BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadits mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan
umat manusia di dunia, karena semua persoalan manusia sebagian besar dapat
ditemukan jawabannya pada Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Dalam memahami Hadits
diperlukan perangkat instrumen, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh,
Ushul Fiqh, Ulumul Hadits, Sosiologi, Antropologi dan Budaya guna
mewujudkan Hadits aplikatif sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang
berlaku sepanjang zaman.[1]
Dalam ilmu Hadits tidak hanya matan yang jadi objek kajian, tetapi
perawi juga jada lahan kajian yang panjang lebar. Ilmu jarh wa ta’dil misalanya, termasuk salah satu
dari cabang-cabang ilmu hadits untuk mengetahui hal-ihwal para perawi hadits
yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hadits yang mereka riwayatkan. Namun
sebahagian beranggapan bahwa menjarh (mencela) perawi hadits tidak
dibenarkan oleh Islam.
Oleh karena itu, maka sangat perlu sekali
pemakalah memaparkan didalam makalah ini tentang pengertian ilmu jarh wa
ta’dil, sejarah perkembangannya, kaidah-kaidah yang digunakan dalam ilmu jarh
wa ta’dil, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan ilmu ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Kata al-jarh adalah bentuk isim masdar dari kata جَرْحًا – يَجْرُحُ
– جَرَحَ yang berarti melukai atau luka yang mengalirkan darah.[2] Menurut Louis Ma’luf “al-jarh berarti memaki,
menista, dan menjelekan (baik secara berhadapan langsung maupun dari belakang).[3]
Dalam istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti
terlihatnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau sifat buruk dibidang
hafalannya dan kecermatannya, yang menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat
yang disampaikan. Atau sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan
hafalannya. Al-jarh dapat pula diartikan memberikan sifat kepada seorang
perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima
riwayatnya.[4]
Ilmu al-jarh adalah ilmu yang mempelajari cacat
para perawi seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadits
mendefenisikan al-jarh adalah
الطَّعْنُ فِى رَاوِى الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخِلُّ
بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ
Artinya: “Kecacatan pada perawi
hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan
perawi”
Lawan dari kata al-jarh adalah at-ta’dil. Kata
at-ta’dil adalah bentuk masdar dari kata تَعْدِيْلٌ – يُعَدِّلُ –
عَدَّلَ yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh
seseorang. Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan menetapkan bahwa ia
adil dan dhabit.
Ajjaj al-Khatib, seorang ahli hadits kontemporer dari
suriah mengatakan, bahwa at-ta’dil adalah orang yang tidak tampak
padanya sifat yang dapat merusak agama dan perangainya, sehingga berita dan
kesaksiannya dapat diterima sebagai suatu kebenaran.[5]
Hasbi Ash-Shiddieqy mendefenisikannya, sebagai berikut:
وَصْفُ الرَّاوِي بِصِفَاتٍ تُوْحِبُ عَدَالَتُهُ الَّتِى هِيَ مِدَارُ
الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
Artinya: “Mensifatkan si perawi
dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adi, yang menjadi
puncak penerimaan riwayatnya”.[6]
Adilnya rawi terlihat pada pengamalan dan ketekunannya
dalam menunaikan ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji,
memprioritaskan kebenaran serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang
merusakkan agama dan kepribadiannya.[7]
Atas dasar tersebut, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil bisa
diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai) para
perawi dengan memakai kata-kata yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat
mereka.
Ali Mustafa Yaqub mendefenisikannya dengan ilmu yang
mengupas karakteristik masing-masing rawi, apakah ia seorang yang bertaqwa,
jujur, kuat ingatannya, dan sebagainya, atau ia seorang yang suka berbuat
maksiat, pelupa, pendusta, dan sebagainya.[8]
Abd al-Maujuf mendefenisikan ilmu al-jarh wa
at-ta’dil adalah: ilmu yang menerangkan tentang cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi
dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata
itu.[9]
Dengan demikian, maka ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah
ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya,
sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Al-Ghazali dan An-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi
Ash Shiddieqy mengatakan, bahwa tajrih termasuk kategori umpat yang dibolehkan
untuk tujuan kemaslahatan. Mengumpat orang (tajrih) dibolehkan baik dia
masih hidup ataupun sudah meninggal karena ada kepentingan agama yang harus
dicapai dengan mengumpat itu.[10]
Mengumpat (tajrih) yang dibolehkan ada enam
macam,[11]
yaitu; Pertama karena teraniaya, boleh
bagi seseorang yang teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi
oleh seseorang dengan tindakannya begini-begini. Kedua meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran, seseorang
boleh mengatakan kepada penguasa atau kepada yang dapat membasmi kemungkaran
bahwa seseorang telah berbuat jahat, maka tegurlah dia. Ketiga untuk meminta Fatwa, seorang mustafti boleh
mengatakan kepada seorang mufti bahwa ia telah dizalimi, maka dia boleh
menceritakan bagaimana jalan melepaskan diri dan kezaliman itu. Keempat untuk menghidarkan manusia dari
kejahatan orang yang jahat, dalam hal ini, mencela diri saksi di depan hakim
atau mencela para perawi Hadits yang memang patut dicela, tindakan ini boleh
hukumnya dengan ijma’ ulama, bahkan ada yang mengatakan hukumnya wajib. Kelima orang yang dijarah itu
orang yang terang-terangan berbuat bid’ah, maka boleh disebut secara
terang-terangan bid’ah yang dianut dan maksiat-maksiat yang dilakukannya. Keenam untuk memperkenalkan pribadi yang
sebenarnya, apabila seseorang terkenal dengan suatu sifat yang menunjuk kepada
suatu keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh mengatakan “si A yang tuli”
dengan maksud menerangkan keadaan orang itu dan bukan dengan maksud menjelekkannya.
B. Sejarah dan Perkembangannya
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan
tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah
sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah
Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslim telah
terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa
memiliki legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadits-hadits
Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits
palsu.
Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits-hadits
Rasulullah SAW, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka
juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadits
tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu
Abbas (68 H), Ubaidah Ibn Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut
pada masa tabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk
memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadits.
Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi
(103 H), Ibnu Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H).
Ulama-ulama jarh wa ta’dil menerangkan kejelekan
para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya
sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan
mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah ibn al-Hajjaj (82 H-160 H ), pernah
ditanyakan tentang hadits Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “saya takut
kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali ibn al-Madini (161
H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali ibn al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang
hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi
pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam
bidang hadits”.[12]
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam memperkatakan
keadaan para rawi hadits. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang
harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan
rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada
sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan
hadits dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan
berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode
penelitian sanad dan matan hadits, untuk “menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda”
yang merusak dan menyesatkan.[13]
Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah
kewajiban syar’I yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi
dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang
amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadits, tidak
sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan
terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[14]
Jarh dan ta’dil tidak
dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian
dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu
wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab
tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadits yang otentik dan mana
hadits yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami
perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadits untuk mentajrih
dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada
masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189 H), Abdurrahman bin Mahdi
(198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq
bin Humam (211 H).[15]
Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai
puncaknya pada abad ke-3 H. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh
wa ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu
Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H). Ulama-ulama
lainnya adalah ad-Darimi (w. 255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w. 261 H),
al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi
(w.277 H), Baqi ibn Makhlad (w. 276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[16]
Karya-karya besar dalam ilmu jarh wa ta’dil diantaranya,
yaitu; Pertama Ma’rifatur rijal, karya
Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab Pertama
yang sampai pada kita, juz I buku tersebut berupa manuskrip (tulisan tangan)
berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah. Kedua
Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri, dicetak di Hindia
tahun 320 H. Ketiga At-Tsiqat, karya
Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Naskah asli kitab ini
ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap. Keempat Al-jarhu wa ta’dil, karya
Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang
terbesar dan mempunyai banyak manfaat bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat
18.055 rawi, sering dicsetak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada
tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang
lainya dijadikan. Kelima Mizanul
I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3
jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H
mencakup 10.907oran rijalus sanad. Keenam
Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343
rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.
B.
Manfaat
Ilmu Jarh wa Ta’dil
Manfaat mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang
cacat maka periwayatanya ditolak dan apabila seorang rawi dita’dil sebagi orang
yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain
untuk menerima hadits dipenuhi.
Cacat (keaiban) rawi itu banyak, akan tetapi umumnya
berkisar pada 5 macam, yaitu; Pertama
Bid’ah (melakukan tindakan
tercela, diluar ketentuan Syara’)
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at. Kedua Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah). Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu terlalu berat atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar". Ketiga Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya). Ghalath (salah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan. Keempat Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya). Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya. Kelima Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus), misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at. Kedua Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah). Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu terlalu berat atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar". Ketiga Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya). Ghalath (salah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan. Keempat Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya). Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya. Kelima Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus), misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
C.
Filter Keadilan
dan Kecacatan Rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu
dari dua ketetapan, yaitu; Pertama Bi-Syuhrah,
karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang
yang adil, seperti; Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj,
Asy-Syafi’i, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai
orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk
diperbincangkan keadilannya. Kedua Pujian
dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil
oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal
sebagai rawi yang adil.
Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih), yaitu; Pertama
Berilmu pengetahuan, kedua Takwa, ketiga Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil, dan makruhat), keempat Jujur, kelima Menjauhi fanatik glongan, keenam Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.
Sedangkan boleh atau
tidaknya penta’dilan dan pentajrihan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya,
di sini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut
oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa
Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu
banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam
hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang
berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu
diterangkan cacat seorang rawi.
Jumlah orang yang dipandang
cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi, terdapat
perselisihan pendapat, yaitu; Pedapat Pertama
fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah. Pendapat kedua cukup 1 orang dalam riwayah dan
bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak menjajadi syarat dalam
penerimaan hadits. Pendapat ketiga cukup
1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Pertentangan
antara Jarh dan Ta’dil, apabila terjadi pertentangan
antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, sebagian ulama menta’dil dan sebagian
yang lain mentakhrij, maka dalam hal ini terdapat 4 pendapat, yaitu; Pertama Jarhi harus didahulukan secara
mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama. Kedua Ta’dil harus didahulukan dari jarh. Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif. Ketiga Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka. Keempat Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama. Kedua Ta’dil harus didahulukan dari jarh. Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif. Ketiga Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka. Keempat Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.
Tingkatan lafadz dari
yang terkuat untuk menta’dil rawi
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, sebagai berikut:
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, sebagai berikut:
1). Berbentuk af’alut tafdhil atau
ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil, contoh: الناس أوثق (Orang yang paling
tsiqah)أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan
keadilanya)إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top
keteguhan hati dan lidahnya)ثقة فوق الثقة (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh).
2) Berbentuk pengulangan lafadz yang
sama atau dalam maknanya saja, contoh:ثبت ثبت (Orang yang teguh lagi
teguh) ثقة ثقة (orang yang tsiqah
lagi tsiqah)حجة حجة (orang yang ahli lagi
petah lidahnya)ثبة ثقة (orang yang teguh lagi
tsiqah)حافظ حجة (orang yang hafidz
lagi petah lidahnya)ضابط متقن (orang yang kuat
ingatan lagi meyakinkan ilmunya).
3) Menggunakan Lafadz yang
mengandung arti kuat ingatan, contoh:ثبت (orang
yang teguh hati dan lidahnya )متقن (orang
yang meyakinkan ilmunya)ثقة (orang yang tsiqoh)حافظ (orang yang kuat
hafalanya) حجة (orang yang petah lidahnya).
4) Menggunakan Lafadz yang tidak
menggunakan arti kuat ingatan dan adil, contoh:صدوق (orang
yang sangat jujur)مأمون (orang yang dapat
memegang amanat)لابأس به (orang yang tidak
cacat).
5) Menggunakan lafadz yang
menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn, contoh: محله الصدق (orang
yang berstatus jujur)جيد الحديث (orang yang baik
haditsnya)حسن الحديث (orang yang bagus
haditsnya)مقارب الحديث (orang yang haditsnya
berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh).
6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati
cacat. Seperti sifat-sifat di atas yang diikuti lafadz “Inssa Allah”, atau
ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan, contoh:صدوق إن شاءالله (orang
yang jujur, jika Allah menghendaki)فلان أرجوا بأن لابأس به (orang
yang diharapkan tsiqah)فلان صويلح (orang
yang shalih)فلان مقبول حديثه (orang yang diterima
haditsnya).
Enam tingkatan lafadz
dari cela yang digunakan untuk mentajrih rawi:
1) Menggunakan lafadz-lafadz af’alut
tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat
cacatnya rawi, contoh:أوضع الناس (orang yang paling
dusta)أكذب
الناس (orang yang paling bohong)إليه المنتهى فى الوضع (orang
yang paling top kebohonganya).
2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot
mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi, contoh:كذاب (orang yang pembohong)وضاع (orang
yang pendusta)دجال (orang yang penipu).
3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong
atau yang lainya, contoh:فلان متهم بالكذل (orang yang dituduh
bohong)أو متهم بالوضع (orang yang dituduh
dusta)فلان
فيه النظر (orang yang perlu diteliti) فلان ساقط (orang yang gugur)فلان ذاهب الحديث (orang
yang hadtsnya telah hilang)فلان متروك الحديث (orang yang ditinggal
haditsnya).
4) Menunjukkan amat lemahnya rawi, contoh:مطرح الحديث (orang
yang dilempar haditsnya)فلان ضعيف (orang yang lemah)فلان مردود الحديث (orang
yang ditolak hadtsnya).
5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi,
contoh:فلان لايحتج به (orang yang tidak
dapat dibuat hujjah hadtsnya)فلان مجهول (orang yang tidak
dikenal identitasnya)فلان منكر الحديث (orang yang munkar
haditsnya)فلان مضطرب الحديث (orang yang kacau
haditsnya)فلان واه (orang yang banyak
menduga-duga).
6) Menggunakan lafadz-lafadz yang
dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya, contoh:ضعف حديثه (orang
yang didho’ifkan haditsnya)فلان مقال فيه (orang yang
diperbincangkan)فلان فيه خلف (orang yang
disingkiri)
فلان لين (orang yang lunak)فلان ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)فلان ليس با لقوى (orang yang tidak kuat).
فلان لين (orang yang lunak)فلان ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)فلان ليس با لقوى (orang yang tidak kuat).
Tingkatan Ta’dil Dari yang Tertinggi Segi Kualitasnya, yaitu; Pertama Shahih Bukhari, kedua Shahih Muslim, ketiga Sunan Turmudzi, keempat Sunan Abu Daud, kelima Sunan An-Nasai, keenam Al-Bayhaqy, dan ketujuh At-Thabary
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang
membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga
dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Manfaat mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang
cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi
orang yang adil maka periwayatanya diterima.
Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih
(jarih); Berilmu pengetahuan, Takwa, Wara’ (orang yang selalu menjauhi
perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat), jujur, Menjauhi fanatik
glongan, dan Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar
al-Salafiyah, 1988)
Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta :
Rajawali Pers, 1992)
Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1987)
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1989)
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi
Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995)
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta:
Pustaka Alkausar, 2005)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ulumul Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, tt).
---------------------- Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, tt).
[1] Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta :
Rajawali Pers, 1992), h.75
[2] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1989), h. 86.
[3] Louis Ma’luf, al-munjibfi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1987), h.86
[4] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Alkausar, 2005), h. 81
[5] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-hadits, h. 260
[6] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulumul
Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang, tt) h. 155
[7] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar… h. 156
[8] Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil, (Kairo: Dar
al-Salafiyah, 1988), h. 16
[9] Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-ta’dil… h. 17
[10] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar… h. 156
[11] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar… h. 157
[12] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta:
Bulan Bintang,tt), h. 52.
[13] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 52
[14] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembel… h. 53
[15] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar… h. 135
[16] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar… h. 136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar