CATATAN MASYITAH PADA FIGUR GURU
"Zaman Fir’un vs Komtemporer”
Masyitah menyambut baik dengan seluruh petensi dan kemampuan apapun yang ada pada
dirinya untuk belajar pada gurunya, siap berkompetisi dalam berbagai kegiatan
intra dan ekstra menuju gerbang maju tak gentar untuk merubah imeks gaul remaja
yang negative menjadi positif thing king
dalam upaya gabungan aktifitas unggul tekun di sekolah dan bergairah menjadi
santri di pondok pesantren.
Tulisan ini muncul dari kebimbangan penulis mencari jati
guru yang sukses luar biasa mendidik Masyitah
ala zaman fir’un. Masyitah adalah sosok wanita kuat aqidah dan penuh istiqamah,
seorang pembantu yang memiliki kepribadian mulia dan diabadikan harum namanya
berkah perjuangan dan komitmen hidup mepertahankan iman walaupun maut
dihadapan.
Kepribadian masyitah tidak mungkin luar biasa mulia,
kokoh dan bijaksana tanpa ia didik oleh guru yang laur biasa, meskipun nama
gurunya tidak terabadikan dalam catatan sejarah dunia. Ibarat guru bangsa hari
ini, banting tulang mendidik dan membimbing siswa, tetapi namanya tidak pernah
teriring pada prestasi apapun yang diraih oleh siswanya. Ironisnya, ketika
siswa gagal, maka gurunya yang disalahkan, salah metode, model, dan sumber
belajar. Sedangkan ketika siswanya berhasil, maka prestasi itu hanya melekat
pada piagam dan kepribadian siswa dan orangtua mereka. Oleh karena itu ketika
guru berfikir dua kali sehebat apapun prestasi siswa tidak akan membawa
perubahan bagi dirinya, guru ibarat lilin membakar diri untuk menerangkan orang
lain. Peluang hidupnya tidak terlalu panjang dan kesejahteraannyapun jauh dari
sempurna, sertifikasi diberikan, namun beberapa tahun berikutnya terancam
dihentikan, tunjangan fungsional tidak seberapa, gaji 13 pun kini akan raib
ditelan masa.
Karakter anak bangsa melemah, dimana-mana tauran pelajar,
kelompok masyarakat bentrok, mahasiswa mengamuk, dan periuk rumah tanggapun
kadang menjadi tontonan adegan profesional antar kedua orang tuang. Kemanakah
harapan akan kita gatung, siapa yang akan dapat memperbaiki moral bangsa kalau
buka mereka, siapalagi yang dapat mencerdaskan anak bangsa kalau bukan merak.
Saya menulis, melukis dan membaca berjuta kata beribu kalimat bijak sana dari
para guru saya, kalau mereka tidak ada, maka gelaplah dunia saya, mengapa kita
semua kadang lupa kalau kita adalah egois, sejauh mana bapak anggota MPR sadar,
anda ada di sini karena mereka, Bapak Jokowi jadi presiden Indonesia dan
siapapun nama presiden berikutnya juga bermula dari karya bakti mereka para
guruku, gurubangsa yang luar biasa. Mereka tak pernah menutut bintang tanda
jasa, meraka juga bukan pahlawan yang populer namanya, tetapi sejauh mana kita
telah bersyukur akan nikmat ilmu dari mereka, kita semua adalah pernah menjadi
siswa tetapi apakah terimakasih kita terlalu mahal untuk mereka, guru senantiasa
memberi tanpa menagih apa yang telah kita nikmati.
Masyitah kontemporer ingin tampil sebagai pembela jasa guru
kita, ingin membuka rasa peduli pada guru kita yang bertugas diseluruh pelosok
Indonesia raya. Mengapa tidak? Jepang menjadi negara maju karena mereka sangat
berterimakasih pada guru walupun mereka bertuhan kong fu chu tetapi
apakah kita tidak malu kalua kita dianggap sebagai negara yang tidak peduli
pada guru. Angka kesejahteraan guru rengking terbawah, bagaimana mungkin kita
mengaharap kualitas pendidikan tinggi jika guru tidak dihargai.
Guruku dengarkanlah catatan Masyitah modern pada
jasa-jasamu, biarpun pemerintah kurang melihatmu, tetapi aku sangat bersyukur
atas jasamu, terimakasih semilyar kata kuucapakan padamu, karena dirimu telah
mendidikku selaksa ilmu, aku gembira karena cita-citaku telah terbuka, aku
bahagia karena bimbinganmu bersahaja. Takkan pernah kulupakan dirimu, jasamu, pengorbananmu, semangatmu, dan kasih
sayang dirimu dalam mendidikku. Mendidikku untuk tegar meniti kehidupan baru, tatapan
matamu seakan melindungiku, gerakan tanganmu membelai imajinasiku, bencimu
kuartikan engkau benar-benar cinta kepadaku agar diriku tumbuh dewasa dengan
sejuta ilmu, engkau bagitu tulus menyayangiku. Dirimu bagaikan embun pagi
pemula damai hari, sabarmu luar biasa senantiasa mendidikku, kadang aku malu
karena diriku belum juga tahu, kupinta maaf darimu, banyak kata tak pantas
telah terucap untukmu, kadang kutoreh sembilu yang menyayat hatimu, tetapi
dirimu tidak menaruh dendam terhadapku, justru engkau membalasku dengan do'a-do’a
dan senyummu, betapa aku merasa durhakanya padamu maafkan aku… maafkan aku…
guruku. Perjuanganku tidak akan berhenti di sini membela dan memperjuangkan
nasib guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar