dengki,  hasad,  iri  hati, benci,  kekasaran,  kezaliman,  egoisme,  tipuan,  khianat,  'nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.[5]

2.2.Metode Pendidikan Islam dalam Kontek Bayani
Metode dalam pendidikan Islam dalam kontek bayani dapat digunakan guru sesuai dengan kebutuhan dan  situasinya, diantaranya:
1.      Metode Kisah
Metod kisah   merupakan   suatu   cara   dala menyampaikan   materi pelajara dengan   menuturkan   secara   kronologis   tentang   bagaimana terjadinya suatu hal.
Menurut Mukhtar, menyatakan bahwa:
Metode al-Kisah adalah menyampaikan materi pembelajaran diambil langsung dari teks al-Qur’an dan hadits,  atau  intisari  dan  penjabaran  dari  keduanya,  sehingga  dikenal dengan  istilah  "Kisah  Qur’ani"  da"Kisah  Nabawi". Kedua  sumber tersebut memiliki substansi cerita yang valid tanpa diragukan lagi kebenarannya.Sesungguhnya  pada kisah-kisah  mereka itu terdapat pelajaran  bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS Yusuf: 111).[6]

2.   Metode Nasehat
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "metode  nasehat  ialah  penjelasan  tentang  kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasehati  dari bahaya serta menunjukkannya  ke jalan yang mendatangkan  kebahagiaan dan manfaat".[7] Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kedzaliman yang besar. (QS Luqman: 13)

3.   Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Menurut Mukhtar, menyatakan bahawa:
Kebiasaan  ialah  cara-cara  bertindak  yang  presisten, uniform, dan hampir otomatis (tidak disadari oleh pelakunya). Dalam kaitannya dengan metode pembelajaran Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan merupakan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan agama Islam.[8]

“Dari  Abdul  Malik  ibn  al-Rabi’  ibn  Sirah,  dari  ayahnya,  dari kakeknya yang berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ajarilah shalat  kepada   anak-ana ketika  dia  berumur   tujuh  tahun,  dan pukullah dia jika meninggalkan shalat saat berumur sepuluh tahun.(HR Darimy).

4.    Metode Keteladanan
Pembelajaran dengan keteladanan berarti pembelajaran dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir dan sebagainya. Menurut Raharjo, menyatakan bahwa:
Keteladanan  dalam  pembelajaran  adalah  metode  influentif, yang sangat menentukan dalam keberhasilan dalam menyiapkan dan membentuk sikap, prilaku, moral, spiritual dan sosial anak. Hal ini karena pendidik   adala contoh   terbaik   dala pandanga ana yang   akan ditirunya dalam segala tindakan, disadari maupun tidak. Bahkan jiwa dan perasaan seorang anak sering menjadi suatu gambaran pendidiknya, baik dalam  ucapan  maupun  perbuatan,  diketahui  maupun  tidak  diketahui.[9]

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (al-Ahzab 21).
Pada dasarnya  Allah telah memerintahkan  kepada hamba-Nya untuk berdebat  dengan cara yang sebaik-baiknya, lemah lembut dan tidak menyinggung perasaan orang lain.  maka  dari  itu,  barang  siapa  yang  mau  merenungkan  cara-cara yang diletakkan Allah untuk melakukan perdebatan, maka ia akan mendapatkan cara berdebat yang sangat baik, yaitu suatu argumentasi yang jelas, kuat dan ampuh untuk menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, yang termasuk metode ini diantaranya adalah :

1.   Metode Debat
Menurut Raharjo, menyatakan bahwa, "metode debat merupakan bentuk diskusi dengan bukti-bukti yang berguna untuk mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara".[10]

2.   Metode Diskusi

Diskusi pada dasarnya adalah saling menukar  informasi,  pendapat dan   unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian  bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan   dan merampungkan keputusan bersama. Oleh karena itu, diskusi bukanlah debat, karena debat adalah perang mulut, beradu argumentasi, beradu paham, dan  kemampuan persuasi untuk memenangkan pahamnya sendiri.
Menurut Zakiah Daradjat, "metode diskusi adalah murid memecahkan berbagai masalah secara analitis dan ditinjau dari berbagai titik pandangan. Diskusi bukanlah suatu upaya meyakinkan orang, juga bukan suatu debat mempertahankan masalah, tetapi upaya kelompok untuk berpikir bersama secara reflektif atau mendalam".[11]

3.   Metode Dialog

Metode dialog hampir sama dengan metode diskusi. Diskusi bertujuan mencari satu kata sepakat. Diskusi yang tidak diarahkan untuk mengambil satu kata sepakat atau kesimpulan maka disebut dialog, yaitu sekedar memberi tahu tentang pendirian atas sikap masing-masing tentang suatu hal yang  telah  dirasakan  sebagai  suatu  permasalahan,  sehingga dalam dialog ini tidak ada yang menang atau kalah, namun masing-masing tetap pada pendiriannya yang mengakui tentang adanya perbedaan. “…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui". (QS an-Nahl 43).
Pembelajaran  yang  disampaikan  dengan  bahasa  yang  lemah  lembut, sangat  baik untuk  menjinakkan  hati yang liar dan lebih banyak  memberikan ketenteraman  daripada pembelajaran  yang yang isinya ancaman dan kutukan- kutukan yang mengerikan. Jika sesuai tempat dan waktunya, tidak ada jeleknya memberikan  pembelajaran  yang berisikan peringatan  yang keras atau tentang hukuman-hukuman.
Metode ini bisa dikembangkan menjadi beberapa metode, antara lain:
1.   Metode ceramah

Ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Guru memberikan  uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu tertentu (waktunya   terbatas) dan tempat tertentu pula. Dilaksanakan dengan bahasa lisan untuk memberikan pengertian terhadap suatu masalah. Dalam metode ceramah ini murid duduk, melihat dan mendengarkan serta percaya bahwa apa yang diceramahkan guru  itu adalah benar. Murid mengutip ikhtisar ceramah semampu murid itu sendiri dan menghafalnya tanpa ada penyelidikan lebih lanjut oleh guru yang bersangkutan. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar- benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran 102).

2.   Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah metode pembelajaran yang memungkinkan  terjadinya  komunikasi  langsung  antara  guru dan murid. Guru bertanya dan murid menjawab, atau murid bertanya dan guru menjawab.  Sebagai  contoh adalah dialog yang dilakukan  oleh Malaikat Jibril  dengan  Rasulullah.  Malaikat  Jibril  bertanya  tentang  iman,  islam, ihsan dan tanda-tanda  hari kiamat,  sekaligus  dia memberi  jawaban  dari pertanyaan-pertanyaannya sendiri kepada Rasulullah.
Dalam  komunikasi  ini  terlihat  adanya  hubungan  timbal  balik secara  langsung antar guru dan murid. Manfaat  terpenting  adalah  guru dapat memperoleh gambaran sejauh mana murid dapat mengerti dan dapat mengungkapkan   apa  yang  telah  diceramahkan.  Metode  ini  juga  bisa dipakai di luar kelas.

3.  Metode Ganjaran dan Hukuman
Metode ganjaran merupakan alat pembelajaran yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi mereka. Ganjaran adalah hadiah terhadap prilaku baik dari anak didik atau prestasi dalam proses pembelajaran. Sedangkan hukuman merupakan pembelajaran kebanyakan dianggap tidak menyenangkan bagi anak didik. Ia merupakan imbalan dari perbuatan yang tidak baik, namun hukuman harus ditempuh sebagai jalan terakhir, itupun harus memperhatikan kondisi anak sehingga tidak menimbulkan rasa dendam pada diri anak. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS az-Zalzalah 7-8).

2.3.Peran Guru dalam Pendidikan dari Perspektif Bayani
Peran adalah pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu, maka peran guru adalah harus bertanggungjawab pada proses dan hasil pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan. Menurut Muhammad Ali, "proses pembelajaran yang dirancang hendaklah menuntut semua siswa berperan aktif dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan".[12]
Menurut Atia Mahmud Hana berpendapat bahwa:
Guru harus memahami betul peranannya dalam proses belajar mengajar yang bersifat majemuk, agar perilaku guru berpengaruh baik terhadap proses belajar siswa-siswanya maka guru dituntut untuk memahami dan menghayati gaya-gaya atau teori-teori dasar kepemimpinan karena dengan hal demikian melalui cara, metode, gaya dalam memimpin pembelajaran dapat membangkitkan minat belajar siswa.[13]

a.    Guru Sebagai Pengajar
Menurut Darwisy Djamaludin, peran dasar guru  adalah:
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah sebagai pengajar yang memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa yang selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru.[14]

Sedangkan menurut pendapat Muhammad Ali:
Tugas utama guru adalah pengajar. Oleh karena itu guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkan. Dengan kata lain; guru harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.[15]

Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa peran dasar guru adalah mengajar, tetapi mengajar saja tidak cukup tanpa membimbing, melatih dan mendidik. Oleh karena itu tugas guru bukan hanya sekedar mengajarkan materi saja kepada siswa. Peran guru tidak cukup sebagai pengajar saja, karena dengan mengajar saja berarti hanya menggunakan urutan kegiatan mengajar uraian, contoh, dan latihan. Pada dasarnya pendekatan ini banyak sekali kekurangan, karena pada praktiknya cenderung berpusat pada guru atau guru lebih banyak mendominasi kegiatan pembelajaran.

b.    Guru Sebagai Pembimbing
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat. Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor utama. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru memegang berbagai jenis peran.
Menurut Darwisy Djamaludin, peranannya sebagai pembimbing harus dapat melaksanakan tenggung jawabnya, antara lain:
1)      Mengumpulkan data tentang siswa
2)      Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari
3)      Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus
4)      Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik
5)      Secara individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak
6)      Bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
7)      Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik
8)      Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu
9)      Bekerja sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
10)  Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya
11)  Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.[16]

Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa peran guru baik sebagai pengajar maupun sebagai pembimbing pada hakekatnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, kedua peran tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus merupakan keterpaduan.

c.    Guru Sebagai Teladan
Karakter guru sangat berpengaruh terhadap siswa di samping orangtua. Interaksi guru dengan orang tua sangat besar pengaruhnya. Melalui kehadiran dan interaksi guru, siswa dan orangtua, mereka dapat mengenal indahnya dunia pendidikan dan cerahnya harapan masa depan. Melalui orangtua anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan bahasanya, mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Menurut Juhana Wijaya, "seiring dengan bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka. Dunia sekolah dan sekaligus menjadi anggota atau kelompok sosial di sekolah, mereka mengenal sosok figur guru yang mereka kagumi, takuti, segani yang mereka panggil sebagai guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di sekolah".[17] Sedangkan menurut Aunurrahman, "gurulah sebagai teladan pembinaan percaya diri siswa, mereka harus dibina agar memahami dan mengenal realita sosial, harus bisa menerima posisi kalah atau menang, bertentangan atau berdamai".[18]
Dari dua pendapat di atas kita asumsikan peran guru sebagai orang tua bagi anak di sekolah dan sebagai teladan yang berpengaruh bagi kepribadian siswa. Oleh karena itu, respon guru yang simpatik dan berfikir positif dari karakter atau prilaku guru yang ramah dan bersahabat akan menjadi juru kunci dalam pembelajaran. Siswa yang usianya remaja mereka harus berhadapan dengan berbagai macam karakter teman-temannya yang lebih bervariasi, sebahagian teman mereka baik, lembut, penyayang dan ada juga yang kurang baik, minder dan pemarah, maka peran guru harus mampu menghilangkan kecemasan dan ketegangan dalam proses belajar mengajar.

3.      Rumusan Tujuan, Metode dan Peran Guru dalam Pendidikan Islam ditinjau dari Perspektif Epistemologi Bayani

a.      Pengertian Metode Burhani 
Menurut Mulyadi Kartanegara, menyatakan bahwa:
 Al-burhani dalam khasanah kosa kata bahasa Arab secara etimologis berarti argumen yang jelas dan tegas. Kemudian kata ini disadur sebagai  salah satu terminologi yang dipakai dalam ilmu mantik untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu  preposisi melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan antar proposisi yang kebenarannya bersifat postulatif. Sistem epistemik burhani bertumpu  sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya pemerolehan pengetahuan tentang semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistemis, valid, dan postulatif.[19] 

Mujamil Qomar, menyatakan bahwa:
Prinsip penting yang melandasi epistemologi burhani yaitu, (1) rasionalisme (al-aqlaniyyah), (2) kausalitas (as-sababiyyah), dan (3) esensialisme (al-mahiyyah), yang dikembangkan lewat penggunaan metode utama: deduksi dan induksi, mengingat pengetahuan ada kalanya diperoleh melalui indera dan adakalanya diperoleh melalui rasio. Inilah alasan mengapa episteme burhani masih “mengabdi” pada episteme bayani dan irfani, dalam artian bahwa episteme burhani yang berkembang dalam budaya dan tradisi pemikiran Arab-Islam belum sepenuhnya selaras dengan fungsi aslinya, yaitu fungsi analisis (at-tahlil) dan fungsi argument (al-burhan). Episteme burhani belum berhasil membangun formulasi yang kokoh bagi at-tafkir fi al-‘aql (aktivitas intelektual dalam rangka [metodologis dan metafisis] rasio).[20]

Dari sisi yang lebih praktis Mulyadi Kartanegara menyebutkan bahwa:
Dalam ilmu-ilmu filsafat, metode unggulannya adalah "metode demonstrative" (burhani), karena menggunakan silogisme atau penalaran logis, dengan menggunakan premis-premis yang "benar, p rimer, da n niscaya". Sifat pasti dari kategori-kategori ini menyebabkan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh bersifat niscaya, dan pengetahuannya benar dan pasti. Atas dasar inilah pembuktian demonstratif dipandang sebagai metode pembuktian paling ilmiah.[21]

3.1.Hubungan Guru dan Murid Sebagai Interaksi Edukatif dari Perspektif Epistemologi Burhani
Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kehadiran manusia lain. Keberadaan manusia selain diri kita menyebabkan proses hubungan timbal-balik terjadi secara alamiah. Proses jalinan hubungan antar individu maupun kelompok terjadi dalam rangkaian upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling membutuhkan yang berbeda-beda jenis kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia lain. [22]
Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Oleh karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Oleh karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[23]
Ilustrasi tentang interaksi di atas adalah interaksi manusia yang lazim terjadi dalam masyarakat. Hal itu berbeda dengan interaksi edukatif, interaksi tersebut dilakukan secara alamiah tanpa dilandasi pedoman tujuan yang mengikat. Mereka melakukan interaksi dengan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, interaksi antara manusia selalu mempunyai motif-motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan mereka masingmasing.
Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi yang bernilai edukatif”, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif”. [24]
Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi edukatif harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan.[25]
Proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma. Semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik.[26] Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.



3.2.Tugas dan Kedudukan Guru dari Perspektif Epistemologi Burhani
Dalam lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan dan tugas kemasyarakatan. Sebagai salah satu profesi resmi kedudukan guru memerlukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pekerjaannya.
Menurut Syamrinan, menyatakan bahwa:
Tugas guru sebagai profesi mencakup beberapa persyaratan:
a).  Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b).  Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c).   Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai.
d).  Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya.
e).   Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Selain persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain yaitu:
a). Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
b). Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya.
c).  Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.[27]

Guru di satu sisi terikat secara total dan ketat dengan aturan serta tata laksana profesinya dari struktur organisasi yang mengelola profesi pekerjaannya, penentuan kurikulum nasional, anggaran dana dari Departemen Pendidikan serta ketentuan-ketentuan luar yang mengikat kerja profesinya. Namun dalam melaksanakan pekerjaannya guru juga memiliki otoritas pribadi untuk menentukan pendekatan pengajaran, serta serangkaian kegiatan interaksi belajar mengajar di ruang kelas sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi .[28]
Uraian di atas menjelaskan latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat (homo ludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti bila menghadapi guru.
Manurut Sanapiah Faisal, Guru harus memiliki tiga kemampuan penting, ketiga kemampuan tersebut dikenal dengan sebutan “tiga kompetensi” yaitu
(1) kompetensi profesional, (2) kompetensi personal, dan (3) kompetensi sosial. Penjelasan untuk masing-masing adalah sebagai berikut:
a). Kompetensi profesional, artinya bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang luas serta mendalam tentang bidang studi yang akan diajarkan, serta penguasaan metodologis dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih metode yang tepat, serta mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
b. Kompetensi personal, artinya bahwa guru harus memiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Arti lebih terperinci adalah bahwa ia memiliki kepribadian yang patut diteladani
c. Kompetensi sosial, artinya bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan muridmuridnya maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah, dengan pegawai tata usaha, dan tidak lupa dengan anggota masyarakat di lingkungannya.[29]

Kelompok siswa yang menjadi subyek didik juga memberi pengaruh optimalnya pembelajaran. Dengan kondisi siswa yang berbeda, akan tercipta suasana kelas yang berbeda pula. Respon yang berbeda antar kelompok siswa di kelas tertentu disbanding dengan kelompok siswa di kelas lain akan mempengaruhi pendekatan pembelajaran yang berbeda.
Anak-anak yang oleh gurunya diharapkan bisa mencapai hasil yang lebih besar, memang bisa menunjukkan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, tingginya pengharapan guru tampaknya memungkinkan anak-anak bisa meningkatkan kemampuan yang cukup tinggi pula.
DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, terj. Hery Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1989.

Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Bandung: Al-Ma'arif, 1980.

Atia Mahmud Hana, Bimbingan Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Bulan Bintang,1978.

Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, 2010.

Darwisy Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1998.

Darwisy Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1998

Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998

Hasan Langgulung, Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam Bandung: Al-Ma'arif, 1980.

Juhana Wijaya, Psikologi Bimbingan, Bandung: Eresco 1998.

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Muhammad  Sayyid  Thanthawi,  Menemukan  Format  Dialog  dalam  Islam, Jakarta: Azan, 2001.

Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000.

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga MetodeKritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misaka Galisa, 2003.

Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.
 
Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.

Raharjo  dkk.,  Pemikiran  Pendidikan  Islam:  Kajian  Tokoh  Klasik  dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, tt.

Yahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1986.

Zakiah Daradjat, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.




[1] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 69.
[2] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm.  71-72.
[3]Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980), hlm. 23.
[4] Hasan Langgulung, Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980), hlm. 59-60.
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 64.
[6] Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galisa, 2003), hlm. 134.
[7] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, terj. Hery Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989), hlm. 404.

[8] Mukhtar, Desain hlm. 137.
[9] Raharjo  dkk.,  Pemikiran  Pendidikan  Islam:  Kajian  Tokoh  Klasik  dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 66.
[10] Muhammad  Sayyid  Thanthawi,  Menemukan  Format  Dialog  dalam  Islam, (Jakarta: Azan, 2001), hlm. 85.
[11] Zakiah Daradjat, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 153
[12] Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), hlm. 60.
[13] Atia Mahmud Hana, Bimbingan Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Bulan Bintang,1978), hlm. 56.
[14] Darwisy Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1998).  hlm. 189.
[15] Muhammad Ali,  Guru …, hlm. 64.

[16] Darwisy Djamaludin, Strategi Belajar Mengajar PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1998).  hlm. 190.

[17] Juhana Wijaya, Psikologi Bimbingan, (Bandung: Eresco 1998), hlm. 192.
[18] Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 65.
[19] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius…, hlm. 71
[20] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 20-21
[21] Mulyadi Kartanegara, Nalar…, hlm. 73
[22] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, tt), h. 167-168
[23] Sanapiah Faisal, Sosiologi…,  hlm. 167-168
[24] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 71.
[25] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 39.
[26] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), hlm. 37-38.

[27] Syahminan Zaini, Prinsip…, hlm. 40-41.
[28] Syahminan Zaini, Prinsip…, hlm. 42.
[29] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan…,  hlm. 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar