Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Juni 2016

Saman dan Seudati Kesenian Aceh


Tari Saman diciptakan oleh seorang ulama besar dari Samudra Pasai (Pase) untuk media dakwah Islam
yang ia bawa ke pegunungan Leuser yang penduduknya bersuku bangsa Gayo, di bagian Tenggara
Aceh dan kini termasuk kabupaten Gayo Luwes. Dipilih tarian dalam posisi duduk sebagai media
dakwah karena penduduk pegunungan Leuser menyukai tarian dalam posisi tersebut, dan tarian
kembarnya bernama seudati di Pase dalam posisi berdiri.
Dinamakannya tarian tersebut dengan Tari Saman karena ulama besar itu terinspirasi dari Tarekat
Sammaniyah yang pertama kali masuk ke Aceh dibawa oleh gurunya Syekh Abdussamad alFalimbani
sekitar abad ke18
yang ia pelajari dari Syeh Samman (dengan huruf ‘m’ ganda) yang mengajarkan
tarekat Sammaniyah. Sammaniyah adalah tarekat yang mengajarkan zikir dan wirid untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Setelah ke Aceh, Syekh Abdussamad alFalimbani
menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Palembang. Ia
mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni
mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu
dinyanyikan oleh sekelompok orang, yang di Aceh berkembang jadi Tari Saman dan Tari Seudati. Tari
Saman dipraktikkan dalam posisi duduk karena disesuaikan dengan budaya penduduk Leuser yang
suka menarikan tubuhnya dalam posisi duduk, dan ini sesuai dengan posisi tubuh saat wirid
Sammaniyah yang dikembangkan di Afrika. Sementara tari Seudati dipraktikkan dalam posisi berdiri
karena orang pesisir di Pase suka menari sambil berdiri seperti saat menarik pukat, dan ini sesuai
dengan posisi tubuh sebagian pengikut Tarekat di Turki dan sebagian Afrika.
Tarekat Sammaniyah diamalkan usai melaksanakan shalat lima waktu dan dengan cara duduk bersila.
Salah seorang murid Sekh Abdussamad alFalimbani
adalah lelaki dari Samudra Pasai yang kemudian
jadi ulama dan dikenal dengan Syekh Saman, bukan Syekh Samman dari Arab.
Tarekat berisi zikir dan wirid Sammaniyah terus berkembang di Aceh seperti di Sudan dan Nigeria, tapi
di negara Afrika tersebut, zikir dan wirid Sammaniyah dilaksanakan dengan cara berdiri sambil memuji
kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tak hanya wirid seusai shalat lima waktu, zikir dan wirid Sammaniyah biasanya dilaksanakan pada
peringatan hari besar Islam, seperti maulid Nabi saw, Isra Miraj, dan sebagainya. Sementara di Aceh
zikir dan wirid Sammaniayah dibacakan dalam posisi duduk, makanya Tari Saman yang terispirasi dari
tarekat ini di Aceh pun dilakukan dalam posisi duduk.
Untuk mengembangkan ajarannya, Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama
Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman, sangat terkenal. Ratib Samman
kemudian berubah menjadi suatu macam permainan atau tarian rakyat yang terkenal dengan nama
seudati di Samudra Pasai, yang bermakna tarian.
Beberapa ulama Aceh di masa itu, pernah menentang pembacaan Ratib Saman yang dinyanyikan atau
ditarikan. Tarian meusaman
atau meuseudati
ini dimainkan minimal oleh delapan orang lelaki atau
perempuan ditambah seorang syeh.
Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Arab oleh muridmurid
Abdussamad
AlFalimbani.
Syekh Samman seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah.
9+
Syekh Samman, awalnya merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah,
Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Kemudian Syehkh Samman memadukan berbagai unsur tarekattarekat
tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah, sebagai ciri
khasnya.
Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan,
Sumatra terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya seperti Jayakarta. Tarekat Sammaniyah
berciri khas, antara lain; zikirnya yang keraskeras
dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu
melakukan zikir Laa ilaaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya
mempergunakan perkataan Hu, Dia Allah, kalau diartikan dalam bahasa Aceh Muda (Melayu).
Ulama besar dari Pase mengembangkan Tari Saman diisinya dengan petuah agama, petunjuk hidup,
dan sebagainya sebagai pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan
kebersamaan dalam menjalani hidup.
Untuk menyatukan diri dengan masyarakat di pegunungan Leuser dan mengihindari kecurigaan
penduduk bahwa ia membawa ajaran agama baru, maka pada awalnya, Syeh Saman membuat Tari
Saman sebagai permainan rakyat yang di tempat dikembangkannya disebut Pok Ane.
Tari Saman diperankan secara berkelompok, paling sedikit delapan orang, dan kadang sampai 17
orang. Pimpinan tarian ini disebut syeh yang duduk di posisi nomor sembilan (tengah). Tari Saman
diawali dengan salam pembuka dari syekh diiringi petuahpetuah
tentang kehidupan.
Setelah timbul minat besar masyarakat Aceh di pegunungan Leuser pada Tari Saman, maka ulama
besar dari Pase tersebut menyisipkan syairsyair
pujipujian
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Tari
Saman menjadi media dakwahnya dan menyertakan semangat perjuangan membela bangsa dan
agama.
Setelah penduduk merasa dirinya telah menyatu dengan syairsyair
dan petuah dalam Tari Saman,
maka Syeh Saman baru mengenalkan ketauhidan Islam secara resmi dan meminta penduduk Leuser
memeluk agama Islam. Saat itulah ulama besar dari Pase itu menamakan tarian tersebut dengan Tari
Saman dan penduduk memanggilnya dengan ‘Syeh Saman,’ karena ia mengajarkan bahwa pemimpin
tari itu disebut syekh.
Maka terkenallah ulama besar dari Pase itu dengan nama Syekh Saman (tanpa huruf ‘m’ ganda),
karena dalam budaya Aceh di masa silam, orang enggan nama aslinya disebut demi menghindari tinggi
hati.
Penduduk dilatih Tari Saman di bawah kolong meunasah yang dibangun sebagai tempat pertemuan
penduduk dan menjadi pusat pengembangan agama dan tempat musyawarah semua urusan.
Meunasah adalah bangunan berbentuk surau seperti rumah panggung dalam budaya Aceh, tapi
kebanyakan dindingnya setengah tiang, tidak mencapai atap. Kolong meunasah dipilih sebagai tempat
latihan tari Saman agar orang yang berlatih dapat shalat berjamaah setelah latihan.
Tari Saman dan Tari Seudati telah berkembang seiring zaman. Jika dulu sebagai media dakwah
menyebarkan Islam, maka kini, tari Saman dan Seudati sebagai seni yang telah menjadi budaya di
Aceh. Dan, tanpa cinta, Tari Saman dan Tari Seudati tidak akan pernah hadir. Begitu Islam kuat di Aceh,
maka Seudati dan Saman, tinggallah sebagai tarian.

Kilas Sejarah Kerajaan Turki Utsmani

 BAB I Pendahuluan
Dinasti Turki Usmani merupakan kekhalifahan yang cukup besar dalam Islam dan memiliki pengaruh cukup signifikan dalam perkembangan wilayah Isalm di Asia, Afrika, dan Eropa. Bangsa Turki memiliki peran yang sangat penting dalam perkrmbangan peradaban Islam. Peran yang paling menonjol terlihat dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk  para khalifah Bani Abbasiyah. Kemudian mereka sendiri membangun kekuasaan yang sekalipun independen, tetapi masih tetap mengaku loyal kepada khalifah Bani Abbasiyah. Hal tersebut  ditunjukkan dengan munculnya Bani Saljuk.[1]
Munculnya dinasti Usmani di Turki terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada periode kedua dari pemerintahan Abbasiyah (kira-kira abad ke-9). Sebelum itu, sekalipun telah ada kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia dan semakin Bani Idris di bagian Afrika Utara, fregmentasi itu semakin menjadi sejak abad ke-9 M. Pada abad itu muncul berbagai dinasti seperti Bani Aghlab di Kairawan, Bani Thulun di Mesir, Bani Saman di Bukhara dan Bani Buwaih di Baghdad dan Syiraz.[2]
Kerajaan Usmani (Ottoman) berkuasa secara meluas di Asia Kecil sejak munculnya pembina dinasti itu yaitu Ottoman, pada tahun 1306 M. Golongan Ottoman mengambil nama mereka dari Usman I (1290-1326 M), pendiri kerajaan ini dan keturunannya berkuasa sampai 1922. Di antara negara muslim, Turki Usmani yang dapat mendirikan kerajaan yang paling besar serta paling lama berkuasa. Pada masa Sultan Usman, orang Turki bukan hanya merebut negara-negara Arab, tetapi juga seluruh daerah antara Kaukasus dan kota Wina. Dari Istambul, ibu kota kerajaan itu, mereka menguasai daerah-daerah di sekitar laut tengah dan berabad-abad lamanya Turki merupakan faktor penting dalam perhitungan ahli-ahli politik di Eropa Barat. Dinasti Turki Usmani merupakan kekhalifahan Islam yang mempunyai pengaruh besar dalam perdaban di dunia Islam.[3]

BAB II
Pembahasan
  1. A.    Sejarah Berdirinya Kerajaan Usmani
Nama kerajaan Turki Usmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah.[4] Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah  Oghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Iraq. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Erthogul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu, mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.[5]
Erthoghul meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Erthogul  inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, Usman memerintah antara tahun 1290 M dan1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa  kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering di sebut juga Usman I.[6]
Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian, pada tahun 1326 M dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. Pada masa pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M-761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani ini dapat menaklukkan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Gallipoli (1356 M). Daerah ini adalah bagian benua Eroopa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani.[7]
Ketika Murad I, pengganti Orkhan, berkuasa (761 H/1359 M-789 H/1389 M), selain memantapkan keamanan dalam negeri, ia melakukan perluasan daerah ke Benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Adrianopel yang kemudian dijadikannya ibu kota kerajaan baru, Macedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1402 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan cacatan sejarah yang amat gemilang bagi umat Islam.[8]
Ekspansi kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani mengalami kekalahan. Bayazid bersama putranya, Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Kekelahan Bayazid di Ankara itu membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu, putra-putra Bayazid saling berebut kekuasaan. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421 M) dapat mengatasinya. Sultan Muhammad berusaha keras menyatukan negaranya dan mengembalikan kekuatan dan kekuasaan seperti sediakala.[9]
Setelah Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, kesultanan Mongol dipecah dan dibagi-bagi kepada putra-putranya yang satu sama lain saling berselisih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki Usmani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Namun, pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan antara putra-putra Bayazid (Muhammad, Isa, Dan Sulaiman). Setelah perebutan kekuasaan terjadi, akhirnya Muhammad berhasil mengalahkan saudara-saudaranya. Usaha Muhammad yang pertama kali ialah mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negri. Usahanya ini diteruskan Murad II (1421-1451 M), sehingga Turki Usmani mencapai puncak kemajuannya pada masa Muhammad II atau biasa disebut Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M).[10]
Sultan Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan Bizantium dan menaklukkan Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat Kerajaan Bizantium, lebih mudahlah arus ekspansi Turki Usmani ke Benua Eropa. Akan tetapi ketika Sultan Salim I (1512-1520 M) naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke arah timur dengan menaklukkan Persia, Syiria, dan dinasti Mamalik di Mesir. Usaha Sultan Salim I ini di kembangkan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M). Ia tidak mengarahkan ekspansinya ke salah satu ke arah timur atau barat, tetapi seluruh wilayah yang berada di sekitar Turki Usamani merupakan obyek yang menggoda hatinya. Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapes, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Al-Jazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, dan Rumania di Eropa.[11]
Setelan Sultan Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putra-putranya, yang menyebabkan Kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, meskipun mengalami kemunduran, kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara yang kuat, terutama dalam bidang militer.[12]
Kejayaan Turki Usmani dialami pada abad ke-16, ketika Dinasti Turki Usmani mencapai kejayaannya sehingga daerah kekuasaannya itu membentang dari selat Persia di Asia sampai ke pintu gerbang kota Wina di Eropa dan dari laut Gaspienne di Asia sampai ke Al-Jazair di Afrika Barat. Penduduk Dinasti Turki Usmani terdiri dari bangsa Eropa yang berasal dari Hongaria bahkan yang beragama Nasrani dan mereka ini pula yang melanjutkan pengaruh Barat menjangkit kepada minoritas Turki yang ada di tempat itu. Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam aspek peradabannya.[13]
  1. B.     Penaklukkan Konstantinopel
Konstantinopel adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, artinya sang penakluk. Telah berkali-kali pasukan kaum muslimin sejak masa Dinasti Umayyah berusaha menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng-benteng di kota tua itu. Baru pada tahun 1453 M kota itu dapat ditundukkan. Sultan mempersiapkan penaklukkan terhadap kota Konstantinopel dengan penuh keseriusan. Dipelajari penyebab kegagalan dalam penaklukkan-penaklukkan sebelumnya. Sultan tidak mau lagi kalah sebagaimana pendahulunya. Ia terlebih dahulu membereskan wilayah-wilayah yang membangkang di Asia Kecil. Datanglah kesempatan yang dinanti-nanti, yakni ketika kaisar Konstantin IX mengancam Sultan untuk membayar pajak yang tinggi kepada pihaknya, dan jika tidak tunduk pada perintah tersebut maka akan diganggu kedudukannya dengan menundukkan Orkhan, salah seorang cucu Sulaiman, sebagai Sultan. Ancaman tersebut dihadapi dengan kebulatan tekad, yakni membuat benteng-benteng di sekeliling Konstantinopel. Sultan berkilah bahwa benteng-benteng itu dibangun untuk melindungi dan mengawasi rakyatnya yang lalu lalang ke Eropa melalui wilayah Bosporos itu.[14]
Konstantinopel akhirnya dapat dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II yang berjumlah kira-kira 250.000 di bawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar Bizantium meminta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen di Eropa, tetapi tanpa hasil, bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena merendahkan martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak ingin membantunya karena mereka ada perselisihan yang belum terselesaikan. Hanya pasukan Vinicia yang ingin membantu karena memiliki kepentingan dagang di wilayah Usmani. Tentara Vinicia merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai besar di selat Busporus. Sultan tidak kehilangan akal, dinaikkanlah kapal-kapal itu di daratan dengan menggunakan balok-balok kayu untuk landasannya, dan berhasil memindahkannya ke sisi barat kota. Maka terperanjatlah pasukan Bizantium dengan srategi Sultan yang telah mengepung  kota selama 53 hari. Dalam masa itu meriam-meriam Turki dimuntahkan ke arah kota dan menghancurkan benteng-benteng dan dinding-dindingnya sehingga menyerahlah Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453. Dalam pertempuran itu Kaisar mati terbunuh, dan Konstantinopel jatuh ke tangan Usmani. Sultan Muhammad II memasuki kota, kemudian menggati nama Konstantinopel menjadi Istambul, dan menjadikannya sebagai ibu kota. Sultan mengubah gereja Aya Shopia menjadi masjid, dan di samping itu ia membangun masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu.[15]
Dengan jatuhnya Konstantinopel, pengaruhnya sangat besar bagi Turki Usmani. Konstantinopel adalah kota pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwariskan kepada Usmani. Dari segi letak kota itu sangat srategis karena menghubungkan dua benua secara langsung, Eropa dan Asia. Penaklukkan kota itu memudahkan mobilisasi pasukan dari Anatolia ke Eropa. Walaupun para Sultan Usmani setelah Sulaiman yang Agung pada umumnya lemah, tetapi serangan terhadap terhadap Eropa masih berlangsung terutama untuk menaklukkan kota Wina di Austria. Kota Wina itu dikepung berkali-kali, tetapi tidak dapat dilakukan. Yang terakhir kali kota Wina di Austria dikepung oleh pasukan Usmani pada tahun 1683, namun tanpa hasil yang memuaskan.[16]
  1. C.    Peradaban Islam di Turki
Sejak masa Usman bin Artaghol (1299-1326 M), yang dianggap pembina pertama Kerajaan Turki Usamani dengan nama imperium Ottoman, timbullah kemajuan dalam berbagai bidang agama Islam. Turki membawa pengaruh cukup baik dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa. Kemajuan lainnya antara lain dalam bidang militer dan pemerintahan, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, serta dalam bidang keagamaan. Dalam perkembangannya Turki cukup berpengaruh dalam bidang peradaban Islam, dengan corak peradaban yang khas. Pengaruh budaya tersebut sampai ke berbagai wilayah Turki Usmani yang wilayahnya begitu luas dalam dunia Islam.[17]
  1. Bidang Pemerintahan dan Militer
Para pemimpin Kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajaan Usmani sehingga mencapai masa keemasannya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan saja. Kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Pengorganisasian yang baik dan srategi tempur militer Usmani berlangsung dengan baik. Pembaruan dalam tubuh organisasi militer oleo Orkhan sangat berarti bagi pembaruan militer Turki. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Yeniseri atau Inkisyariah. Pasukan inilalah yang dapat mengubah Kerajaan Usamani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri non-muslim di timur yang berhasil dengan sukses.[18]
Di samping Yenisseri, ada lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi, karena ia memiliki peranan besar dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani. Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Usamani mencapai puncak kejayaannya. Kekeuatan militer Turki Usamani yang tangguh itu denagn cepat dapat menguasai wilayah yang sangat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang mendorong kemajuan di lapangan militer ini ialah tabiat TUrki itu sendiri yang bersifat militer, berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan. Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyangnya di Asia Tengah. Keberhasilan ekspansi tersebut diberengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas, sultan-sultan Turki Usamani senantiasa bertindak tegas. Dalam sruktur pemerintahan, Sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr Al-‘Azham (perdana menteri) yang membawahi Pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkta I. Di bawahnya terdapat beberapa orang Az-Zanaziq (bupati).[19]
Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab Undang-Undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa Ql-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usamani sampai datangnya refomasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Kemajuan dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan ini membawa Dinasti Turki Usamani menjadi sebuah negara yang cukup disegani pada masa kejayaannya.[20]
  1. Bidang Imu Pengetahuan
Peradaban Turki Usamani merupakan perpaduan bermacam-macam peradaban, diantaranya adalah peradaban Persia, Bizantium, dan Arab. Dari peradaban Persia, mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Sekarang ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan keilmuan mereka terima dari orang-orang Turki Usmani yang dikenal sebagai bangsa yang senang dan mudah berasimilasi dengan bangsa asing dan terbuka untuk menerima kebudayaan dari luar.[21]
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan mereka tampak tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani.[22]
  1. Bidang Kebudayaan
Dinasti Usmani di Turki, telah membawa peradaban Islam menjadi peradaban yang cukup maju pada zaman kemajuannya. Dalam bidang kebudayaan Turki Usmani banyak muncul tokoh-tokoh penting seperti yang terlihat pada abad ke-16, 17, dan 18. Antara lain abad ke-17, muncul penyair yang terkenal yaitu Nafi’ (1582-1636 M). Nafi’ bekerja untuk Murad Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra Kaside yang mendapat di hati parea Sultan.Di antara penulis yang membawa pengaruh Persi ke dalam istana Usmani adalah Yusuf Nabi (1642-1712 M), ia muncul sebagai juru tulis bagi Musahif Mustafa, salah seorang menteri Persia dan ilmu-ilmu agama. Yusuf Nabi menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam puisinya. Menyentuh hampir semua persoalan agama, filsafat, roman, cinta, anggur dan mistisisme, ia juga membahas biografi, sejarah, bentuk prosa, geografi, dan rekaman perjalanan.  Dalam bidang sastra prosa Kerajaan Usamani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya Celebi. Yang terbesar dari semua penulis adalah Mustafa bin Abdullah, yang dikenal dengan Katip Celebi atau Haji Halife (1609-1657 M). Ia menulis buku bergambar dalam karya terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai Al-Kutub wa Al-Funun, sebuah presentasi biografi penulis-penulis penting di dunia timur bersama daftar dan deskripsi lebih dari 1.500 buku berbahasa Turki, Persia, dan Arab, ia pun menulis buku-buku yang lain.[23]
Salah seorang penyair diwan yang paling terkenal adalah Muhammad Esat Efendi yang dikenal dengan Galip Dede atau Syah Galip (1757-1799 M). Adapun di bidang pengembangan seni arsitektur Islam, pengaruh Turki sangat dominan, misalnya bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Masjid Sultan Al-Fatih, Masjid Agung Sultan Sulaiman, dan Masjid Aya Shopia yang berasal dari sebuah gereja. Pada masa Sultan Sulaimana di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air, villa dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah bangunan itu dibangun di bawah coordinator Sinan, seorang arsutek asal Anatolia. Dalam hal pembangunan dan sni arsitek, Turki Usmani telah menghasilkan keindahan-keindahan yang tinggi nilainya, dan bercorak khusus sehinga membedakan dengan peradaban dan kebudayaan daulah Islam lainnya.[24]
  1. Bidang Keagamaan
Dalam tradisi masyarakat Turki, agama merupakan sebuah  faktor penting dalam transformasi sosial dan politik seluruh masyarakat. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat denagn syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Ulama memiliki peranan penting agama tertinggi berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan bias tidak berjalan. Kehidupan keagamaan pada masyarakat Turki Usmani mengalami kemajuan, termasuk dalam hal ini adalah kehidupan tarekat. Tarekat yang berkembang ialah tarekat Bektasyi, dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi ini memiliki pengaruh yang sangat dominan di kalangan Yenisseri, sehinga mereka sering disebut tentara Bektasyi. Sementara tarekat Maulawi mwndapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi Yenisseri Bektasyi.[25]
Kajian mengenai ilmu-ilmu keagamaan Islam, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadits boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa lebih cenderung untuk menegakkan satu faham (madzhab) keagamaan dan menekan madzhab lainnya. Sultan Abdul Hamid misalnya, begitu fanatik terhadap aliran Al-Asy’ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritikan aliran lain. Sultan memerinyahkan kepada Syaikh Husein AL-Jisr Ath-Tharablusi menulis kitab Al-Husun Al-Hamidiyah (Benteng Pertahanan Abdul Hamid), yang mengupas tentang masalah ilmu kalam, untuk melestarikan aliran yang dianutnya. Akibat kelesuan di bidang ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya klasik.[26]
Bagaimanapun, Kerajaan Turki Usmani banyak berjasa, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam ke benua Eropa. Ekspansi kerajaan ini untuk pertama kalinya lebih banyak ditujukan ke Eropa Timur yang belum masuk dalam wilayah kekuasaan dan agama Islam. Akan tetapi, karena dalam bidang peradaban dan kebudayaan kecuali dalam hal yang bersifat fisik perkembangannya jauh berada di bawah kemajuan politik, maka negeri-negeri yang sudah ditaklukkan itu akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan pusat, dan perjalanan dakwah belum berhasil dengan maksimal.[27]
  1. D.    Kemunduran Turki Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut musuh. Baru pada sulta berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut kembali. Walaupun Sultan Murad II (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaa Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandai dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun, kehidupan moral sultan yang jelek menyebabkan kekacauan dalam negeri. Kekacauan ini semakin menjadi-jadi denagn tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad II, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentinagn pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad II, sempat memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I (1617-1618 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I masa pemerinthannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bias diatasinya, Syaikh A-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga idak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut kekuasaannya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut. Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menerbitka pemerintahan . Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan.[28]
Situasi polotik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini, orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) pada kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberikan kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkondolidasikan stabilitas keuangan Negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M, terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Crosia kepada Hapsburg dan Hemenietz, Palodia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya. Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd Al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjia Kinarja” dengan Cathrine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain:(1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan member izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut hitan dan Laut Putih, dan (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).[29]
Demikianlah prose kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh pertama abadke-19 M. Oleh karena itu, satu per satu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkusa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1789 M. Di Lebanon dan Syiria, Fakhr Al-Din, seorang pemimpin Druze, berhasi menguasai Palestina dan pada tahun 1610 M, merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr Al-Din baru menyerah pada tahun1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberpa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang. Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal dengan geraka Wahhabiyah dengan penguasa local Ibn Sa’ud. Mereka berhasil mengusai beberpa daerah di jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M. Dengan demikian, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi d Kerajaan Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran, bukan saja terjadi di daerah-daerah yang yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah berpanduduk Muslim. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya, yaitu pada abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan geraka pembaharuan politik di pusat pemerintahan, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.[30]
Banyak faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah:[31]
  1. Wilayah kekuasaan yang sangat luas
Admistrasi pemerintahan bagi suatu negara yang amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehinga mereka terlibat terus menerus dengan bebagai bangsa. Hal itu tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun negara.
  1. Heterogenitas Penduduk
Sebagai kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia , Tunis, dan Al-Jazair di Afrika; dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras, etnis, maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di wilayah itu, diperlukan organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan agama acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
  1. Kelemahan Para Penguasa
Sepeninggalan Sulaiman AL-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasisecara sempurna, bahkan semakin lama menjadi semakin parah.
  1. Budaya Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
  1. Pemberontakan Tentara Jenissari
Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari. Dengan demikian, dapat dibayangkan kalau tentara ini memberontak. Pemberontaka tentara Jenissari terjadi sebanayak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M, 1826 M.
  1. Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk dalam biaya perang.
  1. Terjadinya Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Tidak terjadinya perkembangan ilmu dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan perkembangan metode berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya semangat berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa Al-Ghazali.
Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika.[32]
BAB III
Kesimpulan
  • Nama kerajaan Turki Usmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah.
  • Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering di sebut juga Usman I atau Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman).
  • Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1402 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan cacatan sejarah yang amat gemilang bagi umat Islam.
  • Konstantinopel adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, artinya sang penakluk.
  • Turki membawa pengaruh cukup baik dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa. Kemajuan lainnya antara lain dalam bidang militer dan pemerintahan, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, serta dalam bidang keagamaan.
  • Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat.
  • Faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah:
  1. Wilayah kekuasaan yang sangat luas,
  2. Heterogenitas Penduduk,
  3. Kelemahan Para Penguasa,
  4. Budaya Pungli,
  5. Pemberontakan Tentara Jenissari,
  6. Merosotnya Ekonomi,
  7. Terjadinya Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi.

[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 193
[2] Ibid; hal. 194
[3] Ibid; hal. 194
[4] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 248
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 129-130
[6] Ibid; hal. 130
[7] Ibid; hal. 130-131
[8] Ibid; hal. 131
[9] Ibid; hal. 131
[10] Ibid; hal. 131-132
[11] Ibid; hal. 132
[12] Ibid; hal. 133
[13] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)  hal. 197
[14] Ibid; hal. 198
[15] Ibid; hal. 198-199
[16] Ibid; hal. 199-200
[17] Ibid; hal. 200
[18] Ibid; hal. 200-201
[19] Ibid; hal. 201
[20] Ibid; hal. 201-202
[21] Ibid; hal. 202
[22] Ibid; hal. 202
[23] Ibid; hal. 202-203
[24] Ibid; hal. 203
[25] Ibid; hal. 204
[26] Ibid; hal. 204
[27] Ibid; hal. 205
[28] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 163-164
[29] Ibid; hal. 164-165
[30] Ibid; hal. 165-166
[31] Ibid; hal. 167-168
[32] Ibid; hal. 169