PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan idealnya menyelenggarakan pendidikan dan
bimbingan kepada peserta didik seimbang antara perkembangan fisik dan psikis
mereka yang mengarah kepada pembentukan karakter anak bangsa yang baik.
Pembentukan karakter yang baik hanya dapat dilakukan melalui pembelajaran yang
baik. Pembelajaran yang baik adalah terjadinya komunikasi yang
intensif antara siswa
dengan guru, menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mendorong siswa mengatualisasi diri,
mengahargai diri, mengeksistensikan dirinya dalam setiap kegiatan pembelajaran
dengan penuh percaya diri.
Strategi pembelajaran yang
umum diterapkan di MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Teunom saat ini adalah menggunakan urutan kegiatan
pembelajaran uraian,
contoh, dan latihan. Pada
dasarnya pendekatan ini banyak sekali kekurangan, karena
pada praktiknya cenderung
berpusat pada guru (teacher centered)
atau guru lebih banyak mendominasi kegiatan pembelajaran
Dalam pembelajaran, menumbuhkan sikap percaya diri
siswa memiliki peranan yang
sangat penting. Oleh karena itu diperlukan strategi
pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk menumbuhkan sikap
percaya diri siswa. Guru diharapkan mempunyai
kemampuan
dan
ketrampilan untuk menumbuhkan sikap percaya
diri siswa dalam pembelajaran,
maka guru dituntut menyajikan model
pembelajaran yang menarik dan berpusat kepada siswa
aktif secara bervariasi untuk merangsang
sikap percaya diri siswa dalam pembelajaran.
Berdasarkan latar
belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan
rumusan masalahnya adalah bagaimana
strategi pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran pada MTsN Teunom Aceh
Jaya?. Dari rumusan ini, timbul pertanyaan; bagaimana persiapan pembelajaran
dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom?, bagaimana pelaksanaan pembelajaran
dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom?, dan bagaimana penilaian pembelajaran
dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom?
Adapun tujuan dan signifikansi penulisan adalah untuk
mengetahui dan mengkaji strategi
pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran pada MTsN Teunom Aceh Jaya,
meliputi; persiapan pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN
Teunom, pelaksanaan pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN
Teunom, dan penilaian pembelajaran dalam pembinaan percaya diri siswa pada MTsN
Teunom.
B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata. Adapun
alasan digunakan pendekatan
ini adalah; masalah penelitian yang
dikaji bersifat deskriptif analitis,
peneliti sebagai
pengumpul data
utama, sumber data bersifat
primer, dalam proses menentukan kesimpulan penelitian menggunakan check and
recheck dari berbagai sudut pandang yang
diperoleh dari beberapa
informan, dan analisis data diadakan sejak awal penelitian dan bersamaan dengan
pengumpulan
data.
Fokus
penelitian ini pada implementasi strategi pembinaan
percaya diri siswa dalam pembelajaran, faktor-faktor pendukung
dan penghambat
strategi pembinaan percaya diri siswa pada MTsN Teunom Kabupaten Aceh Jaya.
Adapun teknik pengumpulan data, yaitu; Pertama observasi,
mengamati langsung bagaimana strategi guru membina percaya diri
siswa dalam pembelajaran di MTsN Teunom, mengamati bagaimana kepemimpinan
guru dalam mengelola pembelajaran, mengamati bagaimana keaktifan siswa dalam
pembelajaran sebagai bahagian dari bukti peracaya diri mereka. Kedua wawancara (interview),
peneliti mengadakan wawancara dengan kepala madrasah dan seluruh guru berjumlah 24 orang berkaitan kegiatan
pembinaan percaya diri siswa dalam pembelajaran secara langsung dengan informan
atau responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan
terlebih dahulu. Ketiga angket, peneliti mengedarkan angket berupa daftar
pertanyaan kepada 25 orang siswa untuk ferifikasi pelaksanaan pembinaan percaya
diri siswa dalam pembelajaran pada MTsN Teunom. Adapun teknik pemilihannya
dengan mengacak dari perwakilan kelas yang terdiri dari; 9 orang kelas IX/a,
IX/b, dan IX/c, 9 orang kelas VIII/a, VIII/b, dan VIII/c, 7 orang dari kelas
VII/a, VII/b, dan VII/c. Keempat dokumentasi,
peneliti memanfaatkan dokumen berupa data guru dan pegawai, program kerja
madrasah, catatan-catatan lainnya yang berkaitan kegiatan pembinaan percaya
diri siswa baik berupa; foto, notulen yang relevan untuk melengkapi bahan
penelitian.
Data
yang berhasil dikumpulkan
dan sesuai dengan
kebutuhan peneliti, kemudian dianalisis secara mendalam untuk mencari pola realitas. Dari sinilah akan didapat kesimpulan
analisis dari komponen-komponen yang diteliti.
BAB II
PEMBINAAN PERCAYA DIRI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PADA MTsN
TEUNOM ACEH JAYA
A.
Kerangka Teori
Percaya diri adalah
meyakinkan diri pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri sendiri
dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif dengan penuh
kepercayaan atas pendapat dan kemampuannya dalam menghadapi kegiatan
pembelajaran dan lingkungannya. Percaya diri di dukung oleh beberapa
hal, antara lain; "pertama, keefektifan diri (self-efficacy),
kedua citra diri (self image), ketiga konsep diri (self
concept), keempat persepsi diri (self perception), kelima menghargai
diri (self respect), dan keenam harga diri (self-esteem)".[1]
Percaya diri tidak hanya
terbentuk oleh kesiapan diri saja secara internal, tetapi dorongan lingkungan
yang aktual, dengan berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan juga ikut mempengaruhi,
bahkan lingkungan menjadi faktor sangat berpengaruh bagi percaya diri siswa.
Hal ini seirama degan pendapat Seligman, ia mengibaratkan jiwa manusia sebagai
kendi tabungan tua, sehingga ia menyatakan bahwa,"jiwa manusia sebagai
kendi tabungan tua; kakek, nenek, teman, guru, tetangga adalah orang-orang
disekitar, yang mengisi atau bahkan menguras kendi itu".[2] Maka dapat penulis asumsikan bahwa perkembangan rasa percaya
diri sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua di rumah dan orang tua
kedua yaitu guru di sekolah.
Kepercayaan diri bukanlah diperoleh
secara instant, melainkan melalui proses yang panjang dari pola asuh di
rumah tangga sampai pola pembelajaran di sekolah. Meskipun demikian realistis percaya
diri siswa yang paling utama dengan lingkungan dan dinamika kelompok sengat
dipengaruhi oleh seni guru memotivasi dan memperlakukan siswa dalam
pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu sikap guru yang penuh seni motivasi
dan menerima siwa pada pandangan eksistensi bukan panghargaan pada prestasi
semata akan mendorong percaya diri siswa untuk lebih eksis dan tampil percaya diri
.[3]
Guru dituntut untuk menggunakan strategi
pembinaan Percaya diri siswa, antara lain; guru menilai eksistensi siswa, memaklumi
kurang tepat jawaban siswa, menghargai siswa bertanya, menunjukkan kasih
sayang, perhatian, penerimaan diri siswa dengan tulus degan segala keterbatasan
mereka, dll. Hal ini akan membangkitkan rasa percara diri mereka, sehingga
mereka akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata teman-teman dan
gurunya, meskipun ia melakukan hal yang keliru, janganlah memberikan kecaman
"jahat atau bodoh" tetapi penyimpangan perilaku dan kekurangan
pengetahuan dapat diatasi dengan memberikan alternatif yang bersifat mendidik
dan menghargai mereka sebagai orang yang membutuhkan perhatian dan bimbingan
lebih lanjut, maka dari sikap guru memperlakukan mereka demikian, mereka akan
berasumsi bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi walaupun mereka
melakukan kekeliruan dan kesalahan.
Pada dasarnya guru harus
menghargai siswa bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan yang benar saja,
namun penekanan penghargaan karena eksistensinya. Sedangkan prestasi dan
perilaku yang benar di kemudian hari mereka akan tumbuh menjadi individu yang mampu
menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri
sesuai dengan kemapuan, kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri seperti
gurunya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Adapun strategi pembinaan percaya diri siswa yang
lebih konkrit dapat kita simpulkan adalah
berupa menggunakan model pembelajaran kontekstual dan kooperatif yang
dilengkapi dengan usaha selalu memberikan penghargaan
pada diri siswa akan
segala sesuatu
usaha belajar yang dilakukan
mereka, menghargai keberanian
mereka eksis mencoba pengalaman baru sebagai sebuah kesempatan untuk
belajar bukan sebagai kesempatan untuk menang ataupun kalah,
memotivasi keberanian mereka berbicara/mengemukakan pendapat sendiri
dan guru menggunakan penilaian autentik
(menilai bukan pada berapa salah, tetapi dari apa saja yang telah dapat
dilakukan hari ini).
B.
Persiapan Pembelajaran dalam Pembinaan Percaya
Diri Siswa pada MTsN Teunom
Penulis mewawancarai kepala MTsN Teunom menyangkut
"bagaimana bapak melakukan persiapan dan penyerasian atau
pemaduan input sekolah yang
berupa siswa, alat peraga, kurikulum
dan pembiayaan?". Kepala sekolah menjelaskan bahwa:
Persiapan dan penyerasian pemenuhan/pengelolaan alat
peraga sebahagian diberikan oleh sekolah dan sebahagian dibuat oleh guru sesuai
dengan kreatifitasnya masing-masing. Pengelolaan alat peraga disediakan tempat
penyimpanan dan pemajangan di laboratorium dan disediakan almari dimasing-masing
kelas. Sedangkan manajemen pembiayaannya dilakukan oleh sekolah dari sumber
dana yang diberikan pemerintah dan swadaya. Pemerintah memberikan dana untuk
sekolah melalui BOS. Sedangkan sumber dana yang lain dilakukan melalui swadaya.
Selanjutnya mengenai pengembangan organisasi sekolah di lakukan agar sekolah
dapat bersanding dan bersaing dalam berbagai perubahan pada konteks pendidikan
dapat dilakukan dengan merubah paradigma manajemen penyelenggaraan dan
pengelolaan sekolah. [4]
Menurut pengamatan penulis mengenai persiapan dan penyerasian atau
pemaduan input sekolah yang
berupa guru sangat melelahkan
kepala sekolah, karena jumlah guru bakti lebih besar dari jumlah pegawai
negeri, ditambahlagi jumlah mata pelajaran/bidang studi yang banyak dan jumlah
rombongan belajar juga banyak, sehingga kepala sekolah mengajukan permohonan
tenaga pengajar PNS dan Kontrak Pemda pada kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Aceh Jaya, namun tidak semuanya dapat terpenuhi. Sedangkan
berkaitan dengan alat peraga sekolah tidak memiliki ruang laboratorium khusu.
Oleh karena itu bahan-bahan Lab ditempatkan pada ruang kelas unggulan. Adapun
mengenai almari, benar ditempatkan pada setiap kelas, namun belum digunakan
untuk menyimpan alat peraga.
Guru harus memahami betul
peranannya dalam pembinaan percaya diri siswa yang bersifat majemuk, karena
perilaku dan perlakuan guru dalam pembelajaran sangat berpengaruh pada percaya
siswa. Salah satunya guru berperan sebagai orang tua kedua . Berkaitan dengan
guru berperan sebagai orang tua kedua di sekolah. Lebih dari setengah guru
menyatakan "ya", namun guru yang menjawab "tidak" pada
umumnya berasumsi bahwa "mereka cenderung senang mengajar anak yang
memiliki kemampuan intelektual tinggi dan memiliki tingkah laku yang baik,
sedangkan anak yang nakal cenderung menyita perhatian dan mengganggu waktu
pembelajaran".[5]
Menurut analisa penulis
inilah pangkal penyebab siswa nakal menjadi bertambah nakal akibat tingkah laku
mereka yang mencari perhatian malah diabaikan gurunya. Meskipun pada awalnya
guru memberikan pengarahan, tetapi anak tersebut tidak bisa berubah tingkah
lakunya maka guru tersebut langsung membiarkannya dengan ketidaksabarannya
inilah yang mengakibatkan anak merasa terasing dan semakin nakal. Kurang dari
setengah sikap guru yang seperti ini seharusnya dimusnakan agar dalam
pembelajaran siswa penuh motivasi dan percaya diri.
Sedangkan guru yang menyatakan berperan sebagai orang tua
kedua di sekolah dengan cara yang beragam. Ibu Harnisah, ia menyatakan berperan
sebagai orang tua kedua di sekolah dengan cara:
Tetap bersabar mengambil sisi pisitif dari masing-masing
siswa, bahkan anak hiperaktifpun menurut mereka sebenarnya tersimpan kemampuan
yang positif, walaupun sikapnya yang cenderung nakal tersebut itu disebabkan
karena anak itu merasa cepat bosan dengan yang dihadapi, dan mereka cenderung
suka mengganggu temannya.[6]
Sedangkan menurut Muntasir, "ada siswa yang bertipe
nakal dan taraf intelijensinya rendah, maka guru tetap harus menghargai dan
memperlakukan mereka seperti anak sendiri, karena dalam satu sekolah tidak
semua siswa pintar dan memiliki perilaku yang bagus".[7]
Sedangkan menurut Dewi Sari, "banyak saya temukan siswa yang mengalami
masalah dalam prestasi dan juga dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, guru
sangat berperan sebagai orang tua kedua dalam pemulihan masalah siswa".[8]
Menurut pantauan penulis Harnisah dan Muntasir adalah
benar berperan sebagai orang tua ke dua di sekolah, disamping pada umumnya
mereka mengenal orang tua wali siswa mereka juga sebagai wakil kepala bidang
kesiswaan dan kurikulum selanjutnya mereka adalah putra daerah. Sedangkan Dewi
Sari adalah guru bidang studi Aqidah Akhlak dan akrab dengan siswa sehingga
banyak keluhan mereka disampaikan padanya, namun penyelesaiannya sering melalui
mendiskusikannya pada Harnisah dan Muntasir.
Menurut analisa penulis dalam menghadapi berbagai
permasalahan siswa dalam pembelajaran peran guru sebagai pihak kedua setelah
orang tua yaitu guru harus memantau perkembangan kepribadian peserta didik,
sekaligus menjadi pengendali prilaku siswa dalam pembelajaran dan di lingkungan
sekolah agar dapat terwujud siswa berkepribadian yang baik.
C.
Pelaksanaan Pembelajaran dalam Pembinaan
Percaya Diri Siswa pada MTsN Teunom
Penggunaan Pendekatan pembelajaran yang dapat menumbuh
kembangkan percaya diri siswa slah satunya adalah pendekatan
student centered (berpusat pada siswa). Berkaitan dengan pendekatan student
centered, pada umumnya guru menggunakannya, namun urutan kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa yang dikelola itu berbeda-beda, bahkan ada yang samar-samar
dengan langkah techer center. Pada dasarnya pendekatan student
centered adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik
sebagai pusat dari proses belajar. Model pembelajaran ini berbeda jauh dengan
pendekatan techer center yang menekankan pada transfer pengetahuan dari
guru ke siswa yang relatif bersikap pasif.
Pendapat Juana misalnya "urutan langkah belajar
mengajarnya, yaitu; menjelaskan cara pemakaian rumus, menyuruh siswa
mengerjakan tugas/menjawab soal dan menilai hasil kerja siswa".[9]
Urutan pendekatan pembelajarannya padahal techer center, tetapi ia
bersikukuh menyatakan kalau ia sangat mengaktifkan siswa setiap proses
pembelajarannya. Menurut analisa penulis hal ini terjadi karena tingkat
pemahaman konsep yang masih kurang. Kalau pendekatan student centered
guru mengantarkan siswa mencari dan menemukan rumus, kemudian siswa
mengpalikasikan rumus selanjutnya menilai bersama dan melakukan refleksi.
Hampir senada dengan pendapat Fazil, ia menyatakan bahwa:
Saya menempatkan peserta didik sebagai peserta aktif dan
mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan berinisiatif untuk
mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat
menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya
berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam batas-batas
tertentu siswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya.[10]
Lebih lengkap jabaran langkah-langkah pebelajaran yang
menggunakan pendekatan student centered dalam pembelajaran oleh Rahma A
Yahya, ia mengemukakan bahwa:
Pertama berbagi informasi (information sharing)
dengan cara curah gagasan (brainstorming), melalui kooperatif, kolaboratif,
diskusi kelompok (gruop discussion), diskusi panel (panel discussion),
simposium, dan seminar, kedua belajar dari pengalaman (experience based)
dengan cara simulasi, bermain peran (roleplay), permainan (game),
dan kelompok temu, ketiga pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem
solving based) dengan cara studi kasus, tutorial, atau lokakarya.[11]
Sedangkan menurut Aiga Hariadi, ia mengemukan langkah
pembelajaran yang ia terapkan dengan pendekatan student centered,
adalah;
Saya lebih cenderung memberikan siswa tanggung jawab
belajar pada pelajarannya dengan harapan siswa akan lebih berusaha dan lebih
termotivasi dalam memaknai pelajarannya,
semua siswa saya tuntut berperan aktif dalam kelompok belajar dengan tuntutan
agar siswa dapat mengembangkan potensinya secara maksimal sehingga mendorong
tumbuhnya kreativitas dan inovasi, kemudian saya memberi kesempatan dan hak
yang sama untuk menutup keunggulan hanya didominasi siswa tertentu saja. Dengan
demikian akan terlatih kemadirian, berfikir kritis menggunakan segala
kecerdasan intelektual dan emosinya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi
karena siswa akan mengalami perpaduan antara prakonsepsi dan konsepsi.
Selanjutnya saya melatih siswa agar lebih komunikatif, menggunakan kemampuannya
berkomunikasi baik lisan maupun tertulis karena boleh jadi siswa melihat konsep
dengan cara yang berbeda sebagai hasil pengalaman hidupnya, sehingga diperlukan
media dan sarana yang efektif untuk menyamakan persepsi.[12]
Menurut analisa penulis
penggunaan pendekatan student centered pada MTsN sudah baik, namun sebahagian
guru masih kurang memahami konsep, prinsip dan langkah-langkah pembelajaran
yang menggunakan pendekatan student centered, bahkan pendapat Aiga
misalnya, masih kurang menyebut secara langsung prinsip kerjasama, prinsip
integritas, dan peran guru hanya sebagai fasilisator saja.
Peran guru sebagai
pembimbing percaya diri siswa dalam pembelajaran dapat juga dilihat pada
penggunaan mode yang bervariatif. Berkaitan dengan metode pembelajaran pada
MTsN Teunom, kurang dari setengah mereka merefleksi gaya mengajarnya denga
metode ceramah, guru sebagai pemberi ilmu, siswa bersifat pasif, sosio
emosional siswa kurang mendapat perhatian dan kurang mendorong kreatifitas
siswa. Lebih dari setengah mereka mengajar dengan metode yang variatif, maka
guru sebagai pembimbing, selalu mendorong siswa aktif, sosio emosional siswa
diperhatikan dan guru mendorong kreatifitas siswa dengan penggunaan beberapa
metode yang dipakai oleh seorang guru untuk mendapatkan hasil pebelajaran yang
maksimal.
Menurut Mustaraiman
mislanya, ia telah menggunakan metode pambelajaran yang variatif dan menyatkan:
Pada umumnya saya menggunakan beberapa metode dalam satu kali
pertemuan, misalnya pada awal pengajaran, saya memberikan suatu uraian dengan
metode ceramah, kemudian menggunakan contoh-contoh melalui peragaan dan
diakhiri dengan diskusi atau tanya jawab dan praktik di lapangan. Di sini bukan
hanya guru yang aktif berbicara, melainkan siswa pun terdorong untuk
berpartisipasi.[13]
Menurut analisa penulis tiap
pendekatan dan metode mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan
dan kelemahan masing masing, mungkin baik untuk suatu tujuan tertentu, pokok
bahasan maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak tepat untuk
situasi yang lain. Demikian pula suatu pendekatan dan metode yang dianggap baik
untuk suatu pokok bahasan yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang
belum tentu berhasil dibawakan oleh guru lain. Pada situasi dan kondisi
tertentu guru perlu menggunakan beberapa metode dalam pembelajaran, maka
variasi beberapa metode pembelajaran menjadi lebih hidup.
Pembinaan percaya diri siswa dapat
dilihat pada penerapan model pembelajaran aktif. Adapun model pembelajaran
aktif yang diterapkan di MTsN Teunom, anatara lain; pengajaran sinergetik, yang diterapkan oleh Rahma A
Yahya. Menurutunya:
Model ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
siswa membandingkan pengalaman yang mereka miliki. Adapun langkah-langkahnya,
yaitu; siswa dibagi dalam dua kelomppok,
salah satu kelompok dipisahkan ke ruang lain untuk membaca topik pelajaran.
Kelompok yang lain diberikan materi pelajaran yang sama dengan metode yang
diinginkan oleh guru. Pasangkan masing-masing anggota kelompok pembaca dan
kelompok penerima materi pelajaran dari guru dengan tugas menyimpulkan materi
pelajaran.[14]
Model kartu sortir (card sort) pernah diterapkan
oleh Ainul Mardhiah, ia menjelaskan bahwa:
Menggunakan kegiatan kolaboratif yang bisa digunakan untuk
mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang suatu objek, atau
mengulangi informasi. Adapun langkah-langkahnya, antara lain; masing-masing
siswa diberikan kartu indek yang berisi materi pelajaran. Kartu indek dibuat
berpasangan berdasarkan definisi. Kemudian saya menunjuk salah satu siswa yang
memegang kartu, siswa yang lain diminta berpasangan dengan siswa tersebut bila
merasa kartu yang dipegangnya memiliki kesamaan definisi atau kategori.[15]
Sedangkan model lain yaitu jigsaw learning
(belajar model jiqsaw) diterapkan oleh beberapa guru, Zahara misalnya,
ia menyatakan bahwa; "model jigsow digunakan jika materi yang akan
dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak
mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan
seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain".[16]
Model pembelajaran aktif lainnya tidak diterakan oleh
guru pada MTsN Teunom, hal ini karena keterbatasan penguasaan konsep model
pembelajaran aktif yang masih kurang, bahkan penerapan model jigsow
misalnya, masih kurang sempurna, karena mereka tidak membekali siswa konsep
dasar sebuah materi sebelum siswa berpindah ke kelompok ahli.
Beralih ke model
pembelajaran koopertif merupakan model pembelajaran yang
memberi kesempatan kepada kelompok.
Model keliling kelompok misalnya, diterapkan oleh Harnisah, menurutnya:
Dalam kegiatan keliling kelompok, masing-masing anggota
kelompok berkesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan
pandangan anggota yang lain. Adapun langkah-langkah pembelajarannya; salah satu
siswa dari masing-masing kelompok memulai dengan memberikan pandangan dan
pemikirannya mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan, siswa berikutnya lalu
memberikan kontribusi pemikirannya dan seterusnya.[17]
Model pembelajaran make
a match (mencari pasangan) diterapkan oleh Syarifah Dewi, menurutnya:
Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu
konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Adapun langkah-langkah
pembelajarannya, yaitu; guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa
konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan
bagian lainnya kartu jawaban, setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang
bertuliskan soal/jawaban kemudian setiap siswa mencari pasangan kartu yang
cocok dengan kartunya.[18]
Demikianlah model koopertif
yang diterapkan di MTsN Teunom, sedangkan model yang lain seperti; bertukar
pasangan, group investigation, learning together, lingkaran dalam dan
lingkaran luar, snowball throwing, kepala bernomor, student teams
achievement division (STAD) dan lain-lain belum mendapat perhatian, karena
keterbatasan pengetahuan para guru pada MTsN Teunom.
Selanjutnya beralih pada permasalahan
guru mendorong siswa mengatualisasi diri dengan maksimal, menurut Muntasir
misalnya, "saya sebagai guru bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan
anak didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi afektif,
potensi kognitif maupun potensi psikomotorik".[19]
Sedangkan menurut Mustaraiman, "saya sebagai guru memberikan pertolongan
pada siswa dalam upaya mengembangkan potensi perkembangan jasmani dan rohani
siswa agar mencapai tingkat kedewasaan serta mampu berdiri sendiri dalam
memenuhi tugasnya".[20]
Menurut analisa penulis
guru dalam pendidikan Islam adalah sebagai pemegang jabatan profesional membawa
misi ganda dalam waktu yang bersamaan, yaitu misi agama dan misi ilmu
pengetahuan. Misi agama menuntut guru untuk menyampaikan nilai-nilaia ajaran
agama kepada anak didik, sehingga anak didik dapat menjalankan kehidupan sesuai
dengan norma-norma agama Islam. Misi ilmu pengetahuan menuntut guru
menyampaikan ilmu sesuai dengan perkembangan zaman untuk memupuk perkembangan
siswa dengan baik.
Pada umumnya guru telah
mendorong siswa menghargai diri dengan baik. Pada dasarnya upaya pembinaan self
esteem atau penghargaan terhadap diri dalam rangka membangun kepercayaan
diri siswa. Menurut Harnisah "saya mebina siswa menghargai diri dengan
menyadarkan siswa tentang siapa dirinya, maka kita tanam dan mengajarkan
nilai".[21]
Sedangkan menurut Samsawi, menyatakan bahwa:
Saya menanamkan konsep diri. Dalam penanaman konsep diri
ini, seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh citra orang-orang di sekitarnya.
Karena itu, dalam tahap ini, seorang anak diajarkan menghadapi kenyataan,
bagaimana penilaian orang terhadap dirinya. Terkadang citra yang dibentuk orang
tua di rumah berbeda dengan penilaian orang di luar.[22]
Menurut analisa penulis,
penanaman interpretasi diri yang kurang mendapat perhatian. Dengan interpretasi
yang bagus, maka siswa akan memiliki ketegasan sendiri terhadap dirinya meski
banyak faktor yang sudah diajarkan sebelumnya. Selanjutnya siswa didorong agar
memahami keterampilan dirinya. Oleh karena itu, siswa sangat penting diajarkan
keterampilan hidup, misalnya kemampuan berbahasa, bela diri, dan sebagainya.
Bila siswa telah matang konsep diri, maka akan terbentuk self power yang
baik dalam bertindak dan berpikir. Meski begitu, konsep pembekalan psikologi
tidak selamanya berlaku mutlak. Terkadang ada anak yang tidak memiliki tahap
pembekalan yang baik, namun tetap memiliki self power.
Bagaimana guru membuat
siswa eksis dalam setiap kegiatan pembelajaran dengan penuh percaya diri.
Sebahagian besar guru berhasil membuat siswa eksis dalam pembelajaran, namun
sebahagian kecil guru masih memiliki sikap malas membuat media pembelajaran dan
lemah konsep serta implementasi pembelajaran aktif. Media
termasuk salah satu sekian komponen penentu keaktifan dan keberhasilan siswa
dalam pembelajaran.
Menurut Suriadi, menyatakan bahwa:
Tugas
guru untuk memotivasi siswa agar tetap eksis dalam pembelajaran bukan sesuatu
yang mudah tetapi tidak sulit, sebab hanya membutuhkan ketekunan guru dalam
mengorganisir kelas yang terdiri dari persiapan pembelajaran, proses
pembelajaran dan evaluasi pembelajaran.Yang menjadi kendala bagi siswa adalah
ketika guru sering terjebak dalam kegiatan rutinitas di dalam kelas, yaitu guru
masuk, memberi salam, menanyakan pelajaran, menerangkan, bertanya atau sedikit
evalusi, selesai.[23]
Sedangkan menurut Mutia Hanum, berpendapat
bahwa:
Cara
membuat siswa eksis dalam pembelajaran, saya membuat model pembelajaran yang
menarik dan mendorong motivasi dengan berbagai kreatifitas agar siswa
terinspirasi dan tercermin bagaimana kreatifnya guru dalam pembelajaran akan
mengundang ketertarikan siswa dalam aktivitas di kelas ditandai ketika ia
memahami setiap persoalan yang dihadapi dikelas, di sinilah guru harus
memfungsikan dan membuat media semaksimal mungkin agar menjadi motivasi dan inspirasi siswa dalam memahami setiap
pembelajar.[24]
Pada dasarnya penulis sepakat dengan pendapat
guru di atas, bahwa penekanan kita dalam mendorong siswa eksis dalam
pembelajaran dapat kita asumsikan tergantung pada kreatifitas guru, terutama
dalam merancang media pembelajaran, karena segala bentuk perangsang
ketertarikan siswa dalam pembelajaran dengan adanya alat/media yang
digunakan guru dalam pembelajaran untuk
mendorong siswa belajar secara cepat, tepat, mudah, benar dan tidak terjadinya verbalisme.
Memotivasi siswa merupakan salah satu langkah awal yang
harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran. Jika guru telah berhasil
membangun motivasi siswa selama pembelajaran berarti guru itu telah berhasil
mengajar, namun pekerjaan ini tidaklah mudah. Memotivasi siswa tidak hanya
menggerakkan siswa agar aktif dalam pelajaran, tetapi juga mengarahkan dan
menjadikan siswa terdorong untuk belajar secara terus menerus, walaupun dia
berada di luar kelas maupun setelah meninggalkan sekolah. Untuk meyakinkan kita
bahwa memotivasi siswa dalam belajar merupakan tugas dan kewajiban guru, maka
pendekatan behavioristik perlu kita jadikan pedoman dalam mengajar. Para pakar
behavioristik mengemukakan bahwa motivasi ditentukan oleh lingkungan. Guru
merupakan lingkungan yang sangat berperanan di dalam proses belajar. Oleh
kerana itu, meningkatkan motivasi siswa dalam pelajaran merupakan tugas yang
sangat penting dikerjakan guru.
Guru seharusnya
menggunakan waktu yang lebih banyak untuk memotivasi siswanya. Siswa yang
termotivasi dengan baik dalam pelajaran akan melakukan lebih banyak aktivitas
dan lebih cepat belajar jika dibandingkan dengan siswa yang kurang atau tidak
termotivasi saat belajar. Ini menandakan bahwa, jika guru dapat membangunkan
motivasi siswa dalam pembelajaran, maka siswa tersebut sentiasa akan meminati
mata pelajaran tersebut.
[1]
Martin E. P. Seligman, Authentic
Happiness; Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif, Terjemahan Eva Yulia Nukman, (Bandung: Penerbit Mizan,
2005), h. 121-122.
[3]
C. Drew Edwards, Mengatasi
Anak yang Sulit Diatur, Terjemahan Oetih P. D.,
(Bandung: Penerbit Kaifa, 2006), h. 63-64.
[22]
Wawancara dengan Samsawi, Guru Sejarah Kebudayaan Islam pada MTsN Teunom,
tanggal 28 Januari 2014