Total Tayangan Halaman

Selasa, 26 Januari 2016

Putroe Phang dari Malaysia Kembali Ke Aceh Mencari Pewaris Tahta


Kisah cinta Sultan Iskandar Muda dengan permaisurinya Putroe Phang selalu menarik perhatian masyarakat Aceh. Gunongan dan Taman Putroe Phang di Kutaradja merupakan bukti abadi yang lahir dari cinta kasih mereka. Karena cinta ini pula sang Putroe Phang mencari ’kembali’ jejak sultan di Seramoe Mekkah.


Kalimat tadi bukanlah berarti bahwa permaisuri raja tersebut kembali hidup dan mencari kuburan sang
suaminya, di awal tahun 2011 ini. Tulisan ini juga tidak sedikit pun akan menyentuh pembahasan tentang Sultan Iskandar Muda, melainkan membahas pewaris tahta terakhir mereka.


Tulisan ini, penulis mulai dari keinginan pihak berwenang dari Kesultanan Negeri Pahang Malaysia, Kamis (31/3) lalu, yang mengaku sedang mencari pewaris tahta murni kerajaan Aceh atau keturunan terakhir dari Sultan Mahammad Daud Syah.


Untuk menjalankan niat mereka ini, Kesultanan Pahang Malaysia, bahkan langsung mengutus Putrinya yang bergelar Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj untuk ikut bersama rombongan ke Aceh.


Menurut pengurus Kerajaan Pahang, cacatan sejarah mengenai keturunan sultan terakhir Aceh ini dinilai banyak yang sengaja dikaburkan sehingga menyebabkan banyak pihak minim informasi tentang hal tersebut. Selain itu, juga banyak pihak yang mengaku sebagai keturunan raja Aceh yang terakhir.


”Kesultanan Aceh sejak dulu sangat megah. Namun informasi sejarahnya yang kami dapatkan terputus hingga Sultan terakhir Muhammad Daud Syah. Kami tahu, ada keturunan dari Sultan Mahammad Daud Syah. Atas dasar tersebut, kami mencoba mencari tahu soal kebenaran tersebut dan baru kami temukan sekarang,” ungkap Kerabat Kesultanan Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj, di Hotel berbintang, Hermes Palace di Kota Banda Aceh.


Pada kesempatan tersebut, Putri Pahang menjamu sosok bernama Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim Bin Sultan Mahammad Daud Syah, di ruang pertemuan Hermes Palace. Keduanya kemudian kembali membahas sejarah dan hubungan mesra yang sempat terjalin antara Pahang dengan Aceh.


Menurut putri Sultan Iskandar atau Raja Pahang Malaysia ini, Aceh sebenarnya merupakan sebuah daerah
yang kaya akan budaya serta peninggalan sejarah. Salah satunya, adalah gunongan dan taman yang diperuntukan kepada Putroe Phang atau Putri Pahang, atau indatu dari Tunku Hajjah Azizah yang berstatus sebagai Putri Pahang saat ini.


”Makanya saya senang datang ke Aceh karena ada taman yang dibuat khusus di sini,”canda Tunku Hajjah Azizah di sela-sela makan.


Selama seminggu di Aceh, lanjut dia, dirinya menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Pemerintahan Aceh. Dan selama seminggu pula, banyak pihak yang mengaku keturunan sultan mencoba jumpai dengannya.



Setelah melalui berbagai pertemuan tersebut, terutama dengan pakar sejarah yang ada di Aceh. Dirinya mengaku baru bisa menyimpulkan siapa keturunan murni dari Sultan Aceh yang terakhir. Sosok tersebut adalah Tuanku Raja Yusuf.


Sosok Tuanku Raja Yusuf adalah cucu murni dari Sultan Muhammad Daud Syah. Namun anehnya, keberadaan sosok ini terkesan sengaja dihilangkan dari cacatan sejarah Aceh. Masyarakat di Aceh seharusnya lebih mengetahui sejarah bangsanya dibandingkan dengan warga luar seperti dirinya.


Anehnya lagi, masyarakat Aceh saat ini justru lebih mengenal jabatan Wali Nanggroe ketimbang cucu sultan yang sah.


Kerajaan Aceh dengan Pahang, lanjut dia, memiliki hubungan sejarah yang paling emosional. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang.


Hubungan Aceh-Pahang sudah terjalin sejak abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kerajaan Pahang atau Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian di Malaysia.


Sebagian besar negeri Pahang diselimuti hutan dan sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri Pahang. Pahang merupakan sebuah negeri ber-raja.Wujudnya negeri Pahang adalah sebelum wujudnya kerajaan melayu Melaka. Pahang mempunyai susur galur tamadun yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya kerajaan Pahang digelar Inderapura.


Negeri Pahang Darul Makmur ialah sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas 35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub, Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri dari berbagai kaum dan bangsa.


Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red) atau kerajaan Pahang khususnya, tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat dalam perang dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari jajahan Portugis.

Putri Raja Pahang Malaysia, Tunku Hajjah Azizah Aminah Maimunah
Iskandariah binti Sultan Iskandar Al-Haj.

Menurut sejarah Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu. Disinilah kemudian terbangun kampung etnis melayu di Aceh dan kampung Aceh di Pahang.


Hubungan Aceh dengan Pahang kemudian dilanjutkan pada masa sultan Muhammad Daud Syah. Dimana, disaat ibukota Aceh dipindahkan ke daerah Keumala di Pidie, Sultan Abubakar yang menjadi Raja Pahang pada saat itu, pernah beberapa kali mengirimkan utusan ke wilayah Keumala. Tujuannya, untuk memperkuat hubungan antar kedua kerajaan.


”Selaku keturunan Sultan Abubakar, saya juga ingin kembali memperkuat hubungan dengan Aceh,”tandas perempuan yang memiliki gelar Kebawah Duli Yang Teramat Mulia Tengku Puan Pahang, usai menjelaskan panjang lebar.


Sementara itu, bagi Tuanku Raja Yusuf, diakhir jamuan makan, mengaku dirinya tersanjung dengan keterangan dari Kesultanan Pahang Malaysia. Menurut dia, posisi dirinya dan keluarganya saat ini sangatlah tidak sebanding jika disandingkan dengan keluarga kesultanan Pahang.


”Rakyat Pahang masih mengakui raja mereka. Namun disini sudah tidak berlaku lagi,”tutur tuanku Raja Yusuf.


”Saya ini telah lama menjadi rakyat biasa, bahkan sejak lahir. Saya juga tidak mau mengaku-gaku sebagai keturunan sultan demi mendapatkan kemegahan dan ketenaran. Silahkan saja, orang lain yang mengaku. Tapi, atas kehormatan yang diberikan Kesultanan Pahang Malaysia, saya ucapkan ribuan terimakasih,”ungkap Raja Yusuf lagi.


Dalam pertemuan ini juga dihadiri keluarga dari pihak Kerajaan Pahang lainnya dan kelurga dari Tuanku Raja Yusuf, serta didampingi oleh Tuanku Maimun serta Tuanku Aswan, cucu dari Teuku Hasyim Banta Muda yang pernah menjadi Wali Nanggroe sewaktu Sultan Muhammad Daud Syah masih kecil.


Kerajaan Pahang juga mengundang para keturunan Sultan untuk mengunjungi pihaknya dalam waktu yang dekat ini. Namun undangan ini tidak dapat langsung dijawab oleh Tuanku Raja Yusuf. Pasalnya, pria yang berstatus PNS biasa disalah satu dinas tingkat Provinsi Aceh ini mengaku masih memiliki tanggungjawab yang besar pada negara ini.


”Undangan ini sangat memuliakan kami sekeluarga. Kami pasti memenuhi undangan ini, tetapi tidak dalam waktu dekat. Soalnya, saya sekarang adalah abdi negara biasa,”pungkas dia.


Keturunan Sultan Dan Rupiah


Sementara itu, Menurut M. Adli Abdullah, Mantan Panglima Laut Aceh, yang juga gemar menulis tentang sejarah Aceh, yang hadir dalam pertemuan dua kerabat raja tersebut, mengaku bahwa keberadaan sejumlah pihak yang mengaku keturunan sultan terakhir memang sering terjadi. Faktor ini dikarenakan kemuliaan dan rupiah yang melimpah yang dapat mereka peroleh dengan prilaku tersebut.


”Banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai keturunan sultan terakhir dan wali saat ini. Ini semua dilakukan untuk kepentingan politik pihak tertentu yang unjung-unjungnya adalah memperoleh rupiah,”tutur Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.


Menurutnya, tindakan dari Kerajaan Pahang yang sengaja mencari keturunan murni dari sultan terakhir Aceh adalah suatu hal yang langkah. Dimana, cara ini justru tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh sendiri, selaku kaki tangan dari pemerintah pusat di Jakarta.


Selama puluhan tahun, lanjut dia, rakyat Aceh diharuskan hidup ditengah-tengah kebingungan dan ambisi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai daerah ini walaupun harus menghapus cacatan sejarah bangsanya. Faktor ini kemudian berimbas dengan hilangnya pengakuan rakyat terhadap kesultanan Aceh, serta beralih ke Wali Nanggroe.


”Rakyat Aceh seharusnya mengambil contoh dari sikap negeri Pahang. Dimana, mereka tidak lupa akan sejarah bangsanya dan sejarah daerah mereka dengan Aceh,”ungkap dia.


Sementara itu, menurut penulis, dalam cacatan sejarah Aceh, posisi Wali Nanggroe sebenarnya diperuntukan untuk orang tertentu ketika daerah ini sedang terjadi krisis atau perperangan. Namun ketika Aceh sudah kembali aman seperti sekarang, maka seharusnya posisi wali dengan sendirinya menjadi gugur dan daerah ini dikembalikan pada sultan atau pewarisnya. Namun, yang berlaku di daerah ini, malah sebaliknya sehingga nasibnya kian tidak jelas hingga kini.


harian-aceh.com

Selasa, 19 Januari 2016

Umat Islam akan Menjadi Umat terbesar kedua di Amerika "Mengkhawatir mereka"

Baru-baru ini Pew Research Center merilis hasil penelitian mereka mengenai prediksi populasi Muslim di Amerika Serikat. Mereka memprediksikan sebelum tahun 2040 Islam menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen di AS.
Pew Research Center memperkirakan ada sekitar 3,3 juta Muslim dari segala usia yang tinggal di Amerika Serikat pada 2015. Ini berarti bahwa umat Islam terdiri sekitar satu persen dari total penduduk Amerika Serikat (sekitar 322 juta orang pada tahun 2015). Dan angka itu akan berlipat pada tahun 2050.

Perkiraan tersebut didasarkan pada proyeksi demografis dalam pertumbuhan populasi Muslim di Amerika sejak 2011. Mereka mengamati seluruh umat Muslim baik dewasa maupun anak-anak. Penelitian mereka menggunakan data usia, fertilitas, mortalitas, migrasi, dan mualaf yang mereka ambil dari berbagai sumber, termasuk survei Muslim Amerika pada tahun 2011.

Muslim di Amerika tidak merata, terdapat beberapa negara bagian yang populasi Muslimnya dua atau tiga kali lebih banyak dari rata-rata per kapita usia dewasa nasional. Negara bagian tersebut misalnya New Jersey.

Terdapat perdebatan dalam melihat populasi Muslim di Amerika, mengenai jumlah imigrasi Muslim di sana. Hal itu disebabkan karena Biro Sensus
Amerika Serikat tidak mengajukan pertanyaan tentang agama dalam mensensus penduduk Amerika Serikat. Sehingga tidak ada perhitungan resmi dari pemerintah mengenai populasi Muslim.

Namun, Pew Research Center mengaku melihat pertumbuhan Muslim di Amerika Serikat cukup stabil sejak 2007. Selain itu, mereka juga memprediksi pertumbuhan populasi Muslim cukup pesat, lebih cepat daripada pertumbuhan populasi Hindu dan jauh lebih cepat dari populasi Yahudi dalam beberapa dekade mendatang.
Diperkirakan Islam menjadi agama terbesar kedua setelah agama Kristen sebelum tahun 2040. Sementara pada tahun 2050 diprediksi populasi Muslim mencapai 8,1 juta orang, atau 2,1 persen dari total penduduk.

Mereka memprediksi, lebih dari setengah pertumbuhan penduduk Muslim tersebut pada tahun 2010-2015 akibat imigrasi. Menurut mereka, selama 20 tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah imigran Muslim yang tiba di Amerika Serikat. 10 persen diantaranya merupakan imigran legal, hal itu jauh lebih sedikit dibandingkan imigran ilegalnya.

Pertumbuhan signifikan komunitas Muslim tersebut, selain karena imigran juga disebabkan karena banyaknya mualaf beberapa tahun terakhir ini. Satu dari lima Muslim dewasa di sana dilahirkan dari keluarga agama lain atau tidak beragama.

Tidak hanya itu, populasi Muslim di sana berada pada kisaran usia rata-rata lebih muda daripada masyarakat umum. Sehingga, jumlah yang lebih besar akan segera tiba ketika mereka mulai berkeluarga dan memiliki keturunan.

Islam Teroris dimata Amerika Vs Islam Humanis dimata Rusia Pidato kekaguman terhadap Islam oleh Pendeta Tinggi Rusia


Dimitriv Smirnov yang berbicara di hadapan ratusan jemaatnya, seperti dikutip The World Buletin News-Rusia, mengatakan bahwa masa depan Rusia akan menjadi milik umat Islam.

“Kalian lihat…ketika Umat Islam merayakan hari besar keagamaannya, tidak satu pun orang yang berani melewati mereka karena di seluruh dunia di masjid-masjid dan jalan-jalan kota dipadati jutaan umat Islam yang sedang bersujud kepada Tuhannya.

Saksikanlah…barisan juta umat manusia yang beribadah dengan sangat teratur dan mengikuti shaf mereka masing-masing dan hal itu tidak perlu diajarkan. Mereka berbaris dengan tertib tanpa harus diperintah.

Lalu apakah kalian melihat pemeluk kristen seluruh dunia bisa beribadah bersama? Dan hal itu tidak ada dalam kristen…kalian tidak akan pernah melihatnya.

Lalu apakah kalian melihat pemeluk kristen seluruh dunia bisa beribadah bersama? Dan hal itu tidak ada dalam kristen…kalian tidak akan pernah melihatnya.

Lihatlah mereka…orang Muslim kerap membantu dengan sukarela tanpa berharap imbalan tapi pemeluk kristen malah sebaliknya.

Kalian tanyakan pada wanita tua itu (sambil menunjuk wanita yang lumpuh yang berada di gerejanya). Menurut wanita tua itu seorang pengemudi Muslim sering menyediakan jasa transportasinya untuk mengantarnya ke gereja di Moskow.

Dan tiap wanita tua itu ingin memberinya upah, pengemudi Muslim selalu menolaknya dengan alasan bahwa Islam melarang mengambil upah pada wanita lansia, jompo, dhuafa dan anak-anak yatim di berbagai panti dan yayasan.

Dengarkanlah persaksiannya…padahal wanita tua itu bukan ibu atau kerabatnya. Tapi pengemudi Muslim mengatakan dalam Islam wajib menghormati orang yang lebih tua apalagi orang tua yang lemah dan tak berdaya tersebut.

Keikhlasan pribadi pengemudi Muslim tersebut tidak ditemukan di antara pemeluk kristen yang (digembar-gemborkan) mengajarkan kasih, tapi pengemudi Muslim dengan penuh belas kasih tidak meminta upah atas jasa transportasinya pada wanita tua itu.
Seorang Muslim justru lebih dekat dengan sang mesiah tapi orang kristen hanya ingin uang. Apakah kalian tidak merasakanitu?

Sebagaimana dalam prosesi penebusan dosa, siapa saja harus membayar pada pendeta-mu, entah itu miskin atau manula wajib memaharkannya sebagai ritual pengampunan dosa.”

Ratusan jemaat yang mengikuti misa imam besarnya hanya terdiam dan merenung. Dimitriv pun melanjutkan ceramahnya.
“Saksikan juga…seorang Muslim tidak tertarik untuk mengambil upah dari orang-orang lansia. Mereka begitu ikhlas dengan sukarela membawakan barang-barang serta belanjaan wanita tua itu…sampai sang wanita tua itu hendak berdoa ke gereja sang pengemudi Muslim setia mengantar jemput wanita tua itu.

Inilah mengapa saya mengatakan masa depan Rusia akan didominasi pemeluk Islam dan negeri ini akan menjadi milik Islam. Kalian lihat pribadi yang berbudi luhur dan santun mampu membuat dunia tercengang, ternyata akhlak Muslim lebih mulia daripada jemaat Kristen.

Kalian mendengar bahwa Islam dituduhkan sebagai agama “teroris” tapi itu hanya isu belaka yang pada kenyataannya Umat Islam lebih mengedepankan tata krama serta kesopanan.
Walau mereka difitnah sebagai “teroris”, tetapi populasi jumlah muallaf di Eropa dan Rusia makin ramai berdatangan ke tempat ibadah orang Muslim untuk memeluk Islam. Itu karena para muallaf tahu betul bahwa Islam tidak sekejam yang dunia tuduhkan.

Sekarang dan selamanya, masa depan Rusia akan dimiliki Umat Islam. Masa depan adalah kembalinya kejayaan Islam. Lihatlah populasi Muslim di Rusia telah berjumlah 23 juta dan pemeluk kristen mengalami penurunan menjadi 18 juta, lalu sisa yang lainnya masih tetap komunis.

Ini sebuah fakta bahwa Islam sekarang menjadi agama terbesar di Rusia. Di utara bekas pecahan negara Uni Soviet mayoritas penduduknya Muslim, yaitu republik Chechnya, Tarjikistan, Kajakhstan, Uzbeckistan dan Dagestan. Lalu Umat Islam juga telah menjamah kota-kota besar Rusia termasuk Moskow.”

Imam besar Dimitriv mengakhiri khutbahnya dan turun dari mimbarnya dengan berlinang air mata. Sementara para jemaatnya masih terpaku dan haru. Mereka tidak menyangka seorang imam besar Katolik bisa mengagungkan orang Muslim. Sebagian jemaat ada yang menangis melihat bagaimana ajaran Islam ternyata begitu berbudi luhur dan tidak layak disebut “teroris”.

Ya Allah Yang Mahamembolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami dan mereka yang mencari hidayah-Mu di atas Diin yang lurus ini. Aammiin.

Sumber: http://www.beritateratas.com/2015/12/gempar-video-pidato-pendeta-khatolik.html

  

Rabu, 13 Januari 2016

Kreteria Sekolah Efektif

Djam’an Satori (2000) mengemukakan sekolah efektif dalam perspektif manajemen, merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan tindakan, dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Selanjutnya jika dilihat dalam perspektif ini, dimensi dan indikator sekolah efektif dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Layanan belajar bagi siswa
Dimensi ini mencakup seluruh kegiatan yang ditujukan untuk menciptakan mutu pengalaman belajar.

b. Mutu mengajar guru

Aspek ini merupakan refleksi dari kinerja profesional guru yang ditunjukan dalam penguasaan bahan ajar, metode dan teknik mengajar untuk mengembangkan interkasi dan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, pemanfaatan fasilitas dan sumber belajar, melaksanakan evaluasi hasil belajar. Indikator mutu mengajar dapat pula dilihat dalam dokumen perencanaan mengajar, catatan khusus siswa bermasalah, program pengayaan, analisis tes hasil belajar, dan sistem informasi kemajuan/prestasi belajar siswa.
c. Kelancaran layanan belajar mengajar

Sesuai dengan jadwal layanan belajar mengajar merupakan “core bussiness” sekolah. Bagaimana kelancaran layanan tersebut, sesuai dengan jadwal yang telah disusun merupakan indikator penting kinerja manajemen sekolah efektif. Adanya gejala “kelas bebas” karena guru tidak masuk kelas atau para siswa tidak belajar disebabkan oleh interupsi rapat sekolah atau kegiatan lainnya, merupakan keadaan yang tidak boleh dianggap wajar.

d. Umpan balik yang diterima siswa

Siswa sepatutnya memperoleh umpan balik yang menyangkut mutu pekerjaannya, seperti hasil ulangan, ujian atau tugas-tugas yang telah dilakukannya.

e. Layanan keseharian guru terhadap siswa

Untuk kepentingan pengajaran atau hal lainnya, murid memerlukan menemui gurunya untuk berkonsultasi. Kesediaan guru untuk melayani konsultasi siswa sangat penting untuk mengatasi kesulitasn belajar. Kepuasan siswa terhadap layanan mengajar guru Siswa merupakan kastemer primer di sekolah, dan oleh karenanya mereka sepatutnya mendapatkan kepuasan atas setiap layanan yang ia terima di sekolah.

f. Kenyamanan ruang kelas

Ruang kelas yang baik memenuhi kriteria ventilasi, tata cahaya, kebersihan, kerapihan, dan keindahan akan membuat para penghuninya merasa nyaman dan aman berada di dalamnya.

g. Ketersediaan fasilitas belajar

Sekolah memiliki kewajiban menyediakan setiap fasilitas yang mendukung implementasi kurikulum, seperti laboratorium, perpustakaan fasilitas olah raga dan kesenian, dan fasilitas lainnya untuk pengembangan aspek-aspek kepribadian.

h. Kesempatan siswa menggunakan berbagai fasilitas sekolah

Sesungguhnya sekolah diartikan untuk melayani para siswa yang belajar dan oleh karenanya para siswa hendak diperlukan sebagai pihak yang harus menikmati penggunaan setiap fasilitas yang tersedia di sekolah, seperti fasilitas olah raga, kesenian dalam segala bentuknya,ruang serba guna, kafteria, mushola, laboratorium, perpustakaan, komputer, internet dan lain sebagainya.

i. Pengelolaan dan layanan siswa

Seperti telah diungkapkan terdahulu, siswa adalah kastemer primer layanan pendidikan. Sebagai kastemer, para siswa sepatutnya memperoleh kepuasan. Kepuasan tersebut menyangkut;(1) mutu layanan yang berkaitan dengan kegiatan belajarnya, (2) mutu layanan dalam menjalani tugas-tugas perkembangan pribadinya, sehingga mereka lebih memahami realitas dirinya dan dapat mengatasi sendiri persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan (3) pemenuhan kebutuhan kemanusia- annya (dari kebutuhan dasar, rasa aman, penghargaan, pengakuan dan aktualisasi diri). Untuk menjamin layanan tersebut, sekolah yang efektif akan menyediakan layanan bimbingan konseling dan sistem informasi yang menunjang. Demikian pula layanan untuk mememuhi bakat dan minat anak dalam bentuk pengembangan program-program extra kurikuler mendapat perhatian yang berarti. Dalam kondisi seperti disebutkan, sekolah yang efektif memiliki siswa yang disiplin dengan motivasi belajar yang tinggi.

j. Sarana dan prasarana sekolah

Sarana dan prasarana atau disebut sebagai fasilitas sekolah mencakup, gedung, lahan dan peralatan pelajaran. Aspek penting dari gedung tersebut adalah kualitas fisik dan kenyamanan ruang kelas di mana “core bussiness” pendidikan di sekolah diselenggarakan. Aspek lain dari gedung adalah kualitas fisik dan kenyamanan ruang manajemen (ruang kerja kepala sekolah dan layanan administratif),ruang kerja guru, ruang kebersamaan (common room), dan fasilitas gedung lainnya seperti kafetaria, toilet, dan ruang pentas. Lahan sekolah yang baik ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Sekolah yang efektif seperti buku-buku pelajaran dan sumber belajar lainnya yang relevan, alat-alat pelajaran dan peraga yang mendukung kurikulum sekolah sangat diperhatikan. Seluruhnya peralatan pengajaran tersebut, digunakan secara optimal sesuai dengan

k. Program dan pembiayaan

Sekolah yang efektif memiliki perencanaan stratejik dan tahunan yang dipatuhi dan diketahui oleh masyarakat sekolah. Kepemilikan perencanaan stratejik sekolah membantu mengarahkan dinamika orientasi sekolah yang dimbimbing visi, misi, kejelasan prioritas program, sasaran dan indikator keberhasilannya. Perencanaan tahunan merupakan penjabaran dari perencanaan stratejik yang berisi program-program berisi program-program operasional sekolah. Program-program tersebut, didukung oleh pembiayaan yang memadai dengan sumber-sumber anggaran yang andal dan permanen. Kebijakan dan keputusan yang menyangkut pengembangan sekolah tersebut dilakukan dengan memperhatikan partisipatif staf dan anggota masyarakat sekolah (dewan/komite sekolah).Dalam kondisi seperti itu akontabilitas kelembagaan sekolah, baik yang dilakukan melalui“self-assessment/ internal monitoring, maupun melalui “external evaluation” akan berkembang secara sehat karena semua fihak yang berkepentingan (stakeholder) mendapat tempatnya dalam setiap aspek pengembangan sekolah.

l. Partisipasi masyarakat

Di samping memberdayakan secara optimal staf yang dimilikinya, sekolah yang efektif akan menaruh perhatian yang sungguh-sungguh pula terhadap pemberdayaan masyarakat sekolah. Hal itu akan diwujudkan dengan cara menyediakan wadah yang memungkinkan mereka, yaitu fihak-fihak yang berkepentingan, ikut terlibat dalam memikirkan, membahas, membuat keputusan, dan mengontrol pelaksanaan sekolah. Wadah seperti itu, dalam penyelenggaraan sekolah-sekolah di Australia dikenal sebagai “school council”, yang di Indonesia diusulkan komite sekolah, orang tua murid, anggota masyarakat setempat (seperti tokoh agama, pengusaha, petani sukses, cendikiawan, politikus, dan sejenisnya), dan refresentatif staf dari Depdiknas setempat.

m. Budaya sekolah

Budaya sekolah merupakan tatanan nilai, kebiasaan, kesepakatan-kesepakatan yang direfleksikan dalam tingkah laku keseharian, baik perorangan maupun kelompok. Budaya sekolah dapat diartikan sebagai respon psikologis penghuni sekolah terhadap peristiwa kehidupan keseharian yang terjadi di sekolah. Budaya sekolah akan berpengaruh terhadap pencapaian misi sekolah apabila melahirkan respon psikologis yang positif dan menyenangkan bagi sebagian besar atau seluruh penghuni sekolah. Sebaliknya, budaya sekolah bersifat destruktif apabila melahirkan respon yang negatif atau kurang menyenangkan bagi sebagian besar atau seluruh penghuni sekolah. Budaya sekolah dalam pengertian ini sering diartikan sama dengan iklim sekolah, yaitu suasana kehidupan keseharian yang berlangsung di sekolah yang memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap respon psikologis para penghuninya.

Ciri Penanda Sekolah Efektif

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.
Pendidikan adalah senjata yang terkuat yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia.
(Nelson Mandela).
Education, therefore, is a process of living and not a preparation for future living.
Pendidikan, oleh karena itu, adalah sebuah proses kehidupan dan bukan satu persiapan kehidupan di masa depan.
(John Dewey).
Pada saat melaksanakan tugas monev tentng standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan dasar pada tanggal 30 Mei 2014, saya merasakan tentang pentingnya perhatian kita terhadap pilar-pilar sekolah efektif di negeri ini. Untuk meningkatkan perhatian terhadap pilar-pilar sekolah efektif tersebut, saya telah mencoba menulis buku tentang Pilar-Pilar Sekolah Efektif. Kebetulan ada seorang teman yang begitu baik hati menawarkan untuk mengedit dan memdesainnya menjadi dami.
Awalnya buku itu akan diberi judul Faktor-Faktor Determinan Sekolah Efektif. Memang itulah isinya. Tetapi judul itu masih panjang sedikit. Maka akhirnya judul itu diubah menjadi Pilar-Pilar Sekolah Efektif. Mudah-mudahan ada pihak yang mau bekerja sama untuk menerbitkannya, agar sekolah-sekolah di negeri ini menyadari tentang pentingnya komponen-komponen penting yang besar pengaruhnya terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Misalnya, apakah faktor kepala sekolahnya yang perlu mendapatkan perhatian, atau hubungan antara sekolah dengan orang tua, dan faktor-faktor determinan lainnya.
Tulisan ini merupakan inti sari buku tersebut, yang menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi efektivitas suatu sekolah. Kelika kita terjun langsung ke sekolah-sekolah, kita akan dapat merasakan dengan mata hati tentang denyut nadi sekolah yang bersangkutan, apakah sekolah tersebut memiliki faktor-faktor yang menjadi pemantik untuk dapat berhasil atau sebaliknya.
Kurikulum dan Fasilitas Sekolah Sebagai Faktor Determinan
Kita mengenal beberapa macam sebutan sekolah, seperti sekolah unggulan, sekolah bertaraf internasional (SBI) yang dihapuskan karena dinilai diskriminatif dengan sekolah lain, yang dikenal dengan sekolah RSBI (sekolah rintisan bertaraf internasional) yang dipelesetkan menjadi Rintihan Sekolah Bertaraf Internasional. Selain itu, ada pula sebutan sekolah yang tidak sepenuhnya diatur dalam sistem pendidikan nasional, seperti sekolah berasrama (boarding school), dan sebutan lainnya, termasuk sekolah satu atap, karena muridnya sedikit sehingga demi efisiensi maka sekolah tersebut perlu dijadikan satu manajemen (satu atap). Di samping itu, dalam praktik di lapangan kita mengenal sekolah-sekolah terpadu, seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Memengah Islam Terpadu (SMPIT). Jenis sekolah ini disebut lebih karena penerapan kurikulum yang menyatukan antara kurikulum di sekolah umum dengan mata pelajaran keislaman (keilmuan dan keislaman).
Pada masa lalu, sebutan sekolah biasanya dikaitkan dengan lengkap-tidaknya sarana dan prasarana sekolah atau fasilitas sekolah. Contoh yang amat fenomenal adalah gambaran sekolah masa lalu yang diceritakan dalam novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata. Dalam novel itu diceritakan dengan apik bahwa gedung SMP Muhammadiyah di Pulau Belitong adalah gambaran sekolah pinggiran di daerah pedesaan yang sudah nyaris roboh. Sekolah itu akan ditutup pemerintah jika pada tahun pelajaran baru tidak dapat menerima siswa baru minimal 10 (sepuluh) orang siswa. Hari terakhir penerimaan siswa baru, satu jam sebelum penerimaan siswa baru itu ditutup, ternyata masih ada sembilan orang siswa yang telah mendaftar. Jadi masih ada satu orang lagi yang mendaftar yang akan menjadi dewa penolong sekolah ini. Menit-menit terakhir, seorang anak berjalan agak pincang bersama orangtuanya datang ke sekolah ini untuk mendaftar sebagai siswa yang kesepuluh. Alhamdulillah, sekolah ini dapat meneruskan proses belajar mengajar, dengan hanya sepuluh siswa baru. Kesepuluh siswa baru inilah yang kemudian diberikan gelar sebagai laskar pelangi oleh penulis novel ini. Mengapa disebut pelangi, karena sepuluh anak ini memiliki karakter dan kecerdasan yang berbeda-beda. Singkat cerita, laskar pelangi pulalah yang telah membawa keharuman nama sekolahnya, yang berhasil mengalahkan sekolah “gedongan” dalam berbagai acara lomba.
Definisi Sekolah Efektif
AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program) telah mengembangkan pelatihan WDD (Whole District Development) dan WSD (Whole School Development) di Indonesia. AIBEP menjelaskan definisi sekolah efektif sebagai berikut.
”Sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki sistem pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel, serta mampu memberdayakan setiap komponen penting sekolah, baik secara internal maupun eksternal, dalam rangka pencapaian visi-misi-tujuan sekolah secara efektif dan efesien” (bahan pelatihan AIBEP).
Dalam kalimat yang berbeda, ada rumusan yang menyatakan sebagai berikut:
“An effective school is a school in which students achieve high standards that they can use in their future education or the workplace, a school where students feel safe and happy. It promotes those values that will help pupils to become good and responsible citizens, enable them to become involved in their community and become good family members. We all write these sorts of things in our school mission statements and school documents, but we are all too often distracted from them in day-to-day planning (http://www.teachingexpertise.com).
Khusus untuk sekolah dasar (primary school), secara khusus UNESCO telah mendefinisikan dan sekaligus menyebutkan karakteristik sekolah efektif di sekolah dasar sebagai berikut:
“School effectiveness research shows that successful primary schools are typically characterized by strong leadership, an orderly school and classroom environment and teachers who focus on the basics of the curriculum, hold high expectations of their students’ potential and performance and provide them with frequent assessment and feedback” (diberi garis bawah dan ditebalkan oleh penulis, EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 228).
Berdasarkan definisi tersebut karakteristik tipikal minimal sekolah efektif adalah: (1) kepemimpinan yang kuat, lingkungan ruang kelas dan sekolah yang teratur, (3) para pendidik yang memfokuskan pada hal-hal yang mendasar dalam kurikulum, dan (4) mempunyai harapan yang tinggi terhadap unjuk kerja dan potensial para siswanya, serta (5) menyediakan mereka penilaian dan umpan balik (feed back) bagi pendidik secara teratur.
Sayang sekali, konsep sekolah efektif tersebut tidak berjalan lama di negeri ini, dan sampai sampai ini konsep tersebut kurang mendapatkan perhatian lagi. Habis proyeknya, selesailah sudah program dan kegiatannya.
Pilar-Pilar Sekolah Efektif
Jika pada awalnya efektivitas sekolah dilihat dari segi kelengkapan sarana dan prasarananya, maka dewasa ini efektivitas sekolah lebih banyak ditentukan oleh pengelolaan pendidikan, termasuk harapan guru dan peserta didiknya untuk mencapai hasil belajar yang tinggi, melalui proses pembelajaran.
Untuk lebih mengingatkan kita, dalam laporan tahun 2005 UNESCO menyatakan dengan tegas bahwa “Schools are definitly not factories producing outputs according to recipe in a technically deterministic way” (EFA Global Monitoring Report, 2005: 228). Dengan kata lain, sekolah-sekolah adalah sama sekali bukanlah pabrik-pabrik yang memproduksi keluaran sesuai dengan resep dengan satu cara yang secara teknikal dipandang sangat menentukan. Pernyataan ini mengubah pandangan dari teori fungsi produksi (production function theory) sebagaimana telah dijelaskan di muka. Jadi, yang penting bukan gedungnya, bukan fasilitas fisikalnya, bukan masukan instrumental lain, bahkan berapa kali ditatar dan ditatar terus, jika semuanya itu tidak dilaksanakan dalam proses belajar mengajar yang optimal di dalam kelas. Kembalilah kepada pandangan bahwa proses pembelajaran adalah kunci masalah pendidikan selama ini. Proses pembelajaran di dalam kelas merupakan kotak kitamnya (black box) yang selama ini harus kita temukan tempat dan kuncinya. Dengan demikian, sekali lagi pilar sekolah efektif bukan faktor fasilitas sekolah, tetapi lebih dari proses pembelajarannya.
Sejarah Gerakan Sekolah Efktif (Effetive School Movement)
Konsep sekolah efektif memang bukan konsep yang baru. Sebagai contoh, Dr. Lawrence W. Lezotte (http://www.edutopia.org) menyatakan bahwa konsep sekolah efektif telah mengalami revolusi dan evolusi lebih dari tiga puluh tahun. Dalam tulisannya bertajuk Revolutionary and Evolutionary The Effective School Movement telah memberikan daftar 10 (sepuluh) bahan pustaka tentang sekolah effektif. Bahkan dalam tulisan tersebut, Lazotte telah menggunakan istilah yang revolusioner, yakni gerakan sekolah effektif (the effective school movement).
Lezotte menjelaskan sejarah panjang tentang gerakan sekolah efektif tersebut. Dimulai dari kajian Prof. James Coleman, yang telah melakukan kajian tentang hasil belajar peserta didik dengan melibatkan 600.000 peserta didik di 4.000 sekolah. Pada bulan Juli 1966, Coleman telah menerbitkan hasil kajiannya dengan tajuk The Equal Educational Opportunity Survey, dengan temuan bahwa ternyata latar belakang keluarga — bukan sekolah— merupakan faktor penentu hasil belajar peserta didik (family background, not the school, was the major determinant of student achievement). Peserta didik yang berhasil di sekolah berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomis, sedang peserta didik yang berasl dari keluarga tidak mampu ternyata tidak hanya gagal dalam menempuh pendidikannya, tetapi juga gagal dalam kehidupannya. Tentu saja, hasil kajian tersebut telah mengejutkan banyak pihak. Alalagi hasil kajian tersebut dipaparkan di depan The United States Congress. Hasil kajian Colemen tersebut ternyata telah memicu para ahli pendidikan untuk melakukan penelitian tentang sekolah efektif secara lebih intensif.
Akhirnya, pada tahun 1982, Prof. Ron Edmonds telah menerbitkan paper bertajuk Programs of School Improvement: An Overvew, yang mencoba untuk mencari faktor-faktor yang disebut sebagai the Correlates of Effective School, yaitu faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai faktor penentu sekolah efektif. Hasil kajiannya, Edmonds menyebutkan lima faktor penentu sekolah efektif, yaitu:
1. The leadership of the principal notable for substantial attention the quality of instruction. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat memberikan perhatian secara substansial terhadap kualitas pembelajaran. Bagaimanapun juga peran kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Namun, kepala sekolah tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika tidak didukung oleh semua guru dan staf tata usaha sekolahnya.
2. A pervasive and broadly understood instructional focus. Fokus kepada pembelajaran dapat difahami secara mendalam oleh para guru dan semua peserta didik. Fokus kepada pembelajaran memang menjadi faktor penentu, tetapi lebih dari itu, sekolah juga memiliki visi dan misi, yang juga harus difahami oleh semua warga sekolah.
3. An orderly, safe climate conducive to teaching and learning. Iklim belajar yang aman dan teratur untuk proses belajar mengajar. Suasana belajar yang kondusif harus diciptakan, bukan dengan tangan besi, melainkan dengan menumbuhkan kesadaran. Disiplin sering diartikan sebagai kepatuhan kepada aturan. Tetapi dalam pelaksanaannya disiplin itu diartikan sebagai disiplin yang mati, bukan disiplin yang tumbuh dari kesadaran diri yang tinggi.
4. Teacher behaviors that convey the expectation that all students are expected to obtain at least minimum mastery. Sikap dan perilaku para guru memberikan harapan yang tinggi kepada semua siswa agar paling tidak dapat memperoleh penguasaan minimum. Sikap dan perilaku guru memang merupakan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang justru mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk menumbuhkan harapan peserta didiknya agar berhasil.
5. The use of measures of pupil achievement as the basis for program evaluation. Menggunakan alat ukur hasil belajar peserta didik sebagai basis untuk penilaian program. Sering hasil belajar dipandang sebagai “semacam hukuman” bagi siswa, padahal seharusnya hasil belajar tersebut justru harus menjadi bahan masukan (feed back) bagi perbaikan program pembelajaran.
Pada tahun 1995, Gary D. Borich, sebagai contoh, menggunakan istilah sekolah efektif dalam bukunya bertajuk Beginning A Teacher, An Inquiring Dialog for Beginning Teacher. Dalam kata pengantarnya, Gary D. Borich mengungkapkan bahwa ”by ’effective’ I mean how teacher like yourself have helped their students to learn, managed their classroom better, and felt good about themselves” (1995: ix). Ungkapan Borich ini tampak amat sederhana. Dalam ungkapan tersebut, yang dimaksud ’efektif’ adalah bagaimana guru membantu para siswa untuk belajar, mengelola ruang kelasnya dengan lebih baik, dan merasakan senang dengan pekerjaannya sendiri. Bagaimana mungkin dapat dikatakan efektif jika guru di sekolah itu sebenarnya tidak menyenangi pekerjaannya sebagai guru? Tentu saja, guru-guru di sekolah efektif adalah guru-guru yang menyenangi tugas profesionlnya sebagai pendidik.
Buku yang telah menuangkan dialog antara wartawan dengan para guru di suatu sekolah, dijelaskan tentang beberapa karakteristik kunci sekolah effektif: ”democratic, supportive, understanding, dan humanistic” (1995:3). Di samping itu karakteristik lain yang tidak kalah pentingnya adalah ”well organized, goal-based, result-orieted climate” (1995: 3). Dengan beberapa karakteristik tersebut, Borich mencoba untuk menggambarkan bagaimana sekolah efektif.
Konsep Sekolah Efektif menurut CCES (California Center of Effective School)
Menurut California Center for Effective School (CCES), ketujuh pilar sekolah efektif tersebut, masing-masing terdiri atas empat indikator. Dalam bentuk tabel, tujuh faktor determinan sekolah efektif dan masing-masing empat indikatornya menurut CCES dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 1: Tujuh Faktor determinan dan Indikator Sekolah Efektif Menurut CCES
I A clear and focused mission
1 Kepala sekolah, pendidik, dan pegawai tata usaha mengetahui dan memahami misi utama sekolah mereka.
2 Pembelajaran peserta didik adalah kriteria terpenting yang digunakan dalam membuat keputusan.
3 Standar tingkat negara bagian (state) sejalan dan searah dengan kurikulum lokal yang digunakan.
4 Program instrusional sekolah memfokuskan pada upaya pencapaian indikator keberhasilan belajar peserta didik, dengan level keberhasilan tertentu, baik akademis maupun nonakademis. Indikator-indokator keberhasilan tersebut telah diidentifikasi dan disetujui oleh kepala sekolah, guru, dan pegawai tata usaha, serta semua pihak yang terkait.
II High expectations for success
1 Para guru percaya dan mengharapkan bahwa semua siswa dapat mencapai hasil belajar. Untuk itu, para guru dapat mengkomunikasikan hal ini kepada peserta didiknya.
2 Perhatian diberikan secara adil kepada semua peserta didik, baik yang rendah maupun yang tinggi hasil belajarnya.
3 Peserta didik memahami apa yang diharapkan, dan para guru menyediakan kesempatan-kesempatan untuk peserta didik untuk memperoleh pengalaman dalam mencapai keberhasilan mereka.
4 Para guru menyediakan kesempatan-kesempatan kepada peserta didik agar meraka dapat bertanggung jawab dan juga dalam kepemimpinan.
III Instructional leadership
1 Kepala sekolah, dengan semua jajarannya, memberikan penekanan bahwa tujuan utama sekolah adalah pembelajaran.
2 Kepala sekolah dan para guru aktif dan terlibat dengan semua kegiatan dalam sekolah. Mereka menjadi sumber, memberikan penegasan, dukungan, dan berdedikasi untuk mencapai misi sekolah.
3 Kepala sekolah dan para guru menyampaikan harapan-harapan tinggi untuk peningkatan kinerja peserta didik dan pegawai tata usaha.
4 Kepala sekolah dan para guru berkolaborasi untuk meningkatkan program isntruksional dan memonitor kemajuan hasil belajar siswa.
IV Frequent monitoring of student progress
1 Data hasil belajar peserta didik mendorong perubahan-perubahan dalam program pembelajaran dan prosedur-prosedur sekolah.
2 Data hasil tes, distribusi nilai, dan pola-pola penerimaan siswa baru dianalisis berdasarkan ras, gender, etnis, dan status sosial-ekonomi untuk mengetahui ketidakmerataan dan untuk meyakinkan bahwa semua siswa belajar.
3 Ringkasan tentang prestasi belajar diketahui bersama oleh semua staf dan dilaporkan kepada masyarakat. Skor pada tingkat kabupaten dan sekolah dianalisis oleh semua staf untuk membuat inferensi tentang keberhasilan program dan target baru tentang upaya peningkatan sekolah.
4 Tes berpatokan norma dan/atau penilaian autentik dirancang dan/atau digunakan oleh para guru untuk menilai tingkat penguasaan siswa untuk kelas atau tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran.
V Opportunity to learn and student time on task
1 Waktu terbesar dialokasikan untuk proses pembelajaran dalam semua mata pelajaran.
2 Para guru mengurangi kegiatan yang kurang penting dan memfokuskan pada proses pembelajaran.
3 Para guru secara jelas mengkomunikasikan tentang maksud atau tujuan setiap pelajaran.
4 Angka keberhasilan siswa, dalam mencapai standar-standar, adalah 80 – 85% untuk memastikan pembelajaran yang produktif. Semua ini diselesaikan oleh para guru dengan melakukan monitoring kualitas pelajarannya, revisi dan remedial serta dengan penganekaragaman tugas-tugas siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama.
VI Safe and orderly environment
1 Kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi percaya, dan perilaku mereka menunjukkan bahwa konsistensi di antara semua warga sekolah adalah kunci untuk membangun satu suasana yang posititf.
2 Kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha menerima proposisi bahwa mereka siap bertugas kapan saja dan dimana saja selama di sekolah.
3 Ada suasana yang positif bagi siswa. Tingkah laku positif, keberhasilan, usaha, dan semua atribut dari keberhasilan tersebut akan diberikan.
4 Perhatian terhadap semua peralatan interior dan administratif yang terjaga dengan baik.
VIIHOME/school relations
1 Orangtua siswa telah memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan-tujuan sekolah dan standar kurikulum melalui komunikasi yang teratur.
2 Orangtua siswa telah diberikan informasi tentang bagaimana cara membantu anak-anaknya belajar di rumah.
3 Orangtua siswa telah diberikan informasi secara jelas tentang kemajuan peserta didik, termasuk tes hasil belajar di tingkat negara bagian dan apakah anaknya telah mencapai standar itu atau tidak, di bawah atau di atas standar itu.
4 Rata-rata ganda (multiple means) digunakan untuk mengkomunikasikan kepada orangtua siswa, termasuk buku panduan, newsletters, catatan rumah, nomor telepon, rapat orantua dan guru, kunjungan rumah, paket belajar di rumah, dan pertemuan sekolah dan kelas.
Sumber: Sekolah efektif menurut CCES (California Center for Effective School)
Sebenarnya masih ada beberapa teori tentang sekolah efektif, namun teori CCES tersebut sudah sangat memadai untuk misalnya dijadikan acuan penyusunan instrumen penilaian sekolah efektif. Kalau akan melihat apakah sekolah-sekolah itu sudah dapat kita kategorikan sebagai sekolah efektif atau belum, kita dapat menggunakan pilar-pilar dan indikator CCES. Kemudian, indikator mana yang harus disempurnakan, sudah tentu dapat dipastikan dari hasil evaluasi dengan menggunakan pilar-pilar dan indikator CCES tersebut.

Teknik Mengukur Mutu Sekolah Seri Sekolah Efektif

Paling tidak ada empat kategori sekolah apabila dilihat dari mutu dan proses pendidikannya, yaitu: bed school (sekolah yang buruk) , good school, (sekolah yang baik)  effective school(sekolah yang efektif)  dan excellence school (sekolah  unggul). Bed school adalah sekolah yang memiliki in put yang baik atau sangat baik tetapi proses pendidikannya tidak baik dan menghasilkan out put yang tidak bermutu. Good school adalah sekolah yang memiliki in put yang baik, proses baik dan hasilnya (out put-nya) baik. effective school adalah sekolah yang memiliki in put baik/kurang baik, proses pendidikannya sangat baik dan menghasilkan out putbaik/sangat baik. Sedang excellence school adalah sekolah yang in put nya sangat baik, prosesnya sangan baik dan menghasilkan lulusan (out put) yang sangat baik. 
  1. Seputar Konsep Sekolah yang Efektif
Sekolah yang efektif (effective school), adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sekolah yang ideal. Istilah ini (effective school) antara lain dikemukakan oleh Margaret Preedy dalam bukunya “Managing the Effective” (1993), Davis and Thomas dalam bukunya “Effective School and Effective Teacher“, (1989), Frymier dkk,dalam bukunya “One Hundred Good Schools,  (1984) dan Townsend dalam bukunya “Effective Schooling for The Community” (1994). Istilah-istilah lain yang berarti sekolah ideal seperti: sekolah yang baik (good school atau better schools) dikemukakan oleh  John T. Lowel and Kimbal Wiles, dalam “Supervision for Better Schools” ( 1983) sekolah favorit (favorite school), sekolah unggulan (excellence school), sekolah yang sukses (successful school), sekolah bermutu (quality school), sekolah percontohan, sekolah model, sekolah elite, sekolah pujaan, sekolah mahal, sekolah harapan dan lain sebagainya. Berikut ini dikemukakan pendapat para ahli tentang sekolah yang efektif.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sekolah dikatakan baik apabila memiliki delapan kriteria: (1) siswa yang masuk terseleksi dengan ketat dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prestasi akademik, psikotes dan tes fisik; (2) sarana dan prasarana pendidikan terpenuhi dan kondusif bagi proses pembelajaran, (3) iklim dan suasana mendukung untuk kegiatan belajar, (4) guru dan tenaga kependidikan memiliki profesionalisme yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang memadai, (5) melakukan improvisasi kurikulumsehingga memenuhi kebutuhan siswa yang pada umumnya memiliki motivasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya, (6) jam belajar siswa umumnya lebih lama karena tuntutan kurikulum dan kebutuhan belajar siswa, (7) proses pembelajaran lebih berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa maupun wali siswa, dan (8) sekolah unggul bermanfaat bagi lingkungannya (Depdikbud, Pengembangan Sekolah Unggul, 1994).
Sejalan dengan kriteria Depdiknas di atas, menurut Lipsitz dalam bukunya “Successful Schools for Young Adolescent” mengemukakan,  sekolah dikatakan baik apabila memiliki kriteria kebaikan (goodness) yang banyak: (1) Aspek murid; kualitas lulusan diakui institusi lain yang dengan indikasi: skor tes murid di atas rata-rata kelompok murid lain yang sejenjang; guru dan muridnya sama-sama bekerja keras untuk sukses; para murid puas dengan sekolahnya; para murid yang dirujuk untuk layanan kesehatan mental rendah bahkan dibanding dengan sekolah lain; para murid memenangkan lomba-lomba olah raga dan kegiatan ekstra lainnya; banyak murid yang menstudi bahasa asing, seni dan fisik. (2) Aspek guru: para guru merencanakan pelajaran secara memadai: anggota guru cukup memadai bagi murid; anggota guru bekerjasama, membagi ide, dan saling membantu di antara mereka; pergantian guru rendah; konflik guru rendah. (3) Aktivitas kelembagaan: sekolah mempunyai program perayaan hari besar nasional dan keagamaan; program ekstrakurikuler yang menarik bagi murid; moral lembaga tinggi. (4) Orangtua menerima hasil studi anaknya secara baik; para orangtua mempunyai pilihan untuk mengirimkan anaknya pada sekolah favorit dibanding sekolah lain (J. Lipsitz, 1983).
Fantini dalam “Regaining Excellence in Education” mengemukakan untuk menilai kualitas pendidikan, paling tidak ada empat dimensi yang harus diperhatikan: aspek individu murid, kurikulum, guru dan lulusan dari suatu proses pendidikan (M. Fantini, 1986). Sementara itu Davis dan Thomas dalam bukunya “Effective Schools and Effective Teacher” setelah  mengutip pendapat para pakar dan berdasarkan hasil berbagai penelitian menyimpulkan lima karateristik sekolah yang efektif: (1) praktek pengelolaan kelas yang baik; (2) kemampuan akademik yang tinggi; (3) monitoring kemajuan siswa; (4) peningkatan kualitas pengajaran menjadi prioritas sekolah; (5) kejelasan arah dan tujuan (Gary A. Davis & Margaret A. Thomas, 1989).
Dari berbagai pendapat tersebut, penulis membedakan antara antara sekolah yang efektif (effective school) dan sekolah unggul. Sekolah yang efektif menggambarkan adanya keefektifan dalam proses pendidikan sehingga hasilnya maksimal. Sebagai gambaran, walaupun keadaan input siswa, guru dan fasilitas tidak nomor satu akan tetapi menghasilkan lulusan nomor satu atau hasil rata-ratanya sangat signifikan. Sementara itu yang disebut sekolah unggul adalah sekolah yang memang unggul dalam berbagai hal: siswa dan guru pilihan, bangunan fisik megah dan fasilitas lengkap, dan unggul pula dalam biaya pendidikannya. Apakah sekolah unggul ini pasti efektif? Jawabannya belum tentu dan tidak ada jaminan. Namun demikian, dengan keunggulannya itu tentunya memiliki peluang lebih besar untuk menjadi sekolah yang efekif atau seklah yang baik.
Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia banyak bermunculan sekolah unggul dengan sistem full day school dengan fasilitas plus plus mulai antar jemput, gedung dan fasilitas sekolah  layaknya hotel berbintang, sistem pembelajaran e-learning, dan berbagai bentuk kegiatan ekstra kurikuler seperti berenang, menembak, berkuda dan lain sebagainya.  Lembaga pendidikan unggul ini banyak disponsori oleh para konglomerat, pengusaha besar dan perwakilan Negara asing.
  1. Ragam Perspektif atas Keefektifan Sekolah
Townsend secara metodologis mengemukakan framework (kerangka kerja) untuk melakukan penilaian terhadap efektifitas sekolah yang meliputi delapan aspek: tujuan sekolah, implementasi kurikulum, kepemimpinan kepala sekolah, pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, lingkungan sekolah, komunikasi dan keterlibatan komunitas sekolah (Tony Townsend, 1994).
Terdapat beberapa pendekatan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Pendekatan-pendekatan itu terkait dengan perspektif yang digunakan dalam memahami hakekat sekolah. Ahli filsafat pendidikan akan mengkajinya dari aspek kefilsafatannya, yaitu sejauh mana sekolah mampu merumuskan tujuan dan nilai-nilai yang mampu menjadi arah dan menjiwai visi, misi, dan proses penyelenggaraan pendidikan, utamanya tercermin dalam sistem kurikulumnya.
Buku ini mengkaji tentang pengembangan sekolah yang efektif dalam perspektif sistem organisasi dengan sudut pandang sosiologi organisasi yang memiliki kedekatan dengan sudut pandang administrasi pendidikan. Gibson dkk dan juga Robins  dan juga Robin (Gibson1992, Robins, 1983) berpendapat efektifitas organisasi termasuk di dalamnya organisasi sekolah dilihat dari tiga kriteria: pertama diukur dengan sejauhmana sekolah dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Model ini disebut model pendekatan tujuan. Kedua, diukur dari kualitas atau efektifitas proses pembelajaran. Model ini disebut model proses atau model sistem. Dan yang ketiga diukur dengan kelangsungan organisasi sekolah. Model ini disebut model respons lingkungan menurut Robins.
1)          Pendekatan Tujuan (objective approach)
Model tujuan berangkat dari pemikiran bahwa sekolah adalah sebuah organisasi (Lihat Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 1981). Menurut Etzioni dalam bukunya Organisasi-Organisasi Modern” mengemukakan, organisasi dikatakan berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Etzioni,  1985). Demikian juga sekolah sebagai sebuah organisasi yang bertujuan, akan dikatakan berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan organisasi yang bernama sekolah sebenarnya sangat komplek tergantung dari motif-motif dominan para penyelenggaranya.  Namun secara umum biasanya diukur dengan tingkat pencapaian prestasi lulusan sekolah yang diukur melalui tes uji kemampuan murid. Di Indonesia pada umumnya, prestasi murid diukur dengan standar nilai nasional atau nilai ujian akhir sekolah. Sehingga sekolah dikatakan bermutu, unggul dan baik apabila lulusannya memperoleh nilai tertinggi dibanding sekolah-sekolah lainnya dan pada gilirannya dapat melanjutkan ke sekolah favorit pada jenjang yang lebih tinggi.
Pendekatan sekolah yang baik berdasarkan pada pencapaian tujuan ini menurut Arifin dalam penelitian Disertasinya yang berjudul “ Kepemimpinan Kepala SekolahDalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar Berprestasi: Studi Multi Kasus pada MIN Malang I, MI Mamba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu di Malang” pernah diterapkan oleh The Seatle Public Scool, Washington Amerika Serikat pada tahun 1982 yang menetapkan sekolah yang bermutu berdasarkan muridnya yang memiliki kriteria: (1) menguasai keterampilan-keterampilan dasar (mastery of basic skill); (2) berusaha meraih prestasi akademik semaksimal mungkin pada semua mata pelajaran; dan (3) menunjukkan keberhasilan melalui evaluasi yang sistematik (systematic testing) (Arifin, 1998).
Mengukur keefektifan sekolah berdasarkan pencapaian tujuan dapat dikatakan sebagai pendekatan klasik, namun demikian tetap merupakan cara yang fungsional, efektif-efisien dan mudah. Hanya saja penggunaan pendekatan ini perlu disertai dengan beberapa catatan: (1) tujuan sekolah tidak semata-mata diukur berdasarkan prestasi murid apalagi hanya prestasi akademik; (2) sekolah sebagai organisasi juga memiliki ukuran keefektifan seperti kepuasan dan prestasi kerja guru, partisipasi dan kepuasan wali murid sebagai pelanggan (customer), keefektifan kepemimpinan, kelangsungan organisasi sekolah dan lain sebagainya.
Penetapan keefektifan sekolah yang hanya dilihat dari kemampuan akademik siswa semata jelas berangkat dari paradigma pendidikan yang tidak memadai, yaitu paradigma yang memisahkan pendidikan dari kehidupan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempersiapkan murid untuk menghadapi kehidupan. Siap menghadapi kehidupan menurut Buchori dalam bukunya “Pendidikan Antisipatoris“,  tidak terbatas pada mempersiapkan murid pada posisi-posisi (profesi dan jabatan) dalam masyarakat dan  untuk keberhasilan hidup, melainkan lebih dari itu agar: (1) dapat hidup (to make a living); (2) untuk dapat mengembangkan kehidupan bermakna (to lead a meaningful life); dan (3) untuk turut memuliakan kehidupan (to enneble life)) Buchori, 2001).
Pencapaian tujuan pendidikan yang meliputi empat pilar pendidikan sebagaimana direkomendasikan oleh UNESCO barangkali juga lebih memadai untuk dijadikan ukuran bagi sekolah yang efektif. Keempat pilar itu sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya meliputi: learning to knowlearning to dolearning to live together dan learnig to be (Wuri Sudjatmiko, 2000). Keempat pilar pendidikan (the four pillars of education) itu merupakan kemampuan komulatif murid yang direkomendasikan UNESCO dalam menghadapi milenium ketiga abad ke-21. Learning to know, diterjemahkan sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kecakapan intelektual, yaitu memiliki keterampilan berfikir (mampu bernalar, cerdas, kreatif, inovatif, mampu mengambil keputusan, mampu menyelesaikan masalah) dan memiliki wawasan dan menguasai informasi tentang dinamika persoalan kehidupannya.Learning to know dapat berkembang dengan baik apabila murid dibekali dengan kemampuan dasar (membaca, menulis, berbicara, mendengarkan dan berhitung) dengan baik.
Learning to do di masa depan tidak terbatas pada keterampilan fisik rutin, melainkan lebih banyak terkait pada kompetensi personal yang menggabungkan keterampilan dan bakat seperti perilaku sosial, prakarsa personal, dan kehendak untuk mengambil resiko. Inilah orang yang cerdas secara emosional (emotional Intelligence atau emotional quotient). Penemuan pakar sosiologi kontemporer seperti Danield Goleman Dalam penelitiannya yang popular, Goleman menemukan banyaknya orang yang memiliki EQ yang lebih tinggi meskipun IQ lebih rendah tetapi mampu memimpin orang yang memiliki IQ lebih tinggi tetapi EQnya rendah. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa untuk dapat berkarya, membangun prestasi, harus dimulai dari diri sendiri, yaitu memahami diri sendiri (potensi diri), mampu mengelola diri sendiri, memiliki motivasi untuk sukses yang tinggi, mampu memahami dan dapat menjalin hubungan dengan orang lain atas dasar saling membangun kepercayaan.
Learning to live together diterjemahkan sebagai kemampuan menghormati kehidupan dan kebersamaan dalam keragaman budaya, agama, etnik dan lain sebagainya. Dan learning to bediterjemahkan sebagai tercapainya perkembangan yang maksimal dan seutuhnya dalam kepribadian yang ditandai dengan terciptanya self esteem, tanggung jawab, kemampuan bersosialisasi, self management, integritas dan kejujuran.
Keempat pilar pendidikan ini  merupakan satu kesatuan. Dan keempat pilar ini pulalah yang mestinya dijadikan ukuran keefektifan sekolah yang ditetapkan berdasarkan prestasi murid.
Dalam kenyataannya, tidak sedikit penyelenggaraan pendidikan yang  tujuannya tidak terfokus pada murid. Dalam perspektif  ekonomi politik misalnya,  justru diukur dari seberapa jauh dapat meningkatkan kebesaran lembaga dan nilai  tambah secara ekonomi sebagai ukuran keberhasilan yang paling utama. Pencapaian prestasi murid penting, tetapi peningkatan citra lembaga guna peningkatan nilai tawar kepada pelanggan jauh lebih penting. Atas dasar itu tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak fairness dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, misalnya beberapa muridnya yang potensial dibina secara khusus atau diikutkan les. Sekolah yang seperti ini biasanya tidak berani menampilkan pencapaian hasil pendidikannya berdasarkan nilai rata-rata sekolah. Lembaga pendidikan seperti ini tidak dapat disebut sebagai noble industry, melainkan industrialisasi pendidikan atau kapitalisasi pendidikan.
Pendidikan juga tidak dapat dilepaskan darikepentingan politik, baik politik penguasa pemerintahan maupun kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Pada era Orde Baru misalnya, disinyalir bahwa muatan atau nuansa politis dalam penyelenggaraan pendidikan lebih kental ketimbang. Pendidikan diselenggarakan untuk membentuk warga Negara yang baik dan taat pada penguasa dalam rangka menjaga  status quo, ketimbang untuk membangun sumberdaya anak didik. Lulusan pendidikan bukan menjadi individu yang kreatif, kritis dan mandiri, melainkan sangat tergantung pada penguasa, misalnya menjadi pegawai negeri. Fenomena ini disebut sebagai politisasi pendidikan.
Politisasi pendidikan dapat terjadi bukan hanya oleh Negara, tetapi bias juga oleh organisasi-organisasi penyelenggara pendidikan termasuk di dalamnya organisasi sosial kemasyarakatan atau keagamaan. Hal ini terjadi apabila mereka memiliki agenda tersembunyi (hidden agenda) dalam penyelenggaraan pendidikannya, misalnya untuk mewariskan atau melestarikan (indoktrinasi) ideologinya semata dan menomorduakan misi yang sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri. Lulusan pendidikan tidak menjadi manusia yang mandiri, kreatif, inovatif dan komitmen dengan keyakinannya, melainkan hanya menjadi orang yang fanatik terhadap aliran atau golongannya saja (fanatisme buta). Politisasi pendidikan seperti ini bias jadi tidak kalah hebatnya dengan yang dilakukan penguasa.
2)          Pendekatan Proses (process approach)
Menurut Gibson dalam bukunya “Organisasi Perilaku Struktur Proses” mengemukakan, pendekatan proses atau pendekatan sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektifan (James L. Gibson, 1992). Analisis keefektifan organisasi menurut pendekatan ini terfokus pada perilaku organisasi secara intern dan ekstern. Secara intern yang dikaji adalah bagaimana dan mengapa orang (guru) di dalam organisasi (sekolah) melaksanakan tugas individual dan kelompok. Secara ekstern yang dikaji adalah transaksi dan kolaborasi (dialektika) organisasi sekolah dengan organisasi, lembaga atau pihak lain.
Senada dengan Gibson, Hoy & Ferguson, W.K. Hoy dan J. Fergusen, dalam bukunya “A. Theoritical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of School” mengemukakan, (Administration Quarterly, Volume XXI, No. 2 Spiring: 1985),  hal. 117-132.pendekatan proses melihat keefektifan organisasi pada konsistensi internal, efisiensi penggunaan sumber daya yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya  (W.K. Hoy dan J. Fergusen, 1985).  Dalam perspektif Teori Sistem, organisasi sekolah dianggap sebagai satu kesatuan dari komponen-komponen yang saling berkaitan. Keterkaitan antar komponen itu terjadi dalam proses kerja organisasi yang secara linier maupun secara siklus mengikuti pola input-process-output atau masukan- proses-keluaran. Infrastruktur sekolah seperti guru, fisik dan fasilitas, kurikulum dan organisasi sekolah merupakan aspek intern. Sementara supra struktur sekolah seperti harapan dan tuntutan masyarakat dan pemerintah merupakan aspek ekstern. Pengendalian aspek intern dan ekstern secara serempak adalah tugas utama pimpinan sekolah sebagai seorang menajer.
Penetapan pendekatan proses dalam menilai keefektifan sekolah menurut Hoy dan Ferguson didasari oleh dua asumsi: pertama, organisasi sekolah merupakan sebuah sistem yang terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi sekolah merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar, kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi seperti prestasi murid semata. Keefektifan suatu sekolah diukur pada proses organisasional termasuk di dalamnya proses pembelajaran. Kewajiban sekolah adalah menyelenggarakan pendidikan dan menciptakan kondisi dengan sebaik-baiknya. Sekolah harus memberikan penjaminan mutu dalam proses pendidikannya. Asumsinya adalah terdapat  pengaruh yang signifikan antara proses dengan hasil atau antara proses pendidikan dengan prestasi murid, walaupun disadari prestasi murid tidak sepenuhnya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah. Memang terdapat variabel lain yang ikut mempengaruhi prestasi belajar murid yang tidak dapat sepenuhnya dikontrol oleh sekolah seperti perhatian orangtua, pergaulan murid di luar jam sekolah, kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Akan tetapi hal itu tentu tidak dapat sepenuhnya dikontrol oleh pihak sekolah.
Tingkat keefektifan proses organisasional sekolah menurut Sergiovanni dalam bukunya “The Principalship: A Reflective Practice Perspectives” disebut karakteristik sekolah (school characteristics) (T..J. Sergiovanni, 1987).  Kareakteristik sekolah (school characteristics) menurut Owens dalam bukunya “Organizational Behavior in Education” dikelompokkan dalam dua perspektif: pertama, karakteristik internal sekolah yang mencakup: gaya kepemimipinan, proses komunikasi, sistem supervisi dan evaluasi, sistem pembelajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Kedua, katrakteristik eksternal sekolah, yaitu karakteristik situasi dimana sekolah berada dan saling mempengaruhi dengan karakteristik masyarakat seperti kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik, dan demografinya (R.G. Owens,  1987).
Ahli organisasi seperti Etzioni mengemukakan, dua pendekatan dalam menganalisis organisasi yaitu pendekatan tujuan dan pendekatan sistem (proses) merupakan dua teknik analisis yang paling popular (Etzioni, 1985). Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangannya. Orang luar organisasi sekolah seperti orangtua murid dan pengguna lulusan lebih cenderung memilih pendekatan tujuan untuk menganalisis keefektifan (effectivness) sekolah. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan: Berapa prosen tingkat kelulusan sekolah? Berapa NEM tertinggi yang diraih dan oleh berapa murid? Dari jumlah lulusan, berapa persen yang masuk di sekolah favorite pada jenjang di atasnya? dan seterusnya. Mereka pada umumnya tidak mau tahu tentang proses, melainkan hasil.
Sementara itu pihak intern sekolah lebih cenderung menggunakan pendekatan proses dalam menilai keefektifan sekolah dengan sebuah pertanyaan: apakah semua komponen sekolah dan komponen dalam proses pembelajaran telah berfungsi secara efektif? Apakah guru-guru telah mengajar secara efektif? Apakah kepustakaan telah dapat berfungsi sebagaimana mestinya? Apakah lingkungan sekolah dapat diciptakan suasana yang kondusif untuk belajar?
Dua pendekatan tersebut tidak saling bertentangan melainkan saling melengkapi. Karena itu, tidak sedikit ahli administrasi pendidikan yang menetapkan kriteria sekolah yang efektif berdasarkan gabungan dari kedua pendekatan tersebut. Mortimore dkk dalam bukunya “School Matters: The Junior Years” (1988) dan Brandma dan Knuver sebagaimana dikutip Scheerens dalam bukunya “Effective Schooling for The Community” menemukan lima faktor pendorong sekolah menjadi efektif, yaitu: (1) kuatnya kepemimpinan pendidikan (strong educational leadership); (2) penekanan pada pencapaian belajar keterampilan dasar (emphasis on acquiring basic skills); (3) perawatan dan pemeliharaan lingkungan (an orderly and secure environment); (4) harapan tinggi atas pencapaian belajar murid (high expectations of pupil attainment); dan (5) perkiraan secara intensif pada kemajuan (belajar) murid (frequent assessment of pupil progress). Di indonesia, peneliti yang menggunakan dua pendekatan ini antara lain  dilakukan Bafadal dalam penelitian disertasinya , “Proses Perubahan di sekolah: Studi Multi Kasus pada Tiga Sekolah yang Baik di Sumekar“(1994) yang menekankan sekolah yang baik berdasarkan pencapaian tujuan pembelajaran yang disimbolkan dengan prestasi  akademik siswa dan keefektifan sistem organisasi sekolah.
3)          Pendekatan Kelangsungan Pembaharuan (Continuous Improvement Approach)
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa organisasi sekolah diibaratkan sebagai organisme yang hidup. Ia mengalami masa  pendirian, pertumbuhan, perkembangan, dan seterusnya. Hadikumoro dalam bukunya “Strategi dan Fase Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta” mengemukakan fase pengembangan perguruan tinggi swasta kepada lima fase: pendirian, pertumbuhan, perkembangan, peningkatan kualitas akademik (kedewasaan) dan fase aktualisasi diri (Hadikoemoro, 1980). Fase perkembangan sekolah swasta tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Hadikoemoro di atas. Sekolah yang baik dengan demikian adalah sekolah yang fase-fase perkembangannya dapat dilalui secara dinamis, gradual dan berkelanjutan menuju kedewasaan dan aktualisasi diri. Fase kedewasaan ditandai dengan kemantapan elemen-elemen dalam sistem sekolah seperti guru yang profesional, kelengkapan fisik dan fasilitas, menejemen yang sehat, kepercayaan masyarakat tinggi sehingga keberadaannya menjadi kokoh, meyakinkan (convincingly) dan diperhitungkan oleh masyarakat. Sedangkan fase aktualisasi diri ditandai dengan kemampuan sekolah melahirkan adikarya dan mengambil peran di masyarakat, memiliki basis sosial yang kokoh, alumninya tersebar dalam berbagai posisi strategis di masyarakat. Kelangsungan hidup (viability)  sekolah dengan demikian seakan tak tergoyahkan. Sekolah di negara-negara maju banyak yang telah memasuki fase aktualisasi diri ini dan tidak sedikit telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Ibarat tanaman, sekolah yang telah memasuki fase aktualisasi diri adalah tanaman yang sehat,  berbuah lebat dan berkualitas dan telah berkembang biak. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sekolah yang efektif menurut pendekatan kelangsungan organisasi adalah sekolah yang keberadaannya kokoh, menjadi simbol prestasi, dan meyakinkan masyarakat tentang kelangsungan hidupnya dan memiliki keefektifan secara internal dan eksternal.
Pendekatan kelangsungan organisasi ini penulis anggap penting untuk menilai keefektifan sekolah khususnya bagi budaya pengorganisasian sekolah di tanah air. Tidak sedikit sekolah-sekolah Islam yang kelangsungan organisasinya tidak berjalan secara dinamis-linier menuju kedewasaan dan aktualisasi diri. Kebanyakan justru mengikuti pola spiral, stagnan, set-backdan bahkan berguguran sebelum memasuki kedewasaan. Ketika masih berada pada masa-masa sulit kondisinya aman-aman saja, namun ketika mulai berkembang muncullah konflik dan berbagai persoalan. Ibarat tanaman, muncullah berbagai macam hama dan penyakit yang tidak  hanya menghambat pertumbuhan tanaman, melainkan mematikannya. Akibatnya ribuan sekolah Islam di tanah air masih banyak yang belum berperan sebagai tempat berinvestasi bagi pengembangan sumberdaya manusia. Sementara yang berhasil mencapai kedewasaan dapat dihitung dengan jari dan yang berhasil mencapai aktualisasi diri masih harus dipertanyakan ada-tidaknya.
Sebagian peneliti pendidikan menyebut pendekatan kelangsungan organisasi dengan istilah perdekatan respon lingkungan atau pendekatan multidimensional. Purnel dan Gotts dalam bukunya “An Approach for Inproving Parent Involvement Through More Effective School-Home Communication” (1983) misalnya setelah melakukan penelitian tentang hubungan sekolah dan masyarakat (orangtua) mengatakan,  sekolah yang efektif adalah sekolah yang mampu menimbulkan respon positif dari orang dan masyarakat di sekitarnya.
Menurut Etzioni dalam bukunya “Modern Organizations” mengatakan,  pendekatan kelangsungan organisasi merupakan dimensi lain dari pendekatan sistem dalam analisis keefektifan organisasi, sementara menurut Sergiovanni pendekatan respon lingkungan pada dasarnya merupakan dimensi lain yang melengkapi pendekatan pencapaian tujuan dan pendekatan proses dalam menetapkan sekolah yang efektif. Oleh karena itu, Sergiovanni menyarankan kepada para kepala sekolah, teoritisi, dan peneliti agar tidak mempertentangkan kedua model pendekatan ini atau memilih salah satu diantaranya. Sebaliknya, pendekatan tujuan yang digabungkan dengan pendekatan proses dan pendekatan kelangsungan organisasi akan lebih komprehensif didalam memahami kesuksesan sekolah.
4)          Gabungan dari Ketiga Pendekatan
Sebuah teori senantiasa berangkat dari paradigma tertentu yang sifatnya spesifik dan parsial dalam melihat realitas. Demikian juga ketiga perspektif pendekatan (teoritik) terhadap sekolah yang efektif sebagaimana telah dikemukakan. Sifat teori senantiasa spesifik, mendalam dan bahkan ekstrem. Apabila ketiga perspektif teoritik tersebut digabungkan, diharapkan akan memperoleh gambaran yang utuh, mendalam dan terintegrasi tentang sekolah yang efektif.
Frymer, dkk  dalam bukunya “One Hundred Good Schools”  mengemukakan 12 ciri sekolah yang efektif yang  meliputi:
a)     sekolah sebagai bagian dari program pendidikan masyarakat luas;
b)     tujuan-tujuan sekolah memenuhi unsur komprehensif, seimbang, realistik, dan difahami, dan tujuan tersebut terserap dalam kegiatan sekolah;
c)     sekolah mempunyai pertanggungjawaban untuk perencanaan program yang dilakukan olegh personel sekolah sendiri;
d)     iklim sekolah yang bersahabat, humor sehat, sibuk dan anggota sekolah dan staf secara umum melakukan kerja sebagai tantangan dan kepuasan;
e)     bervariasinya mode dan sumber mengajar yang digunakan secara tepat untuk tujuan pembelajaran;
f)      unjuk kerja murid mengarah pada semua tujuan sekolah yang dievaluasikan secara umum memuaskan;
g)     murid partisipasi penuh dan bersemangat dalam berbagai kegiatan yang diberikan oleh sekolah dan masyarakat;
h)     orang tua dan masyarakat lain dari komunitas sekolah berpartisipasi penuh dan bersemangat dalam memberikan kesempatan bagi lingkungan mereka dalam program pendidikan;
i)      perpustakaan dan pusat belajar lain secara luas dan efektif digunakan oleh murid;
j)      program sekolah memberikan kemajuan alami bagi pelajar dari tergantung kemandiriannya;
k)     kepala sekolah merupakan pemimpin yang berpengaruh dan berkolaborasi secara efektif dalam sekolah dan masyarakat; dan
l)      guru-guru sekolah tampak melakukan pembaharuan dan perbaikan secara kontinyu.
Menurut Postman & Weingartner “The School Book: For People Who want to Know What All the Hollering is About” (1979), sekolah sebagai institusi memiliki 8 (delapan) fungsi esensial yang apabila masing-masing fungsi esensial dijabarkan kesemuanya menjadi 35 (tiga puluh lima) indikator  sekolah yang efektif:
a)     Dilihat dari penstrukturan waktu, sekolah dikatakan baik apabila memenuhi: (1) pengaturan waktu didasarkan atas ketentuan yang ada secara konsisten; (2) antara murid tidak diharuskan mengerjakan tugas yang sama dalam rentang waktu yang sama; (3) murid-murid tidak disyaratkan semata-mata mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan pada perolehan hasil proses pembelajaran; dan (4) murid-murid diarahkan untuk mengorganisasi dan memanfaatkan waktu mereka sendiri dalam belajar.
b)     Dilihat dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah yang efektif adalah: (1) aktivitas-aktivitasnya disesuaikan dengan kebutuhan murid secara individual; (2) antara murid satu dengan lainnya tidak dituntut mengikuti aktivitas yang sama; (3) sekolah melibatkan sepenuhnya partisipasi murid; (4) murid sebagai subyek dalam setiap aktivitasnya; (5) aktivitas murid tidak terbatas pada gedung sekolah, melainkan mencakup semua sumber dalam masyarakat; (6) pengembangan aktivitas berdasarkan pada perbedaan latar belakang dan kemampuan murid.
c)   Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan atau perilakunya, sekolah dikatakan baik apabila: (1) Proses pembelajaran lebih menekankan pada penemuan, pemecahan masalah dan penelitian dari pada memorisasi; (2) murid dihindarkan dari kebiasaan menerima pelajaran secara pasip; (3) berbagai keterampilan komunikasi dilatihkan kepada murid;  (4) meningkatkan penghargaan terhadap ilmu untuk praktek kegiatan sehari-hari; (5) menyadari perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang dan tidak membakukan pengetahuan yang ada; (6) pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi pengetahuannya.
d)   Ditinjau pelaksanaan evaluasi, sekolah dikatakan efektif apabila: (1) menekan upaya balikan dan mendorong belajar murid; (2) digunakan pendekatan yang humanistik dan perorangan; (3) mencakup aspek yang komprehensif; (4) macam perilaku yang dikehendaki dinyatakan secara eksplisit; (5) hati-hati menggunakan tes standar; (6) untuk mengevaluasi guru dan administrator digunakan prosedur yang konstruktif dan tidak bersifat menghukum.
e)     Ditinjau dari pelaksanaan supervisi, sekolah yang efektif apabila: (1) menghindari permusuhan guru-murid, sebaliknya lebih menyuburkan kerjasama antar keduanya; (2) murid diberi peluang untuk mensupervisi dirinya sendiri; dan (3) memecahkan masalah murid secara tuntas.
f)      Ditinjau dari perbedaan peran, sekolah dikatakan efektif apabila: (1) sekolah diciptakan sebagai masyarakat belajar dan guru berperan sebagai koordinator dan  fasilitator; (2) aktor proses pembelajaran tidak didiminasi oleh guru; (3) peran mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru; (4) murid tidak dijadikan obyek, melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri; (5) hubungan sesama murid tidak ditempatkan sebagai kompetitor semata, melainkan juga sebagai kolaborator.
g)   Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah yang efektif apabila personelnya: (1) hubungan sekolah-masyarakat lebih menekankan pada pola partisipasi dari pada pola paternalisme-birokratik; (2) Mengembangkan diversifikasi program kepada masyarakat; (3) tidak kuatir mempertanggungjawabkan performansi sekolah.
h)   Ditinjau dari pertanggungjawaban kepada masa depan, sekolah yang efektif apabila: (1) proses pembelajaran berorientasi pada masa depan berdasarkan analisis kondisi sekarang dan masa lalu; (2) menginterpretasikan tanggungjawabnya kepada masa depan, khususnya kepada murid dan stake-holder.
Analisis tentang sekolah efektif di atas, menurut peneliti berangkat dari paradigma sekolah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran dan dalam perspektif administrasi pendidikan. Ketiga pendekatan tersebut sangat fungsional.