Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Juni 2016

Saman dan Seudati Kesenian Aceh


Tari Saman diciptakan oleh seorang ulama besar dari Samudra Pasai (Pase) untuk media dakwah Islam
yang ia bawa ke pegunungan Leuser yang penduduknya bersuku bangsa Gayo, di bagian Tenggara
Aceh dan kini termasuk kabupaten Gayo Luwes. Dipilih tarian dalam posisi duduk sebagai media
dakwah karena penduduk pegunungan Leuser menyukai tarian dalam posisi tersebut, dan tarian
kembarnya bernama seudati di Pase dalam posisi berdiri.
Dinamakannya tarian tersebut dengan Tari Saman karena ulama besar itu terinspirasi dari Tarekat
Sammaniyah yang pertama kali masuk ke Aceh dibawa oleh gurunya Syekh Abdussamad alFalimbani
sekitar abad ke18
yang ia pelajari dari Syeh Samman (dengan huruf ‘m’ ganda) yang mengajarkan
tarekat Sammaniyah. Sammaniyah adalah tarekat yang mengajarkan zikir dan wirid untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Setelah ke Aceh, Syekh Abdussamad alFalimbani
menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Palembang. Ia
mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni
mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu
dinyanyikan oleh sekelompok orang, yang di Aceh berkembang jadi Tari Saman dan Tari Seudati. Tari
Saman dipraktikkan dalam posisi duduk karena disesuaikan dengan budaya penduduk Leuser yang
suka menarikan tubuhnya dalam posisi duduk, dan ini sesuai dengan posisi tubuh saat wirid
Sammaniyah yang dikembangkan di Afrika. Sementara tari Seudati dipraktikkan dalam posisi berdiri
karena orang pesisir di Pase suka menari sambil berdiri seperti saat menarik pukat, dan ini sesuai
dengan posisi tubuh sebagian pengikut Tarekat di Turki dan sebagian Afrika.
Tarekat Sammaniyah diamalkan usai melaksanakan shalat lima waktu dan dengan cara duduk bersila.
Salah seorang murid Sekh Abdussamad alFalimbani
adalah lelaki dari Samudra Pasai yang kemudian
jadi ulama dan dikenal dengan Syekh Saman, bukan Syekh Samman dari Arab.
Tarekat berisi zikir dan wirid Sammaniyah terus berkembang di Aceh seperti di Sudan dan Nigeria, tapi
di negara Afrika tersebut, zikir dan wirid Sammaniyah dilaksanakan dengan cara berdiri sambil memuji
kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tak hanya wirid seusai shalat lima waktu, zikir dan wirid Sammaniyah biasanya dilaksanakan pada
peringatan hari besar Islam, seperti maulid Nabi saw, Isra Miraj, dan sebagainya. Sementara di Aceh
zikir dan wirid Sammaniayah dibacakan dalam posisi duduk, makanya Tari Saman yang terispirasi dari
tarekat ini di Aceh pun dilakukan dalam posisi duduk.
Untuk mengembangkan ajarannya, Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama
Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman, sangat terkenal. Ratib Samman
kemudian berubah menjadi suatu macam permainan atau tarian rakyat yang terkenal dengan nama
seudati di Samudra Pasai, yang bermakna tarian.
Beberapa ulama Aceh di masa itu, pernah menentang pembacaan Ratib Saman yang dinyanyikan atau
ditarikan. Tarian meusaman
atau meuseudati
ini dimainkan minimal oleh delapan orang lelaki atau
perempuan ditambah seorang syeh.
Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Arab oleh muridmurid
Abdussamad
AlFalimbani.
Syekh Samman seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah.
9+
Syekh Samman, awalnya merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah,
Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Kemudian Syehkh Samman memadukan berbagai unsur tarekattarekat
tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah, sebagai ciri
khasnya.
Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan,
Sumatra terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya seperti Jayakarta. Tarekat Sammaniyah
berciri khas, antara lain; zikirnya yang keraskeras
dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu
melakukan zikir Laa ilaaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya
mempergunakan perkataan Hu, Dia Allah, kalau diartikan dalam bahasa Aceh Muda (Melayu).
Ulama besar dari Pase mengembangkan Tari Saman diisinya dengan petuah agama, petunjuk hidup,
dan sebagainya sebagai pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan
kebersamaan dalam menjalani hidup.
Untuk menyatukan diri dengan masyarakat di pegunungan Leuser dan mengihindari kecurigaan
penduduk bahwa ia membawa ajaran agama baru, maka pada awalnya, Syeh Saman membuat Tari
Saman sebagai permainan rakyat yang di tempat dikembangkannya disebut Pok Ane.
Tari Saman diperankan secara berkelompok, paling sedikit delapan orang, dan kadang sampai 17
orang. Pimpinan tarian ini disebut syeh yang duduk di posisi nomor sembilan (tengah). Tari Saman
diawali dengan salam pembuka dari syekh diiringi petuahpetuah
tentang kehidupan.
Setelah timbul minat besar masyarakat Aceh di pegunungan Leuser pada Tari Saman, maka ulama
besar dari Pase tersebut menyisipkan syairsyair
pujipujian
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Tari
Saman menjadi media dakwahnya dan menyertakan semangat perjuangan membela bangsa dan
agama.
Setelah penduduk merasa dirinya telah menyatu dengan syairsyair
dan petuah dalam Tari Saman,
maka Syeh Saman baru mengenalkan ketauhidan Islam secara resmi dan meminta penduduk Leuser
memeluk agama Islam. Saat itulah ulama besar dari Pase itu menamakan tarian tersebut dengan Tari
Saman dan penduduk memanggilnya dengan ‘Syeh Saman,’ karena ia mengajarkan bahwa pemimpin
tari itu disebut syekh.
Maka terkenallah ulama besar dari Pase itu dengan nama Syekh Saman (tanpa huruf ‘m’ ganda),
karena dalam budaya Aceh di masa silam, orang enggan nama aslinya disebut demi menghindari tinggi
hati.
Penduduk dilatih Tari Saman di bawah kolong meunasah yang dibangun sebagai tempat pertemuan
penduduk dan menjadi pusat pengembangan agama dan tempat musyawarah semua urusan.
Meunasah adalah bangunan berbentuk surau seperti rumah panggung dalam budaya Aceh, tapi
kebanyakan dindingnya setengah tiang, tidak mencapai atap. Kolong meunasah dipilih sebagai tempat
latihan tari Saman agar orang yang berlatih dapat shalat berjamaah setelah latihan.
Tari Saman dan Tari Seudati telah berkembang seiring zaman. Jika dulu sebagai media dakwah
menyebarkan Islam, maka kini, tari Saman dan Seudati sebagai seni yang telah menjadi budaya di
Aceh. Dan, tanpa cinta, Tari Saman dan Tari Seudati tidak akan pernah hadir. Begitu Islam kuat di Aceh,
maka Seudati dan Saman, tinggallah sebagai tarian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar