Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 November 2015

Ulumul Hadist Aljarhu wa Takdil Oleh Ridwan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hadits mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di dunia, karena semua persoalan manusia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Dalam memahami Hadits diperlukan perangkat instrumen, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Hadits, Sosiologi, Antropologi dan Budaya   guna mewujudkan Hadits aplikatif sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman.[1]
Dalam ilmu Hadits tidak hanya matan yang jadi objek kajian, tetapi perawi juga jada lahan kajian yang panjang lebar. Ilmu jarh wa ta’dil misalanya, termasuk salah satu dari cabang-cabang ilmu hadits untuk mengetahui hal-ihwal para perawi hadits yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hadits yang mereka riwayatkan. Namun sebahagian beranggapan bahwa menjarh (mencela) perawi hadits tidak dibenarkan oleh Islam.
Oleh karena itu, maka sangat perlu sekali pemakalah memaparkan didalam makalah ini tentang pengertian ilmu jarh wa ta’dil, sejarah perkembangannya, kaidah-kaidah yang digunakan dalam ilmu jarh wa ta’dil, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan ilmu ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Kata al-jarh adalah bentuk isim masdar dari kata جَرْحًا – يَجْرُحُ – جَرَحَ  yang berarti melukai atau luka yang mengalirkan darah.[2] Menurut Louis Ma’luf “al-jarh berarti memaki, menista, dan menjelekan (baik secara berhadapan langsung maupun dari belakang).[3]
Dalam istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti terlihatnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau sifat buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Atau sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan hafalannya. Al-jarh dapat pula diartikan memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.[4]
Ilmu al-jarh adalah ilmu yang mempelajari cacat para perawi seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadits mendefenisikan al-jarh adalah
الطَّعْنُ فِى رَاوِى الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ      
Artinya: “Kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”
Lawan dari kata al-jarh adalah at-ta’dil. Kata at-ta’dil adalah bentuk masdar dari kata تَعْدِيْلٌ – يُعَدِّلُ – عَدَّلَ  yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan menetapkan bahwa ia adil dan dhabit.
Ajjaj al-Khatib, seorang ahli hadits kontemporer dari suriah mengatakan, bahwa at-ta’dil adalah orang yang tidak tampak padanya sifat yang dapat merusak agama dan perangainya, sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima sebagai suatu kebenaran.[5]
Hasbi Ash-Shiddieqy mendefenisikannya, sebagai berikut:
وَصْفُ الرَّاوِي بِصِفَاتٍ تُوْحِبُ عَدَالَتُهُ الَّتِى هِيَ مِدَارُ الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
Artinya:Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adi, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya”.[6]
Adilnya rawi terlihat pada pengamalan dan ketekunannya dalam menunaikan ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.[7]
Atas dasar tersebut, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil bisa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai) para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
Ali Mustafa Yaqub mendefenisikannya dengan ilmu yang mengupas karakteristik masing-masing rawi, apakah ia seorang yang bertaqwa, jujur, kuat ingatannya, dan sebagainya, atau ia seorang yang suka berbuat maksiat, pelupa, pendusta, dan sebagainya.[8]
Abd al-Maujuf mendefenisikan ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah: ilmu yang menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.[9]
Dengan demikian, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Al-Ghazali dan An-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan, bahwa tajrih termasuk kategori umpat yang dibolehkan untuk tujuan kemaslahatan. Mengumpat orang (tajrih) dibolehkan baik dia masih hidup ataupun sudah meninggal karena ada kepentingan agama yang harus dicapai dengan mengumpat itu.[10]
Mengumpat (tajrih) yang dibolehkan ada enam macam,[11] yaitu; Pertama karena teraniaya, boleh bagi seseorang yang teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang dengan tindakannya begini-begini. Kedua meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran, seseorang boleh mengatakan kepada penguasa atau kepada yang dapat membasmi kemungkaran bahwa seseorang telah berbuat jahat, maka tegurlah dia. Ketiga untuk meminta Fatwa, seorang mustafti boleh mengatakan kepada seorang mufti bahwa ia telah dizalimi, maka dia boleh menceritakan bagaimana jalan melepaskan diri dan kezaliman itu. Keempat untuk menghidarkan manusia dari kejahatan orang yang jahat, dalam hal ini, mencela diri saksi di depan hakim atau mencela para perawi Hadits yang memang patut dicela, tindakan ini boleh hukumnya dengan ijma’ ulama, bahkan ada yang mengatakan hukumnya wajib. Kelima orang yang dijarah itu orang yang terang-terangan berbuat bid’ah, maka boleh disebut secara terang-terangan bid’ah yang dianut dan maksiat-maksiat yang dilakukannya. Keenam untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya, apabila seseorang terkenal dengan suatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh mengatakan “si A yang tuli” dengan maksud menerangkan keadaan orang itu dan bukan dengan maksud menjelekkannya.

B.  Sejarah dan Perkembangannya
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslim telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa memiliki legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadits-hadits Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu.
Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits-hadits Rasulullah SAW, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadits tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibn Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masa tabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadits. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H).
Ulama-ulama jarh wa ta’dil menerangkan kejelekan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah ibn al-Hajjaj (82 H-160 H ), pernah ditanyakan tentang hadits Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “saya takut kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali ibn al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali ibn al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadits”.[12]
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadits. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadits, untuk “menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[13]
Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban syar’I yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadits, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[14]
Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadits yang otentik dan mana hadits yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadits untuk mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam (211 H).[15]
Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh wa ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w. 255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w. 261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi ibn Makhlad (w. 276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[16]
Karya-karya besar dalam ilmu jarh wa ta’dil diantaranya, yaitu; Pertama Ma’rifatur rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab Pertama yang sampai pada kita, juz I buku tersebut berupa manuskrip (tulisan tangan) berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah. Kedua Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri, dicetak di Hindia tahun 320 H. Ketiga At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap. Keempat Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak manfaat  bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi, sering dicsetak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan. Kelima Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad. Keenam Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.

B.     Manfaat Ilmu Jarh wa Ta’dil
Manfaat mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabila seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
Cacat (keaiban) rawi itu banyak, akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu; Pertama Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’)
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at. Kedua Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah). Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu terlalu berat atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar". Ketiga Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya). Ghalath (salah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan. Keempat Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya). Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya. Kelima Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus), misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
C.     Filter Keadilan dan Kecacatan Rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu; Pertama Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti; Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya. Kedua Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.

 Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih), yaitu; Pertama
Berilmu pengetahuan, kedua Takwa, ketiga Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil, dan makruhat), keempat Jujur, kelima Menjauhi fanatik glongan, keenam Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.
Sedangkan boleh atau tidaknya penta’dilan dan pentajrihan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, di sini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.
Jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi, terdapat perselisihan pendapat, yaitu; Pedapat Pertama fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah. Pendapat kedua cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak menjajadi syarat dalam penerimaan hadits. Pendapat ketiga cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
 Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil, apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, sebagian ulama menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij, maka dalam hal ini terdapat 4 pendapat, yaitu; Pertama Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama. Kedua Ta’dil harus didahulukan dari jarh. Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif. Ketiga Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka. Keempat Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.
Tingkatan lafadz dari yang terkuat untuk menta’dil rawi
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, sebagai berikut:
1). Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil, contoh: الناس أوثق  (Orang yang paling tsiqah)أثبت الناس حفظا وعدالة  (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)إليه المنتهي فى الثبت  (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)ثقة فوق الثقة  (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh).
2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja, contoh:ثبت ثبت  (Orang yang teguh lagi teguh) ثقة ثقة  (orang yang tsiqah lagi tsiqah)حجة حجة  (orang yang ahli lagi petah lidahnya)ثبة ثقة  (orang yang teguh lagi tsiqah)حافظ حجة  (orang yang hafidz lagi petah lidahnya)ضابط متقن  (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya).
3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, contoh:ثبت  (orang yang teguh hati dan lidahnya )متقن  (orang yang meyakinkan ilmunya)ثقة  (orang yang tsiqoh)حافظ  (orang yang kuat hafalanya) حجة  (orang yang petah lidahnya).
4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil, contoh:صدوق  (orang yang sangat jujur)مأمون  (orang yang dapat memegang amanat)لابأس به  (orang yang tidak cacat).
5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn, contoh: محله الصدق  (orang yang berstatus jujur)جيد الحديث  (orang yang baik haditsnya)حسن الحديث  (orang yang bagus haditsnya)مقارب الحديث  (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh).
6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat di atas yang diikuti lafadz “Inssa Allah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan, contoh:صدوق إن شاءالله  (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)فلان أرجوا بأن لابأس به  (orang yang diharapkan tsiqah)فلان صويلح  (orang yang shalih)فلان مقبول حديثه  (orang yang diterima haditsnya).
Enam tingkatan lafadz dari cela yang digunakan untuk mentajrih rawi:
1) Menggunakan lafadz-lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rawi, contoh:أوضع الناس  (orang yang paling dusta)أكذب الناس  (orang yang paling bohong)إليه المنتهى فى الوضع  (orang yang paling top kebohonganya).
2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi, contoh:كذاب  (orang yang pembohong)وضاع  (orang yang pendusta)دجال  (orang yang penipu).
3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya, contoh:فلان متهم بالكذل  (orang yang dituduh bohong)أو متهم بالوضع  (orang yang dituduh dusta)فلان فيه النظر  (orang yang perlu diteliti) فلان ساقط  (orang yang gugur)فلان ذاهب الحديث  (orang yang hadtsnya telah hilang)فلان متروك الحديث  (orang yang ditinggal haditsnya).
4) Menunjukkan amat lemahnya rawi, contoh:مطرح الحديث  (orang yang dilempar haditsnya)فلان ضعيف   (orang yang lemah)فلان مردود الحديث  (orang yang ditolak hadtsnya).
5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi, contoh:فلان لايحتج به  (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)فلان مجهول  (orang yang tidak dikenal identitasnya)فلان منكر الحديث  (orang yang munkar haditsnya)فلان مضطرب الحديث  (orang yang kacau haditsnya)فلان واه  (orang yang banyak menduga-duga).
6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya, contoh:ضعف حديثه  (orang yang didho’ifkan haditsnya)فلان مقال فيه  (orang yang diperbincangkan)فلان فيه خلف  (orang yang disingkiri)
فلان لين (orang yang lunak)فلان ليس با لحجة  (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)فلان ليس با لقوى (orang yang tidak kuat).
Tingkatan Ta’dil Dari yang Tertinggi Segi Kualitasnya, yaitu; Pertama Shahih Bukhari, kedua Shahih Muslim, ketiga Sunan Turmudzi, keempat Sunan Abu Daud, kelima Sunan An-Nasai, keenam Al-Bayhaqy, dan ketujuh At-Thabary











BAB III
KESIMPULAN
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Manfaat mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima.
Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih); Berilmu pengetahuan, Takwa, Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat), jujur, Menjauhi fanatik glongan, dan Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.










DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988)
Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992)
Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987)
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1989)
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Alkausar, 2005)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulumul Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, tt).
---------------------- Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, tt).




[1] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), h.75
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1989), h. 86.

[3] Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h.86

[4] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Alkausar, 2005), h. 81
[5] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-hadits, h. 260

[6] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulumul Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang, tt) h. 155

[7] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar… h. 156
[8] Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988), h. 16

[9] Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil… h. 17

[10] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar… h. 156

[11] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar… h. 157
[12] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,tt), h. 52.
[13] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 52

[14] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembel… h. 53

[15] Hasbi Ash Shiddieqy,  Sejarah dan Pengantar… h. 135

[16] Hasbi Ash Shiddieqy,  Sejarah dan Pengantar… h. 136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar