Total Tayangan Halaman

Selasa, 15 Desember 2015

Tulisan di UIN Ar-Raniry Darussalam


BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan idealnya menyelenggarakan pendidikan dan bimbingan kepada peserta didik seimbang antara perkembangan fisik dan psikis mereka yang mengarah kepada pembentukan karakter anak bangsa yang baik. Pembentukan karakter yang baik hanya dapat dilakukan melalui pembelajaran yang baik. Pembelajaran yang baik adalah terjadinya komunikasi yang intensif antara siswa dengan guru, menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mendorong siswa mengatualisasi diri, mengahargai diri, mengeksistensikan dirinya dalam setiap kegiatan pembelajaran dengan penuh percaya diri.
Strategi pembelajaran yang umum diterapkan di MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Teunom saat ini adalah menggunakan urutan kegiatan pembelajaran uraian, contoh, dan latihan. Pada dasarnya pendekatan ini banyak sekali kekurangan, karena pada praktiknya cenderung berpusat pada guru (teacher centered) atau guru lebih banyak mendominasi kegiatan pembelajaran
Dalam pembelajaran, menumbuhkan sikap percaya diri siswa memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu diperlukan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk menumbuhkan sikap percaya diri siswa. Guru diharapkan mempunyai kemampuan dan ketrampilan untuk menumbuhkan sikap percaya diri siswa dalam pembelajaran, maka guru dituntut menyajikan model pembelajaran yang menarik dan berpusat kepada siswa aktif secara bervariasi untuk merangsang sikap percaya diri siswa dalam pembelajaran.
 Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan rumusan masalahnya adalah bagaimana strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran pada MTsN Teunom Aceh Jaya?. Dari rumusan ini, timbul pertanyaan; bagaimana persiapan pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom?, bagaimana pelaksanaan pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom?, dan bagaimana penilaian pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom?
Adapun tujuan dan signifikansi penulisan adalah untuk mengetahui dan mengkaji strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran pada MTsN Teunom Aceh Jaya, meliputi; persiapan pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom, pelaksanaan pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom, dan penilaian pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom.

B.  Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata. Adapun alasan digunakan pendekatan ini adalah; masalah penelitian yang dikaji bersifat deskriptif analitis, peneliti sebagai pengumpul data utama, sumber data bersifat primer, dalam proses menentukan kesimpulan penelitian menggunakan check and recheck dari berbagai sudut pandang yang diperoleh dari beberapa informan, dan analisis data diadakan sejak awal penelitian dan bersamaan dengan pengumpulan data. Fokus penelitian ini pada implementasi strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran, faktor-faktor pendukung dan penghambat strategi pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom Kabupaten Aceh Jaya.
Adapun teknik pengumpulan data, yaitu; Pertama observasi, mengamati langsung bagaimana strategi guru membina percaya diri siswa dalam pembelajaran di MTsN Teunom, mengamati bagaimana kepemimpinan guru dalam mengelola pembelajaran, mengamati bagaimana keaktifan siswa dalam pembelajaran sebagai bahagian dari bukti peracaya diri mereka. Kedua wawancara (interview), peneliti mengadakan wawancara dengan kepala madrasah dan seluruh guru  berjumlah 24 orang berkaitan kegiatan pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran secara langsung dengan informan atau responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Ketiga angket, peneliti mengedarkan angket berupa daftar pertanyaan kepada 25 orang siswa untuk ferifikasi pelaksanaan pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran pada MTsN Teunom. Adapun teknik pemilihannya dengan mengacak dari perwakilan kelas yang terdiri dari; 9 orang kelas IX/a, IX/b, dan IX/c, 9 orang kelas VIII/a, VIII/b, dan VIII/c, 7 orang dari kelas VII/a, VII/b, dan VII/c. Keempat dokumentasi, peneliti memanfaatkan dokumen berupa data guru dan pegawai, program kerja madrasah, catatan-catatan lainnya yang berkaitan kegiatan pembinaan percaya diri siswa baik berupa; foto, notulen yang relevan untuk melengkapi bahan penelitian.
Data  yang  berhasil  dikumpulkan  dan  sesuai  dengan  kebutuhan peneliti, kemudian dianalisis secara mendalam untuk mencari pola realitas. Dari sinilah akan didapat kesimpulan analisis dari komponen-komponen yang diteliti.

BAB II
PEMBINAAN PERCAYA DIRI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PADA MTsN TEUNOM ACEH JAYA

A.    Kerangka Teori
Percaya diri adalah meyakinkan diri pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif dengan penuh kepercayaan atas pendapat dan kemampuannya dalam menghadapi kegiatan pembelajaran dan lingkungannya. Percaya diri di dukung oleh beberapa hal, antara lain; "pertama, keefektifan diri  (self-efficacy), kedua citra diri (self image), ketiga konsep diri (self concept), keempat persepsi diri (self perception), kelima menghargai diri (self respect), dan keenam harga diri (self-esteem)".[1]
Percaya diri tidak hanya terbentuk oleh kesiapan diri saja secara internal, tetapi dorongan lingkungan yang aktual, dengan berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan juga ikut mempengaruhi, bahkan lingkungan menjadi faktor sangat berpengaruh bagi percaya diri siswa. Hal ini seirama degan pendapat Seligman, ia mengibaratkan jiwa manusia sebagai kendi tabungan tua, sehingga ia menyatakan bahwa,"jiwa manusia sebagai kendi tabungan tua; kakek, nenek, teman, guru, tetangga adalah orang-orang disekitar, yang mengisi atau bahkan menguras kendi itu".[2] Maka dapat penulis asumsikan bahwa perkembangan rasa percaya diri sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua di rumah dan orang tua kedua yaitu guru di sekolah.
Kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang panjang dari pola asuh di rumah tangga sampai pola pembelajaran di sekolah. Meskipun demikian realistis percaya diri siswa yang paling utama dengan lingkungan dan dinamika kelompok sengat dipengaruhi oleh seni guru memotivasi dan memperlakukan siswa dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu sikap guru yang penuh seni motivasi dan menerima siwa pada pandangan eksistensi bukan panghargaan pada prestasi semata akan mendorong percaya diri siswa untuk lebih eksis dan tampil percaya diri .[3]
Guru dituntut untuk menggunakan strategi pembinaan Percaya diri siswa, antara lain; guru menilai eksistensi siswa, memaklumi kurang tepat jawaban siswa, menghargai siswa bertanya, menunjukkan kasih sayang, perhatian, penerimaan diri siswa dengan tulus degan segala keterbatasan mereka, dll. Hal ini akan membangkitkan rasa percara diri mereka, sehingga mereka akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata teman-teman dan gurunya, meskipun ia melakukan hal yang keliru, janganlah memberikan kecaman "jahat atau bodoh" tetapi penyimpangan perilaku dan kekurangan pengetahuan dapat diatasi dengan memberikan alternatif yang bersifat mendidik dan menghargai mereka sebagai orang yang membutuhkan perhatian dan bimbingan lebih lanjut, maka dari sikap guru memperlakukan mereka demikian, mereka akan berasumsi bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi walaupun mereka melakukan kekeliruan dan kesalahan.
Pada dasarnya guru harus menghargai siswa bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan yang benar saja, namun penekanan penghargaan karena eksistensinya. Sedangkan prestasi dan perilaku yang benar di kemudian hari mereka akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sesuai dengan kemapuan, kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri seperti gurunya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Adapun strategi pembinaan percaya diri siswa yang lebih konkrit dapat kita simpulkan adalah berupa menggunakan model pembelajaran kontekstual dan kooperatif yang dilengkapi dengan usaha selalu memberikan penghargaan pada diri  siswa akan  segala sesuatu usaha belajar yang dilakukan mereka,  menghargai keberanian mereka eksis mencoba pengalaman baru sebagai sebuah kesempatan untuk belajar bukan sebagai kesempatan untuk menang ataupun kalah, memotivasi keberanian mereka berbicara/mengemukakan pendapat sendiri dan guru menggunakan penilaian autentik (menilai bukan pada berapa salah, tetapi dari apa saja yang telah dapat dilakukan hari ini).

B.     Persiapan Pembelajaran dalam Pembinaan Percaya Diri Siswa pada MTsN Teunom
Penulis mewawancarai kepala MTsN Teunom menyangkut "bagaimana bapak melakukan persiapan dan penyerasian atau pemaduan input sekolah yang berupa siswa, alat peraga, kurikulum dan pembiayaan?". Kepala sekolah menjelaskan bahwa:
Persiapan dan penyerasian pemenuhan/pengelolaan alat peraga sebahagian diberikan oleh sekolah dan sebahagian dibuat oleh guru sesuai dengan kreatifitasnya masing-masing. Pengelolaan alat peraga disediakan tempat penyimpanan dan pemajangan di laboratorium dan disediakan almari dimasing-masing kelas. Sedangkan manajemen pembiayaannya dilakukan oleh sekolah dari sumber dana yang diberikan pemerintah dan swadaya. Pemerintah memberikan dana untuk sekolah melalui BOS. Sedangkan sumber dana yang lain dilakukan melalui swadaya. Selanjutnya mengenai pengembangan organisasi sekolah di lakukan agar sekolah dapat bersanding dan bersaing dalam berbagai perubahan pada konteks pendidikan dapat dilakukan dengan merubah paradigma manajemen penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah. [4]

Menurut pengamatan penulis mengenai persiapan dan penyerasian atau pemaduan input sekolah yang berupa  guru sangat melelahkan kepala sekolah, karena jumlah guru bakti lebih besar dari jumlah pegawai negeri, ditambahlagi jumlah mata pelajaran/bidang studi yang banyak dan jumlah rombongan belajar juga banyak, sehingga kepala sekolah mengajukan permohonan tenaga pengajar PNS dan Kontrak Pemda pada kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Aceh Jaya, namun tidak semuanya dapat terpenuhi. Sedangkan berkaitan dengan alat peraga sekolah tidak memiliki ruang laboratorium khusu. Oleh karena itu bahan-bahan Lab ditempatkan pada ruang kelas unggulan. Adapun mengenai almari, benar ditempatkan pada setiap kelas, namun belum digunakan untuk menyimpan alat peraga.
Guru harus memahami betul peranannya dalam pembinaan percaya diri siswa yang bersifat majemuk, karena perilaku dan perlakuan guru dalam pembelajaran sangat berpengaruh pada percaya siswa. Salah satunya guru berperan sebagai orang tua kedua . Berkaitan dengan guru berperan sebagai orang tua kedua di sekolah. Lebih dari setengah guru menyatakan "ya", namun guru yang menjawab "tidak" pada umumnya berasumsi bahwa "mereka cenderung senang mengajar anak yang memiliki kemampuan intelektual tinggi dan memiliki tingkah laku yang baik, sedangkan anak yang nakal cenderung menyita perhatian dan mengganggu waktu pembelajaran".[5]
Menurut analisa penulis inilah pangkal penyebab siswa nakal menjadi bertambah nakal akibat tingkah laku mereka yang mencari perhatian malah diabaikan gurunya. Meskipun pada awalnya guru memberikan pengarahan, tetapi anak tersebut tidak bisa berubah tingkah lakunya maka guru tersebut langsung membiarkannya dengan ketidaksabarannya inilah yang mengakibatkan anak merasa terasing dan semakin nakal. Kurang dari setengah sikap guru yang seperti ini seharusnya dimusnakan agar dalam pembelajaran siswa penuh motivasi dan percaya diri.
Sedangkan guru yang menyatakan berperan sebagai orang tua kedua di sekolah dengan cara yang beragam. Ibu Harnisah, ia menyatakan berperan sebagai orang tua kedua di sekolah dengan cara:
Tetap bersabar mengambil sisi pisitif dari masing-masing siswa, bahkan anak hiperaktifpun menurut mereka sebenarnya tersimpan kemampuan yang positif, walaupun sikapnya yang cenderung nakal tersebut itu disebabkan karena anak itu merasa cepat bosan dengan yang dihadapi, dan mereka cenderung suka mengganggu temannya.[6]

Sedangkan menurut Muntasir, "ada siswa yang bertipe nakal dan taraf intelijensinya rendah, maka guru tetap harus menghargai dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri, karena dalam satu sekolah tidak semua siswa pintar dan memiliki perilaku yang bagus".[7] Sedangkan menurut Dewi Sari, "banyak saya temukan siswa yang mengalami masalah dalam prestasi dan juga dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, guru sangat berperan sebagai orang tua kedua dalam pemulihan masalah siswa".[8]
Menurut pantauan penulis Harnisah dan Muntasir adalah benar berperan sebagai orang tua ke dua di sekolah, disamping pada umumnya mereka mengenal orang tua wali siswa mereka juga sebagai wakil kepala bidang kesiswaan dan kurikulum selanjutnya mereka adalah putra daerah. Sedangkan Dewi Sari adalah guru bidang studi Aqidah Akhlak dan akrab dengan siswa sehingga banyak keluhan mereka disampaikan padanya, namun penyelesaiannya sering melalui mendiskusikannya pada Harnisah dan Muntasir.
Menurut analisa penulis dalam menghadapi berbagai permasalahan siswa dalam pembelajaran peran guru sebagai pihak kedua setelah orang tua yaitu guru harus memantau perkembangan kepribadian peserta didik, sekaligus menjadi pengendali prilaku siswa dalam pembelajaran dan di lingkungan sekolah agar dapat terwujud siswa berkepribadian yang baik.

C.    Pelaksanaan Pembelajaran dalam Pembinaan Percaya Diri Siswa pada MTsN Teunom
Penggunaan Pendekatan pembelajaran yang dapat menumbuh kembangkan percaya diri siswa slah satunya adalah pendekatan student centered (berpusat pada siswa). Berkaitan dengan pendekatan student centered, pada umumnya guru menggunakannya, namun urutan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang dikelola itu berbeda-beda, bahkan ada yang samar-samar dengan langkah techer center. Pada dasarnya pendekatan student centered adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar. Model pembelajaran ini berbeda jauh dengan pendekatan techer center yang menekankan pada transfer pengetahuan dari guru ke siswa yang relatif bersikap pasif.
Pendapat Juana misalnya "urutan langkah belajar mengajarnya, yaitu; menjelaskan cara pemakaian rumus, menyuruh siswa mengerjakan tugas/menjawab soal dan menilai hasil kerja siswa".[9] Urutan pendekatan pembelajarannya padahal techer center, tetapi ia bersikukuh menyatakan kalau ia sangat mengaktifkan siswa setiap proses pembelajarannya. Menurut analisa penulis hal ini terjadi karena tingkat pemahaman konsep yang masih kurang. Kalau pendekatan student centered guru mengantarkan siswa mencari dan menemukan rumus, kemudian siswa mengpalikasikan rumus selanjutnya menilai bersama dan melakukan refleksi.
Hampir senada dengan pendapat Fazil, ia menyatakan bahwa:
Saya menempatkan peserta didik sebagai peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan berinisiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam batas-batas tertentu siswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya.[10]

Lebih lengkap jabaran langkah-langkah pebelajaran yang menggunakan pendekatan student centered dalam pembelajaran oleh Rahma A Yahya, ia mengemukakan bahwa:
Pertama berbagi informasi (information sharing) dengan cara curah gagasan (brainstorming), melalui kooperatif, kolaboratif, diskusi kelompok (gruop discussion), diskusi panel (panel discussion), simposium, dan seminar, kedua belajar dari pengalaman (experience based) dengan cara simulasi, bermain peran (roleplay), permainan (game), dan kelompok temu, ketiga pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving based) dengan cara studi kasus, tutorial, atau lokakarya.[11]

Sedangkan menurut Aiga Hariadi, ia mengemukan langkah pembelajaran yang ia terapkan dengan pendekatan student centered, adalah;
Saya lebih cenderung memberikan siswa tanggung jawab belajar pada pelajarannya dengan harapan siswa akan lebih berusaha dan lebih termotivasi dalam memaknai pelajarannya,  semua siswa saya tuntut berperan aktif dalam kelompok belajar dengan tuntutan agar siswa dapat mengembangkan potensinya secara maksimal sehingga mendorong tumbuhnya kreativitas dan inovasi, kemudian saya memberi kesempatan dan hak yang sama untuk menutup keunggulan hanya didominasi siswa tertentu saja. Dengan demikian akan terlatih kemadirian, berfikir kritis menggunakan segala kecerdasan intelektual dan emosinya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi karena siswa akan mengalami perpaduan antara prakonsepsi dan konsepsi. Selanjutnya saya melatih siswa agar lebih komunikatif, menggunakan kemampuannya berkomunikasi baik lisan maupun tertulis karena boleh jadi siswa melihat konsep dengan cara yang berbeda sebagai hasil pengalaman hidupnya, sehingga diperlukan media dan sarana yang efektif untuk menyamakan persepsi.[12]

Menurut analisa penulis penggunaan pendekatan student centered pada MTsN sudah baik, namun sebahagian guru masih kurang memahami konsep, prinsip dan langkah-langkah pembelajaran yang menggunakan pendekatan student centered, bahkan pendapat Aiga misalnya, masih kurang menyebut secara langsung prinsip kerjasama, prinsip integritas, dan peran guru hanya sebagai fasilisator saja.
Peran guru sebagai pembimbing percaya diri siswa dalam pembelajaran dapat juga dilihat pada penggunaan mode yang bervariatif. Berkaitan dengan metode pembelajaran pada MTsN Teunom, kurang dari setengah mereka merefleksi gaya mengajarnya denga metode ceramah, guru sebagai pemberi ilmu, siswa bersifat pasif, sosio emosional siswa kurang mendapat perhatian dan kurang mendorong kreatifitas siswa. Lebih dari setengah mereka mengajar dengan metode yang variatif, maka guru sebagai pembimbing, selalu mendorong siswa aktif, sosio emosional siswa diperhatikan dan guru mendorong kreatifitas siswa dengan penggunaan beberapa metode yang dipakai oleh seorang guru untuk mendapatkan hasil pebelajaran yang maksimal.
Menurut Mustaraiman mislanya, ia telah menggunakan metode pambelajaran yang variatif  dan menyatkan:
Pada umumnya saya menggunakan beberapa metode dalam satu kali pertemuan, misalnya pada awal pengajaran, saya memberikan suatu uraian dengan metode ceramah, kemudian menggunakan contoh-contoh melalui peragaan dan diakhiri dengan diskusi atau tanya jawab dan praktik di lapangan. Di sini bukan hanya guru yang aktif berbicara, melainkan siswa pun terdorong untuk berpartisipasi.[13]

Menurut analisa penulis tiap pendekatan dan metode mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan masing masing, mungkin baik untuk suatu tujuan tertentu, pokok bahasan maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak tepat untuk situasi yang lain. Demikian pula suatu pendekatan dan metode yang dianggap baik untuk suatu pokok bahasan yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum tentu berhasil dibawakan oleh guru lain. Pada situasi dan kondisi tertentu guru perlu menggunakan beberapa metode dalam pembelajaran, maka variasi beberapa metode pembelajaran menjadi lebih hidup.
Pembinaan percaya diri siswa dapat dilihat pada penerapan model pembelajaran aktif. Adapun model pembelajaran aktif yang diterapkan di MTsN Teunom, anatara lain; pengajaran sinergetik, yang diterapkan oleh Rahma A Yahya. Menurutunya:
Model ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa membandingkan pengalaman yang mereka miliki. Adapun langkah-langkahnya, yaitu;  siswa dibagi dalam dua kelomppok, salah satu kelompok dipisahkan ke ruang lain untuk membaca topik pelajaran. Kelompok yang lain diberikan materi pelajaran yang sama dengan metode yang diinginkan oleh guru. Pasangkan masing-masing anggota kelompok pembaca dan kelompok penerima materi pelajaran dari guru dengan tugas menyimpulkan materi pelajaran.[14]

Model kartu sortir (card sort) pernah diterapkan oleh Ainul Mardhiah, ia menjelaskan bahwa:
Menggunakan kegiatan kolaboratif yang bisa digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang suatu objek, atau mengulangi informasi. Adapun langkah-langkahnya, antara lain; masing-masing siswa diberikan kartu indek yang berisi materi pelajaran. Kartu indek dibuat berpasangan berdasarkan definisi. Kemudian saya menunjuk salah satu siswa yang memegang kartu, siswa yang lain diminta berpasangan dengan siswa tersebut bila merasa kartu yang dipegangnya memiliki kesamaan definisi atau kategori.[15]

Sedangkan model lain yaitu jigsaw learning (belajar model jiqsaw) diterapkan oleh beberapa guru, Zahara misalnya, ia menyatakan bahwa; "model jigsow digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain".[16]
Model pembelajaran aktif lainnya tidak diterakan oleh guru pada MTsN Teunom, hal ini karena keterbatasan penguasaan konsep model pembelajaran aktif yang masih kurang, bahkan penerapan model jigsow misalnya, masih kurang sempurna, karena mereka tidak membekali siswa konsep dasar sebuah materi sebelum siswa berpindah ke kelompok ahli.
Beralih ke model pembelajaran koopertif merupakan model pembelajaran yang memberi  kesempatan kepada kelompok. Model keliling kelompok misalnya, diterapkan oleh Harnisah, menurutnya:
Dalam kegiatan keliling kelompok, masing-masing anggota kelompok berkesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan anggota yang lain. Adapun langkah-langkah pembelajarannya; salah satu siswa dari masing-masing kelompok memulai dengan memberikan pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan, siswa berikutnya lalu memberikan kontribusi pemikirannya dan seterusnya.[17]

Model pembelajaran make a match (mencari pasangan) diterapkan oleh Syarifah Dewi, menurutnya:
Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Adapun langkah-langkah pembelajarannya, yaitu; guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban, setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban kemudian setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya.[18]

Demikianlah model koopertif yang diterapkan di MTsN Teunom, sedangkan model yang lain seperti; bertukar pasangan, group investigation, learning together, lingkaran dalam dan lingkaran luar, snowball throwing, kepala bernomor, student teams achievement division (STAD) dan lain-lain belum mendapat perhatian, karena keterbatasan pengetahuan para guru pada MTsN Teunom.
Selanjutnya beralih pada permasalahan guru mendorong siswa mengatualisasi diri dengan maksimal, menurut Muntasir misalnya, "saya sebagai guru bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi afektif, potensi kognitif maupun potensi psikomotorik".[19] Sedangkan menurut Mustaraiman, "saya sebagai guru memberikan pertolongan pada siswa dalam upaya mengembangkan potensi perkembangan jasmani dan rohani siswa agar mencapai tingkat kedewasaan serta mampu berdiri sendiri dalam memenuhi tugasnya".[20]
Menurut analisa penulis guru dalam pendidikan Islam adalah sebagai pemegang jabatan profesional membawa misi ganda dalam waktu yang bersamaan, yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan. Misi agama menuntut guru untuk menyampaikan nilai-nilaia ajaran agama kepada anak didik, sehingga anak didik dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan norma-norma agama Islam. Misi ilmu pengetahuan menuntut guru menyampaikan ilmu sesuai dengan perkembangan zaman untuk memupuk perkembangan siswa dengan baik.
Pada umumnya guru telah mendorong siswa menghargai diri dengan baik. Pada dasarnya upaya pembinaan self esteem atau penghargaan terhadap diri dalam rangka membangun kepercayaan diri siswa. Menurut Harnisah "saya mebina siswa menghargai diri dengan menyadarkan siswa tentang siapa dirinya, maka kita tanam dan mengajarkan nilai".[21] Sedangkan menurut Samsawi, menyatakan bahwa:
Saya menanamkan konsep diri. Dalam penanaman konsep diri ini, seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh citra orang-orang di sekitarnya. Karena itu, dalam tahap ini, seorang anak diajarkan menghadapi kenyataan, bagaimana penilaian orang terhadap dirinya. Terkadang citra yang dibentuk orang tua di rumah berbeda dengan penilaian orang di luar.[22]

Menurut analisa penulis, penanaman interpretasi diri yang kurang mendapat perhatian. Dengan interpretasi yang bagus, maka siswa akan memiliki ketegasan sendiri terhadap dirinya meski banyak faktor yang sudah diajarkan sebelumnya. Selanjutnya siswa didorong agar memahami keterampilan dirinya. Oleh karena itu, siswa sangat penting diajarkan keterampilan hidup, misalnya kemampuan berbahasa, bela diri, dan sebagainya. Bila siswa telah matang konsep diri, maka akan terbentuk self power yang baik dalam bertindak dan berpikir. Meski begitu, konsep pembekalan psikologi tidak selamanya berlaku mutlak. Terkadang ada anak yang tidak memiliki tahap pembekalan yang baik, namun tetap memiliki self power.
Bagaimana guru membuat siswa eksis dalam setiap kegiatan pembelajaran dengan penuh percaya diri. Sebahagian besar guru berhasil membuat siswa eksis dalam pembelajaran, namun sebahagian kecil guru masih memiliki sikap malas membuat media pembelajaran dan lemah konsep serta implementasi pembelajaran aktif. Media termasuk salah satu sekian komponen penentu keaktifan dan keberhasilan siswa dalam pembelajaran.

Menurut Suriadi, menyatakan bahwa:
Tugas guru untuk memotivasi siswa agar tetap eksis dalam pembelajaran bukan sesuatu yang mudah tetapi tidak sulit, sebab hanya membutuhkan ketekunan guru dalam mengorganisir kelas yang terdiri dari persiapan pembelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran.Yang menjadi kendala bagi siswa adalah ketika guru sering terjebak dalam kegiatan rutinitas di dalam kelas, yaitu guru masuk, memberi salam, menanyakan pelajaran, menerangkan, bertanya atau sedikit evalusi, selesai.[23]

Sedangkan menurut Mutia Hanum, berpendapat bahwa:
Cara membuat siswa eksis dalam pembelajaran, saya membuat model pembelajaran yang menarik dan mendorong motivasi dengan berbagai kreatifitas agar siswa terinspirasi dan tercermin bagaimana kreatifnya guru dalam pembelajaran akan mengundang ketertarikan siswa dalam aktivitas di kelas ditandai ketika ia memahami setiap persoalan yang dihadapi dikelas, di sinilah guru harus memfungsikan dan membuat media semaksimal mungkin agar menjadi motivasi  dan inspirasi siswa dalam memahami setiap pembelajar.[24]

Pada dasarnya penulis sepakat dengan pendapat guru di atas, bahwa penekanan kita dalam mendorong siswa eksis dalam pembelajaran dapat kita asumsikan tergantung pada kreatifitas guru, terutama dalam merancang media pembelajaran, karena segala bentuk perangsang ketertarikan siswa dalam pembelajaran dengan adanya alat/media yang digunakan  guru dalam pembelajaran untuk mendorong siswa belajar secara cepat, tepat, mudah, benar dan tidak terjadinya verbalisme.
Memotivasi siswa merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran. Jika guru telah berhasil membangun motivasi siswa selama pembelajaran berarti guru itu telah berhasil mengajar, namun pekerjaan ini tidaklah mudah. Memotivasi siswa tidak hanya menggerakkan siswa agar aktif dalam pelajaran, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan siswa terdorong untuk belajar secara terus menerus, walaupun dia berada di luar kelas maupun setelah meninggalkan sekolah. Untuk meyakinkan kita bahwa memotivasi siswa dalam belajar merupakan tugas dan kewajiban guru, maka pendekatan behavioristik perlu kita jadikan pedoman dalam mengajar. Para pakar behavioristik mengemukakan bahwa motivasi ditentukan oleh lingkungan. Guru merupakan lingkungan yang sangat berperanan di dalam proses belajar. Oleh kerana itu, meningkatkan motivasi siswa dalam pelajaran merupakan tugas yang sangat penting dikerjakan guru.
Guru seharusnya menggunakan waktu yang lebih banyak untuk memotivasi siswanya. Siswa yang termotivasi dengan baik dalam pelajaran akan melakukan lebih banyak aktivitas dan lebih cepat belajar jika dibandingkan dengan siswa yang kurang atau tidak termotivasi saat belajar. Ini menandakan bahwa, jika guru dapat membangunkan motivasi siswa dalam pembelajaran, maka siswa tersebut sentiasa akan meminati mata pelajaran tersebut.



[1] Martin E. P. Seligman, Authentic Happiness; Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif, Terjemahan Eva Yulia Nukman, (Bandung: Penerbit Mizan, 2005),  h. 121-122.
[2] Martin E.P. Seligman, Authentic Happiness…, h. 124.
[3] C. Drew Edwards, Mengatasi Anak yang Sulit Diatur, Terjemahan Oetih P. D., (Bandung: Penerbit Kaifa, 2006),  h. 63-64.
[4] Wawancara dengan Muslem, Kepala MTsN Teunom, tanggal 02 Januari 2014
[5] Wawancara dengan Asniati, Guru Matematika pada MTsN Teunom, tanggal 04 Januari 2014
[6] Wawancara dengan Harnisah, Guru Seni Budaya pada MTsN Teunom, tanggal 04 Januari 2014
[7] Wawancara dengan Muntasir, Guru Qur'an Hadits pada MTsN Teunom, tanggal 15 Januari 2014
[8] Wawancara dengan Dewi Sari, Guru Aqidah Akhlak pada MTsN Teunom, tanggal 16 Januari 2014
[9] Wawancara dengan Juana, Guru Fisika pada MTsN Teunom, tanggal 21 Januari 2014
[10] Wawancara dengan Fazil, Guru Sejarah pada MTsN Teunom, tanggal 22 Januari 2014
[11] Wawancara dengan Rahma A Yahya, Guru Bahasa Inggris pada MTsN Teunom, tanggal 23 Januari 2014
[12] Wawancara dengan Rahma A Yahya, Guru Bahasa Inggris pada MTsN Teunom, tanggal 23 Januari 2014
[13] Wawancara dengan Mustaraiman, Guru Penjaskes pada MTsN Teunom, tanggal 24 Januari 2014
[14] Wawancara dengan Rahma A Yahya, Guru Bahasa Inggris MTsN Teunom, tanggal 23 Januari 2014
[15] Wawancara dengan Ainul Mardhiah, Guru Biologi pada MTsN Teunom, tanggal 25 Januari 2014
[16] Wawancara dengan Zahara, Guru Ekonomi pada MTsN Teunom, tanggal 27 Januari 2014
[17] Wawancara dengan Harnisah, Guru Seni Budaya pada MTsN Teunom, tanggal 04 Januari 2014
[18] Wawancara dengan Syarifah Dewi, Guru Fiqih pada MTsN Teunom, tanggal 27 Januari 2014
[19] Wawancara dengan Muntasir, Guru Qur'an Hadits pada MTsN Teunom, tanggal 15 Januari 2014
[20] Wawancara dengan Mustaraiman, Guru Penjaskes pada MTsN Teunom, tanggal 24 Januari 2014
[21] Wawancara dengan Harnisah, Guru Seni Budaya pada MTsN Teunom, tanggal 04 Januari 2014
[22] Wawancara dengan Samsawi, Guru Sejarah Kebudayaan Islam pada MTsN Teunom, tanggal 28 Januari 2014
[23] Wawancara dengan Suriadi, Guru Matematika pada MTsN Teunom, tanggal 29 Januari 2014
[24] Wawancara dengan Meutia Hanum, Guru Bahasa Inggris pada MTsN Teunom, tanggal 30 Januari 2014