Total Tayangan Halaman

Rabu, 02 Maret 2016

CATATAN MASYITAH PADA FIGUR GURU "Zaman Fir’un vs Komtemporer”

CATATAN MASYITAH PADA FIGUR GURU
"Zaman Fir’un vs Komtemporer”

Masyitah menyambut baik dengan seluruh petensi dan kemampuan apapun yang ada pada dirinya untuk belajar pada gurunya, siap berkompetisi dalam berbagai kegiatan intra dan ekstra menuju gerbang maju tak gentar untuk merubah imeks gaul remaja yang negative menjadi positif thing king dalam upaya gabungan aktifitas unggul tekun di sekolah dan bergairah menjadi santri di pondok pesantren.
Tulisan ini muncul dari kebimbangan penulis mencari jati guru yang sukses luar biasa mendidik  Masyitah ala zaman fir’un. Masyitah adalah sosok wanita kuat aqidah dan penuh istiqamah, seorang pembantu yang memiliki kepribadian mulia dan diabadikan harum namanya berkah perjuangan dan komitmen hidup mepertahankan iman walaupun maut dihadapan.
Kepribadian masyitah tidak mungkin luar biasa mulia, kokoh dan bijaksana tanpa ia didik oleh guru yang laur biasa, meskipun nama gurunya tidak terabadikan dalam catatan sejarah dunia. Ibarat guru bangsa hari ini, banting tulang mendidik dan membimbing siswa, tetapi namanya tidak pernah teriring pada prestasi apapun yang diraih oleh siswanya. Ironisnya, ketika siswa gagal, maka gurunya yang disalahkan, salah metode, model, dan sumber belajar. Sedangkan ketika siswanya berhasil, maka prestasi itu hanya melekat pada piagam dan kepribadian siswa dan orangtua mereka. Oleh karena itu ketika guru berfikir dua kali sehebat apapun prestasi siswa tidak akan membawa perubahan bagi dirinya, guru ibarat lilin membakar diri untuk menerangkan orang lain. Peluang hidupnya tidak terlalu panjang dan kesejahteraannyapun jauh dari sempurna, sertifikasi diberikan, namun beberapa tahun berikutnya terancam dihentikan, tunjangan fungsional tidak seberapa, gaji 13 pun kini akan raib ditelan masa.
Karakter anak bangsa melemah, dimana-mana tauran pelajar, kelompok masyarakat bentrok, mahasiswa mengamuk, dan periuk rumah tanggapun kadang menjadi tontonan adegan profesional antar kedua orang tuang. Kemanakah harapan akan kita gatung, siapa yang akan dapat memperbaiki moral bangsa kalau buka mereka, siapalagi yang dapat mencerdaskan anak bangsa kalau bukan merak. Saya menulis, melukis dan membaca berjuta kata beribu kalimat bijak sana dari para guru saya, kalau mereka tidak ada, maka gelaplah dunia saya, mengapa kita semua kadang lupa kalau kita adalah egois, sejauh mana bapak anggota MPR sadar, anda ada di sini karena mereka, Bapak Jokowi jadi presiden Indonesia dan siapapun nama presiden berikutnya juga bermula dari karya bakti mereka para guruku, gurubangsa yang luar biasa. Mereka tak pernah menutut bintang tanda jasa, meraka juga bukan pahlawan yang populer namanya, tetapi sejauh mana kita telah bersyukur akan nikmat ilmu dari mereka, kita semua adalah pernah menjadi siswa tetapi apakah terimakasih kita terlalu mahal untuk mereka, guru senantiasa memberi tanpa menagih apa yang telah kita nikmati.
Masyitah kontemporer ingin tampil sebagai pembela jasa guru kita, ingin membuka rasa peduli pada guru kita yang bertugas diseluruh pelosok Indonesia raya. Mengapa tidak? Jepang menjadi negara maju karena mereka sangat berterimakasih pada guru walupun mereka bertuhan kong fu chu tetapi apakah kita tidak malu kalua kita dianggap sebagai negara yang tidak peduli pada guru. Angka kesejahteraan guru rengking terbawah, bagaimana mungkin kita mengaharap kualitas pendidikan tinggi jika guru tidak dihargai.
Guruku dengarkanlah catatan Masyitah modern pada jasa-jasamu, biarpun pemerintah kurang melihatmu, tetapi aku sangat bersyukur atas jasamu, terimakasih semilyar kata kuucapakan padamu, karena dirimu telah mendidikku selaksa ilmu, aku gembira karena cita-citaku telah terbuka, aku bahagia karena bimbinganmu bersahaja. Takkan pernah kulupakan dirimu,  jasamu, pengorbananmu, semangatmu, dan kasih sayang dirimu dalam mendidikku. Mendidikku untuk tegar meniti kehidupan baru, tatapan matamu seakan melindungiku, gerakan tanganmu membelai imajinasiku, bencimu kuartikan engkau benar-benar cinta kepadaku agar diriku tumbuh dewasa dengan sejuta ilmu, engkau bagitu tulus menyayangiku. Dirimu bagaikan embun pagi pemula damai hari, sabarmu luar biasa senantiasa mendidikku, kadang aku malu karena diriku belum juga tahu, kupinta maaf darimu, banyak kata tak pantas telah terucap untukmu, kadang kutoreh sembilu yang menyayat hatimu, tetapi dirimu tidak menaruh dendam terhadapku, justru engkau membalasku dengan do'a-do’a dan senyummu, betapa aku merasa durhakanya padamu maafkan aku… maafkan aku… guruku. Perjuanganku tidak akan berhenti di sini membela dan memperjuangkan nasib guru.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar