Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 Januari 2016

Ciri Penanda Sekolah Efektif

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.
Pendidikan adalah senjata yang terkuat yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia.
(Nelson Mandela).
Education, therefore, is a process of living and not a preparation for future living.
Pendidikan, oleh karena itu, adalah sebuah proses kehidupan dan bukan satu persiapan kehidupan di masa depan.
(John Dewey).
Pada saat melaksanakan tugas monev tentng standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan dasar pada tanggal 30 Mei 2014, saya merasakan tentang pentingnya perhatian kita terhadap pilar-pilar sekolah efektif di negeri ini. Untuk meningkatkan perhatian terhadap pilar-pilar sekolah efektif tersebut, saya telah mencoba menulis buku tentang Pilar-Pilar Sekolah Efektif. Kebetulan ada seorang teman yang begitu baik hati menawarkan untuk mengedit dan memdesainnya menjadi dami.
Awalnya buku itu akan diberi judul Faktor-Faktor Determinan Sekolah Efektif. Memang itulah isinya. Tetapi judul itu masih panjang sedikit. Maka akhirnya judul itu diubah menjadi Pilar-Pilar Sekolah Efektif. Mudah-mudahan ada pihak yang mau bekerja sama untuk menerbitkannya, agar sekolah-sekolah di negeri ini menyadari tentang pentingnya komponen-komponen penting yang besar pengaruhnya terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Misalnya, apakah faktor kepala sekolahnya yang perlu mendapatkan perhatian, atau hubungan antara sekolah dengan orang tua, dan faktor-faktor determinan lainnya.
Tulisan ini merupakan inti sari buku tersebut, yang menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi efektivitas suatu sekolah. Kelika kita terjun langsung ke sekolah-sekolah, kita akan dapat merasakan dengan mata hati tentang denyut nadi sekolah yang bersangkutan, apakah sekolah tersebut memiliki faktor-faktor yang menjadi pemantik untuk dapat berhasil atau sebaliknya.
Kurikulum dan Fasilitas Sekolah Sebagai Faktor Determinan
Kita mengenal beberapa macam sebutan sekolah, seperti sekolah unggulan, sekolah bertaraf internasional (SBI) yang dihapuskan karena dinilai diskriminatif dengan sekolah lain, yang dikenal dengan sekolah RSBI (sekolah rintisan bertaraf internasional) yang dipelesetkan menjadi Rintihan Sekolah Bertaraf Internasional. Selain itu, ada pula sebutan sekolah yang tidak sepenuhnya diatur dalam sistem pendidikan nasional, seperti sekolah berasrama (boarding school), dan sebutan lainnya, termasuk sekolah satu atap, karena muridnya sedikit sehingga demi efisiensi maka sekolah tersebut perlu dijadikan satu manajemen (satu atap). Di samping itu, dalam praktik di lapangan kita mengenal sekolah-sekolah terpadu, seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Memengah Islam Terpadu (SMPIT). Jenis sekolah ini disebut lebih karena penerapan kurikulum yang menyatukan antara kurikulum di sekolah umum dengan mata pelajaran keislaman (keilmuan dan keislaman).
Pada masa lalu, sebutan sekolah biasanya dikaitkan dengan lengkap-tidaknya sarana dan prasarana sekolah atau fasilitas sekolah. Contoh yang amat fenomenal adalah gambaran sekolah masa lalu yang diceritakan dalam novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata. Dalam novel itu diceritakan dengan apik bahwa gedung SMP Muhammadiyah di Pulau Belitong adalah gambaran sekolah pinggiran di daerah pedesaan yang sudah nyaris roboh. Sekolah itu akan ditutup pemerintah jika pada tahun pelajaran baru tidak dapat menerima siswa baru minimal 10 (sepuluh) orang siswa. Hari terakhir penerimaan siswa baru, satu jam sebelum penerimaan siswa baru itu ditutup, ternyata masih ada sembilan orang siswa yang telah mendaftar. Jadi masih ada satu orang lagi yang mendaftar yang akan menjadi dewa penolong sekolah ini. Menit-menit terakhir, seorang anak berjalan agak pincang bersama orangtuanya datang ke sekolah ini untuk mendaftar sebagai siswa yang kesepuluh. Alhamdulillah, sekolah ini dapat meneruskan proses belajar mengajar, dengan hanya sepuluh siswa baru. Kesepuluh siswa baru inilah yang kemudian diberikan gelar sebagai laskar pelangi oleh penulis novel ini. Mengapa disebut pelangi, karena sepuluh anak ini memiliki karakter dan kecerdasan yang berbeda-beda. Singkat cerita, laskar pelangi pulalah yang telah membawa keharuman nama sekolahnya, yang berhasil mengalahkan sekolah “gedongan” dalam berbagai acara lomba.
Definisi Sekolah Efektif
AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program) telah mengembangkan pelatihan WDD (Whole District Development) dan WSD (Whole School Development) di Indonesia. AIBEP menjelaskan definisi sekolah efektif sebagai berikut.
”Sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki sistem pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel, serta mampu memberdayakan setiap komponen penting sekolah, baik secara internal maupun eksternal, dalam rangka pencapaian visi-misi-tujuan sekolah secara efektif dan efesien” (bahan pelatihan AIBEP).
Dalam kalimat yang berbeda, ada rumusan yang menyatakan sebagai berikut:
“An effective school is a school in which students achieve high standards that they can use in their future education or the workplace, a school where students feel safe and happy. It promotes those values that will help pupils to become good and responsible citizens, enable them to become involved in their community and become good family members. We all write these sorts of things in our school mission statements and school documents, but we are all too often distracted from them in day-to-day planning (http://www.teachingexpertise.com).
Khusus untuk sekolah dasar (primary school), secara khusus UNESCO telah mendefinisikan dan sekaligus menyebutkan karakteristik sekolah efektif di sekolah dasar sebagai berikut:
“School effectiveness research shows that successful primary schools are typically characterized by strong leadership, an orderly school and classroom environment and teachers who focus on the basics of the curriculum, hold high expectations of their students’ potential and performance and provide them with frequent assessment and feedback” (diberi garis bawah dan ditebalkan oleh penulis, EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 228).
Berdasarkan definisi tersebut karakteristik tipikal minimal sekolah efektif adalah: (1) kepemimpinan yang kuat, lingkungan ruang kelas dan sekolah yang teratur, (3) para pendidik yang memfokuskan pada hal-hal yang mendasar dalam kurikulum, dan (4) mempunyai harapan yang tinggi terhadap unjuk kerja dan potensial para siswanya, serta (5) menyediakan mereka penilaian dan umpan balik (feed back) bagi pendidik secara teratur.
Sayang sekali, konsep sekolah efektif tersebut tidak berjalan lama di negeri ini, dan sampai sampai ini konsep tersebut kurang mendapatkan perhatian lagi. Habis proyeknya, selesailah sudah program dan kegiatannya.
Pilar-Pilar Sekolah Efektif
Jika pada awalnya efektivitas sekolah dilihat dari segi kelengkapan sarana dan prasarananya, maka dewasa ini efektivitas sekolah lebih banyak ditentukan oleh pengelolaan pendidikan, termasuk harapan guru dan peserta didiknya untuk mencapai hasil belajar yang tinggi, melalui proses pembelajaran.
Untuk lebih mengingatkan kita, dalam laporan tahun 2005 UNESCO menyatakan dengan tegas bahwa “Schools are definitly not factories producing outputs according to recipe in a technically deterministic way” (EFA Global Monitoring Report, 2005: 228). Dengan kata lain, sekolah-sekolah adalah sama sekali bukanlah pabrik-pabrik yang memproduksi keluaran sesuai dengan resep dengan satu cara yang secara teknikal dipandang sangat menentukan. Pernyataan ini mengubah pandangan dari teori fungsi produksi (production function theory) sebagaimana telah dijelaskan di muka. Jadi, yang penting bukan gedungnya, bukan fasilitas fisikalnya, bukan masukan instrumental lain, bahkan berapa kali ditatar dan ditatar terus, jika semuanya itu tidak dilaksanakan dalam proses belajar mengajar yang optimal di dalam kelas. Kembalilah kepada pandangan bahwa proses pembelajaran adalah kunci masalah pendidikan selama ini. Proses pembelajaran di dalam kelas merupakan kotak kitamnya (black box) yang selama ini harus kita temukan tempat dan kuncinya. Dengan demikian, sekali lagi pilar sekolah efektif bukan faktor fasilitas sekolah, tetapi lebih dari proses pembelajarannya.
Sejarah Gerakan Sekolah Efktif (Effetive School Movement)
Konsep sekolah efektif memang bukan konsep yang baru. Sebagai contoh, Dr. Lawrence W. Lezotte (http://www.edutopia.org) menyatakan bahwa konsep sekolah efektif telah mengalami revolusi dan evolusi lebih dari tiga puluh tahun. Dalam tulisannya bertajuk Revolutionary and Evolutionary The Effective School Movement telah memberikan daftar 10 (sepuluh) bahan pustaka tentang sekolah effektif. Bahkan dalam tulisan tersebut, Lazotte telah menggunakan istilah yang revolusioner, yakni gerakan sekolah effektif (the effective school movement).
Lezotte menjelaskan sejarah panjang tentang gerakan sekolah efektif tersebut. Dimulai dari kajian Prof. James Coleman, yang telah melakukan kajian tentang hasil belajar peserta didik dengan melibatkan 600.000 peserta didik di 4.000 sekolah. Pada bulan Juli 1966, Coleman telah menerbitkan hasil kajiannya dengan tajuk The Equal Educational Opportunity Survey, dengan temuan bahwa ternyata latar belakang keluarga — bukan sekolah— merupakan faktor penentu hasil belajar peserta didik (family background, not the school, was the major determinant of student achievement). Peserta didik yang berhasil di sekolah berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomis, sedang peserta didik yang berasl dari keluarga tidak mampu ternyata tidak hanya gagal dalam menempuh pendidikannya, tetapi juga gagal dalam kehidupannya. Tentu saja, hasil kajian tersebut telah mengejutkan banyak pihak. Alalagi hasil kajian tersebut dipaparkan di depan The United States Congress. Hasil kajian Colemen tersebut ternyata telah memicu para ahli pendidikan untuk melakukan penelitian tentang sekolah efektif secara lebih intensif.
Akhirnya, pada tahun 1982, Prof. Ron Edmonds telah menerbitkan paper bertajuk Programs of School Improvement: An Overvew, yang mencoba untuk mencari faktor-faktor yang disebut sebagai the Correlates of Effective School, yaitu faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai faktor penentu sekolah efektif. Hasil kajiannya, Edmonds menyebutkan lima faktor penentu sekolah efektif, yaitu:
1. The leadership of the principal notable for substantial attention the quality of instruction. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat memberikan perhatian secara substansial terhadap kualitas pembelajaran. Bagaimanapun juga peran kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Namun, kepala sekolah tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika tidak didukung oleh semua guru dan staf tata usaha sekolahnya.
2. A pervasive and broadly understood instructional focus. Fokus kepada pembelajaran dapat difahami secara mendalam oleh para guru dan semua peserta didik. Fokus kepada pembelajaran memang menjadi faktor penentu, tetapi lebih dari itu, sekolah juga memiliki visi dan misi, yang juga harus difahami oleh semua warga sekolah.
3. An orderly, safe climate conducive to teaching and learning. Iklim belajar yang aman dan teratur untuk proses belajar mengajar. Suasana belajar yang kondusif harus diciptakan, bukan dengan tangan besi, melainkan dengan menumbuhkan kesadaran. Disiplin sering diartikan sebagai kepatuhan kepada aturan. Tetapi dalam pelaksanaannya disiplin itu diartikan sebagai disiplin yang mati, bukan disiplin yang tumbuh dari kesadaran diri yang tinggi.
4. Teacher behaviors that convey the expectation that all students are expected to obtain at least minimum mastery. Sikap dan perilaku para guru memberikan harapan yang tinggi kepada semua siswa agar paling tidak dapat memperoleh penguasaan minimum. Sikap dan perilaku guru memang merupakan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang justru mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk menumbuhkan harapan peserta didiknya agar berhasil.
5. The use of measures of pupil achievement as the basis for program evaluation. Menggunakan alat ukur hasil belajar peserta didik sebagai basis untuk penilaian program. Sering hasil belajar dipandang sebagai “semacam hukuman” bagi siswa, padahal seharusnya hasil belajar tersebut justru harus menjadi bahan masukan (feed back) bagi perbaikan program pembelajaran.
Pada tahun 1995, Gary D. Borich, sebagai contoh, menggunakan istilah sekolah efektif dalam bukunya bertajuk Beginning A Teacher, An Inquiring Dialog for Beginning Teacher. Dalam kata pengantarnya, Gary D. Borich mengungkapkan bahwa ”by ’effective’ I mean how teacher like yourself have helped their students to learn, managed their classroom better, and felt good about themselves” (1995: ix). Ungkapan Borich ini tampak amat sederhana. Dalam ungkapan tersebut, yang dimaksud ’efektif’ adalah bagaimana guru membantu para siswa untuk belajar, mengelola ruang kelasnya dengan lebih baik, dan merasakan senang dengan pekerjaannya sendiri. Bagaimana mungkin dapat dikatakan efektif jika guru di sekolah itu sebenarnya tidak menyenangi pekerjaannya sebagai guru? Tentu saja, guru-guru di sekolah efektif adalah guru-guru yang menyenangi tugas profesionlnya sebagai pendidik.
Buku yang telah menuangkan dialog antara wartawan dengan para guru di suatu sekolah, dijelaskan tentang beberapa karakteristik kunci sekolah effektif: ”democratic, supportive, understanding, dan humanistic” (1995:3). Di samping itu karakteristik lain yang tidak kalah pentingnya adalah ”well organized, goal-based, result-orieted climate” (1995: 3). Dengan beberapa karakteristik tersebut, Borich mencoba untuk menggambarkan bagaimana sekolah efektif.
Konsep Sekolah Efektif menurut CCES (California Center of Effective School)
Menurut California Center for Effective School (CCES), ketujuh pilar sekolah efektif tersebut, masing-masing terdiri atas empat indikator. Dalam bentuk tabel, tujuh faktor determinan sekolah efektif dan masing-masing empat indikatornya menurut CCES dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 1: Tujuh Faktor determinan dan Indikator Sekolah Efektif Menurut CCES
I A clear and focused mission
1 Kepala sekolah, pendidik, dan pegawai tata usaha mengetahui dan memahami misi utama sekolah mereka.
2 Pembelajaran peserta didik adalah kriteria terpenting yang digunakan dalam membuat keputusan.
3 Standar tingkat negara bagian (state) sejalan dan searah dengan kurikulum lokal yang digunakan.
4 Program instrusional sekolah memfokuskan pada upaya pencapaian indikator keberhasilan belajar peserta didik, dengan level keberhasilan tertentu, baik akademis maupun nonakademis. Indikator-indokator keberhasilan tersebut telah diidentifikasi dan disetujui oleh kepala sekolah, guru, dan pegawai tata usaha, serta semua pihak yang terkait.
II High expectations for success
1 Para guru percaya dan mengharapkan bahwa semua siswa dapat mencapai hasil belajar. Untuk itu, para guru dapat mengkomunikasikan hal ini kepada peserta didiknya.
2 Perhatian diberikan secara adil kepada semua peserta didik, baik yang rendah maupun yang tinggi hasil belajarnya.
3 Peserta didik memahami apa yang diharapkan, dan para guru menyediakan kesempatan-kesempatan untuk peserta didik untuk memperoleh pengalaman dalam mencapai keberhasilan mereka.
4 Para guru menyediakan kesempatan-kesempatan kepada peserta didik agar meraka dapat bertanggung jawab dan juga dalam kepemimpinan.
III Instructional leadership
1 Kepala sekolah, dengan semua jajarannya, memberikan penekanan bahwa tujuan utama sekolah adalah pembelajaran.
2 Kepala sekolah dan para guru aktif dan terlibat dengan semua kegiatan dalam sekolah. Mereka menjadi sumber, memberikan penegasan, dukungan, dan berdedikasi untuk mencapai misi sekolah.
3 Kepala sekolah dan para guru menyampaikan harapan-harapan tinggi untuk peningkatan kinerja peserta didik dan pegawai tata usaha.
4 Kepala sekolah dan para guru berkolaborasi untuk meningkatkan program isntruksional dan memonitor kemajuan hasil belajar siswa.
IV Frequent monitoring of student progress
1 Data hasil belajar peserta didik mendorong perubahan-perubahan dalam program pembelajaran dan prosedur-prosedur sekolah.
2 Data hasil tes, distribusi nilai, dan pola-pola penerimaan siswa baru dianalisis berdasarkan ras, gender, etnis, dan status sosial-ekonomi untuk mengetahui ketidakmerataan dan untuk meyakinkan bahwa semua siswa belajar.
3 Ringkasan tentang prestasi belajar diketahui bersama oleh semua staf dan dilaporkan kepada masyarakat. Skor pada tingkat kabupaten dan sekolah dianalisis oleh semua staf untuk membuat inferensi tentang keberhasilan program dan target baru tentang upaya peningkatan sekolah.
4 Tes berpatokan norma dan/atau penilaian autentik dirancang dan/atau digunakan oleh para guru untuk menilai tingkat penguasaan siswa untuk kelas atau tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran.
V Opportunity to learn and student time on task
1 Waktu terbesar dialokasikan untuk proses pembelajaran dalam semua mata pelajaran.
2 Para guru mengurangi kegiatan yang kurang penting dan memfokuskan pada proses pembelajaran.
3 Para guru secara jelas mengkomunikasikan tentang maksud atau tujuan setiap pelajaran.
4 Angka keberhasilan siswa, dalam mencapai standar-standar, adalah 80 – 85% untuk memastikan pembelajaran yang produktif. Semua ini diselesaikan oleh para guru dengan melakukan monitoring kualitas pelajarannya, revisi dan remedial serta dengan penganekaragaman tugas-tugas siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama.
VI Safe and orderly environment
1 Kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi percaya, dan perilaku mereka menunjukkan bahwa konsistensi di antara semua warga sekolah adalah kunci untuk membangun satu suasana yang posititf.
2 Kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha menerima proposisi bahwa mereka siap bertugas kapan saja dan dimana saja selama di sekolah.
3 Ada suasana yang positif bagi siswa. Tingkah laku positif, keberhasilan, usaha, dan semua atribut dari keberhasilan tersebut akan diberikan.
4 Perhatian terhadap semua peralatan interior dan administratif yang terjaga dengan baik.
VIIHOME/school relations
1 Orangtua siswa telah memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan-tujuan sekolah dan standar kurikulum melalui komunikasi yang teratur.
2 Orangtua siswa telah diberikan informasi tentang bagaimana cara membantu anak-anaknya belajar di rumah.
3 Orangtua siswa telah diberikan informasi secara jelas tentang kemajuan peserta didik, termasuk tes hasil belajar di tingkat negara bagian dan apakah anaknya telah mencapai standar itu atau tidak, di bawah atau di atas standar itu.
4 Rata-rata ganda (multiple means) digunakan untuk mengkomunikasikan kepada orangtua siswa, termasuk buku panduan, newsletters, catatan rumah, nomor telepon, rapat orantua dan guru, kunjungan rumah, paket belajar di rumah, dan pertemuan sekolah dan kelas.
Sumber: Sekolah efektif menurut CCES (California Center for Effective School)
Sebenarnya masih ada beberapa teori tentang sekolah efektif, namun teori CCES tersebut sudah sangat memadai untuk misalnya dijadikan acuan penyusunan instrumen penilaian sekolah efektif. Kalau akan melihat apakah sekolah-sekolah itu sudah dapat kita kategorikan sebagai sekolah efektif atau belum, kita dapat menggunakan pilar-pilar dan indikator CCES. Kemudian, indikator mana yang harus disempurnakan, sudah tentu dapat dipastikan dari hasil evaluasi dengan menggunakan pilar-pilar dan indikator CCES tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar